يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ﴾ [الحشر:18

Jumat, 31 Juli 2009

Bom Syahid Atau Bom Bunuh Diri

Minggu, 27 Nopember 2005 08:22:39 WIB

BOM SYAHID ATAU BOM BUNUH DIRI


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pengantar
Sebagian orang menganggap aksi bom bunuh diri termasuk jihad fi sabilillah, dan pelakunya dikatakan sebagai orang yang syahid, bahkan banyak jama’ah dakwah yang menyeru anggotanya untuk berpartisipasi dan mendukungnya. Akan tetapi... di pihak lain, sebagian besar kaum muslimin bertanya-tanya : Benarkah aksi ini dikatakan sebagai bentuk jihad ? Apakah Islam membolehkan segala cara dalam semua ibadah termasuk cara-cara berjihad yang merupakan bagian dari ibadah?

Realita menunjukkan bahwa cara-cara aksi bom bunuh diri tidak membuat jera orang-orang kafir, bahkan orang kafir semakin membabi buta untuk mengintimidasi dan membantai kaum muslimin dimana-mana. Jika dari kalangan mereka mati satu atau sepuluh orang, maka mereka membalasnya dengan membantai lebih dari itu dengan cara-cara yang biadab. Lantas ... apa manfaat dan keuntungan dari aksi-aksi bom bunuh diri itu bagi kaum muslimin ?

Untuk lebih memperjelas masalah ini, kami nukilkan fatwa ulama salafiyyin robbaniyyin tentang aksi bom bunuh diri.
_________________________________________________________________________


Di dalam Syarah Riyadush Shalihin 1/165-166 setelah menyebutkan syarah hadits kisah Ashabul Ukhdud beliau menyebutkan faidah-faidh yang dapat diambil dari kisah ini diantaranya.

Sesungguhnya seseorang boleh mengorbankan dirinya untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum, pemuda ini menunjukkan kepada raja yang menuhankan dirinya suatu hal yang bisa membunuhnya, yaitu dengan mengambil sebuah anak panah dari tempat panahnya …

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Karena ini adalah jihad fi sabilillah, seluruh umat beriman semuanya dalam keadaan pemuda ini tidak kehilangan apa-apa, karena dia mati, dan pasti dia akan mati cepat atau lambat”

Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian orang dengan bunuh diri, yaitu dengan membawa alat peledak dibawa ke tempat orang kafir, kemudian dia ledakkan ketika dia di antara orang-orang kafir, maka dia tergolong perbuatan bunuh diri –Semoga kita dilindungi Allah Jalla Jallaluhu darinya-. Barangsiapa yang bunuh diri maka dia kekal di neraka Jahannam selama-lamanya, sebagaimana datang dalam hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan besi tajam maka besi itu diletakkan di tangannya, ditusukkan ke perutnya di neraka jahannam dia kekal di dalamnya.” [Shahih Bukhari 5778 dan Shahih Muslim 109]

Karena orang ini membunuh dirinya bukan untuk maslahat Islam ; karena jika dia membunuh dirinya dengan membunuh sepuluh, atau seratus, atau dua ratus orang kafir, maka Islam tidak mendapatkan manfaat sama sekali dari perbuatannya, manusia tidak akan beriman. Berbeda dengan kisah pemuda ashabul ukhdud di atas. Dengan bom bunuh diri ini bisa jadi membuat musuh lebih congkak, sehingga mereka memberikan balasan kepada kaum muslimin yang lebih kejam dari itu.

Sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap penduduk Palestina, jika ada seorang penduduk Palestina yang mati dengan bom bunuh diri, dan menewaskan 6 atau 7 orang Yahudi, maka orang-orang Yahudi membalas dengan menewaskan 60 orang Palestina atau lebih dari itu, maka bom bunuh diri ini tidak memberikan manfaat bagi kaum muslimin, dan tidak juga bagi orang-orang yang diledakkan bom ini di barisan mereka.

Karena inilah kami memandang bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian orang dari bunuh diri ini, kami memandang bahwa dia telah membunuh jiwa dengan tidak haq, dan perbuatannya ini membawa dia ke neraka –Semoga kita dilindungi Allah Jalla Jalaluhu darinya-, dan pelakunya tidaklah syahid, tetapi jika ada seseorang yang melakukan perbuatan ini karena mentakwil dengan menyangka bahwa perbuatan ini dibolehkan syari’at, maka kami mengharap semoga dia selamat dari dosa. Adapun dia tertulis sebagai orang yang syahid maka tidak, karena dia tidak menempuh jalan syahid yang benar, dan barangsiapa yang berijtihad dan keliru maka dia mendapat satu pahala”.

Di dalam kaset Liqo’ Syarhy : 20 ada sebuah pertanyaan yang dilontarkan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

Pertanyaan.
Fadhilatusy Syaikh ! Engkau telah mengetahui –semoga Allah Jalla Jalaluhu menjagamu- apa yang terjadi pada hari Rabu kemarin dari suatu peristiwa yang menewaskan dari 20 orang Yahudi di tangan salah seorang mujahidin Palestina, dia juga melukai sekitar 50 orang Yahudi. Seorang mujahidin ini meletekkan alat peledak di dalam tubuhnya, kemudian masuk di sebuah rombongan kendaraan mereka dan dia ledakkan, dia melakkan itu dengan sebab.

Pertama : Dia tahu bahwa kalau dia tidak terbunuh sekarang hari itu maka besoknya akan dibunuh, karena orang-orang Yahudi membunuh para pemuda muslim di sana dengan berencana.

Kedua : Para mujahidin ini melakukan hal itu karena membalas dendam terhadap orang-orang Yahudi yang telah membunuh orang-orang yang sholat di masjid Ibrahimy.

Ketiga : Mereka mengetahui bahwa orang-orang Yahudi dan Nahsara membuat rancangan untuk menghilangkan ruh jihad yang ada di Palestina.

Pertanyaan : Apakah perbuatan dia ini dianggap bunuh diri atau dianggap jihad? Apa nasihatmu dalam keadaan seperti ini, karena jika kami telah mengetahui bahwa perbuatan ini adalah perbuatan yang diharamkan maka semoga kami bisa menyampaikannya kepada saudara-saudara kami di sana, -Semoga Allah Jalla Jalaluhu memberikan taufiq kepadamu-?”

Jawaban.
Pemuda ini yang meletakkan bahan peledak di tubuhnya, pertama kali yang dia bunuh adalah dirinya. Tidak diragukan lagi bahwa dialah yang menyebabkan pembunuhan dirinya. Hal seperti ini tidak dibolehkan kecuali jika dapat mendatangkan maslahat yang besar dan manfaat yang agung kepada Islam, maka hal itu dibolehkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- telah memberikan nash pada masalah ini, membuat permisalan untuk hal ini dengan kisah seorang pemuda, seorang pemuda mukmin yang berada di suatu umat yang dipimpin oleh seorang raja yang musyrik dan kafir. Raja yang kafir dan musyrik ini membunuh pemuda yang beriman ini, dia berupaya berulang kali, dia lemparkan pemuda itu dari atas gunung, dia lemparkan pemuda itu ke lautan, tetapi setiap upaya pembunuhan -itu gagal karena Allah Jalla Jalaluhu selalu menyelamatkan pemuda itu, maka heranlah raja musyrik itu.

Suatu hari pemuda itu berkata kepada raja musyrik itu : “Apakah kamu ingin membunuhku ?” raja itu berkata : “Ya, tidaklah aku melakukan semua ini melainkan untuk membunuhmu”. Pemuda itu berkata : “Kumpulkan orang-orang di tanah lapang, kemudian ambillah satu panah dari tempat panahku, letakkanlah dia di busurnya, kemudian lepaskanlah kepadaku dan katakanlah: ”Dengan nama Allah Rabb pemuda ini”. Adalah penduduk raja ini jika menyebut mereka mengucapkan : Dengan nama raja, akan tetapi pemuda ini berkata kepada raja ini : Katakanlah : Dengan nama Allah Rabb pemuda ini.

Maka raja ini mengumpulkan orang-orang di satu tempat yang luas, kemudian dia mengambil sebuah anak panah dari tempat panah pemuda itu, dia letakkan di busurnya seraya mengatakan : Dengan nama Allah Jalla Jalaluhu Rabb pemuda ini. Dia lepaskan anak panah itu sampai mengenai pemuda itu dan matilah dia. Melihat kejadian itu berteriaklah semua orang : “Tuhan adalah Tuhan pemuda ini, Tuhan adalah Tuhan pemuda ini”. Dan mereka ingkari penuhanan raja yang musyrik ini. Mereka berkata : “Raja ini telah melakukan segala cara yang memungkinkan untuk membunuh pemuda ini, ternyata dia tidak mampu membunuhnya. Ketika dia mengucapkan satu kalimat : Dengan menyebut Allah Jalla Jalaluhu Rabb pemuda ini, dia bisa mati. Kalau demikian pengatur semua kejadian adalah Allah Jalla Jalaluhu, maka berimanlah semua manusia.

Syaikhul Islam berkata : Perbuatan pemuda ini mendatangkan manfaat yang besar bagi Islam.

Merupakan hal yang dimaklumi bahwa yang menyebabkan kematian terbunuhnya pemuda ini adalah dia sendiri, tetapi dengan kematiannya didapatkan manfaat yang besar ; suatu umat beriman semuanya. Jika bisa didapatkan manfaat seperti ini maka dibolehkan bagi seseorang menebus agamanya dengan jiwanya. Adapun sekedar membunuh sepuluh atau dua puluh tanpa ada faidah, dan tanpa mengubah apapun maka perbuatan ini perlu dilihat lagi, bahkan hukumnya adalah haram, bisa jadi orang-orang Yahudi membalasnya dengan membunuh ratusan kaum muslimin.

Kesimpulannya bahwa perkara-perkara seperti ini membutuhkan fiqih dan tadabbur, dan melihat akibatnya, membutuhkan tarjih (penguatan) maslahat yang lebih tinggi dan menangkal mafsadah yang lebih besar, kemudian sesudah itu dipertimbangkan setiap keadaan dengan kadarnya"

[Koran Al-Furqon Kuwait, 28 Shafar, edisi 145, hal. 20-21]

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum syar’i bagi orang meletakkan bahan peledak di tubuhnya, kemudian dia ledakkan di antara komunitas orang-orang kafir untuk menewaskan mereka ? Apakah benar jika dia berdalil dengan kisah seorang pemuda yang hendak dibunuh oleh raja yang musyrik ?”

Jawaban
Orang yang meletakkan bahan peledak dalam tubuhnya dengan tujuan untuk meledakkannya bersama dirinya di komunitas musuh, adalah orang yang membunuh dirinya. Dia akan diadzab karena membunuh dirinya di neraka Jahannam kekal di dalamnya, sebagaimana telah tsabit hal itu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ancaman orang bunuh diri dengan sesuatu maka dia diadzab dengan sesuatu yang membunuhnya di neraka Jahannam”.

Alangkah aneh mereka yang melakukan perbuatan-perbuatan seperti ini, padahal mereka membaca firman Allah Jalla Jalaluhu.

“Artinya : Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu …”[An-Nisa : 29]

Kemudian mereka melakukan perbuatan itu, apakah mereka memetik sesuatu ? apakah musuh kalah?! Ataukah musuh semakin keras kepada mereka yang melakukan bom bunuh diri ini, sebagaimana hal ini terlihat di negeri Yahudi, dimana perbuatan seperti ini tidak menambah mereka kecuali mereka semakin gigih dengan kebrutalan mereka, bahkan kami dapati pooling terakhir dimenangkan oleh kelompok kanan yang ingin menghabiskan orang-orang Arab.

Akan tetapi barangsiapa yang melakukan hal ini dengan ijtihadnya menyangka bahwa ini adalah sarana pendekatan diri kepada Allah Jalla Jalaluhu maka kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar tidak menghukumnya ; karena dia seorang jahil yang mentakwil….

Adapun pendalilan dengan kisah pemuda ashabul ukhdud, maka kisah pemuda ini didapatkan darinya umat yang masuk Islam, tanpa menewaskan musuh, karena itu ketika raja mengumpulkan orang-orang, dan mengambil sebuah panah dari tempat panah pemuda seraya mengatakan : Dengan nama Allah Jalla Jalaluhu Tuhan pemuda ini, (hingga terbunuhlah pemuda itu) maka orang-orang semuanya berteriak : Tuhan yang benar adalah Tuhan pemuda ini. Maka dengan kematian pemuda ini didapatkan keislaman sebuah umat yang besar.

Seandainya hal seperti ini terjadi maka sungguh kami akan mengatakan bahwasanya di sana ada tempat untuk berdalil dengan kisah ini, dan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan kisah ini agar kita mengambil ibrah darinya. Tetapi orang yang meledakkan diri-diri mereka jika membunuh sepuluh atau seratus musuh, maka hal itu tidak menambah musuh kecuali semakin marah kepada kaum muslimin dan semakin gigih dengan apa keyakinan mereka.

[Majalah Al-Furqon Kuwait, edisi 79, hal.18-19 dan Koran Al-Furqon Kuwait, 28 Shafar, edisi 145, hal. 20]

[Disunting dari majalan Al-Furqon, edisi 3 Tahun IV, hal. 23-28, Judul BOM Syahid Atau Bunuh Diri, Penyusun Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jawa Timur]

APA HUKUM PERKATAAN FULAN SYAHID ?

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Apa hukum perkataan, 'Fulan Syahid ?'.

Jawaban.
Jawaban atas hal itu adalah bahwa seseorang dikatakan syahid itu dengan dua sisi yaitu :

Pertama.
Hendaknya terikat dengan suatu sifat, seperti : Dikatakan bahwa setiap orang yang dibunuh fisabillah adalah syahid, orang yang dibunuh karena membela hartanya adalah syahid, orang yang mati karena penyakit thaun adalah syahid dan yang semacamnya. Ini adalah boleh sebagai mana yang terdapat dalam nash, dan karena kamu menyaksikan dengan apa yang dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang kami maksud boleh adalah tidak dilarang. Jika menyaksikan hal itu, maka wajiblah membenarkan khabar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kedua.
Menentukan syahid bagi seseorang, seperti kamu mengatakan kepada seseorang, dengan menta'yin bahwa dia syahid. Ini tidak boleh kecuali yang disaksikan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau umat sepakat atas kesyahidannya. Al-Bukhari dalam menerangkan hal ini ia berkata : Bab. Tidak Boleh Mengatakan Si Fulan Syahid. Ia berkata dalam Al-Fath Juz 6 halaman. 90, yaitu : Tidak Memvonis Syahid Kecuali Ada Wahyu. Seakan dia mengisyaratkan hadits Umar, bahwa beliau berkhutbah. "Dalam peperangan, kalian mengatakan bahwa si Fulan Syahid, dan si Fulan telah mati syahid. Mudah-mudahan perjalanannya tenang. Ketahuilah, janganlah kalian berkata demikian, akan tetapi katakanlah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : Barangsiapa mati di jalan Allah atau terbunuh maka ia syahid". Ini adalah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Sa'id bin Manshur dan lainnya dari jalur Muhammad bin Sirrin dan Abi Al-A'jafa' dari Umar.

Karena persaksian terhadap suatu hal yang tidak bisa kecuali dengan ilmu, sedang syarat orang menjadi mati syahid adalah karena ia berperang untuk meninggikan kalimat Allah yang tinggi. Ini adalah niat batin yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda sebagai isyarat akan hal itu.

"Artinya : Perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah, dan Allah lebih tahu siapa yang berjihad di jalan-Nya...." [Hadits Riwayat Bukhari : 2787]

Dan sabda beliau.

"Artinya : Demi Dzat diriku berada ditangan-Nya tidaklah seseorang terluka di jalan Allah kecuali datang dihari kiamat sedang lukanya mengalir darah, warnanya warna darah dan baunya bau Misk" [Hadits Riwayat Bukhari : 2803]

Akan tetapi orang yang secara dhahirnya baik, maka kami berharap dia syahid. Kami tidak bersaksi atas syahidnya dia dan juga tidak berburuk sangka kepadanya. Raja' (berharap) itu satu posisi di antara dua posisi (bersaksi dan buruk sangka), akan tetapi kita memperlakukannya di dunia dengan hukum-hukum syahid, jika ia terbunuh dalam jihad fi sabilillah. Ia dikubur dengan darah di bajunya tanpa menshalatinya. Dan untuk syuhada' yang lain, dimandikan, dikafani dan dishalati.

Karena, kalau kita bersaksi atas orang tertentu bahwa ia mati syahid konsekwensinya adalah kita bersaksi bahwa ia masuk surga. Mereka tidak bersaksi atas seseorang dengan surga kecuali dengan sifat atau seseorang yang disaksikan oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa boleh kita bersaksi atas syahidnya seseorang yang umat sepakat memujinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah termasuk yang berpendapat seperti ini.

Dengan ini, maka menjadi jelas bahwa kita tidak boleh bersaksi atas orang tertentu bahwa ia mati syahid kecuali dengan nash atau kesepakatan. Akan tetapi bila dhahirnya baik maka kita berharap demikian sebagaimana keterangan diatas, dan cukuplah nasihat tentang ini, sedangkan ilmunya ada di sisi Sang Pencipta.

[Disalin dari buku Majmu' Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Bab Aqidah, hal. 208-210 Pustaka Arafah] Selengkapnya...

HUKUM BOM BUNUH DIRI

Hukum Tentang Aksi-Aksi Bom Bunuh Diri
Senin, 19 Desember 2005 13:24:52 WIB

HUKUM TENTANG AKSI-AKSI BOM BUNUH DIRI


Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani




Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Sebagian jama'ah membenarkan adanya jihad perorangan dengan berdalil kepada perbuatan seorang sahabat yang bernama Abu Bashir, mereka melakukan bom syahid (saya katakan ; bom bunuh diri), bagaimana hukum perbuatan ini ?

Jawaban
Syaikh Al-Bani menjawabnya dengan sebuah pertanyaan.

Berapa lama tindakan ini mereka lakukan ..?
Penanya menjawab : "empat tahun".

Maka Syaikh Al-Abani berkata : "Mereka untung atau rugi?".
Penanya berkata : "rugi".

Syaikh Al-Bani berkata : "dari buahnya mereka dikenal"
[Silsilah Huda wan Nur kaset no. 527]

Penanya berkata : Berhubung dengan siasat perang modern, di dalamnya terdapat pasukan penyerang yang disebut komando, di sana terdapat pasukan musuh yang menyerang kaum muslimin, maka mereka membuat suatu kelompok bunuh diri (jibaku) meletakkan bom ke arah tank-tank musuh, sehingga banyak menewaskan mereka "apakah perbuatan ini dianggap bunuh diri ?"

Jawaban.
Ini tidak dianggap bunuh diri ; karena bunuh diri adalah jika seorang muslim membunuh dirinya untuk melepaskan diri dari kehidupan yang celaka. Adapun gambaran di atas yang engkau tanyakan, maka tidak dikatakan bunuh diri bahkan ini adalah jihad fi sabilillah, hanya saja di sana ada catatan yang harus diperhatikan, yaitu hendaknya perbuatan ini bukan sekedar ide pribadi, tetapi harus dengan perintah komandan pasukan, jika komandan pasukan merasa perlu dengan tindakan ini, dia memandang bahwa unsur kerugian yang ditimbulkan lebih sedikit daripada keuntungan yang didapatkan, yaitu memusnahkan jumlah besar dari pasukan musyrik dan kafir, maka pendapat komandan pasukan ini harus ditaati karena komando di tangannya, walaupun ada yang tidak suka maka tetap wajib.

Bunuh diri termasuk hal yang paling diharamkan dalam Islam, karena pelakunya tidaklah melakukannya kecuali karena marah kepada Rabbnya dan tidak ridho kepada ketentuan Allah Jalla Jalaluhu. Adapun yang tadi maka tidak termasuk bunuh diri, sebagaimana hal ini pernah dilakukan oleh para sahabat, seorang dari mereka menyerang sekelompok orang kafir dengan pedangnya, dia tebaskan pedangnya kepada mereka hingga kematian menjemputnya, dia sabar karena dia tahu bahwa tempat akhirnya adalah surga. Maka berbeda sekali antara orang yang membunuh dirinya dengan cara jihad bunuh diri ini dan antara orang yang mengakhiri hidupnya yang sempit dengan membunuh dirinya, atau melakukannya dengan ijtihad pribadinya, maka yang ini termasuk hal yang melemparkan dirinya kepada kebinasaan.

[Silsilah Huda wan Nur kaset no. 134]

Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman berkata : Sesudah menjelaskan keharaman aksi bom bunuh diri ini Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan mengatakan:

Kemudian kita datang kepada beberapa gambaran dari aksi-aksi bunuh diri, yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dengan tujuan memancing kemarahan musuh. Walaupun perbuatan ini tidak memajukan atau memundurkan, tetapi dengan banyaknya aksi-aksi ini bisa jadi akan melemahkan musuh atau membuat takut mereka. Aksi-aksi bunuh diri ini berbeda dari pelaku yang satu dengan pelaku yang lainnya. Kadang-kadang orang yang melakukan aksi bom bunuh diri ini terpengaruh oleh orang-orang yang membenarkan perbuatan ini, maka dia melakukannya dengan niat berperang, berjihad dan membela suatu keyakinan. Jika yang dibela benar, dan dia melakukannya dengan landasan pendapat orang yang membolehkannya maka bisa jadi dia tidak dikatakan bunuh diri ; karena dia berudzur dengan apa yang dia dengar.

[Koran Al-Furqon Kuwait, 28 Shafar, edisi 145, hal. 21 dengan perantaraan Salafiyyun wa Qadhiyatu Filisthin hal. 62]

Penutup
Pembahasan kita ini berhubungan dengan kejadian aksi bom bunuh diri di negeri-negeri Islam yang tertindas dan dijajah oleh orang-orang kafir seperti Palestina, Afghanistan, Irak dan yang lainnya. [Salafiyyun wa Qadhiyatu Filisthin oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman hal. 38]

Adapun aksi bom bunuh diri di negeri-negeri kaum muslimin maka hukumnya adalah haram, karena akan menyebabkan melayangnya jiwa-jiwa yang tidak berdosa dari kaum muslimin. Allah Jalla Jalaluhu mengancam siapa saja yang membunuh jiwa seorang mukmin dengan ancaman yang sangat keras.

"Artinya : Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya". [An-Nisa : 93]

Jika yang terbunuh adalah orang-orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari pemerintah muslim maka pelakunya mendapat ancaman dari sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

"Artinya : Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang mendapat jaminan keamanan maka dia tidak akan mencium bau surga, dan sesungguhnya bau surga didapati dari 40 tahun perjalanan". [Shahih Bukhari 6/2533. Lihat majalah Buhuts Islamiyyah yang diterbitkan oleh Haiah Kibar Ulama edisi 56 hal. 357-362]

Kami akhiri bahasan ini dengan Nasehat berharga dari Syaikh Al-Alamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani.

Jika seorang mujahid mengikhlaskan niat kepada Allah Jalla Jalaluhu semata, maka tidak diragukan lagi bahwa dia akan diberi pahala yang layak baginya sesuai dengan niatnya, tetapi aksi bom bunuh diri ini bukanlah jihad yang diperintahkan Allah Jalla Jalaluhu. Karena jihad harus dipersiapkan, sebagaimana dalam firman Allah Jalla Jalaluhu.

"Artinya : Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggetarkan musuh Allah dan musuh kalian". [Al-Anfal : 60]

Inilah jihad, yaitu diumumkan dan dipersiapkan, jihad inilah yang seorang muslim tidak diperkenankan ketinggalan. Adapun jihad yang berarti aksi perorangan -seperti bom bunuh diri-, .. maka itu bukanlah jhad..., karena inilah maka wajib atas kaum muslimin untuk kembali kepada agamanya, memahami syari'at Rabb mereka dengan pemahaman yang shahih, dan mengamalkan apa yang mereka fahami dari syari'at Allah Jalla Jalaluhu dan agamaNya dengan ikhlas dan benar, sehingga mereka bisa bersatu dibawah satu kalimat ; pada saat itulah orang-orang yang beriman bergembira dengna pertolongan Allah Tabaraka wa Ta'ala.

[Dari kaset Taharri Fil fatwa dengan perantaraan Salafiyyun wa Qadhiyatu Filisthin hal. 66-67]

Wallahu 'alam

[Disunting dari majalan Al-Furqon, edisi 3 Tahun IV, hal. 23-28, Judul BOM Syahid Atau Bunuh Diri, Penyusun Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, Penerbit Lajnah Dakwah Ma'had Al-Furqon, Ma'had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jawa Timur Selengkapnya...

TRAGEDI WTC

Tragedi Peledakan WTC 11 September 2001 Dan Pembajakan Pesawat
Senin, 1 Mei 2006 14:13:06 WIB

TRAGEDI PELEDAKAN WTC 11 SEPTEMBER 2001 DAN PEMBAJAKAN PESAWAT TERBANG


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Syaikh



Melihat banyaknya pertanyaan dan permintaan penjelasan yang datang kepada kami seputar kejadian yang terjadi di wilayah Amerika Serikat beberapa hari yang lalu, bagaimana tinjauan syariat tentang hal tersebut, dan apakah agama Islam membenarkan tindakan semacam ini ataukah tidak.

Maka saya katakan dengan meminta pertolongan kepada Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan, sesungguhnya Allah menganugrahkan kepada kita agama Islam dan menjadikannya suatu syari’at yang sempurna, universal, yang selalu membawa kebaikan untuk setiap tempat dan waktu, yaitu kebaikan untuk setiap individu maupun masyarakat, mengajak kepada kebaikan untuk setiap individu maupun masyarakat, mengajak kepada perbaikan, kebenaran, keadilan dan seluruh perbuatan yang baik serta menolak kesyirikan, kejahatan kedhaliman, penindasan dan penghianatan. Adalah karunia Allah yang sangat besar kepada kita adalah menjadikan kita sebagai orang Islam yang diberi petunjuk kepada agama ini, dan menjadikan kita sebagai pengikut dan penolongnya.

Maka seorang muslim yang berjalan di atas syari’at Allah dan mengikuti sunnah Rasul-Nya yang lurus dengan benar di atas agama ini maka dia adalah orang yang beruntung dan selamat di dunia maupun di akhirat. Adapaun tentang kejadian yang telah berlalu di wilayah Amerika Serikat adalah sebuah kejadian buruk yang menyebabkan terenggutnya beribu nyawa merupakan perbuatan yang tidak pernah dibenarkan syari’at Islam, bahkan bukan pula termasuk dari ajaran agama ini, serta tidak pula sesuai dengan pokok-pokok syaria’t, dan itu semua dilihat dari beberapa segi.

Pertama.
Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan berbuat adil dan dengan keadilan inilah Dia menegakkan langit dan bumi, mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” [An-Nahl : 90]

Dan juga firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya menusia dapat melaksanakan keadilan” [Al-Hadiid : 25]

Dan Allah menetapkan bahwa setiap jiwa yang berdosa tidak dibebani menanggung dosa yang lain karena keadilan-Nya Subhanahu wa Ta’ala yang semmpurna. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” [Faathir : 18]

Kedua
Sesungguhnya Allah mengharamkan kezhaliman bagi diri-Nya dan juga menjadikannya keharaman bagi hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam hadit qudsi.

“Artinya : Wahai hamba-Ku sungguh Aku telah mengharamkan kedhaliman terhadap diri-Ku dan menjadikannya keharaman di antara kalian, maka janganlah kalian saling berbuat dhalim” [HR Muslim]

Perintah ini bersifat umum bagi seluruh hamba Allah baik yang muslim mupun non muslim. Maka tidak diperbolehkan bagi salah satu di antara mereka untuk melakukan tindak kedhaliman atau penganiayaan terhadap sebagian yang lain walaupun hanya permusuhan dan kebencian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” [Al-Maidah : 8]

Permusuhan dan kebencian adalah tindakan yang tidak dibenarkan secara syari’at karena dapat menimbulkan perbuatan saling menyakiti dan mendhalimi.

Berdasarkan penjelasan di atas diwajibkan untuk seluruh bangsa dan negeri muslim atau non muslim untuk mengetahui beberapa hal.

[1]. Bahwasanya peristiwa yang telah terjadi di wilayah Amerika Serikat seperti pembajakan pesawat terbang, mengancam keamanan penduduk (teror) dan membunuh jiwa tanpa ada alasan yang benar tidak lain hanyalah tindak kedhaliman, penindasan dan penganiayaan yang sama sekali tidak pernah dibenarkan dalam syariat Islam, bahkan tindakan tersebut adalah haram serta termasuk dosa besar.

[2]. Hendaklah seorang muslim yang paham akan ajaran agamanya serta berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaknya menjauhkan dirinya dari keterjerumusan kepada perbuatan tersebut (peledakan dan lainnya), karena perbuatan tersebut dapat menyebabkan kemurkaan Allah dan mengakibatkan tersebarnya malapetaka dan kerusakan.

[3]. Wajib bagi ulama kaum muslimin untuk menjelaskan kebenaran tentang kejadian seperti ini (tragedi WTC) dan menjelaskan kepada orang yang berilmu yang mengamalkan syari’at Allah bahwa agama Islam sama sekali tidak membenarkan perbuatan tersebut.

[4]. Kepada seluruh media (baik cetak maupun elektronik) dan kepada siapa saja yang berperan dibelakangnya dalam melemparkan tudingan miring terhadap umat Islam dan berupaya menikam agama yang lurus ini dengan tufuhan keji yang bertujuan menyebarkan fitnah dan merobek-robek kehormatan Islam dan muslimin yang menyakitkan hati dan menyesakkan dada, untuk segera menghentikan kekeliruannya dan menyadari bahwa setiap orang adil dan berakal yang paham ajaran agama Islam tidak mungkin mensifati agamanya dengan sifat yang tercela serta tidak melemparkan tuduhan miring terhadap agama ini, karena sepanjang sejarah tidaklah diketahui umat-umat yang mengikuti dan berpegang teguh pada agama Islam ini kecuali mereka adalah orang-orang menjaga hak-hak sesama serta menjauhi permusuhan dan kedhaliman.

Demikianlah penjelasan seputar peristiwa (tragedi WTC) dalam upaya untuk menegakkan kebenaran dan menghilangkan segala bentuk keraguan. Akhirnya saya memohon kepada Allah supaya membimbing kita kejalan yang benar dan menunjukkan kita menuju jalan keselamatan, memuliakan agamaNya seta meninggikan kalimat-kalimatnya karena sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pemberi lagi Maha Pemurah, shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Nabi Muhammad beserta seluruh kerabat dan sahabatnya.

[Majalah Ad-Dakwah edisi 1810]

[Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 1/No. 6 1424H/2003M, Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Alamat Perpustakaan Bahasa Arab Ma’had Ali-Al-Irsyad, Jl Sultan Iskandar Muda Surabaya] Selengkapnya...

JIHAD-JIHAD YANG FARDHU 'AIN

Selasa, 14 September 2004 22:08:58 WIB

JIHAD-JIHAD YANG FARDHU 'AIN


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin






"Artinya : Dari 'Aisyah, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :Tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Mekkah, akan tetapi jihad dan niat, dan jika kalian diminta untuk pergi berjihad maka pergilah" [Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2783 kitab al-Jihad wa as-siyar dan Muslim No. 1864 kitab al-Imaarah]

Maknanya : Tidak ada hijrah dari Mekkah karena dia telah menjadi negeri Islam. [Keterangan dari Imam Nawawiy penulis kitab Riyadhush Shalihin -pent]

Permasalahan jihad yang hukumnya fardhu 'ain merupakan permasalahan besar yang belum banyak diketahui oleh kaum muslimin. Sehingga banyak para da'i berfatwa dan menyerukan jihad yang hukumnya (dianggap) fardhu 'ain terhadap setiap pribadi tanpa dasar kaidah yang jelas, dan terkadang dibuat dalam rangka mewujudkan keinginan-keinginan pribadi dan sekelompok orang tertentu saja. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, kami merasa perlu memuat suatu penjelasan singkat tentang hal tersebut dari seorang alim ulama yang telah dikenal ilmu dan kesholehannya, agar kita semua dapat beramal diatas ilmu, dan mudah-mudahan Allah memberi taufiq-Nya kepada kita untuk berjalan di jalan yang lurus.

Syarah Hadits.
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Mekkah dengan sabdanya : " Tidak ada hijrah".

Peniadaan ini bukan untuk keumumannya, maknanya hijrah tersebut tidak batal dengan penaklukan kota Mekkah, karena hijrah tersebut tidak akan hilang sampai hari kiamat sebagaimana telah ada dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Hijrah tidak terputus sampai taubat terputus, dan taubat tidak terputus sampai matahari terbit dari sebelah barat" [Dikeluarkan oleh Abu Dawud No. 2479 kitab Al-Jihad dan Ahmad dalam Musnadnya 4/99 dan dia ada di Shahihil Jami' No. 7469]

Akan tetapi yang dimaksud dengan tidak ada hijrah disini adalah tidak adanya hijrah dari Mekkah, sebagaimana dinyatakan oleh penulis (Imam Nawawi) diatas, karena setelah penaklukan kota Mekkah menjadi negeri Islam dan setelah itu tidak akan kembali menjadi negeri kafir, dengan dasar inilah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meniadakan hijrah setelah penaklukan Mekkah.

Mekkah dahulu di bawah kekuasaan kaum musyrikin, mereka telah mengusir Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam darinya, kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berhijrah dengan izin Rabbnya ke Madinah. Setelah delapan tahun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah, beliau kembali ke Mekkah dan menaklukannya sehingga kota Mekkah menjadi negeri iman dan Islam, dan dengan demikian tidak ada lagi hijrah dari sana.

Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa Mekkah tidak akan kembali menjadi negeri kafir, tetapi tetap menjadi negeri Islam sampai datang hari kiamat atau sampai waktu yang Allah Subhanahu wa Ta'ala kehendaki.

Kemudian sabda beliau : "Akan tetapi jihad dan niat"

Bermakna : perintah setelah ini adalah jihad, yaitu penduduk Makkah keluar dari Makkah untuk berjihad. Dan "waniyyatun" bermakna : Niat yang baik untuk berjihad di jalan Allah, yaitu dengan cara berniat adalah jihadnya untuk meningkatkan kalimat Allah.

Kemudian beliau bersabda : "Dan jika kalian diminta untuk pergi berjihad maka pergilah".

Bermakna : Jika waliyul amri (pemerintah) meminta kalian untuk pergi berjihad di jalan Allah, maka kalian wajib berangkat berjihad, dan hukum jihad pada saat itu adalah fardhu 'ain. Maka jangan seorangpun tidak memenuhinya, kecuali orang yang telah mendapat udzur Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan dalil firman-Nya.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu : 'Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah' kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu. Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu" [At-Taubah : 38-39]

Ini merupakan salah satu keadaan jihad yang diuhukumi fardhu a'in.

Keadaan kedua : Jika musuh mengepung satu Negara, bermakna musuh datang menyerang Negara tersebut dan mengepungnya, maka jihad diwaktu itu menjadi fardhu 'ain. Dalam keadaan seperti ini setiap orang wajib berperang, termasuk para wanita dan orang tua yang mampu berjihad. Karena ini merupakan jihad membela diri (jihad difa') dan perang membela diri ini berbeda dengan perang menyerang mush (jihad tholab), sehingga dalam keadaan seperti ini seluruh orang berangkat untuk membela Negara mereka.

Keadaan ketiga : Jika terjadi pertempuran, kedua belah pihak yang berperang saling berhadapan, barisan orang-orang kafir dengan barisan kaum muslimin, maka jihad pada waktu itu hukumnya fardhu 'ain dan tidak boleh seorangpun berpaling, sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya" [Al-Anfaal : 15-16]

Demikian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menggolongkan kabur dari medan pertempuran termasuk dosa besar yang tujuh.[1]

Keadaan keempat : Jika seseorang dibutuhkan, contoh : tidak ada yang mengetahui penggunaan senjata kecuali hanya satu orang saja, dan orang-orang membutuhkan orang tersebut untuk menggunakan senjata baru, maka wajib atasnya untuk berjihad walaupun imam (waliyul amri) tidak memintanya berangkat dan kewajiban itu ada lantaran dia dibutuhkan.

Maka dalam empat keadaan inilah jihad menjadi fardhu 'ain, dan yang selainnya adalah fardhu kifayah.

Ahlul Ilmi menyatakan bahwa wajib atas kaum muslimin untuk menjadikan sebagian dari mereka berjihad setiap tahun sekali[2], berjihad memerangi musuh-musuh Allah dalam rangka meninggikan kalimat Allah, bukan karena sekedar membela Negara. Karena membela negara, semata-mata sebagai satu negara, itu bisa dilakukan orang mukmin dan kafir. Orang-orang kafir-pun membela negara mereka. Akan tetapi seorang muslim hanya membela agama Allah, sehingga dia membela negaranya bukan karena sekedar sebagai satu negara akan tetapi karena dia adalah negara Islam, lalu dia membelanya dalam rangka menjaga Islam. Oleh karena itu wajib atas kita pada keadaan yang kita hadapi sekarang ini, untuk mengingatkan seluruh orang bahwa seruan untuk memerdekakan negara dan yang serupa dengannya adalah seruan yang tidak pas, dan wajib bagi kita untuk mendidik manusia dengan pendidikan agama. Dan hendaklah dikatakan : Kita membela agama kita sebelum yang lainnya, karena Negara kita adalah negara agama dan negara Islam yang membutuhkan perlindungan dan pembelaan, maka kita harus membelanya dengan niat tersebut.

Adapun membela dengan niat nasionalisme atau kesukuan maka ini terjadi pada orang mukmin dan kafir, dan perbuatan tersebut tidak bermanfaat bagi pelakunya pada hari kiamat, jika terbunuh dalam keadaan membela Negara dengan niat ini maka dia tidak mati syahid ; karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang seseorang yang berperang karena kebanggaan (gengsi) dan berperang karena keberanian saja dan berperang karena ingin memperlihatkan kehebatannya, mana yang dikatakan dijalan Allah lalu beliau berkata.

"Artinya : Siapa yang berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi maka dialah yang berada di jalan Allah" [Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2810 kitab al-Jihad wa as-Siyar dan Muslim No. 1904 kitab al-Imarah]

Perhatikan syarat ini !! Jika kamu berperang karena negara, maka kamu dan orang kafir sama, akan tetapi berperanglah karena ingin menegakkan kalimat Allah yang dilaksanakan di negara kamu, karena negara kamu adalah negara Islam, maka pada keadaan seperti ini mungkin perang tersebut dapat dikatakan perang di jalan Allah.

Telah shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.

"Artinya : Tidak ada luka yang terluka di jalan Allah dan Allah maha tahu siapa yang terluka di jalan Allah kecuali datang pada hari kiamat dalam keadaan lukanya mengeluarkan darah, warnanya warna darah tetapi wanginya wangi misk (minyak kasturi)" [Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2803 kitab al-Jihad dan Muslim No. 1876 (105) kitab al-Imaarah]

Perhatikan bagaiman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mensyaratkan mati syahid dengan berperang hanya dijalan Allah, maka wajib atas para penuntut ilmu menjelaskan permasalahan ini kepada umat.

Wallahul Muwaffiq


[Diterjemahkan oleh Abu al-Abbas Kholid bin Syamhudi dari syarah beliau terhadap kitab Riyadush Shalihin 1/24-28, majalah As-Sunnah edisi 12/Tahun V/1422H/2002M, hal. 9-11]
_________
Foote Note
[1]. Isyarat kepada hadits Abi Hurairah secara marfu' : "Artinya : Jauhilah tujuh dosa besar, mereka bertanya : Apakah itu wahai Rasulullaj ?. Beliau menjawab : Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali dengan kebenaran, memakan uang riba, memakan harta anak yatim dan kabur dari medan pertempuran serta menuduh kaum mukminat yang telah menikah yang lalai dengan zinah" [Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2766 kitab al-Washoya dan Muslim No. 89 kitab al-Iman]
[2]. Yakni suatu negara Islam wajib berjihad -paling sedikit sekali dalam satu tahun- memerangi musuh untuk meningkatka Selengkapnya...

JIHAD DALAM ISLAM

Jihad Dalam Islam
Selasa, 11 April 2006 14:33:30 WIB

JIHAD DALAM ISLAM


Oleh
Ibnul Qoyyim Rahimahullah



Jihad merupakan tulang punggung dan kubah Islam. Kedudukan orang-orang yang berjihad amatlah tinggi di surga, begitu juga di dunia. Mereka mulia di dunia dan di akhirat. Rasulullah adalah orang yang paling tinggi derajatnya dalam jihad. Beliau telah berjihad dalam segala bentuk dan macamnya. Beliau berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad, baik dengan hati, dakwah, keterangan (ilmu), pedang dan senjata. Semua waktu beliau hanya untuk berjihad dengan hati, lisan dan tangan beliau. Oleh karena itulah, beliau amat harum namanya (di sisi manusia-pent) dan paling mulia di sisi Allah.

Allah memerintahkan beliau untuk berjihad semenjak beliau diutus sebagai Nabi, Allah berfirman

"Dan andaikata Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul). Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Qur'an dengan jihad yang besar." [Al-Furqon : 51-52]

Surat ini termasuk surat Makiyah yang didalamnya terdapat perintah untuk berjihad melawan orang-orang kafir dengan hujjah dan keterangan serta menyampaikan Al-Qur'an. Demikian juga, jihad melawan orang-orang munafik dengan menyampaikan hujjah karena mereka sudah ada dibawah kekuasaan kaum muslimin, Allah ta'ala berfirman :

"Artinya : Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya." [At-Taubah : 73]

Jihad melawan orang-orang munafik (dengan hujjah-pent) lebih sulit daripada jihad melawan orang-orang kafir (dengan pedang-pent), karena (jihad dengan hujjah-pent) hanya bisa dilakukan orang-orang khusus saja yaitu para pewaris nabi (ulama). Yang bisa melaksanakannya dan yang membantu mereka adalah sekelompok kecil dari manusia. Meskipun demikian, mereka adalah orang-orang termulia di sisi Allah.[2]

Termasuk semulia-mulianya jihad adalah mengatakan kebenaran meski banyak orang yang menentang dengan keras seperti menyampaikan kebenaran kepada orang yang dikhawatirkan gangguannya. Oleh karena inilah, para Rasul -sholawatullahi 'alaihim wa salaamuhu- termasuk yang paling sempurna

Jihad melawan musuh-musuh Allah diluar (kaum muslimin) termasuk cabang dari jihadnya seorang hamba terhadap dirinya sendiri (hawa nafsu) di dalam ketaatan kepada Allah, sebagaimana yang disabdakan Nabi :

"Artinya : Mujahid adalah orang yang berjihad melawan dirinya dalam mentaati Allah dan Muhajir adalah orang yang berhijrah dari apa yang dilarang Allah" [Hadits Riwayat Ahmad dan sanadnya jayyid/baik]

Oleh sebab itu, jihad terhadap diri sendiri lebih didahulukan daripada jihad melawan orang-orang kafir dan hal tersebut merupakan pondasinya. Seorang hamba jika tidak berjihad terhadap dirinya sendiri dalam mentaati perintah Allah dan meninggalkan apa yang dilarang dengan ikhlas karena-Nya, maka bagaimana mungkin dia bisa berjihad melawan orang-orang kafir[3]. Bagaimana dia bisa melawan orang-orang kafir sedangkan musuh (hawa nafsu) nya yang berada disamping kiri dan kanannya masih menguasainya dan dia belum berjihad melawannya karena Allah. Tidak akan mungkin dia keluar berjihad melawan musuh (orang-orang kafir) sehingga dia mampu berjihad melawan hawa nafsunya untuk keluar berjihad.[4]

Kedua musuh itu adalah sasaran jihad seorang hamba. Tapi masih ada yang ketiga, yang dia tidak mungkin berjihad melawan keduanya kecuali setelah mengalahkan yang ketiga ini. Dia (musuh yang ketiga ini) selalu menghadang, menipu dan menggoda hamba agar tidak berjihad melawan hawa nafsunya. Dia senantiasa mengambarkan kepada seorang hamba bahwa berjihad melawan hawa nafsu amatlah berat dan harus meninggalkan kelezatan dan kenikmatan (dunia). Tidak mungkin dia berjihad melawan kedua musuhnya tadi kecuali terlebih dahulu berjihad melawannya. Oleh karenanya, jihad melawannya adalah pondasi dalam berjihad melawan keduanya. Musuh yang ketiga itu adalah setan, Allah ta'ala berfirman :

"Artinya : Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu)" [Faathir : 6]

Perintah untuk menjadikan setan sebagai musuh merupakan peringatan agar (seorang hamba) mengerahkan segala kekuatan dalam memeranginya, karena musuh tersebut tidak pernah lelah dan lemah untuk menyesatkan manusia sepanjang masa.

(Kemudian beliau berkata -pent) Jika hal diatas sudah dimengerti maka jihad terbagi menjadi empat tahapan [5]:

[1]. Jihad melawan diri sendiri (hawa nafsu), dan hal ini terbagi lagi menjadi empat tingkatan

a. Berjihad dalam menuntut ilmu agama yang tidak akan ada kebahagiaan di dunia dan di akhirat kecuali dengannya. Barangsiapa yang ketinggalan ilmu agama maka dia akan sengsara di dunia dan di akhirat.

b. Berjihad dalam mengamalkan ilmu yang dia pelajari, karena ilmu tanpa amal jika tidak memadharatkannya, minimal ilmunya tidak bermanfaat.

c. Berjihad dalam dakwah (menyeru manusia) kepada ilmu tersebut dan mengajarkannya kepada yang tidak tahu. Jika tidak, maka dia termasuk orang yang menyembunyikan ilmu yang telah diturunkan Allah dan tidak akan bermanfaat ilmunya serta dia tidak akan selamat dari adzab Allah.

d. Berjihad dalam bersabar menghadapi rintangan di jalan dakwah serta gangguan manusia karena Allah.

Jika seorang hamba telah menyempurnakan keempat tingkatan ini, maka dia tergolong Robbaaniyyiin (orang-orang Robbani). Para salaf dahulu telah sepakat bahwa seorang alim tidak bisa dikatakan Robbani hingga dia tahu kebenaran, lalu mengamalkan dan mengajarkannya. Barangsiapa yang mengetahui (kebenaran) lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya, maka dia akan tersanjung dikalangan para penghuni langit.

[2]. Jihad melawan setan, dan hal ini terbagi menjadi 2 bagian :

a. Berjihad dalam menolak syubhat (kerancuan) dan keraguan dalam keimanan
b. Berjihad dalam menolak bisikan syahwat Jihad yang pertama akan melahirkan keyakinan dan jihad yang kedua akan menghasilkan kesabaran Allah ta'ala berfirman :

"Artinya : Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami." [As-Sajdah : 24]

Allah ta'ala mengkabarkan bahwa kepemimpinan dalam agama dapat diperoleh hanya dengan kesabaran dan keyakinan. Kesabaran dapat menolak nafsu syahwat serta keinginan jelek sedangkan keyakinan bisa menolak keraguan serta kerancuan.

[3]. Jihad melawan orang-orang kafir dan munafik. Hal ini meliputi empat hal : jihad dengan hati, lisan, harta dan jiwa raga. Berjihad melawan orang-orang kafir lebih dikhususkan dengan tangan dan berjihad melawan orang-orang munafik lebih dikhususkan dengan lisan.

[4]. Jihad melawan orang-orang dzolim, ahli bid'ah, dan pembuat kemungkaran. Hal ini memiliki tiga tahapan. Dengan tangan bila mampu, jika tidak maka pindah dengan lisan dan jika tidak mampu juga maka dengan hati.
Inilah tiga belas tahapan dalam jihad dan (Barangsiapa yang mati dan tidak berjihad serta tidak pernah membisikkan dalam dirinya untuk berjihad maka dia mati dalam cabang kemunafikan) [6]

Dan tidak akan sempurna jihad melainkan dengan hijrah dan tidak ada hijrah serta jihad tanpa keimanan [7]. Orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah adalah orang-orang yang menjalankan ketiga hal tersebut, Allah ta'ala berfirman

"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [Al-Baqoroh : 218]

Sebagaimana keimanan adalah kewajiban bagi setiap orang, maka diwajibkan pula kepada mereka dua hijrah di setiap saat :

[1]. Berhijrah kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, ikhlas, bertobat, tawakkal, mengharap, dan cinta kepada-Nya.

[2]. Berhijrah kepada Rasul-Nya dengan mengikuti sunnah beliau, tunduk kepada perintah beliau, membenarkan kabar yang beliau sampaikan serta mendahulukan perintah beliau daripada perintah yang lainnya. Nabi bersabda yang artinya :

"Artinya : Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah kepada dunia atau perempuan yang hendak dinikahinya maka hijrohnya kepada apa yang dia niatkan".[8]

Perintah untuk jihad melawan hawa nafsu dalam mentaati Allah dan jihad melawan setan adalah fardhu ain yang tidak bisa diwakilkan kepada seorangpun. Adapun jihad melawan orang-orang kafir dan munafik adalah fardhu kifayah.

[Zaadul Ma’aad Fii Hadyi Khoiril Ibaad 3/5 – 11, Ibnul Qoyyim Rahimahullah]

[Disalin dari Majalah Adz-Dzakirah Al-Islamiyyah Edisi 17 ThIV/Dzulqa’dah 1426H/Desember 2005M. Penerjemah Abu Abdirrahman bin Thayyib As-Salafy Lc, Diterbitkan Oleh Ma’had Ali-Al-Irsyad Surabaya, Jl Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]
________
Foot Note
[1]. Kami terjemahkan dari kitab "Zaadul ma aad fii hadyi khoiril ibaad" 3/5-11 oleh Ibnul Qoyyim, tapi ada sebagian yang kami anggap tidak perlu diterjemahkan (hal 6-8) agar tidak terlalu panjang. Dan kami hadiahkan terjemahan ini kepada mereka yang selalu meneriakkan kata jihad dengan senjata (pengeboman), yang senantiasa mengajak umat untuk memberontak penguasa dengan nama jihad, yang menuduh para ulama Dakwah Salafiyah tidak berjihad dan menihilkan jihad. Insya Allah pada edisi berikutnya kita akan membahas tentang kaidah-kaidah dalam berjihad agar jihadnya seorang muslim didasari oleh ilmu bukan hawa nafsu maupun kejahilan yang diiringi semangat yang terlalu menggebu hingga lebih banyak merusak daripada membangun, seperti yang dikatakan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka dia banyak merusak daripada memperbaiki” (pent)
[2]. Dari keterangan Ibnul Qoyyim v ini, masihkah ada orang yang mencela dan mencaci maki para ulama, karena mereka belum pernah mengangkat pedang dan hanya bisa mengajarkan Al-Qur'an dan sunnah di masjid-masjid ??? Ataukah justru mereka akan menvonis bahwa Ibnul Qoyyim menihilkan jihad ? (pent)
[3]. Diantaranya dengan berjihad menuntut ilmu agama yang benar sesuai dengan pemahaman salafush sholeh serta menghilangkan kebodohan dalam dirinya terutama dalam masalah aqidah. (pent)
[4]. Adapun hadits yang berbunyi "Kita telah kembali dari jihad kecil kepada jihad besar" maka hadits ini tidak shohih. Lihat "Kasyful khofa "1/424. (pent)
[5]. Dari sini terlihat jelas kesalahan sebagian orang yang hanya menyempitkan arti jihad dengan jihad melawan orang-orang kafir dengan senjata. (pent)
[6].Hadits Riwayat .Muslim (1910).
[7]. Tidakkah mereka yang selalu mengembar-ngemborkan jihad melawan orang-orang kafir Yahudi maupun Nashoro memahami hal ini ? Mereka menyeru umat untuk berjihad siang dan malam sedangkan banyak dari umat Islam ini yang masih rusak aqidah dan keimanannya. Akankah mereka terus meneriakkan jihad di tengah kaum muslimin sedangkan kesyirikan, penyembahan terhadap wali-wali, sunan-sunan serta kyai-kyai yang telah meninggal di pelupuk mata mereka ??? Apakah mereka sengaja menutup mata ? Mengapa mereka tidak mau dan enggan untuk memulai dan menfokuskan dakwah mereka terlebih dahulu kepada dakwah Tauhid dan memberantas kesyirikan seperti yang dilakukan Rasulullah ? Apakah mereka menganggap metode yang mereka jalankan lebih baik dari metode dakwahnya Rasul dan para rasul-rasul lainnya ??? (pe Selengkapnya...

DEFENISI JIHAD DAN HUKUM JIHAD

Defenisi Jihad Dan Hukum Jihad
Selasa, 17 Juli 2007 07:09:54 WIB


DEFENISI JIHAD DAN HUKUM JIHAD

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Jihad adalah salah satu syi’ar Islam yang terpenting dan me-rupakan puncak keagungannya. Kedudukan jihad dalam agama sangat penting dan senantiasa tetap terjaga. Jihad fii sabiilillaah tetap ada sampai hari Kiamat.

Secara bahasa (etimologi) kata jihad diambil dari kalimat:

ÌóåóÏó: ÇáúÌóåúÏõ¡ ÇáúÌõåúÏõ = ÇáØøóÇÞóÉõ¡ ÇáúãóÔóÞøóÉõ¡ ÇáúæõÓúÚõ.

Yang berarti kekuatan usaha, susah payah dan kemampuan. [1]

Menurut ar-Raghib al-Ashfahani (wafat th. 425 H) rahimahullahu: ÇáúÌóåúÏõ berarti kesulitan dan ÇáúÌõåúÏõ berarti kemampuan. [2]

Adapun jihad diambil dari kata-kata: ÌöåóÇÏÇð - íõÌóÇåöÏõ -ÌóÇåóÏó

Menurut istilah syar’i (terminologi):

ÇóáúÌöåóÇÏõ: ãõÍóÇÑóÈóÉõ ÇáúßõÝøóÇÑö æóåõæó ÇáúãõÈóÇáóÛóÉõ æóÇÓúÊöÝúÑóÇÛõ ãóÇ Ýöí ÇáúæõÓúÚö æóÇáØøóÇÞóÉö ãöäú Þóæúáò Ãóæú ÝöÚúáò.

“Al-Jihad artinya memerangi orang kafir, yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh mencurahkan kekuatan dan kemampuan baik berupa perkataan atau perbuatan.” [3]

ÇóáúÌöåóÇÏõ æóÇáúãõÌóÇåóÏóÉõ: ÇÓúÊöÝúÑóÇÛõ ÇáúæõÓúÚö Ýöí ãõÏóÇÝóÚóÉö ÇáúÚóÏõæöø.

“Jihad artinya mencurahkan segala kemampuan untuk memerangi musuh.”

Jihad ada tiga macam:
1. Jihad melawan musuh yang nyata.
2. Jihad melawan syaithan.
3. Jihad melawan hawa nafsu.

Tiga macam jihad ini termaktub di dalam Al-Qur-an surat al-Hajj: 78, at-Taubah: 41, al-Anfaal: 72. [4]

Menurut al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqalani (yang terkenal dengan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany, wafat th. 852 H) rahimahullahu: “Jihad menurut syar’i adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir.” [5]

Istilah Jihad digunakan juga untuk melawan hawa nafsu, syaithan, dan orang-orang fasiq. Adapun melawan hawa nafsu yaitu dengan belajar agama Islam (belajar dengan benar), lalu mengamalkannya kemudian mengajarkannya. Adapun jihad melawan syaithan dengan menolak segala bentuk syubhat dan syahwat yang selalu dihiasi oleh syaithan. Jihad melawan orang kafir dengan tangan, harta, lisan, dan hati. Adapun jihad melawan orang-orang fasiq dengan tangan, lisan dan hati. [6]

Perkataan al-Hafizh Ibnu Hajar tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ÌóÇåöÏõæÇ ÇáúãõÔúÑößöíúäó ÈöÃóãúæóÇáößõãú æóÃóäúÝõÓößõãú æóÃóáúÓöäóÊößõãú.

“Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta, jiwa, dan lisan kalian.” [7]

Jihad menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu adalah: “Mencurahkan segenap kemampuan untuk mencapai apa yang dicintai Allah Azza wa Jalla dan menolak semua yang dibenci Allah.” [8] Kata beliau: “Bahwasanya jihad pada hakikatnya adalah mencapai (meraih) apa yang dicintai oleh Allah berupa iman dan amal shalih, dan menolak apa yang dibenci oleh Allah berupa kekufuran, kefasikan, dan maksiyat.” [9]

Definisi ini mencakup setiap macam jihad yang dilaksanakan oleh seorang Muslim, yaitu meliputi ketaatannya kepada Allah Azza wa Jalla dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhkan larangan-larangan-Nya. Kesungguhan mengajak (mendakwahkan) orang lain untuk melaksanakan ketaatan, yang dekat maupun jauh, muslim atau orang kafir dan bersungguh-sungguh memerangi orang-orang kafir dalam rangka menegakkan kalimat Allah dan selain itu. [10]

Jihad tidak dikatakan jihad yang sebenarnya melainkan apabila jihad itu ditujukan untuk mencari wajah Allah, menegakkan kalimat-Nya, mengibarkan panji kebenaran, menyingkirkan kebathilan dan menyerahkan segenap jiwa raga untuk mencari keridhaan Allah. Akan tetapi bila seseorang berjihad untuk mencari dunia, maka tidak dikatakan jihad yang sebenarnya.

Barangsiapa yang berperang untuk mendapatkan kedudukan, memperoleh harta rampasan, menunjukkan keberanian, mencari ketenaran (kehebatan), maka ia tidak akan mendapatkan ganjaran dan tidak akan mendapat pahala. [11]

Jihad dalam Islam merupakan seutama-utama amal. Allah memerintahkan jihad yang termaktub di dalam Al-Qur-an, yaitu pada surat al-Baqarah: 190, 193, 216, Ali ‘Imran: 142, an-Nisaa’: 95, at-Taubah: 73, al-Anfaal: 74, al-Hajj: 78, al-Furqaan: 52 dan ash-Shaaf: 11.

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata:

ÓóÃóáúÊõ ÇáäøóÈöíøó j: Ãóíøõ ÇáúÚóãóáö ÃóÍóÈøõ Åöáóì Çááåö¿ ÞóÇáó: ÇáÕøóáÇóÉõ Úóáóì æóÞúÊöåóÇ¡ ÞóÇáó: Ëõãøó Ãóíøñ¿ ÞóÇáó: ÈöÑøõ ÇáúæóÇáöÏóíúäö¡ ÞóÇáó: Ëõãøó Ãóíøñ¿ ÞóÇáó: ÇáúÌöåóÇÏõ Ýöíú ÓóÈöíúáö Çááåö.

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Amal apa yang paling utama?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Shalat pada waktunya.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Jihad fii sabiilil-laah.’” [12]

Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Amal apa saja yang paling utama?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Beriman kepada Allah dan berjihad fii sabiilillaah...” [13]

‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Sesungguhnya seutama-utama amal sesudah shalat adalah jihad fii sabilillaah.” [14]

Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang berperang karena mengharap ghani-mah (harta rampasan perang), ada yang lain berperang supaya disebut namanya, dan yang lain berperang supaya dapat dilihat kedudukannya, siapakah yang dimaksud berperang di jalan Allah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ãóäú ÞóÇÊóáó áöÊóßõæúäó ßóáöãóÉõ Çááåö åöíó ÇáúÚõáúíóÇ Ýóåõæó Ýöíú ÓóÈöíúáö Çááåö.

“Barangsiapa yang berperang supaya kalimat Allah tinggi, maka ia fii sabiilillaah (di jalan Allah).” [15]

HUKUM JIHAD
Hukum jihad adalah fardhu (wajib) dengan dasar firman Allah al-Qaahir:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci se-suatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah: 216]

Ayat ini merupakan penetapan kewajiban jihad dari Allah Azza wa Jalla bagi kaum Muslimin, agar mereka menghentikan kejahatan musuh dari wilayah Islam.

Muhammad bin Syihab az-Zuhri (wafat th. 124 H) rahimahullahu berkata: ‘Jihad itu wajib bagi setiap individu, baik yang dalam keadaan berperang maupun yang sedang duduk (tidak ikut berperang). Orang yang sedang duduk, apabila dimintai bantuan, maka ia harus memberikan bantuan, jika diminta untuk maju berperang, maka ia harus maju perang, dan jika tidak dibutuh-kan, maka hendaklah ia tetap di tempat (tidak ikut).’” [16]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada waktu Fat-hu Makkah (pembebasan kota Makkah):

áÇóåöÌúÑóÉó ÈóÚúÏó ÇáúÝóÊúÍö¡ æóáóßöäú ÌöåóÇÏñ æóäöíøóÉñ¡ æóÅöÐóÇ ÇÓúÊõäúÝöÑúÊõãú ÝóÇäúÝöÑõæúÇ.

“Tidak ada hijrah setelah Fat-hu Makkah (pembebasan kota Makkah), akan tetapi yang ada adalah jihad dan niat baik. Bila kalian diminta untuk maju perang, maka majulah!” [17]

Hukum jihad adalah fardhu kifayah [18] dengan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih serta penjelasan ulama Ahlus Sunnah antara lain dari Al-Qur’an surat an-Nisaa’: 95-96, at-Taubah: 122, al-Muzzamil: 20, dan beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.

Empat Imam Madzhab dan lainnya telah sepakat bahwa jihad fii sabiilillaah hukumnya adalah fardhu kifayah, apabila sebagian kaum Muslimin melaksanakannya, maka gugur (kewajiban) atas yang lainnya. Kalau tidak ada yang melaksanakan-nya maka berdosa semuanya. [19]

Para ulama menyebutkan bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain pada tiga kondisi:

Pertama: Apabila pasukan Muslimin dan kafirin (orang-orang kafir) bertemu dan sudah saling berhadapan di medan perang, maka tidak boleh seseorang mundur atau berbalik.

Kedua: Apabila musuh menyerang negeri Muslim yang aman dan mengepungnya, maka wajib bagi penduduk negeri untuk keluar memerangi musuh (dalam rangka mempertahankan tanah air), kecuali wanita dan anak-anak.

Ketiga: Apabila Imam meminta satu kaum atau menentukan beberapa orang untuk berangkat perang, maka wajib berangkat. Dalilnya adalah surat at-Taubah: 38-39. [20]

Jihad diwajibkan atas:
1. Setiap Muslim.
2. Baligh.
3. Berakal.
4. Merdeka.
5. Laki-laki.
6. Mempunyai kemampuan untuk berperang.
7. Mempunyai harta yang mencukupi baginya dan keluarganya selama kepergiannya dalam berjihad. [21]

Bagi kaum wanita tidak ada jihad, jihad mereka adalah haji dan ‘umrah. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ketika beliau bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

íóÇ ÑóÓõæúáó Çááåö¡ Úóáóì ÇáäöøÓóÇÁö ÌöåóÇÏñ ¿ ÞóÇáó: äóÚóãú¡ Úóáóíúåöäøó ÌöåóÇÏñ áÇó ÞöÊóÇáó Ýöíúåö: ÇáúÍóÌøõ æóÇáúÚõãúÑóÉõ.

“Wahai Rasulullah, apakah kaum wanita wajib berjihad? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Ya, kaum wanita wajib berjihad (meskipun) tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu (ibadah) haji dan ‘umrah.’” [22]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Pasal "Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Menegakkan Jihad Fii Sabiilillaah Bersama Ulil Amri". Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Foote Note
[1]. Lisaanul ‘Arab (II/395-396), Mu’jamul Wasiith (I/142).
[2]. Mufradaat Alfaazhil Qur-aan (hal. 208).
[3]. Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (I/319) Ibnul Atsir.
[4]. Mufradaat Alfaazhil Qur-aan (hal. 208) oleh al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani (wafat th. 425 H) t.
[5]. Fat-hul Baari (VI/3) oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
[6]. Ibid.
[7]. HR. Ahmad (III/124), an-Nasa-i (VI/7) dan al-Hakim (II/81) dari Sahabat Anas bin Malikz, dengan sanad yang shahih.
[8]. Majmuu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (X/192-193).
[9]. Ibid, (X/191).
[10]. Lihat al-Jihaad fii Sabiilillaah Haqiiqatuhu wa Ghaayatuhu (I/50) oleh Syaikh ‘Abdullah bin Ahmad Qadiry, cet. II/Darul Manarah-Jeddah, th. 1413 H.
[11]. Fiq-hus Sunnah oleh Sayyid Sabiq (III/40) dan al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz (hal. 481) oleh ‘Abdul ‘Azhim Badawi.
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 527) dan Muslim (no. 85 (137)) dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu
[13]. HR. Muslim (no. 84 (136)).
[14]. HR. Ahmad (II/32) sanadnya shahih. Lihat Musnad Ahmad (no. 4873) dan Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (III/477).
[15]. HR. Al-Bukhari (no. 2810, 3126), Muslim (no. 1904) dan Ahmad (IV/392, 397, 402, 405, 417) dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu 'ahu
[16]. Tafsir Ibnu Katsir (I/270).
[17]. HR. Al-Bukhari (no. 2783, 2825, 3077), Muslim (no. 1353), Abu Dawud (no. 2480), at-Tirmidzi (no. 1590), an-Nasa'i (VII/146) dan Ahmad (I/266) dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma, dan juga oleh Muslim (no. 1864) dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha.
[18]. Risaalatul Irsyaad ilaa Bayaanil Haqq fii Hukmil Jihaad (hal. 44-73) oleh Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi, cet. II/Daar Ulama' Salaf, th. 1414 H.
[19]. Lihat al-Jihad fii Sabiilillaah Haqiiqatuhu wa Ghaayatuhu (I/56) oleh Syaikh ‘Abdullah bin Ahmad Qadir.
[20]. Lihat Risaalatul Irsyaad ilaa Bayaanil Haqq fii Hukmil Jihaad (hal. 89-90) oleh Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi, Taudhiihul Ahkaam Syarah Bulughul Maram (VI/331-332) syarah ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman al-Bassam, cet. V/Maktabah al-Asadi, th. 1423 H.
[21]. Lihat al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz (hal. 487) oleh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. III/Daar Ibnu Rajab, th. 1421 H.
[22]. HR. Al-Bukhari (no. 1520), Ibnu Majah (no. 2901) dan Ahmad (VI/165), lafazh ini miliki Ibnu Majah. Selengkapnya...

Keutamaan Jihad, Tujuan Disyari'atkan Jihad, Tingkatan Jihad, Pembagian Jihad

Keutamaan Jihad, Tujuan Disyari'atkan Jihad, Tingkatan Jihad, Pembagian Jihad
Rabu, 18 Juli 2007 00:49:53 WIB

KEUTAMAAN JIHAD

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Keutamaan jihad sangat banyak sekali, di antaranya adalah:

1. Geraknya mujahid (orang yang berjihad di jalan Allah) di medan perang itu diberikan pahala oleh Allah. [1]
2. Jihad adalah perdagangan yang untung dan tidak pernah rugi. [2]
3. Jihad lebih utama daripada meramaikan Masjidil Haram dan memberikan minum kepada jama’ah haji. [3]
4. Jihad merupakan satu dari dua kebaikan (menang atau mati syahid). [4]
5. Jihad adalah jalan menuju Surga. [5]
6. Orang yang berjihad, meskipun dia sudah mati syahid namun ia tetap hidup dan diberikan rizki. [6]
7. Orang yang berjihad seperti orang yang berpuasa tidak berbuka dan melakukan shalat malam terus-menerus. [7]
8. Sesungguhnya Surga memiliki 100 tingkatan yang disediakan Allah untuk orang yang berjihad di jalan-Nya. Antara satu tingkat dengan yang lainnya berjarak seperti langit dan bumi. [8]
9. Surga di bawah naungan pedang. [9]
10. Orang yang mati syahid mempunyai 6 keutamaan: (1) diampunkan dosanya sejak tetesan darah yang pertama, (2) dapat melihat tempatnya di Surga, (3) akan dilindungi dari adzab kubur, (4) diberikan rasa aman dari ketakutan yang dahsyat pada hari Kiamat, (5) diberikan pakaian iman, dinikahkan dengan bidadari, (6) dapat memberikan syafa’at kepada 70 orang keluarganya. [10]
11. Orang yang pergi berjihad di jalan Allah itu lebih baik dari dunia dan seisinya. [11]
12. Orang yang mati syahid, ruhnya berada di qindil (lampu/ lentera) yang berada di Surga. [12]
13. Orang yang mati syahid diampunkan seluruh dosanya kecuali hutang. [13]

TUJUAN DISYARIA’TAKAN JIHAD
Jihad memerangi musuh Islam tujuannya agar agama Allah tegak di muka bumi, bukan sekedar membunuh mereka.
Allah al-‘Aziiz berfirman:

"Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah saja. Jika mereka ber-henti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim"[Al-Baqarah: 193]

Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat th. 310 H) rahimahullahu berkata: “Perangilah mereka sehingga tidak terjadi lagi kesyirikan kepada Allah, tidak ada penyembahan kepada berhala, kemusyrikan dan ilah-ilah lain, sehingga ibadah dan ketaatan hanya kepada Allah saja tidak kepada yang lain.” [14]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÃõãöÑúÊõ Ãóäú ÃõÞóÇÊöáó ÇáäøÇÓó ÍóÊøóì íóÔúåóÏõæúÇ Ãóäú áÇó Åöáóåó ÅöáÇøó Çááåõ ...

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah…” [15]

Abu ‘Abdillah al-Qurthubi (wafat th. 671 H) rahimahullah berkata: “Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa sebab ‘qital’ (perang) adalah kekufuran.” [16]

Syaikh as-Sa’di rahimahullahu berkata: “Maksud dan tujuan dari perang di jalan Allah bukanlah sekedar menumpahkan darah orang kafir dan mengambil harta mereka, akan tetapi tujuannya agar agama Islam ini tegak karena Allah di atas seluruh agama dan menghilangkan (mengenyahkan) semua bentuk kemusyrikan yang menghalangi tegaknya agama ini, dan itu yang dimaksud dengan ‘fitnah’ (syirik). Apabila fitnah (kemusyrikan) itu sudah hilang, tercapailah maksud tersebut, maka tidak ada lagi pembunuhan dan perang.” [17]

Jadi, jihad disyari’atkan agar agama Allah tegak di muka bumi. Karena itu sebelum dimulai peperangan diperintahkan untuk berdakwah kepada orang-orang kafir agar mereka masuk Islam. [18]

TINGKATAN JIHAD
Menurut Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahulahu jihad memiliki empat tingkatan, [19] yaitu:

Pertama: Jihaadun Nafs (Jihad melawan hawa nafsu).
Jihad ini ada empat tingkatan:

1. Berjihad untuk mempelajari ilmu dan petunjuk, yaitu mempelajari agama yang haq. Seseorang tidak akan dapat mencapai kejayaan, kebahagiaan di dunia dan akhirat melainkan dengan ilmu dan petunjuk. Apabila dia tidak mau mempelajari ilmu yang bermanfaat, maka dia akan celaka dunia dan akhirat.

2. Berjihad untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya. Bila hanya semata-mata berdasarkan ilmu saja tanpa amal, maka bisa jadi ilmu itu akan mencelakainya bahkan tidak bermanfaat baginya.

3. Berjihad untuk mendakwahkannya, mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya, maka apabila dakwah ini tidak dilakukannya maka hal ini termasuk menyembunyikan ilmu yang telah Allah turunkan baik berupa petunjuk maupun keterangan-keterangan. [20] Maka ilmunya tidak akan bermanfaat dan tidak pula dapat menyelamatkannya dari adzab Allah.

4. Berjihad untuk sabar terhadap kesulitan-kesulitan dalam berdakwah di jalan Allah dan juga sabar terhadap gangguan manusia. Dia menanggung kesulitan-kesulitan dakwah itu semata-mata karena Allah. Apabila terpenuhi keempat tingkatan tersebut maka ia akan termasuk sebagai orang yang Rabbani. Maka, para Salafush Shalih bersepakat bahwa seseorang tidak dapat disebut sebagai seorang yang Rabbani sampai ia dapat mengetahui kebenaran, mengamalkannya dan mengajarkannya. Oleh karena itu orang yang berilmu, mengamalkannya dan mengajarkannya, maka ia akan disanjung di sisi para Malaikat-Nya.

Kedua: Jihaadus Syaithaan (Jihad Melawan Syaithan)
Jihad jenis ini ada dua tingkatan:

1. Berjihad untuk membentengi diri dari serangan syubhat dan keraguan yang dapat merusak iman.
2. Berjihad untuk membentengi diri dari serangan keinginan-keinginan yang merusak dan syahwat.

Tingkatan Jihadusy Syaithan yang pertama akan ada sesudah adanya keyakinan dan pada tingkatan yang kedua akan ada sesudah adanya kesabaran.

Allah al-Haafizh berfirman:

"Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” [As-Sajdah: 24]

Allah mengabarkan bahwa kepemimpinan dalam agama hanya dapat diperoleh dengan sabar dan yakin. Sabar itu akan dapat menolak syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak. Sedangkan yakin akan dapat menolak dari keraguan dan syubhat.

Ketiga: Jihaadul Kuffaar wal Munaafiqiin
Pada jihad ini terdapat empat tingkatan:

1. Jihad dengan hati.
2. Jihad dengan lisan.
3. Jihad dengan harta.
4. Jihad dengan jiwa

Jihadul Kuffar (jihad melawan orang-orang kafir) lebih khusus (konteksnya dilakukan) dengan tangan (kekuatan), sedangkan Jihadul Munafiqin (jihad melawan orang-orang munafiq) lebih khusus (konteksnya dilakukan) dengan (kekuatan) lisan.

Allah Ta’ala berfirman:

“Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Neraka Jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” [At-Taubah: 73] [21]

Keempat: Jihaad Arbaabizh Zhulm wal Bida’ wal Munkaraat (Jihad Melawan Tokoh-Tokoh yang Zhalim, Pelaku Bid’ah dan Kemungkaran)

Pada jihad ini terdapat tiga tingkatan:

1. Dengan tangan apabila sanggup.
2. Apabila tidak sanggup maka dengan lisan.
3. Apabila tidak sanggup maka dengan hati.

Demikianlah tiga belas tingkatan dari jihad.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ãóäú ãóÇÊó æóáóãú íóÛúÒõ¡ æóáóãú íõÍóÏöøËú Èöåö äóÝúÓóåõ¡ ãóÇÊó Úóáóì ÔõÚúÈóÉò ãöäú äöÝóÇÞò.

“Barangsiapa meninggal dunia sedang ia tidak pernah ikut berperang dan ia juga tidak terbetik dalam benaknya untuk berperang, maka matinya termasuk dalam satu cabang kemunafikan.” [22]

Jihad harus dilaksanakan bersama ulil amri, baik ulil amri itu baik ataupun jahat.

PEMBAGIAN JIHAD
Jihad melawan orang-orang kafir dibagi menjadi 2 (dua):

Pertama: Jihadul Fat-h wath Thalab (jihad ofensif).
Jihad ini memerlukan terpenuhinya syarat-syarat syar’iyyah (syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syari’at Islam), sebagai berikut:
1. Adanya seorang imam (pemimpin).
2. Ada Daulah (negara).
3. Ada ar-Raayah (bendera jihad).

Kedua: Jihadud Difaa' (jihad defensif, pembelaan terhadap sebuah negeri Muslim).

Jihad ini hukumnya fardhu ‘ain atas seluruh penduduk negeri yang diserang oleh musuh (agresor). Jika penduduk negeri tersebut lemah, maka mereka harus dibantu oleh penduduk negeri tetangganya yang terdekat.

Jihad syar’i harus memiliki persiapan syar’i dan persiapan itu terbagi menjadi 2 (dua):

Pertama, persiapan pembinaan keimanan sehingga umat dapat menegakkan hakekat ibadah kepada Allah Rabb semesta alam, melatih jiwa mereka di atas Kitabullah, mensucikan hati mereka di atas Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga mereka dapat menolong agama Allah Jalla Jalaluhu dan syari’at-Nya.

Hal tersebut sesuai dengan firman-Nya:

"Dan sungguh Allah pasti menolong siapa saja yang menolong (agama)-Nya.” [Al-Hajj: 40]

Kedua, persiapan fisik, yakni mempersiapkan jumlah pasukan dan perlengkapannya untuk melawan musuh-musuh Allah dan memerangi mereka.
Allah Jalla Jalaluhu berfirman:

“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedangkan Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” [Al-Anfaal: 60]

Menghidupkan kewajiban jihad dengan segala ketentuan syari’atnya adalah wajib dengan memenuhi syarat-syaratnya.

Memberikan sifat kepada orang-orang yang menghidupkan jihad yang wajib -menurut ketentuan syari’at- dengan kata-kata terorisme adalah kesalahan yang besar, fitnah, tuduhan yang tidak benar dan kesalahan yang fatal serta kebodohan yang sangat.

Adapun melakukan kekacauan (anarki), menteror orang, melemparkan bom, bunuh diri dengan bom mobil, menakut-nakuti orang yang aman atau orang-orang yang dijaga keamanannya oleh negara, membunuh anak-anak, wanita dan orang tua dengan nama jihad dari agama ini adalah tidak benar, perbuatan ini menentang Allah ar-Rafiiq, Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Mukminin. Mereka telah keluar dari jalannya ulama yang pemahaman ilmunya sangat mendalam. [23]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Pasal "Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Menegakkan Jihad Fii Sabiilillaah Bersama Ulil Amri". Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Foote Note
[1]. Lihat at-Taubah:120-121.
[2]. Lihat ash-Shaaf: 10-13
[3]. Lihat at-Taubah: 19-21.
[4]. Lihat at-Taubah: 52.
[5]. Lihat Ali ‘Imran: 142.
[6]. Lihat Ali ‘Imran: 169-171.
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 2785), Muslim (no. 1878), at-Tirmidzi (no. 1619) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 2790) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 3024-3025) dari Sahabat ‘Abdullah bin Abi ‘Aufa Radhiyallahu ‘anhu
[10]. HR. At-Tirmidzi (no. 1663), Ibnu Majah (no. 2799) dan (Ahmad IV/131) dari Sahabat Miqdam bin Ma’di al-Kariba Radhiyallahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”
[11]. HR. Bukhari (no. 2792), Fat-hul Baari (VI/13-14) dari Sahabat Anas bin Malik.
[12]. HR. Muslim (no. 1887) dan Tirmidzi (no. 3011) dari Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu
[13]. HR. Muslim (no. 1886) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu at-Tirmi-dzi (no. 1640), dari Sahabat Anas Radhiyallahu ‘anhu, shahih.
[14]. Lihat Tafsiiruth Thabari (II/200).
[15]. HR. Al-Bukhari (no. 25) dan Muslim (no. 22) dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma
[16]. Lihat Tafsiir al-Qurthubi (II/236), cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyah.
[17]. Lihat Taisiirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hal. 89), Mu-assasah ar-Risalah, cet. I, th. 1420 H.
[18]. Muhimmatul Jihad oleh ‘Abdul Aziz bin Rais ar-Rais, th. 1424 H.
[19]. Lihat Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibaad (III/10-11), Muassasah ar-Risalah, cet. XXV/th. 1412H.
[20]. Lihat QS. Al-Baqarah: 159 dan 174.-Pent.
[21]. Lihat juga QS. At-Tahrim: 9
[22]. HR. Muslim (no. 1910), Abu Dawud (no. 2502), an-Nasa-i (VI/8), Ahmad (II/374), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[23]. Lihat Mujmal Masaailil Iman wal Kufri al-‘Ilmiyyah fii Ushulil Aqidah as-Salafiyyah point 8 tentang Jihad fii Sabilillaah (hal. 57-60). Selengkapnya...

Hakikat Jihad

Hakikat Jihad
Senin, 26 Mei 2008 13:45:41 WIB

HAKIKAT JIHAD


Oleh
Ustadz Abu Qatadah



Jihad merupakan puncak kekuatan dan kemuliaan Islam. Orang yang berjihad akan menempati kedudukan yang tinggi di surga, sebagaimana juga memiliki kedudukan yang tinggi di dunia

Secara umum, hakikat jihad mempunyai makna yang sangat luas. Yaitu, berjihad melawan hawa nafsu, berjihad melawan setan, dan berjihad melawan orang-orang fasik dari kalangan ahli bid’ah dan maksiat. Sedangkan menurut syara’ jihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang kafir. [Lihat Fathul Bari 6/77]

Sehingga dapat disimpulkan, jihad itu meliputi empat bagian :
Pertama : Jihad melawan hawa nafsu
Kedua : Jihad melawan setan
Ketiga : Berjihad melawan orang-orang fasik, pelaku kezhaliman, pelaku bid’ah dan pelaku kemungkaran.
Keempat : Jihad melawan orang-orang munafik dan kafir

Jihad melawan hawa nafsu, meliputi empat masalah :
Pertama : Berjihad melawan hawa nafsu dalam mencari dan mempelajari kebenaran agama yang haq.
Kedua : Berjihad melawan hawa nafsu dalam mengamalkan ilmu yang telah didapatkan.
Ketiga : Berjihad melawan hawa nafsu dalam mendakwahkan ilmu dan agama yang haq.
Keempat : Berjihad melawan hawa nafsu dengan bersabar dalam mencari ilmu, beramal dan dalam berdakwah.

Adapun berjihad melawan setan dapat dilakukan dengan dua cara :
Pertama : Berjihad melawan setan dengan menolak setiap apa yang dilancarkan setan yang berupa syubhat dan keraguan yang dapat mencederai keimanan
Kedua : Berjihad melawan setan dengan menolak setiap apa yang dilancarkan setan dan keinginan-keinginan hawa nafsu yang merusak.

Sedangkan berjihad melawan orang-orang fasik, pelaku kezhaliman, pelaku bid’ah dan pelaku kemungkaran, meliputi tiga tahapan. Yaitu dengan tangan apabila mampu. Jika tidak mampu, maka dengan lisan. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hati, yang setiap kaum muslimin wajib melakukannya. Yaitu dengan cara membenci mereka, tidak mencintai mereka, tidak duduk bersama mereka, tidak memberikan bantuan terhadap mereka, dan tidak memuji mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Tiga perkara ; barangsiapa yang pada dirinya terdapat tiga perkara ini, maka dia akan mendapatkan kelezatan iman ; Allah dan RasulNya lebih dicintai daripada yang lainnya, ia mencintai seseorang hanya karena Allah dan dia benci kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah darinya, sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam neraka” [HR Bukhari dan Muslim]

“Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, maka dia berarti telah sempurna imannya” [HR Abu Dawud]

“Barangsiapa membuat perkara yang baru atau mendukung pelaku bid’ah, maka dia terkena laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia” [HR Bukhari dan Muslim]

Berjihad melawan orang fasik dengan lisan merupakan hak orang-orang yang memiliki ilmu dan kalangan para ulama yaitu dengan cara menegakkan hujjah dan membantah hujjah mereka, serta menjelaskan kesesatan mereka, baik dengan tulisan ataupun dengan lisan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan : “Yang membantah ahli bid’ah adalah mujahid” [Lihat Al-Fatawa 4/13]

Syaikhul Islam juga mengatakan : “Apabila seorang mubtadi menyeru kepada aqidah yang menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah, atau menempuh manhaj yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, dan dikhawatirkan akan menyesatkan manusia, maka wajib untuk menjelaskan kesesatannya, sehingga orang-orang terjaga dari kesesatannya dan mereka mengetahui keadaannya” [Lihat Al-Fatawa 28/221]

Oleh karena itu, membantah ahli bid’ah dengan hujjah dan argumentasi, menjelaskan yang haq, serta menjelaskan bahaya aqidah ahli bid’ah, merupakan sesuatu yang wajib, untuk membersihkan ajaran Allah, agamaNya, manhajNya, syari’atNya. Dan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, menolak kejahatan dan kedustaan ahli bid’ah merupakan fardu kifayah. Karena seandainya Allah tidak membangkitkan orang yang membantah mereka, tentulah agama itu akan rusak. Ketahuilah, kerusakan yang ditimbulkan dari perbuatan mereka, lebih berbahaya daripada berkuasanya orang kafir. Karena kerusakan orang kafir dapat diketahui oleh setiap orang, sedangkan kerusakan pelaku bid’ah hanya diketahui oleh orang-orang alim.

Adapun berjihad melawan orang fasik dengan tangan, maka ini menjadi hak bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan atau Amirul Mukminin, yaitu dengan cara menegakkan hudud (hukuman) terhadap setiap orang yang melanggar hukum-hukum Allah dan RasulNya. Sebagaimana pernah dilakukan Abu Bakar dengan memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat, Ali bin Abi Thalib memerangi orang-orang Khawarij dan orang-orang Syi’ah Rafidhah.

Bagaimana dengan berjihad melawan orang-orang munafik dan kafir ? Al-Imam Ibnu Qayyim menyatakan, jihad memerangi orang kafir adalah fardhu ‘ain ; dia berjihad dengan hatinya, atau lisannya, atau dengan hartanya, atau dengan tangnnya ; maka setiap muslim berjihad dengan salah satu di antara jenis jihad ini. [Lihat Zadul Ma’ad 3/64]

Akan tetapi, berjihad memerangi orang kafir dengan tangan hukumnya fardhu kifayah, dan tidak menjadi fardhu ‘ain, kecuali jika terpenuhi salah satu dari empat syarat berikut ini :

Pertama : Apabila dia berada di medan pertempuran.
Kedua : Apabila negerinya diserang musuh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan ; “Apabila musuh telah masuk menyerang sebuah negara Islam, maka tidak diragukan lagi, wajib bagi kaum muslimin untuk mempertahankan negaranya dan setiap negara yang terdekat, kemudian yang dekat, karena negara-negara Islam adalah seperti satu negara” (Al-Ikhtiyarat : 311) Jihad ini dinamakan Jihad Difa’.
Ketiga : Apabila diperintah oleh Imam (Amirul Mukminin) untuk berperang.
Keempat : Apabila dibutuhkan, maka jihad menjadi wajib. [Lihat al-Mughni, Al-Majmu’, Zaadul Mustaqni]

Adapun disyariatkan jihad melawan orang kafir (dengan tangan), melalui tiga tahapan.

Pertama : Diizinkan bagi kaum muslimin untuk berperang dengan tanpa diwajibkan. Allah berfirman.

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu” [Al-Hajj : 39]

Kedua : Perintah untuk memerangi setiap orang kafir yang memerangi kaum mulimin. Allah berfirman.

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” [Al-Baqarah : 190]

Ketiga : Perintah untuk memerangi seluruh kaum musyrikin sehingga agama Allah tegak di muka bumi.

“Dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya ; dan ketahuiilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa” [At-Taubah : 36]

Tahapan yang ketiga ini tidak dimansukh, sehingga menjadi ketetapan wajibnya jihad sampai hari kiamat. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata : “Marhalah (tahapan) yang ketiga ini tidak dimansukh, tetap wajib sesuai dengan kondisi kaum muslimin” [Fadlu Al-Jihad Wal Mujahidin, 2 : 440]

Demikian secara singkat hakikat jihad berserta tahapan-tahapan perintah tersebut. semua ini harus dipahami oleh kaum muslimin, sehingga dalam menetapkan jihad, sesuai dengan keadaan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Wallahu a’lam

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016] Selengkapnya...

KAIDAH-KAIDAH DALAM BERJIHAD

Kaidah-Kaidah Dalam Berjihad
Jumat, 14 Juli 2006 00:35:59 WIB

KAIDAH-KAIDAH DALAM BERJIHAD


Oleh
Syaikh Prof. Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad




Ini adalah pembahasan yang sangat penting dalam masalah jihad, yaitu memahami bahwa jihad yang disyariatkan dalam Islam adalah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan syarat-syarat yang dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta atsar para Salafush Shalih. Tidak sempurna jihad dijalan Allah dan tidak akan termasuk amal shalih tanpa memperhatikan syarat-syarat tersebut.

Diantara kaidah-kaidah serta syarat-syarat jihad adalah sebagai berikut.

[1]. Jihad harus dilandasai oleh dua hal yang merupakan syarat diterimanya amal ibadah, yaitu ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima jihadnya seseorang hingga dia mengikhlaskan niatnya karena Allah dan mengharapkan keridhoanNya. Jika dia hanya mengharapkan dengan jihadnya tersebut keuntungan pribadi atau jabatan atau yang lainnya dari perkara-perkara dunia maka jihadnya ini tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula, Allah tidak akan menerima jihad seseorang apabila dia tidak mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berjihad. Seseorang yang ingin berjihad haruslah terlebih dahulu memahami bagaimana dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjihad kemudian dia mencontohnya.

[2]. Jihad tersebut harus sesuai dengan maksud dan tujuan disyariatkannya jihad yaitu untuk meninggikan kalimat Allah dan agar agama ini hanyalah milik Allah, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya : Wahai Rasulullah ! ada seseorang yang berperang karena keberaniannya, ada lagi karena fanatik (golongan), ada juga karena riya, mana diantara mereka yang termasuk berjihad di jalan Allah ? maka beliau menjawab : “Barangsiapa yang berperang di jalan Allah agar kalimat Allah tinggi maka dia di jalan Allah” [Hadits Riwayat Bukhari 7458 dan Muslim 1904]

[3]. Jihad haruslah diiringi dengan ilmu dan pemahaman agama yang baik, karena jihad termasuk semulia-mulianya ibadah dan ketaatan. Dan ibadah tidaklah sah tanpa ilmu dan pemahaman agama. Oleh karena itulah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata : “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka dia lebih banyak merusak daripada memperbaiki”. Disebutkan dalam atsar bahwa : “Ilmu adalah imam/pemimpin amal sedangkan amal itu adalah pengikutnya”. Hal ini sebenarnya sudah jelas, karena jika tujuan dan perbuatan tidak diiringi dengan ilmu, maka hal tersebut hanyalah kebodohan dan kesesatan serta mengekor kepada hawa nafsu. Maka harus diketahui hakekat jihad yang sebenarnya, tujuan jihad, macam-macam jihad dan tingkatan-tingkatannya, serta harus dipahami keadaan musuh yang hendak diperangi. [2]

[4]. Jihad hendaknya dilakukan dengan penuh rahmat/kasih sayang dan lemah lembut karena jihad tidaklah disyariatkan untuk menyiksa jiwa atau menyakiti orang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tidaklah kelemah lembutan ada pada sesuatu, melainkan dia akan memperindahnya, dan tidaklah kekerasan ada pada sesuatu melainkan dia akan merusaknya” [Hadits Riwayat Muslim]

Syaikhhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Syaitan selalu menginginkan dari manusia agar mereka berlebih-lebihan dalam semua perkara. Jika syaitah melihat orang tersebut condong kepada kasih sayang maka dia jadikan berlebih-lebihan dalam menyayangi, hingga tidak membenci apa yang dibenci Allah dan tidak cemburu. Tapi jika syaitan melihat orang itu condong kepada sikap kasar/keras, maka syaitan pun menjadikannya berlebih-lebihan hingga tidak berbuat ihsan/baik, lemah lembut dan kasih sayang sesuai dengan yang Allah perintahkan dan dia amat ekstrim dalam membenci dan mencela serta memberi sangsi…” [3]

[5]. Jihad haruslah dipenuhi dengan keadilan dan jauh dari kedzoliman. Ini adalah ketentuan yang penting dalam jihad di jalan Allah, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmannya.

“Artinya : Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas” [Al-Baqarah : 190]

Dan firmanNya.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, medorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [Al-Maidah : 8]

Dahulu, jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukannya, selalu mewasiati mereka untuk bertakwa dan beliau berkata : “Berjalanlah dengan menyebut nama Allah dan di jalan Allah, perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah. Janganlah mecincang (mayat) dan janganlah berbuat curang serta jangan membunuh anak kecil” [Hadits Riwayat Muslim 1731]

Para ulama telah menjelaskan bahwa orang yang tidak ikut berperang dari kaum wanita, anak-anak kecil, orang-orang tua, orang buta, orang-orang yang lemah/sakit, orang-orang gila, dan para pendeta/pastur serta biarawan/biarawati adalah golongan yang tidak layak dibunuh dalam medan jihad karena perang itu ditujukan kepada orang yang memerangi kita ketika kita menampakkan agama Allah. Siapapun dari golongan diatas yang tidak ikut serta memerangi kita maka kita pun tidak boleh memerangi mereka. Yang demikian itu karena Allah membolehkan untuk membunuh jiwa yang dengannya makhluk ini bisa baik, seperti yang Allah firmankan.

“Artinya : Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh” [Al-Baqarah : 217]

Maksudnya bahwa perang itu meskipun terdapat kejelekan dan kerusakan di dalamnya, tapi kerusakan dan fitnah kekafiran lebih dari itu semuanya. Barangsiapa yang tidak menghalangi kaum muslimin dari mendirikan agama Allah, maka bahaya kekafirannya hanya untuk dia sendiri. Oleh karena itulah para ulama berkata : “Para da’i yang menyeru kepad bid’ah yang menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah layak diberi sangsi, berlainan dengan yang diam (tidak menyeru kepada bid’ah). Semuanya ini termasuk kebaikan Islam dan seruan Islam untuk berbuat adil dan menjauhi segala bentuk penganiayaan dan kedzoliman” [4]

[6]. Jihad (tholab/menyerang ,-pent) haruslah bersama imam kaum muslimin atau dengan seizinnya baik pemimpin/imam tersebut orang yang baik ataupun fasik. Ini diantara kententuan yang paling penting yang harus ada dalam jihad fi sabilillah, karena jihad –khususnya jihad melawan musuh-musuh Allah dengan senjata- tidak bisa dilakukan melainkan dengan kekuatan dan kekuatan tidak bisa diperoleh melainkan dengan persatuan. Dan persatuan tidak dapat terwujud melainkan dengan kepemimpinan. Dan kepemimpinan tidak berjalan melainkan dengan adanya sikap mendengar serta taat (kepada pemimpin). Semua perkara ini saling berkaitan dan tidak sempurna sebagiannya melainkan dengan sebagian yang lain, bahkan tidak akan tegak agama dan dunia ini melainkan dengannya[5].

Ketentuan ini telah dijelaskan dalam sunnah serta ucapan para salaf. Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya imam/pemimpin itu adalah perisai yang (kaum muslimin) berperang dibelakangnya dan menjadikan sebagai tameng” [Hadits Riwayat Bukhari 2957 dan Muslim 1841]

Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi berkata dalam Aqidah Thohawiyahnya : “Haji dan jihad senantiasa dilaksanakan bersama ulim amri/pemimpin kaum muslimin yang baik maupun yang dzolim sampai hari kiamat…”.
Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata : “Barangsiapa yang mengatakan ; dibolehkan sholat dibelakang setiap imam yang baik maupun fasik dan dibolehkan jihad bersama para kholifah, serta dia tidak memberontak terhadap penguasa dengan mengangkat senjata dan dia mendo’akan kebaikan untuknya, maka sungguh di telah keluar dari ucapan kelompok Khowarij dari awal sampai akhir” [6]

[7]. Jihad di jalan Allah disesuaikan dengan keadaan kaum muslimin, sudah kuatkah atau masih lemah ? karena keadaan bisa berubah setiap waktu dan tempat. Jihad di jalan Allah disyariatkan dalam Islam dengan melalui beberapa tahapan ; Pada waktu di Mekkah belum disyariatlan jihad dengan mengangkat senjata, karena kaum muslimin pada saat itu masih minoritas dan lemah, akan tetapi disyariatkan jihad dengan hati dan lisan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar” [Al-Furqon : 52] ayat ini makkiyah (turun sebelum hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah, -pent)

Firman Allah : “Wajahidhum”. Ibnu Abbas mengatakan : “Dengan Al-Qur’an” seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah dan mulai mendirikan negara Islam diizinkan beliau untuk berperang secara mutlak melalui firmanNya.

“Artinya : telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka” [Al-Haj : 39]

Kemudian diwajibkan jihad kepada kaum muslimin serta diperintahkan untuk memerangi orang-orang yang memerangi mereka dan menahan diri dari orang-orang yang tidak mengganggu mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas” [Al-Baqarah : 190]

Setelah itu Allah menurunkan ayat yang memerintahkan untuk berjihad secara mutlak serta tidak menahan diri dari siapapun sampai mereka masuk kedalam agama Allah atau membayar jizyah, seperti yang termaktub dalam firmanNya.

“Artinya : Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan” [Al-Anfal : 39]

Para pakar ulama menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut tidak ada yang mansukh/dihapus (hukumnya,-pent) akan tetapi ayat-ayat tersebut berlaku sesuai dengan kondisi yang ada, maka hendaknya kaum muslimin disetiap waktu dan tempat untuk mengambil ayat-ayat tersebut sesuai dengan kemampuan mereka. Apabila mereka dalam keadaan lemah maka jihadnya sesuai dengan kemampuan mereka. Jika mereka lemah maka cukup dengan berdakwah secara lisan. Dan jika mereka telah memiliki sebagian kekuatan maka mereka (dibolehkan) memerangi orang-orang yang memerangi mereka atau yang dekat dengan mereka serta menahan diri dari yang tidak menganggu mereka. Dan apabila mereka telah amat kuat dan memiliki kekuasaan maka (dibolehkan) untuk memerangi semuanya sehingga manusia semuanya masuk Islam atau membayar jizyah. [7]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Barangsiapa diantara kaum muslimin dalam keadaan lemah di suatu tempat atau waktu, maka hendaknya dia mengamalkan ayat kesabaran dan memaafkan orang-orang yang menyakiti Allah dan RasulNya dari kalangan ahli kitab maupun orang-orang musyrikin”.[8]

Syaikh Abdurrohman As-Sa’di rahimahullah berkata : “Hendaknya mereka mengetahui bahwa Allah tidak membebani manusia melainkan sesuai kemampuan mereka dan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suri tuladan mereka. Dahulu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui dua keadaan dalam berdakwah dan berjihad. Beliau diperintah sesuai dengan keadaannya. Disaat kaum muslimin dalam keadaan lemah dan dikuasai musuh beliau diperintah untuk membela diri saja dan mencukupkan diri dengan berdakwah serta menahan diri dari jihad mengangkat senjata, karena hal tersebut lebih banyak madhorotnya. Dan disaat yang lain mereka diperintahkan untuk menolak kejahatan para musuh dengan segala kekuatan yang ada dan berdamai selama terdapat maslahat dalam perdamaian tersebut, serta memerangi orang orang-orang yang melampui batas jika maslahatnya lebih besar. Wajib bagi kaum muslimin untuk meneladani Nabi mereka dalam hal ini. Dan meneladani beliau adalah kemaslahatan dan kesuksesan” [9]

[8]. Jihad haruslah dapat mewujudkan kemaslahatan dan tidak mengakibatkan kemadhorotan yang lebih besar. Yang demikian itu karena Jihad dengan segala bentuknya disyariatkan untuk mewujudkan maslahat dan menolak madhorot dari Islam dan kaum muslimin baik perorangan maupun kelompok. Senantiasa jihad disyariatkan apabila diketahui dengan seyakin-yakinnya atau diperkirakan dengan seksama dapat mewujudkan tujuan tersebut. Tapi sebaliknya, jika diketahui dengan yakin atau diperkirakan dengan seksama hal tersebut lebih banyak mendatangkan madhorot, maka jihad pada saat itu tidak disyariatkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Seutama-utamanya jihad dan amal shalih adalah yang lebih mentaati Allah dan lebih bermanfaat bagi hamba Allah. Apabila jihad dapat memadhorotkannya serta menghalangi dari yang lebih bermanfaat maka tidak bisa dikatagorikan sebagai amal shalih” [10]

[9]. Kesimpulan : Pondasi dari kaidah-kaidah diatas adalah menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai tolak ukur dalam segala keadaan dan hal tersebut mencakup empat perkara : Aqidah yang benar, Niat yang ikhlas, Kejujuran dalam bertawakkal, dan Mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang mujahid yang tidak berpegang dengan aqidah yang benar maka ucapan dan perbuatannya tidak terlepas dari kerusakan dan penyimpangan, karena benarnya aqidah seseorang adalah pondasi bagi keselamatan ucapan dan perbuatan. Dan seorang mujahid yang tidak berpegang dengan niat ikhlas dalam ucapan dan perbuatannya maka jihadnya bukan karena wajah Allah atau untuk menegakkan kalimatNya bahkan hanya untuk memuaskan hawa nafsunya. Dan mujahid yang tidak jujur dalam bertawakkal kepada Allah maka dia tidak akan bisa istiqomah dalam berjihad di jalan Allah dan dalam memikul beban jihad, bahkan tekadnya bisa cepat lemah dan mudah pesimis dari pertolongan Allah. Dan seorang mujahid yang tidak mengikuti jejak Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka jihadnya tidak akan benar dan tidak jauh dari bid’ah dan penyimpangan. Bahkan jihadnya lebih condoh kepada pengrusakan terhadap dirinya dan selainnya dari pada perbaikan dan seruan kepada jalan Allah yang lurus.

[Diringkas dari kitab “Al-Quthuuful Jiyaad min Hikami wal Ahkaamil Jihaad” hal. 23-35 oleh Syaikh DR Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad, Alih bahasa Abdurrahman bin Thayib]

[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 18 Th IV Muharram 1427H/Peb-Maret 2006M. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Jl. Sultan Iskandar Muda 45 Surabaya]
_________
Foote Note
[1]. Pembahasan ini kami ringkaskan dari kitab “Al-Quthuuful Jiyaad min Hikami wal Ahkaamil Jihaad” hal. 23-35 oleh Syaikh DR Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad, Alih bahasa Abdurrahman bin Thayib.
[2]. Lihat Majmu fatawa oleh Syaikhul Islam rahimahullah 28/135-136
[3]. Majmu Fatawa oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah 28/35
[4]. Majmu Fatawa oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah 28/161 dan Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’aad 3/100, 105
[5]. Majmu Fatawa 28/390
[6]. Syarhus Sunnah hal. 57
[7]. Majmu Fatawa oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah 18/131,133,136-137
[8]. Ash-Shoorimul Maslul 2/413
[9]. Wujuubur Ta’awun Bainal Muslimin 5/190
[10]. Majmu Fatawa 22/300 Selengkapnya...