الوسطية
من خصائص أهل السنة والجماعة
Moderat
Karakteristik Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Oleh :
Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd
Moderat merupakan salah satu karakteristik terpenting yang dimiliki oleh Ahli Sunnah wal Jama’ah. Seperti halnya umat Islam yang berada di tengah-tengah antara umat yang cenderung bersikap ghuluw (ekstrem) yang berbahaya dan umat yang cenderung bersikap ceroboh yang membahayakan. Ahli Sunnah wal Jama’ah juga bersikap tengah-tengah (moderat) di antara golongan-golongan umat Ahli bid’ah yang menyimpang dari jalan yang lurus.[1]
Sikap moderat Ahli Sunnah wal Jama’ah terlihat jelas dalam berbagai hal, baik dalam masalah aqidah, hukum, perilaku, akhlak, maupun masalah-masalah lainnya.
Berikut ini adalah sebagian wujud sikap moderat mereka.
Moderat dalam masalah sifat-sifat Allah, antara Ahli ta’thil dan Ahli tamtsil.
Ahli ta’thil mengingkari dan menafikan sifat-sifat Allah. Sedangkan Ahli tamtsil mengakuinya dan menganggapnya sama dengan sifat-sifat makhluk.
Ahli Sunnah wal Jama’ah mengakui sifat-sifat Allah apa adanya, tanpa melakukan tamtsil (penyerupaan). Mereka menyucikan Allah dari penyerupaan dengan makhluk tanpa melakukan ta’thil (penihilan, peniadaan).
Jadi, mereka (Ahli Sunnah wal Jama’ah) menggabungkan hal terbaik yang ada pada kedua golongan tersebut, yaitu: tanzih (penyucian) dan itsbat (pengakuan), serta meninggalkan kesalahan dan keburukan yang mereka lakukan, yaitu: ta’thil (penihilan) dan tamtsil (penyerupaan).[2]
Moderat dalam masalah janji dan ancaman Allah, antara kaum Murji’ah dan kaum Wa’idiyah.
Kaum Murji’ah menyatakan bahwa dosa tidak akan membahayakan bila disertai dengan iman, sebagaimana ketaatan tidak akan memberikan manfaat bila disertai dengan kekufuran. Mereka juga menganggap bahwa iman hanyalah sekedar membenarkan dengan hati, meskipun tidak diucapkan. Mereka menunda amal dari iman. Dan mereka membolehkan Allah menyiksa orang-orang yang taat dan memberi nikmat kepada orang-orang yang maksiat.
Sementara itu, kaum Wa’idiyah menyatakan bahwa secara rasional Allah wajib menyiksa orang yang berbuat maksiat dan wajib memberi pahala kepada orang yang taat. Jadi, menurut mereka, barangsiapa meninggal dunia dengan membawa dosa besar dan belum sempat bertaubat dari dosa itu, maka Allah tidak boleh mengampuninya.
Sedangkan Ahli Sunnah wal Jama’ah berada di tengah-tengah, antara kaum Murji’ah yang menafikan adanya ancaman dan kaum Wa’idiyah yang mewajibkan adanya ancaman. Jadi, menurut mereka, barangsiapa meninggal dunia dengan membawa dosa besar, maka urusannya terserah Allah. Dia boleh menyiksanya atau mengampuninya. Jika Dia menyiksanya, maka yang bersangkutan tidak akan kekal di Neraka, melainkan akan keluar dari Neraka dan akan masuk Surga.[3]
Moderat dalam masalah pengkafiran.
Masalah ini termasuk di dalam paragraf berikutnya. Ketika kita menemukan golongan yang begitu gegabah dalam memberikan label kafir -sehingga mereka mengkafirkan orang karena berbuat dosa besar dan tidak mengakui ke-Islaman orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat, mengerjakan shalat, melaksanakan puasa, dan menunaikan kewajiban-kewajiban Islam, sebelum mereka meneliti ke-Islamannya dengan syarat-syarat tertentu yang tidak pernah ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (seperti kaum Khawarij dan para pendukungnya)- kita juga menemukan golongan lain yang begitu longgar dalam masalah ini. Mereka menolak adanya pengkafiran secara total. Mereka berpendapat bahwa orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat sama sekali tidak boleh dikafirkan. Bahkan mereka menyatakan bahwa pengkafiran tidak boleh ditujukan kepada orang tertentu, melainkan ditujukan kepada perbuatan.
Oleh karena itu, mereka sama sekali tidak mau mengkafirkan seseorang, sekalipun terhadap orang-orang murtad, orang-orang yang mengaku menjadi Nabi, orang-orang yang mengingkari kewajiban shalat, dan sebagainya yang telah disepakati oleh para ulama sebagai orang-orang yang keluar dari lingkaran Islam.
Sedangkan Ahli Sunnah telah diberi petunjuk oleh Allah menuju kebenaran yang mereka perselisihkan dengan izin Allah, berkat komitmen mereka terhadap dalil syar’i.
Mereka tidak melarang pengkafiran secara total dan tidak pula mengkafirkan gara-gara sembarang dosa. Mereka tidak pernah menyatakan bahwa mengkafirkan orang tertentu tidak mungkin dilakukan. Mereka tidak pernah menyatakan bahwa pengkafiran boleh dilakukan secara umum, meskipun tanpa terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran dan tidak adanya halangan-halangan pengkafiran pada diri yang bersangkutan. Mereka juga tidak ragu-ragu mengakui keIslaman orang yang secara lahiriah memiliki komitmen terhadap Islam atau menunjukkan ingin masuk Islam.
Mereka justru berbaik sangka kepada Ahli kiblat yang bertauhid dan kepada orang yang sudah masuk Islam atau ingin masuk Islam.
Barangsiapa melakukan sesuatu yang mengkafirkan, lalu memenuhi syarat-syarat pengkafiran dan tidak memiliki halangan untuk dikafirkan, maka mereka tidak akan takut, tidak akan luluh, dan tidak segan-segan mengkafirkannya.[4]
Moderat dalam masalah predikat-predikat agama dan iman, atau predikat-predikat dan hukum-hukum, antara Khawarij dan Muktazilah dengan Murji’ah dan Jahmiyah.
Yang dimaksud dengan predikat-predikat di sini adalah predikat-predikat agama, seperti: mukmin, muslim, kafir, dan fasiq.
Dan yang dimaksud dengan hukum-hukum di sini adalah hukum-hukum bagi para pemilik predikat-predikat tersebut di dunia dan di Akhirat.
Kaum Khawarij dan Muktazilah berpendapat bahwa predikat iman tidak berhak disandang kecuali oleh orang yang membenarkan dengan hatinya, mengakui dengan lisannya, melaksanakan seluruh kewajiban, dan menjauhi seluruh larangan.
Dengan demikian, menurut mereka, pelaku dosa besar tidak bisa disebut mukmin. Hal ini disepakati oleh kedua golongan tersebut. Namun, mereka berbeda pendapat tentang apakah yang bersangkutan disebut kafir atau tidak.
Kaum Khawarij menyebutnya kafir dan menghalalkan darah berikut harta bendanya. Sedangkan kaum Muktazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar telah keluar dari iman, namun tidak masuk ke dalam kufur, melainkan berada di antara dua tempat (manzilah bainal manzilatain).
Sedangkan mengenai ketentuan hukum di Akhirat, kedua golongan tersebut sepakat bahwa orang yang meninggal dunia dengan membawa dosa besar dan belum sempat bertaubat dari dosa itu, ia akan kekal di Neraka.
Sementara itu kaum Murji’ah, sebagaimana disebutkan di muka, berpendapat bahwa perbuatan maksiat tidak membahayakan bila disertai dengan iman. Sehingga, menurut mereka, pelaku dosa besar adalah mukmin yang sempurna imannya dan tidak berhak masuk Neraka.
Adapun madzhab Ahli Sunnah wal Jama’ah berada di tengah-tengah antara kedua madzhab tersebut. Jadi, menurut kalangan Ahli Sunnah wal Jama’ah, pelaku dosa besar adalah mukmin dengan imannya dan fasiq dengan dosa besarnya. Atau, ia disebut mukmin yang kurang iman. Karena imannya telah berkurang sebanyak maksiat yang ia perbuat. Jadi, mereka tidak menafikan iman dari dirinya secara total, seperti kaum Khawarij dan Muktazilah. Dan mereka juga tidak menyatakan bahwa ia seorang mukmin yang sempurna imannya, seperti kaum Murji’ah.
Mengenai ketentuan hukumnya di Akhirat mereka berpendapat bahwa Allah bisa saja mengampuni dosanya dan memasukkannya ke dalam Surga secara langsung, atau mengadzabnya menurut kadar dosanya, kemudian mengeluarkannya dan memasukkannya ke dalam Surga, sebagaimana disebutkan di muka.[5]
Moderat dalam masalah takdir, antara kaum Qodariyah dan Jabariyah.
Kaum Qodariyah menyatakan bahwa manusia mandiri dengan perbuatannya dalam hal kehendak dan kemampuan, tanpa ada pengaruh dari kehendak dan kekuasaan Allah.
Mereka menyatakan bahwa perbuatan manusia tidak diciptakan oleh Allah, melainkan oleh manusia itu sendiri.[6]
Sementara itu kaum Jabariyah sangat berlebihan dalam menetapkan takdir, sehingga mereka mengingkari adanya perbuatan secara hakiki bagi manusia. Bahkan, mereka menganggap bahwa manusia tidak memiliki kebebasan maupun perbuatan, bagaikan bulu yang diterpa angin. Perbuatan-perbuatan itu dinisbatkan kepadanya hanyalah sekedar majaz. Lalu dikatakan bahwa ia shalat, puasa, membunuh, dan mencuri, sebagaimana ketika dikatakan bahwa matahari terbit, angin berhembus, dan hujan turun.[7]
Sedangkan Ahli Sunnah wal Jama’ah berada di tengah-tengah. Mereka menyatakan, “Kami mengakui bahwa manusia memiliki kehendak untuk memilih dan kemampuan untuk berbuat. Namun, kehendak dan kemampuannya berada di bawah kehendak Allah dan tunduk kepada kehendak-Nya. Karena Allah Ta’ala berfirman,
“Bagi siapa di antara kamu yang hendak menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At-Takwir: 28-29)
Mereka juga menyatakan bahwa manusia bisa berbuat dan Allah adalah Pencipta perbuatan mereka. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. Ash-Shaffat: 96)
Jadi, perbuatan manusia berasal dari Allah dalam tataran penciptaan, pengadaan, dan penetapan; dan berasal dari manusia itu sendiri dalam tataran aksi dan tindakan.[8]
Rabu, 03 Juni 2009
MODERAT NYA AHLUSSUNNAH (1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar