يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ﴾ [الحشر:18

Selasa, 31 Maret 2009

Mnggugat Demokrasi (Syuro' Vs Islam)

Menggugat Demokrasi - Apakah Demokrasi dan Pemilu Sama Dengan Musyawarah Dalam Islam?
3 Juni 08 oleh Abu Umar

Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Bagaimana hukum perkataan : “Demokrasi dan pemilu adalah sama dengan syura Islami ?”

Jawabnya :
Demi Allah, seandainya kami tidak mengkhawatirkan orang yang bodoh terpengaruh dengan kata-kata seperti ini niscaya kami tidak akan membantahnya.

Sebelum menjelaskan kesembronoan penyamaan ini, akan saya sebutkan untuk mereka dua hadits yang agung. Yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
Barangsiapa mengatakan : “Aku berlepas diri dari Islam.” Apabila dia berdusta maka dia sebagaimana apa yang dia katakan. Apabila dia sungguh-sungguh maka dia tidak akan kembali kepada Islam dengan selamat. (Riwayat An Nasa’i, Ibnu Majah dan Al Hakim dari Buraidah)

Dan sabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang jelas menjadikan dia tergelincir ke dalam neraka lebih jauh jaraknya daripada antara timur dan barat.” (Muttafaq ‘alaih dan Abu Hurairah)

Dalam kedua hadits ini terdapat nasihat bagi orang yang berbicara atas nama Allah tanpa ilmu, petunjuk dan landasan kitab yang terang.

Yang jelas, demokrasi dan pemilu tidak bertemu dengan musyawarah yang disyariatkan Allah. Tidak pada pokoknya, tidak pula pada cabangnya. Tidak pada keseluruhannya, tidak pula pada sebagiannya. Tidak pada maknanya, tidak pula pada bentuknya. Dalilnya adalah sebagai berikut :

Pertama,
Siapakah yang mensyariatkan “demokrasi” ? Jawab, orang-orang kafir.
Siapakah yang mensyariatkan musyawarah? Jawab, Allah.
Apakah boleh bagi makhluk untuk membuat syariat? Jawab, tidak boleh.
Apakah bisa diterima syariat yang dibuatnya? Jawab, tidak bisa.
Yang mensyariatkan demokrasi adalah makhluk dan yang mensyariatkan musyawarah adalah Allah. Rabb dan Pemilik musyawarah adalah Allah sementara Rabb dan pemilik demokrasi adalah orang-orang kafir dan pengikut hawa nafsu. Apakah kita mempunyai Rabb selain Allah?

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah?” (QS. Al An’am : 114)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
Katakanlah : “Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?” Katakanlah : “Sesungguhnya aku diperintah supaya aku menjadi orang yang pertama sekali menyerahkan diri (kepada Allah) dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Al An’am : 14)

Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
Katakanlah : “Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah padahal Dia adalah Rabb bagi segala sesuatu.” (QS. Al An’am : 164)

Maka ayat di atas adalah garis demarkasi yang nyata antara demokrasi dan pemilu di satu sisi dengan musyawarah Islami di sisi yang lain.

Kedua,
Musyawarah kubra dilakukan berkaitan dengan pengaturan umat. Para pelakunya adalah ahlul halli wal ‘aqdi dari kalangan ulama, orang-orang yang shalih dan ikhlas. Adapun demokrasi, para pelakunya adalah individu-individu yang suka berbuat kufur, jahat, dan orang-orang pandir dari kalangan lelaki maupun perempuan. Dan apabila bersama mereka terdapat Muslimin atau ulama, hal ini tidak lain hanyalah mempermainkan kaum Muslimin.

Bolehkah disamakan seorang Muslim yang beriman dan shalih yang telah dipilih Allah dengan penjahat yang telah dijauhkan dan dihinakan oleh Allah?

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang- orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS. Al Qalam : 25-26)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (QS. Al Jatsiyah : 21)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang- orang yang berbuat maksiat?” (QS. Shad : 28)

Ketiga,
Ahli musyawarah tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal. Tidak menganggap benar sesuatu yang batil dan tidak menganggap batil sesuatu yang benar. Berbeda dengan para penganut demokrasi. Mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Menganggap batil sesuatu yang hak dan membela kebatilan.

Ahli musyawarah akan memusyawarahkan segala sesuatu yang masih samar dari perkara-perkara yang hak dan berupaya merealisasikannya. Mereka sekedar mengikut dan mencontoh, tidak mendatangkan hukum-hukum yang menyelisihi hukum Allah. Adapun pengikut demokrasi, mereka suka membikin perkara-perkara baru, mengerjakan kebatilan, serta suka membuat peraturan dari selain Allah.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama.” (QS. Asy Syura : 21)

Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
Dan barangsiapa di antara mereka mengatakan : “Sesungguhnya aku adalah Rabb selain daripada Allah.” Maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim. (QS. Al Anbiya : 29)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Tak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain-Nya dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (QS. Al Kahfi : 26)

Keempat,
Musyawarah tidak dilakukan kecuali pada perkara-perkara yang langka. Adapun pada apa yang telah diputuskan Allah dan Rasul-Nya serta telah jelas hukumnya maka tidak ada musyawarah dalam masalah tersebut. Sedangkan demokrasi senantiasa bertentangan dengan hukum-hukum Allah.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maidah : 50)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah : 44)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim.” (QS. Al Maidah : 45)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maidah : 47)

Kelima,
Musyawarah tidak fardhu dan tidak wajib pada setiap saat. Akan tetapi hukumnya berbeda-beda sesuai dengan waktu dan keadaan. Kadang wajib kadang tidak wajib. Karena inilah maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melakukan musyawarah untuk bergerak pada sebagian peperangan dan tidak melakukannya pada waktu yang lain. Hal tersebut berbeda menurut perbedaan keadaan.

Sedangkan demokrasi adalah satu kemestian bagi para pengikutnya. Tidak diperkenankan bagi seorang pun untuk keluar daripadanya. Para penguasa dan pejabat harus selalu melaksanakannya dan menerapkannya pada rakyat mereka. Padahal barangsiapa mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah berarti dia telah memperbudak manusia.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam tempat tinggal bagi orang-orang kafir.” (QS. Al Kahfi : 102)

Keenam,
Demokrasi menolak syariat Islam, menganggapnya lemah dan tidak baik padahal syura menetapkan kekuatan Islam dan kelayakannya pada setiap zaman dan tempat.

Ketujuh,
Musyawarah ada bersamaan dengan kedatangan Islam. Adapun demokrasi tidaklah datang ke negeri kaum Muslimin kecuali pada dua abad terakhir ini –abad tiga belas dan empat belas hijriyah–. Apakah dengan demikian dapat dikatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah seorang yang berdemokrasi? Demikian pula para shahabat dan kaum Muslimin pada umumnya?

Kedelapan,
Demokrasi berarti “kekuasaan rakyat dari rakyat untuk rakyat”. Adapun syura berangkat dari musyawarah, di dalamnya tidak ada unsur pembuat hukum yang tidak ada asalnya dalam syariat. Yang ada hanyalah tolong menolong dalam memahami al haq, mengembalikan hal-hal yang masih tercecer kepada yang sudah terkumpul dan mengembalikan perkara-perkara yang baru kepada perkara-perkara yang sudah dikenal.

(Dinukil dari buku: Menggugat Demokrasi dan Pemilu. Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: www.assunnah.cjb.net Selengkapnya...

Menggugat Demokrasi (ADOPSI KUFAR)

Menggugat Demokrasi - Mendekatkan Ajaran Islam Dengan Demokrasi
3 Juni 08 oleh Abu Umar

Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Persoalan lainnya adalah mungkinkah mendekatkan ajaran Islam dan demokrasi?
Jawabnya : Tidak! Sebabnya adalah beberapa hal berikut :

1. Bahwa yang berhak membikin syariat (peraturan) dalam Islam hanyalah Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (QS. Al Kahfi : 26)

“Sesungguhnya hukum hanya milik Allah saja.” (QS. Yusuf : 40)

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah Rabb semesta alam.” (QS. Al A’raf : 54)
Yang dimaksud dengan al amru adalah al hukmu.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Bahkan milik Allah-lah al amru seluruhnya.” (QS. Ar Ra’d : 31)

Dan Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membuat syariat atas dasar perintah Allah bukan karena kemauan beliau sendiri.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” (QS. Al Haqqah : 44-46)

Allah memberitakan tentang perihal beliau dalam surat Al An’am (ayat ke-60) dan Al Ahqaf (ayat ke-9) :
“Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.”

Allah berfirman kepada beliau :
Katakanlah : “Aku hanya memperingatkan kalian dengan wahyu.” (QS. Al Anbiya : 45)

Allah juga berfirman membersihkan Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat yang mempunyai akal yang cerdas.” (QS. An Najm : 3-6)

Allah berfirman kepada Nabi-Nya :
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl : 44)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya.” (QS. An Nisa’ : 59)

Dan Dia Azza wa Jalla menjadikan taat kepada Rasul-Nya sebagai bentuk taat kepada-Nya. Allah berfirman :
“Barangsiapa yang menaati Rasul sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An Nisa’ : 80)

Bahkan Allah menjadikan seorang Muslim tidak mendapatkan petunjuk sampai dia taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dia berfirman :
“Jika kalian taat kepadanya maka kalian akan mendapatkan petunjuk.” (QS. An Nur : 54)

Dan Allah menjelaskan bahwa kerugian yang paling besar yang menimpa seorang hamba pada hari kiamat adalah ketidaktaatannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya seraya berkata : “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku.” (QS. Al Furqan : 27-29)

Adapun di dalam demokrasi yang membikin peraturan adalah makhluk yang bodoh - -setinggi apapun tingkatan ilmunya–. Karena seandainya dia mengetahui sesuatu tentu masih banyak hal lain yang tidak dia ketahui.

2. Tidak boleh mengadakan pendekatan antara Islam dan demokrasi walau pada sebagian unsurnya saja. Sebab Islam adalah ajaran yang universal dan sempurna bagi segala problem kehidupan.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa’ : 65)

Apabila keimanan kita tidak sempurna kecuali dengan menjadikan Rasul kita Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebagai hakim maka hal ini menunjukkan bahwa setiap Muslim dituntut untuk menerima kebenaran pada setiap permasalahan.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman :
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. An Nisa’ : 59)

Firman Allah Azza wa Jalla mencakup segala masalah yang terjadi perselisihan di dalamnya. Karena kata tersebut adalah nakirah dalam konteks kalimat syarat. Dan firman Allah Azza wa Jalla :
“ … jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Adalah dalil bahwa barangsiapa tidak mengembalikan perkara dan perselisihannya kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam maka pengakuan keimanannya adalah dusta.

3. Seandainya kita mengadakan pendekatan dengan mereka maka kita tidak akan selamat dari azab Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang- orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikit pun dari (siksa) Allah.” (QS. Al Jatsiyah : 18-19)

Mereka tidak bisa menghindarkan kita dari kemurkaan Allah, kehinaan di hadapan- Nya dan azab yang jelek di dunia dan akhirat.
Apabila kita ditimpa kemurkaan Allah karena taat kepada mereka maka keselamatan dan kebaikan yang sebenarnya adalah dengan mencari keridhaan Rabb kita. Sebab, taat kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Allah hanya akan membuahkan kehinaan dan kerendahan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain Allah kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS. Hud : 113)
Kalau cenderung saja kepada mereka menyebabkan disentuh api neraka lalu bagaimana pendapat Anda dengan orang yang menerima sesuatu dari hukum- hukum mereka?

4. Apabila kita menaati mereka dalam sebagian perkara dan menolak untuk menaati mereka secara total niscaya mereka tidak akan ridha kepada kita. Mereka tidak akan berhenti melancarkan gangguan-gangguan terhadap kita selamanya sampai kita mau menerima agama mereka secara total dan meninggalkan agama kita secara total pula. Allah berfirman :
Orang-orang yahudi dan nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS. Al Baqarah : 120)

Dan inilah yang menjadikan sebagian kaum Muslimin –terutama para penguasa– menerima aturan-aturan yahudi dan nashara. Mereka berkata : “Kami akan menaati mereka pada sebagian perkara saja.”

Padahal Allah telah berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia :
Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang yahudi) : “Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan.” Sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridhaan-Nya, sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka. (QS. Muhammad : 25-28)

5. Sebagaimana tidak dibolehkan menerima kekufuran dan kesyirikan demikian pula tidak diizinkan menerima demokrasi. Karena ia adalah kufur, syirik, dan jahat! Bagaimana bisa seorang Muslim melahirkan satu sikap yang kontradiktif?
Karena inilah Imam Syafi’i rahimahullah berkata :
“Jika kalian melihat aku menolak hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam maka persaksikanlah bahwa akalku telah hilang!”
Orang yang menerima kampanye taqrib (pendekatan) antara Islam dan demokrasi tidaklah memiliki akal yang sehat.

6. Kita sangat berbeda dengan penganut demokrasi dari kalangan yahudi dan nashara serta agama-agama kafir lainnya. Karena mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Berbeda dengan kaum Muslimin. Mereka hidup di negeri Islam. Di hadapan mereka ada Al Quran dan As Sunnah serta para ulama dan da’i-da’i ilallah yang ikhlas dan selalu memberi nasihat. Tidak ada alasan bagi mereka untuk berjalan di belakang demokrasi.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Katakanlah : “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.” (QS. Al Isra : 107)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir padahal ayat- ayat Allah dibacakan kepada kamu dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran : 100-101)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang yang kafir itu niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran) lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. Tetapi (ikutilah Allah), Allahlah Pelindungmu dan Dia- lah sebaik-baik Penolong.” (QS. Ali Imran : 149-150)

Yang menjadi dalil dari ayat ini adalah :
“Bahkan Allahlah Pelindungmu dan Dia-lah sebaik-baik Penolong.” (QS. Ali Imran : 150)

7. Sebaliknya, kita juga harus konsisten di atas Islam sebagaimana mereka juga konsisten di atas kekufuran dan kebatilan.

Apabila mereka terus-menerus di atas kekufuran dan kebatilan, mengapa kita tidak mau terus-menerus berada di atas kebenaran padahal kebenaran tersebut ada pada kita?

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Jika kamu menderita kesakitan maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula) sebagaimana kamu menderitanya sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (QS. An Nisa’ : 104)

Allah bersama kita, menjaga, menolong, membela, melindungi dan memuliakan kita di dunia dan akhirat. Surga adalah balasan bagi orang Mukmin dan neraka adalah balasan bagi orang kafir. Kalau tidak ada yang diperoleh dari Islam kecuali keselamatan dari azab kubur, azab hari kiamat, azab neraka dan masuk ke dalam Surga-Nya apakah akan ridha seorang Muslim dengan “jual beli” yang merugikan? Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan.

Seorang Mukmin apabila seluruh penduduk bumi kufur niscaya tetap tidak akan ragu terhadap kebenaran selamanya apalagi meninggalkannya.

8. Kita diperintah untuk menyeru seluruh manusia termasuk di dalamnya orang- orang yahudi dan nasrani agar masuk ke dalam agama Islam.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
Katakanlah : “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Ali Imran : 64)

Apabila kita dituntut untuk mengajak mereka kepada Islam supaya mereka meninggalkan kesyirikan dan kekufuran, bagaimana bisa diperbolehkan bagi seorang Muslim –baik penguasa ataupun rakyat, pimpinan ataupun bawahan– beralih dari kedudukannya sebagai “pengajak” menjadi “orang yang diajak” dan menerima kejelekan serta kebatilan yang mereka bawa? Ini adalah kekeliruan yang keji dan kesesatan yang nyata.

9. Apabila kita meyakini keabsahan demokrasi niscaya tidak akan tertanam keimanan kita kepada Allah. Karena tidak sah keimanan kita sampai kita kufur terhadapnya (sistem demokrasi).

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS. Al Baqarah : 256)

Allah menjadikan kufur kepada thaghut sebagai syarat sah keimanan.
Di sini ada persoalan penting yaitu mengapa Allah mendahulukan perintah kufur kepada thaghut?
Jawabnya :
Bahwa adanya “syarat” tidak mengharuskan adanya “masyruth” (sesuatu yang disyaratkan) dalam kondisi apapun. Kalau “syarat” tidak ada maka hal itu menunjukkan tidak adanya masyruth. Rabb kita Azza wa Jalla telah menjadikan kufur terhadap thaghut sebagai syarat sahnya iman. Apabila syarat ini hilang maka batallah manfaat keimanan. Syarat di sini adalah sesuatu yang mengharuskan adanya sesuatu yang disyaratkan. Maka keduanya –yakni mengkufuri thaghut dan iman kepada Allah– adalah sesuatu yang mengharuskan dan yang diharuskan.

Allah Azza wa Jalla berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia :
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) : “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.” (QS. An Nahl : 36)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu.” (QS. An Nisa’ : 60)

Tidak diragukan lagi bahwa demokrasi adalah thaghut terbesar. Tukang sihir adalah thaghut. Orang yang menyelisihi hukum Allah yang qath’i (pasti ketentuan hukumnya, ed.) dalam satu atau dua masalah adalah thaghut. Lalu apa pendapat Anda terhadap demokrasi yang pada hakikatnya dianggap oleh para pengikutnya sebagai “sesembahan” ? Demokrasi itulah yang dipandang berhak menetapkan segala peraturan dan melawan hukum-hukum Allah Azza wa Jalla ?

Andai mengeraskan suara di sisi perkataan Allah dan Rasul-Nya bisa menyebabkan terhapusnya amal shalih dari diri seorang Muslim sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
“Janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. Al Hujurat : 2)

Maka bagaimana pendapat Anda terhadap orang yang di samping mengeraskan suara juga menolak hukum Allah dan Rasul-Nya? Bagaimana pendapat Anda terhadap orang yang berpaling, melecehkan hukum Allah dan Rasul, bersikap sombong bahkan memusuhi dengan segala harta dan jabatan yang ia miliki? Bukankah orang ini lebih pantas untuk dihapus iman dan amal shalihya?

10. Anggap saja kaum Muslimin –karena terpesona retorika para propagandis demokrasi– menerima paham dan ajaran demokrasi tersebut. Lantas siapa yang akan menjamin keberadaan dan keberlangsungan paham ini?

Sebagaimana paham-paham lain yang muncul lebih dulu dari masa ke masa, paham demokrasi pun telah tersebar dan tersiar. Orang menyangka paham ini tidak mungkin digoyahkan. Namun ternyata kerusakannya begitu cepat dan nyata di hadapan manusia sehingga dengan serta merta mereka pun meninggalkan paham tersebut.

Tidak usah jauh-jauh! Ambil contoh kasus paham sosialisme yang memiliki hakikat kekufuran yang sama dengan demokrasi. Adakah kaum sosialis era ‘60-an dan ‘70- an yang mengira bahwa pada akhirnya paham ini akan hancur lebur dan musnah?

Dahulu sebagian orang ada yang berkata : “Umat manusia hanya bisa diselamatkan oleh sosialisme!”
Saksikanlah! Sosialisme kini telah lenyap! Dan orang yang pertama kali mengingkarinya adalah para penggagasnya sendiri!
Kenapa ajaran tersebut gagal?
Jawaban yang paling gampang adalah karena sosialisme itu buatan manusia! Demikian pula demokrasi juga buatan manusia yang tidak memiliki hak memerintah sedikitpun. Karena sesungguhnya yang mengatur kehidupan adalah Allah sebagaimana yang Dia kehendaki.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al Buruj : 16)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
Katakanlah : “Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran : 26)

Bolehkah bagi kita menolak apa yang datang dari Allah untuk menerima pendapat ahli filsafat dan penyembah berhala?

Bolehkah kita menolak syariat Allah padahal syariat-Nya adalah syariat yang sempurna dan universal dari masa ke masa serta senantiasa relevan untuk setiap waktu dan tempat?

Sesungguhnya sejak diutusnya Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam lebih dari 1400 tahun yang lalu, syariat ini tidak pernah berkurang satu huruf pun dan akan terus terjaga. Syariat Allah akan kekal dengan izin-Nya sampai hari kiamat!

Dapatkah dibenarkan kita berjalan beriringan bersama mereka padahal para pemikir mereka mengatakan : “Sesungguhnya tidak ada cara untuk mengatasi krisis ini kecuali dengan berpegang teguh kepada Islam.”

Doktor Imaduddin Khalil di dalam bukunya, Qalu anil Islam menyebutkan lebih dari dua puluh pemikir barat yang mengatakan : “Tidak ada agama yang mampu mengatasi seluruh problematika manusia di dunia sekarang ini selain Islam. Inilah keistimewaan Islam.” Seluruh perkataan mereka berkisar pada makna ini.
Di dalam buku tersebut dia juga menyebutkan banyak perkataan yang menjelaskan tentang keagungan Al Quran dan keagungan Nabi Dan kebenaran adalah sebagaimana dipersaksikan oleh musuh.

Islam adalah kebenaran tidak diragukan lagi, baik musuh-musuh mengakuinya atau tidak. Namun kebenaran tersebut akan semakin kokoh tertanam di relung hati kebanyakan manusia ketika musuh mereka ikut mengakuinya.

Allah telah berfirman :
“Kebanyakan orang-orang ahli kitab menghendaki seandainya mereka dapat mengembalikan kalian (wahai orang-orang beriman) kepada kekufuran disebabkan kedengkian yang ada pada diri-diri mereka setelah jelas kebenaran itu bagi mereka.” (QS. Al Baqarah : 109)

Apakah yang menghalangi mereka untuk beriman?
Jawabnya adalah :
Kedengkian yang tersembunyi di dalam jiwa-jiwa mereka. Allah telah memberi keutamaan kepada umat ini dengan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan dengan sesuatu yang tidak diberikan kepada umat yang lain. Karena itulah mereka dengki kepada kita.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Rabbmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian) dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Baqarah : 105)

Dengan sebab kebaikan yang dikhususkan Allah kepada kita maka pecahlah hati orang-orang yahudi dan nashara karena dengki. Kedengkian tersebut mendorong mereka untuk merencanakan makar demi makar kepada kita. Pikiran mereka tidak akan tenang kecuali apabila mereka bernafas dengan sesuatu dari kedengkian ini. Ia adalah penyakit kronis yang muncul ketika semakin besar kenikmatan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang dipilih untuk menaati-Nya dan membela agama-Nya.
Yahudi, nasrani dan lainnya akan terus menggembar-gemborkan demokrasi dan pemilu. Bagi mereka hal itu sudah merupakan suatu keharusan sebagai bagian dari “agama” mereka. Barangsiapa yang menganut kekufuran niscaya dia akan menyebarkannya. Inilah firman Allah tentang para pengusung demokrasi dari kalangan yahudi, nashara dan yang semisal dengan mereka.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu sedang kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 42)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Hai ahli kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahui?” (QS. Ali Imran : 71)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan : “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah.” Padahal ia bukan dan sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui. (QS. Ali Imran : 78)
Inilah karakter yahudi! Mereka sangat lihai menelusupkan kerancuan dan keresahan di barisan kaum Muslimin. Lihatlah apa yang terjadi akibat kerancuan-kerancuan ini di tubuh umat Islam sekarang!

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya yahudi dan nasranilah yang merupakan biang kerok dari segala fitnah yang merusak barisan kaum Muslimin. Akan tetapi anehnya, justru ada sebagian kaum Muslimin sendiri yang turut serta menanamkan kerancuan kepada sesamanya. Mereka menjadikan demokrasi dan pemilu sebagai masalah yang harus ditanggapi secara positif atau minimalnya disikapi secara netral.

Bahwa demokrasi merupakan salah satu dari kemajuan zaman dan bahwa ia mengajak kepada kebebasan, persaudaraan, dan persamaan telah kami jelaskan sedikit dari kata-kata ini pada pasal yang lalu.

Tidak boleh bagi seorang Muslim untuk menyerupai orang-orang yahudi dan nasrani dalam mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil. Tidaklah Allah mencabut kenikmatan syariat dari ahlul kitab kecuali dengan sebab disembunyikannya Al Haq oleh mereka dan dicampur aduk dengan al bathil. Padahal Allah telah menjamin terjaganya agama ini hingga hari kiamat.

(Dinukil dari buku: Menggugat Demokrasi dan Pemilu. Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: www.assunnah.cjb.net) Selengkapnya...

Menggugat Demokrasi (pandangan Islam}

Menggugat Demokrasi - Pandangan Islam Terhadap Orang Yang Menerima Paham Demokrasi
3 Juni 08 oleh Abu Umar

Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Di sini ada persoalan penting yakni bagaimana pandangan hukum Islam terhadap orang yang menerima paham demokrasi tanpa adanya alasan syar’i?

Jawab :
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran : 85)

Allah menjadikan orang yang menginginkan selain Islam termasuk golongan “orang- orang yang merugi pada hari kiamat” kecuali orang tersebut belum sampai pada apa yang dia inginkan dan belum mengerjakan apa yang dia maukan.

Allah berfirman mengisahkan kerugian orang ini :
Dan barangsiapa yang ringan timbangannya maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam. Muka mereka dibakar api neraka dan mereka di dalam neraka itu dalam keadaan cacat. Bukankah ayat-ayat-Ku telah dibacakan kepadamu sekalian tetapi kamu selalu mendustakannya? Mereka berkata : “Ya Rabb kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami dan adalah kami orang-orang yang sesat.” (QS. Al Mukminun : 103- 106)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maidah : 50)
Allah menjelaskan bahwa sesungguhnya hanya ada dua hukum, hukum Allah Azza wa Jalla dan hukum makhluk-Nya. Dan Allah menjelaskan bahwa hukum selain-Nya adalah hukum jahiliyah walaupun manusia memandangnya sebagai lambang kemajuan dan “lebih demokratis”. Dan demokrasi adalah hukum jahiliyah.

(Dinukil dari buku: Menggugat Demokrasi dan Pemilu. Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: www.assunnah.cjb.net) Selengkapnya...

MENGGUGAT DEMOKRASI (Caleg dst)

Menggugat Demokrasi - Unsur Demokrasi
14 Mei 08 oleh Abu Umar

Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Demokrasi sendiri memiliki tiga unsur yaitu :

1. At Tasyri’ (Legislatif)
Tidak ada yang berhak menetapkan peraturan kecuali demokrasi. Padahal Allah-lah Ahkamul Hakimin (Hakim Yang Seadil-adilnya) dan Arhamur Rahimin (Yang Maha Penyayang) yang bagi-Nya seluruh kekuasaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dalam demokrasi, hukum-hukum-Nya tidak lagi berlaku. Dia tidak boleh membuat peraturan bagi hamba-hamba-Nya. Membuat peraturan adalah ujung tombak dari undang-undang. Karena itulah dibuat peraturan demi melestarikan demokrasi.

2. Al Qadha’ (Yudikatif)
Tidak diperkenankan bagi seorang penguasa pun untuk memutuskan sesuatu kecuali berdasarkan undang-undang. Kalau tidak maka dia akan terkena hukuman. Sebagaimana tertera pada pasal 147 undang-undang dasar negeri Yaman :
“Memberi keputusan adalah kekuasaan tersendiri baik di dalam masalah hukum, harta kekayaan maupun administrasi. Dan pengadilan diberi kemerdekaan untuk memberi keputusan hukum dalam seluruh perkara perdata dan pidana. Para hakim adalah independen, tidak ada atasan bagi mereka dalam menjatuhkan vonis kecuali undang-undang.”
Renungkanlah kata-kata “tidak ada atasan bagi mereka dalam menjatuhkan vonis kecuali undang-undang”.

3. At Tanfidz (Eksekutif)
Tidak boleh melaksanakan satu keputusan pun kecuali yang berasal dari undang- undang. Itu berarti membekukan seluruh aturan-aturan syari’ah dan kepada Allah- lah tempat mengadukan segala urusan. Lihatlah pada pasal 104 yang berbunyi :
“Yang menjadi pelaksana kekuasaan sebagai ganti dari rakyat adalah presiden dan kementrian sesuai garis-garis yang telah ditentukan di dalam undangundang.”

Apabila kita telah mengetahui bahwa demokrasi merupakan sistem hidup menurut kacamata pembuat dan pembelanya maka yakinlah kita bahwa ia tidak hendak lengser dan berubah. Demokrasi adalah sistem sosial politik internasional yang disokong dan disepakati oleh negara-negara besar. Demokrasi adalah sistem dan pandangan hidup global. Tidak ada halangan bagi kelompok pro-demokrasi untuk mengubah satu bagian atau satu kata saja dari pasal tersebut demi kepentingan demokrasi itu sendiri. Namun itu dilakukan bukan untuk meruntuhkannya seperti kenyataan yang kita saksikan sekarang.

“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf : 21)

(Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: www.assunnah.cjb.net Selengkapnya...

MENGGUGAT DEMOKRASI (definisi)

Menggugat Demokrasi - Definisi Demokrasi
13 Mei 08 oleh Abu Umar

Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Definisi Demokrasi
Abdul Ghani Ar Rahhal di dalam bukunya, Al Islamiyyun wa Sarah Ad Dimuqrathiyyah mendefinisikan demokrasi sebagai “kekuasaan rakyat oleh rakyat”. Rakyat adalah sumber kekuasaan.
Ia juga menyebutkan bahwa orang yang pertama kali mengungkap teori demokrasi adalah Plato. Menurut Plato, sumber kekuasaan adalah keinginan yang satu bukan majemuk. Definisi ini juga yang dikatakan oleh Muhammad Quthb dalam bukunya Madzahib Fikriyyah Mu’ashirah. Dan juga oleh penulis buku Ad Dimuqrathiyyah fi Al Islam serta yang lainnya.

Perkembangan Demokrasi
Revolusi Prancis tercetus dengan semboyannya yang terkenal “kebebasan, persaudaraan, dan persamaan .” Prancis memasukkan demokrasi ke dalam undang- undang dasarnya di bawah judul Hak-Hak Asasi Manusia pada pasal ketiga :
“Rakyat adalah sumber dan gudang kekuasaan. Setiap lembaga atau individu yang memegang kekuasaan tidak lain mengambil kekuasaan dari rakyat.”
Pasal ini dimasukkan kembali pada undang-undang dasar tahun 1791 M. Di situ disebutkan bahwa tahta kepemimpinan adalah milik rakyat. Sistem ini tidak mengakui model pembagian kekuasaan, pengunduran diri ataupun meraih kekuasaan dengan cara kudeta.

Kemudian paham demokrasi inipun dicantumkan di dalam undang-undang dasar sebagian negara Arab dan Islam. Sebagai contoh di Mesir ditetapkan di dalam undang-undang kesatu tahun 1923 serta 1956. Dan pada tahun 1971 di dalam undang-undang tersebut terdapat teks yang menyebutkan antara lain bahwa :
“Kepemimpinan adalah milik rakyat dan rakyat adalah sumber kekuasaan menurut cara yang dijelaskan di dalam undang-undang.”
Pasal ini terdapat pada undang-undang nyaris semua negara Arab dan Islam. Pasal semacam ini juga termaktub di dalam undang-undang Yaman, negara kami. Pada pasal empat misalnya disebutkan :
“Rakyat adalah pemilik dan sumber kekuasaan. Kekuasaan itu bisa diperoleh secara langsung dengan cara referendum atau lewat pemilihan umum demikian pula mencabut kekuasaan itu dapat dilakukan secara tidak langsung melalui lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif serta melalui majelis-majelis perwakilan yang dipilih.”

Dari sini dapat diketahui bahwa demokrasi adalah “Rabb” yang berhak menetapkan syariat.
Maka tidak samar bagi seorang Muslim bahwa ini adalah perbuatan kufur akbar, syirik akbar, dan kezaliman yang besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengisahkan perkataan Luqman Al Hakim :
“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman : 13)

Syirik apalagi yang lebih besar daripada meniadakan peribadatan kepada Allah?

(Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: www.assunnah.cjb.net) Selengkapnya...

MENGGUGAT DEMOKRASI

Menggugat Demokrasi - Mukaddimah Penyusun
12 Mei 08 oleh Abu Umar

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kita meminta pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Dan kita berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri-diri kita dan dari keburukan amalan-amalan kita. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang bisa menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang bisa memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan- Nya.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar- benarnya takwa dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS. Ali Imran : 102)

Allah juga berfirman dalam ayat yang lain :
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Allah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah mengkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain. Dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An Nisa’ : 1)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzab : 70-71)

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah. Dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Dan setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.

Amma ba’du,
Pada masa-masa belakangan ini –terlebih abad tiga belas dan empat belas Hijriyyah– telah terjadi serangan bertubi-tubi terhadap kaum Muslimin lewat beragam cara khususnya lewat perang pemikiran yang mengerikan. Orang-orang yahudi dan nasrani memerangi Islam di setiap lini. Mereka berusaha mengurai tali Islam seutas demi seutas. Mereka pun berusaha meracuni kaum Muslimin dengan memasukkan kerancuan-kerancuan di dalam Al Quranul Karim, Sunnah Nabi yang shahih, Bahasa Arab dan sejarah. Mereka menikam umat Islam ketika mayoritas umat dalam keadaan lupa dan lalai terhadap agama mereka.

Tikaman terbesar yang ditimpakan kepada kaum Muslimin adalah makar penyebaran perbedaan pemikiran dan madzhab (khilaf al fikri wal madzhabi) yaitu menyangkut perkara yang berkaitan dengan penguasa dan pemerintah kaum Muslimin yang dipasang oleh musuh-musuh Islam. Ketika mereka berhasil menebarkan ikhtilaf pemikiran dan madzhab di antara orang-orang tersebut mereka pun mampu meruntuhkan Khilafah Islamiyyah. Mereka terus-menerus memperluas jurang perbedaan yang besar ini. Kemudian mereka jadikan negeri kaum Muslimin tersekat- sekat dan terpecah-belah. Setelah mereka sukses melakukan ini semua mereka pun berdaya upaya memisahkan Islam dari kehidupan umat, aktivitas pemerintahan dan yang lainnya dengan menyusun undang-undang buatan (manusia) dan menggambarkannya seolah-olah sebagai semangat zaman dan puncak peradaban.

Maka muncullah musibah yang menimpa kaum Muslimin –pertama-tama– di dalam perihal agama mereka. Kemudian diikuti oleh musibah pada kehidupan dunia mereka. Dan musibah demi musibah ini kian bertambah parah dengan kemunculan demokrasi. Mereka mengatakan demokrasi inilah yang relevan dengan situasi kekinian, norma hukum yang melestarikan hak-hak asasi. Kenyataan ini diperkuat oleh kebodohan kaum Muslimin sendiri terhadap agama mereka. Sehingga jadilah metodologi dan fikrah (paham) demokrasi ini sebagai “Rabb” bagi orang-orang yang mengimaninya, mengamalkan dan menjaganya.

Al Quran dan As Sunnah cukup untuk menyingkap dan menguak kejahatan ini.
Allah Ta’ala berfirman :
“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al Quran (supaya jelas jalan orang- orang shalih) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.” (QS. Al An’am : 55)

Ayat ini adalah penjelasan dari Rabb kita Yang Maha Mengetahui segala yang rahasia dan tersembunyi, Yang Maha Mengetahui segala yang kasat mata maupun yang tersimpan di dalam dada. Ayat ini datang menjelaskan bahwa merupakan satu keharusan untuk memperingatkan manusia agar berhati-hati dari kekufuran, kesyirikan dan kejahatan –termasuk– demokrasi dengan berbagai tata caranya.
Demokrasi adalah kejahatan yang tidak akan tegak agama kaum Muslimin kecuali dengan memutus dan memisahkannya dari jalan yang benar. Manusia yang paling sempurna pengetahuannya terhadap Rabb dan agama mereka adalah manusia yang memiliki ilmu tentang Al Kitab dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah yang mampu mendeteksi kekufuran yang muncul atas nama kemajuan, peningkatan, hak-hak asasi manusia dan perlindungan terhadap umat yang tertindas.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.” (QS. Al An’am : 55)
Maka kita harus mengetahui bahwa perkara terbesar yang bisa membantu kita menghadapi bahaya dan berbagai sarananya adalah beramal dengan cara-cara syar’i. Di samping itu kita juga harus mengetahui hakikat Islam dan hakikat kekufuran. Islam tidak butuh kepada seluruh hukum dan syariat-syariat buatan. Karena di dalamnya terdapat makrifat hakikat Islam dan kekufuran. Rabb kita Jalla Sya’nuhu sendiri telah menjelaskan hal ini dengan tujuan agar kita dapat mengetahui yang benar dari yang salah.

Allah berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al Furqan : 33)

Sesungguhnya al haq itulah yang akan menghancurkan kebatilan sehancur- hancurnya. Sungguh Allah telah menjelaskan di dalam Kitab-Nya yang mulia dan juga Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang keadaan orang-orang yang sesat dan membuat kerusakan di muka bumi.

Yang menambah rusak urusan adalah jika ada orang yang mengaku berilmu dari kalangan penulis, budayawan dan para “ulama” menjulurkan lidahnya di belakang ketamakan terhadap dunia. Mereka bangkit membantah musuh-musuh Allah namun bantahan mereka tidak didasarkan pada kekuatan hujjah dan kedalaman akidah yang benar. Dan mereka sangat lemah dalam hal penguasaan ilmu syari’ah.

Belum lama mereka membantah dan meyakinkan umat tentang rusaknya kemajuan yang dicapai Eropa tiba-tiba kini justru mereka yang mencocoki Eropa dalam perkara-perkara yang baru saja diingkari. Tiap orang dari mereka telah membuka satu pintu masuk bagi keburukan-keburukan. Sebagian mereka masuk lewat pintu tabarruj dan melepas hijab. Sebagian yang lain masuk lewat pintu riba. Sebagian lainnya masuk melalui pintu seruan kepada westernisasi. Yang lain lagi masuk lewat pintu seruan mengambil undang-undang mereka. Yang lain masuk lewat pintu seruan untuk melupakan dan membuang masa lalu termasuk membuang kewajiban berhukum dengan Al Quran dan As Sunnah yang suci. Sebagian lagi menyeru untuk melakukan “peninjauan ulang” terhadap syariat. Sebagian menyeru kepada persatuan agama-agama. Sebagian menyerukan pendekatan antara As Sunnah dengan aliran-aliran sesat. Sebagian menyeru kepada hizbiyyah. Sebagian menyeru agar menerima simbol-simbol dan esensi demokrasi. Sebagian menyeru kepada pemilu dengan anggapan bahwa yang diharamkan hanya demokrasinya saja. Demokrasi itu sistem kufur namun pemilu tidaklah demikian. Begitu menurut mereka.

Ketika muncul pada diri mereka sikap tidak patuh pada kebenaran jadilah kebenaran –yang kemarin hari masih dianggap sebagai kebenaran– menjadi kebatilan pada hari ini. Kerancuan demi kerancuan melumuri mereka. Sehingga mereka pun menjadi pembela pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan yang dibawa oleh musuh serta sangat bersemangat untuk meyakinkan manusia bahwa hal itu tidak mengeluarkan seorang Muslim dari ajaran agama. Mereka menganggap enteng hal- hal yang diharamkan. Salah seorang di antara mereka mengatakan : “Seorang Muslim dapat menerima undang-undang buatan dalam keadaan dia tetap berada di atas akidahnya.”

Benarlah Umar ketika berkata kepada Ziyad bin Hudhair :
“Tahukah kamu hal-hal yang bisa menghancurkan Islam?” Ziyad berkata, aku menjawab : “Tidak tahu.” Umar berkata : “Yang menghancurkan Islam adalah tergelincirnya seorang alim, bantahan seorang munafik dengan menggunakan Al Kitab dan berkuasanya para pemimpin yang menyesatkan.” (Riwayat Ad Darimi dan Ibnu Abdil Barr di dalam Al Jami’ dan atsar ini adalah shahih)

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Adi bahwasanya Umar radliyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Yang paling aku khawatirkan menimpa umatku adalah seorang munafik yang pintar bicara.”
Juga terdapat riwayat Ahmad dan Thabrani dari hadits Abu Darda ia berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan menimpa umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan.”

Demikian pula yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi dari hadits Imran bin Hushain radliyallahu ‘anhu.
Yang dikhawatirkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah apa yang telah diperlihatkan oleh Allah kepada beliau dari fitnah-fitnah yang akan terjadi pada umat ini. Sungguh Allah telah memperlihatkan dan memberitahukan kepada beliau tentang para pelakunya. Nabi menamai mereka sebagai “para pemimpin yang menyesatkan”. Mereka kerahkan segenap potensi yang mereka miliki untuk membantah dan mendebat Al Quran serta menebarkan kerancuan-kerancuan. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Berdebat tentang Al Quran adalah kufur.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Hakim dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu)
Mereka mengambil ayat-ayat yang mutasyabihat• dari Al Quran untuk menyesatkan manusia dan memberikan kerancuan kepada kaum Muslimin.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.” (QS. Ali Imran : 7)

Dengan sebab mereka, merebaklah perdebatan dan penyimpangan di kalangan kaum Muslimin. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah memperingatkan kita agar berhati-hati dari golongan ini. Di dalam riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari hadits Aisyah radliyallahu ‘anha beliau berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membaca :
[Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al Quran] hingga firman-Nya :
[Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal] (kemudian) beliau bersabda :
“Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat maka mereka itulah orang-orang yang disebutkan oleh Allah maka berhati-hatilah terhadap mereka.”

Yaitu terus menerus waspada dari bahaya pemikiran dan talbis (pengkaburan) mereka. Sungguh kalangan Salaf telah menjatuhkan sikap dan sanksi yang setimpal terhadap golongan manusia seperti ini.

Mereka, Salafus Shalih berdiri menghadapi mereka karena menyadari bahayanya golongan ini, golongan yang tidak dikaruniai ilmu yang bermanfaat, sikap tsabat (keteguhan) dan keikhlasan hati. Bahkan mereka selalu ditimpa keraguan dan kebimbangan. Mereka menyangka berada di atas kebenaran dan hujjah, bersikap sombong terhadap ulama Rabbaniyyin, menghantam setiap penyeru al haq, menentang para ulama Salaf dan pemahaman mereka bahkan menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Sampai-sampai salah seorang di antara mereka mengatakan : “Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam masih hidup niscaya beliau akan berhukum dengan demokrasi. Seandainya beliau masih hidup niscaya akan mendoakan keberkahan terhadap kami atas kemajuan ini.”
Setiap orang yang sesat dari golongan ini menganggap benar madzhab dan kelompoknya meski pada akhirnya yang muncul adalah penyimpangan di kalangan manusia. Setan selalu berkata kepada mereka : “Kalian berada di atas sirath al mustaqim!”

Ketika telah terbongkar dan tersingkap keadaan mereka yang sebenarnya mereka pun tampil dengan wajah yang lain dan rupa yang bermacam-macam. Akan tetapi sebanyak dan segiat apapun orang-orang yang menyimpang itu membikin kerancuan maka sungguh Allah telah menugaskan satu kaum untuk membongkar dan menjelaskan kesalahan mereka, melumpuhkan syubhat mereka, menjelaskan pembelotan mereka dari kebenaran, bahaya mereka terhadap umat dan kerusakan yang mereka lakukan terhadap Islam. Kelompok yang diberkahi adalah Ahli Ilmu yang mendapat bimbingan dan taufik dari Allah untuk beramal dengan Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan pemahaman Salaful Ummah dalam keyakinan, ucapan maupun amalan. Merekalah orang-orang yang dipilih Allah untuk membela agama-Nya.
Telah mutawatir hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa kelompok tersebut akan senantiasa ada sepanjang masa.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Akan terus ada sekelompok dari umatku yang menampakkan kebenaran hingga datang keputusan Allah sedang mereka dalam keadaan menang.” (Hadits Muttafaq ‘alaihi dari Al Mughirah radliyallahu ‘anhu)
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari hadits Mu’awiyah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Akan terus ada sekelompok dari umatku yang menegakkan perintah Allah, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghina dan menyelisihi mereka sehingga datang urusan Allah dan mereka dalam keadaan menang atas manusia.”
Hadits ini juga datang secara mutawatir dari Tsauban, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Imran bin Hushain, Uqbah bin Amir, Qurrah bin Iyas, Jabir bin Abdillah, Jabir bin Samurah, Sa’d bin Abi Waqqash, Abu Anbah Al Khaulani dan lain-lain.

Sungguh Allah telah menjaga agama-Nya dengan thaifah (kelompok) yang selalu mendapatkan pertolongan ini dahulu maupun sekarang. Dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah telah bersepakat bahwa thaifah yang dimaksud adalah Ahlul Hadits. Sebagaimana pendapat Ahmad bin Hambal, Ibnu Al Mubarak, Ibnu Al Madini, Yazid bin Harun, Al Bukhari dan lain-lain. Untuk melihat riwayat perkataan mereka ini silakan merujuk pada Kitab As Sunnah karangan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan selainnya dari kitab-kitab akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Adapun yang dilakukan para ulama umat di masa sekarang ini di dalam membantah pelaku kebatilan merupakan kelanjutan saja dari jejak langkah penuh berkah yang pernah ditempuh oleh para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dan perkara pemilu yang akan kami jelaskan hukumya menurut syariat adalah di antara perkara- perkara yang menjadi fitnah bagi kaum Muslimin dan sebagian orang yang mengaku memiliki ilmu dan pemahaman. Maka wajib bagi kami untuk menimbangnya dengan timbangan syariat seperti yang akan pembaca dapati penjelasannya di pembahasan ini. Insya Allah.

Aku dapati masalah pemilu ini memiliki banyak sekali mafsadat (kerusakan) sebagaimana tercantum di dalam Al Quran secara rinci.

Tidak ada seorang pun yang menelaah sebagian apalagi keseluruhan dari kerusakan-kerusakan pemilu yang tidak sampai pada kesimpulan bahwa sesungguhnya ia merupakan sistem thaghut. Pemilu diharamkan dengan sangat keras pasti tanpa keraguan. Meskipun dulu saya akui bahwa saya tidak mampu membahas masalah ini karena beberapa sebab di antaranya ialah keterbatasan ilmu. Dan saya juga tidak ingin membuat kitab ini jadi berat dengan banyak pembahasan dan kutipan dari para ulama.

Dan aku berusaha untuk tidak menyebut hadits kecuali yang shahih lidzatihi atau lighairihi dan hasan lidzatihi atau lighairihi. Dan inilah yang selaras dengan keyakinan kita yang mantap bahwa Islam adalah sempurna dan universal tidak ada kekurangan di dalamnya dari sisi manapun. Inilah ajaran yang para shahabat berada di atasnya. Inilah yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam terhadap mereka sebagaimana telah dimaklumi. Dan amalan ini –yaitu menjauhi hadits munkar dan dhaif– adalah wajib bagi kita supaya kita tidak memasukkan ke dalam agama sesuatu yang bukan bagiannya. Inilah perbuatan ulama Ahlul Hadits.

Aku bagi kitab ini menjadi dua pasal, kerusakan pemilu dan syubhat serta bantahannya. Dan aku buat mukadimah yang memuat definisi dan pengertian demokrasi dan aku akhiri dengan menjelaskan sekilas tentang aspek dakwah kami yang kami sarikan dari Al Quran dan As Sunnah dan manhaj Salaful Ummah sebagai nasihat untuk kaum Muslimin serta penutup kitab.

Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

(Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: www.assunnah.cjb.net) Selengkapnya...

HUKUM IKUT PARLEMEN

Hukum Ikut Serta Dalam Parlemen
Kamis, 18 Maret 2004 09:36:09 WIB

HUKUM IKUT SERTA DALAM PARLEMEN


Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani





Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Bagaimana hukum ikut serta dalam majelis umat (parlemen) dan majelis sejenis yang ada di negeri- negeri Islam yang kadang-kadang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah?

Jawaban.
Yang saya yakini, bahwa setiap negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara jelas dan juga tidak mengamalkan hukum-hukum Allah tersebut, maka tidak boleh bagi seorang muslim ikut serta menjadi anggota pada majelis negara tersebut ataupun parlemennya.

Oleh karena itu saya berpendapat bahwa tidak ada manfaatnya bagi kaum muslimin untuk ikut serta dalam hukum yang tidak diturunkan oleh Allah, terutama untuk masa depan mereka yang panjang.

Karena dampak keikutsertaan ini tidak memberikan manfaat secara konkrit, karena biasanya kelompok kecil yang ingin menegakkan syariat ini suaranya hilang tertelan suara-suara kelompok lain yang pada akhirnya mereka tidak memperoleh apa- apa kecuali fitnah bagi diri mereka sendiri.

Mereka ini sering mengatakan bahwa boleh melanggar syariat dalam rangka mencapai maslahat yang besar walaupun dengan melakukan mafsadah (kerusakan) yang kecil, namun kenyataannya tidak ada sedikitpun maslahat yang mereka peroleh; tidak besar dan tidak pula kecil.

Praktek ini telah dilakukan oleh sebagian jamaah jamaah Islam di Suria. Mereka ikut serta dalam parlemen Suria, padahal di dalamnya terdapat apa yang dinamakan dengan hukum negara. Akhirnya kaum muslimin tidak mendapatkan manfaat apapun dari keikutsertaan ini kecuali hanya mencari-cari pembenaran terhadap perbuatan yang mereka lakukan dan penyelewengan-penyelewengan yang mereka kerjakan dengan dalih bahwa kemaslahatan umatlah yang menuntut hal itu, serta dengan anggapan bahwa penegakkan hukum-hukum syariat terlalu dini untuk dilaksanakan. Padahal menurut syariat, tidak boleh memberikan loyalitas kepada orang yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah. Dengan keikutsertaan ini, akhirnya mereka mendapat kerugian yang nyata dan tak ada keuntungan sedikitpun yang berarti.

Jika kita menginginkan tegaknya hukum Islam dan berdirinya daulah (negara) Islam, maka wajib bagi kita membentuk masyarakat Islam. Dari masyarakat Islam inilah akan tegak hukum Islam. Dan tegaknya hukum Islam menurut logika pasti berawal dari masyarakat Islam.

Saya sangat yakin bahwa perjuangan keras yang dilakukan selama setengah abad lebih oleh jamaah-jamaah Islam tidak mungkin akan berakhir dengan sia-sia. Tapi kenyataannya perjuangan mereka yang sangat panjang berakhir dengan kegagalan seperti debu yang beterbangan. Kenapa ini terjadi? Karena mereka berjuang menegakkan daulah Islam tapi dengan cara yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.

Kalian mengetahui berapa lama Rasulullah tinggal di Makkah, berdakwah, menanamkan benih-benih tauhid dalam hati mereka yang sekian lama berkubang dalam kesyirikan dan kekafiran kepada Allah subhana wa ta'ala.

Kemudian tatkala Allah mengizinkan beliau untuk hijrah ke Madinah, disana mulailah beliau menancapkan tonggak-tonggak untuk berdirinya daulah Islam.

Menjadi tugas kita hari ini untuk merealisasikan dua hal yang saya namai dengan tashfiyyah (pemurnian) dan tarbiyah (pembinaan). Kami mengajak para dai-dai Islam untuk mengatasi perselisihan yang terjadi antara mereka di dalam manhaj (cara beragama) dan prakteknya dengan cara berlandaskan dua hal tersebut.

Maksud dari tashfiyyah adalah: Kita murnikan Islam dari segala sesuatu yang masuk ke dalam Islam, yang jumlahnya terlalu banyak untuk disebut. Dan ini membutuhkan kerja teramat keras dari para ahli ilmu (untuk memurnikannya kembali).

Kita bersihkan Islam ini dari aqidah-aqidah yang bertentangan dengan Islam. Kita bersihkan kitab-kitab sunnah dari hadits-hadits yang dhaif dan palsu. Kita bersihkan kitab-kitab tafsir dari Israiliyat yang merusak. Kita bersihkan fiqih dari hukum-hukum (yang keliru) yang senantiasa masih diikuti oleh banyak ulama. Kita bersihkan kitab-kitab akhlaq, perilaku dari penyimpangan-penyimpangan dan seterusnya.

Termasuk hal yang memprihatinkan adalah banyak ulama yang lupa atau mungkin berpura-pura lupa bahwa keadaan Islam hari ini sangat jauh berbeda dengan keadaan Islam di masa awal (zaman shahabat). Mereka menduga bahwa jika kita berusaha menegakkan hukum Islam maka undang-undang dan peraturan telah tersedia dengan apa yang telah kita miliki saat ini berupa kitab-kitab. Padahal sering kami sebutkan bahwa kitab-kitab ini di dalamnya terdapat banyak penyimpangan-penyimpangan terhadap syari'ah.

Sebagai contoh saya sebutkan, bahwa seorang dai Islam yang telah berpulang ke rahmatullah telah menulis sebuah kitab tentang undang-undang Islam. la menyebutkan di dalamnya permasalahan-permasalahan yang diambil dari madzhab Hanafy. Padahal ia belum mempelajari fiqih secara sunnah, atau sekurang-kurangnya ia belum menyertakan sunnah yang shahih dalam dirasah-nya terhadap madzhab Hanafi.

la menyebutkan dalam undang-undang ini bahwa jika telah tegak hukum Islam pada hari ini maka boleh bagi seorang hakim muslim membunuh seorang muslim yang membunuh orang kafir. Padahal ini jelas bertentangan dengan hadits yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari:

"Artinya : Tidaklah seorang muslim dibunuh, disebabkan (ia telah membunuh) seorang kafir."

Ini adalah sebuah contoh singkat yang menerangkan kepada kita bahwa seandainya kita telah menegakkan hukum Islam dan kita mengumumkan hal itu, maka kita tetap tidak akan sanggup menerapkan hukum secara utuh dan benar. Kenapa? Karena orang yang tidak mempunyai sesuatu, tidak akan bisa memberikan sesuatu.[1]

Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa mereka bukan hanya mengambil sumber dari 4 madzhab dengan alasan persatuan saja tapi mereka juga mengambil sumber dari madzhab syi 'ah.

Mungkin kalian mendengar apa yang terjadi di Mesir sejak beberapa tahun yang lalu; apa yang mereka sebut dengan pendekatan antar madzhab, dan yang mereka maksudkan adalah pendekatan antara madzhab ahlus-sunnah dan madzhab syi'ah.

Akibatnya sebagian mereka (ahlus-sunnah) menjadi kesyi'ah-syi'ahan, dan terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran syi'ah. Dan anehnya tidak ada seorang syi 'ah-pun yang terpengaruh secara mutlak dengan ahlus-sunnah.

Lebih parah lagi, mereka juga mengambil pendapat-pendapat madzhab zaidiyyah, serta me-ruju' kepada kitab-kitab mereka. Sebagian ulama di universitas Damaskus dalam beberapa program-programnya berpedoman dengan kitab Musnad Zaid. Padahal Musnad Zaid menurut ulama ahlus sunnah diriwayatkan oleh seorang pendusta dan pemalsu (hadits).

Semua hal ini terjadi karena disebabkan tidak adanya pelaksanaan pokok pertama, yaitu tashfiyyah (pemurnian), yang selanjutnya diteruskan dengan pokok kedua yaitu tarbiyah.

Dan saat ini saya melihat masalah besar yang melanda sebagian salafiyyun yang telah Allah berikan nikmat berupa petunjuk kejalanNya yang lurus, yaitu mengikuti Al Kitab dan Sunnah, akan tetapi sava melihat satu kekurangan pada diri ikhwan-ikhwan kita, salafivvin, di berbagai negeri Islam, yaitu ketika mereka lebih lebih mementingkan masalah tashfiyyah (pemurnian) daripada tarbivah (pembinaan), sehingga kita lihat penyimpanaan-penyimpangan dalam akhlaq dan mu'amalah (pergaulan mereka)[2]. Maka kitapun akhirnya hidup dengan pembinaan yang sama seperti yang dialami oleh bapak-bapak dan kakek-kakek kita.

Pada prinsipnya kita akan membiarkan perbuatan para penguasa setelah kita menasehati mereka dengan cara yang sesuai dengan kenyataan dan zaman. Dan yang lebih penting kita membina diri kita dan anak-anak kita, yang berarti kita menaburkan benih-benih yang akan tumbuh menjadi cikal bakal tegaknya hukum Islam dan berdirinya daulah Islamiyah.

Adapun mereka yang ridha masuk parlemen yang tidak berdasarkan hukum Allah dan menganggap masuk parlemen itu karena tujuannya untuk mencegah dan mengurangi kejelekan, maka orang-orang seperti ini tidak boleh langsung dikafirkan bahkan ia mungkin mendapat pahala. Akan tetapi kita katakan kepada mereka bahwa masuknya mereka ke dalam parlemen tersebut tidak akan meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang telah ada.

Dan kebanyakan bangsa-bangsa Islam saat ini serta penguasa yang muslim, tidak memahami makna laa ilaaha illallah yang merupakan masalah yang sangat besar. Sayang sekali apabila masalah yang sangat besar ini kita abaikan, sementara kita sibuk membenarkan/meluruskan masalah-masalah hukum saja dan membiarkan kaum muslimin berada dalam kesesatan yang nyata. Karena itu kita harus mengajak kaum muslimin agar mereka memahami syariat mereka, khususnya azas syariat ini yaitu tauhid.


[Disalin dari buku Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Al-Bani, hal 111-116, Penerjemah Adni Kurniawan, Pustaka At-Tauhid]
_________________________
Catatan kaki dari penerjemah:

[1] Maksud beliau rahimahullah: Bagaimana mungkin mereka akan menegakkan hukum Islam yang benar sedangkan mereka sendiri tidaklah mengetahui bagaimana hukum Islam yang benar yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah yang shahih -pent.
[2] Garis bawah dan penebalan adalah dari penterjemah, karena menganggap bahwa ucapan beliau rahimahullah tersebut pada saat ini merupakan peringatan yang amat penting bagi kalangan salafiyyin, khususnya yang ada di Indonesia, -pent.- Selengkapnya...

SYUBHAT-SYUBHAT SEKITAR MASALAH DEMOKRASI DAN PEMUNGGUTAN SUARA

Syubhat-Syubhat Sekitar Masalah Demokrasi Dan Pemungutan Suara
Kamis, 18 Maret 2004 21:00:53 WIB



Halaman ke-1 dari 3

SYUBHAT-SYUBHAT SEKITAR MASALAH DEMOKRASI DAN PEMUNGGUTAN SUARA


Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Maidani al-Atsari



Pemungutan suara atau voting sering digunakan oleh lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi baik skala besar seperti sebuah negara maupun kecil seperti sebuah perkumpulan, di dalam mengambil sebuah sikap atau di dalam memilih pimpinan dan lain-lain. Sepertinya hal ini sudah lumrah dilangsungkan. Hingga dalam menentukan pimpinan umat harus dilakukan melalui pemungutan suara, dan tentu saja masyarakat umumpun dilibatkan di dalamnya. Padahal banyak di antara mereka yang tidak tahu menahu apa dan bagaimana kriteria seorang pemimpin menurut Islam.

Dengan cara dan praktek seperti ini bisa jadi seorang yang tidak layak menjadi pemimpin keluar sebagai pemenangnya. Adapun yang layak dan berhak tersingkir atau tidak dipandang sama sekali ! Tentu saja metoda pemungutan suara seperti ini tidak sesuai menurut konsep Islam, 'yang menekankan konsep syura (musyawarah) antara para ulama dan orang-orang shalih. Allah telah berfirman dalam Kitab-Nya:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.[An-Nisaa : 58]

Kepemimpinan adalah sebuah amanat yang amat agung, yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia yang amat sensitif. Oleh sebab itu amanat ini harus diserahkan kepada yang berhak menurut kaca mata syariat. Proses pemungutan suara bukanlah cara/wasilah yang syar'i untuk penyerahan amanat tersebut. Sebab tidak menjamin penyerahan amanat kepada yang berhak. Bahkan di atas kertas dan di lapangan terbukti bahwa orang-orang yang tidak berhaklah yang memegang (diserahi) amanat itu. Di samping bahwa metoda pemungutan suara ini adalah metoda bid'ah yang tidak dikenal oleh Islam. Sebagaimana diketahui bahwa tidak ada satupun dari Khulafaur Rasyidin yaitu: Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali radhiyallahu 'anhum maupun yang sesudah mereka, yang dipilih atau diangkat menjadi khalifah, melalui cara pemungutan suara yang melibatkan seluruh umat.

Lantas dari mana sistem pemungutan suara ini berasal ?! Jawabnya: tidak lain dan tidak bukan ia adalah produk demokrasi ciptaan Barat (baca kafir).

Ada anggapan bahwa pemungutan suara adalah bagian dari musyawarah. Tentu saja amat jauh perbedaannya antara musyawarah mufakat menurut Islam dengan pemungutan suara ala demokrasi di antaranya:

[1] Dalam musyawarah mufakat, keputusan ditentukan oleh dalil-dalil syar'i yang menempati al-haq walaupun suaranya minoritas.

[2] Anggota musyawarah adalah ahli ilmu (ulama) dan orang-orang shalih, adapun di dalam pemungutan suara anggotanya bebas siapa saja.

[3] Musyawarah hanya perlu dilakukan jika tidak ada dalil yang jelas dari al-Kitab dan as-Sunnah. Adapun dalam pemungutan suara, walaupun sudah ada dalil yang jelas seterang matahari, tetap saja dilakukan karena yang berkuasa adalah suara terbanyak, bukan al-Qur'an dan as-Sunnah.

MAKNA PEMUNGUTAN SUARA
Pemungutan suara maksudnya adalah: pemilihan hakim atau pemimpin dengan cara mencatat nama yang terpilih atau sejenisnya atau dengan voting. Pemungutan suara ini, walaupun bermakna: pemberian hak pilih, tidak perlu digunakan di dalam syariat untuk pemilihan hakim/pemimpin. Sebab ia berbenturan dengan istilah syar'i yaitu syura (musyawarah). Apalagi dalam istilah pemungutan suara itu terdapat konotasi haq dan batil. Maka penggunaan istilah pemungutan suara ini jelas berseberangan jauh dengan istilah syura. Sehingga tidak perlu menggunakan istilah tersebut, sebab hal itu merupakan sikap latah kepada mereka.

MAFSADAT PEMUNGUTAN SUARA
Amat banyak kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dari cara pemungutan suara ini di antaranya:

[1]. Termasuk perbuatan syirik kepada Allah.
[2]. Menekankan suara terbanyak.
[3]. Anggapan dan tuduhan bahwa dinul Islam kurang lengkap.
[4]. Pengabaian wala' dan bara'.
[5]. Tunduk kepada Undang-Undang sekuler.
[6]. Mengecoh (memperdayai) orang banyak khususnya kaum Muslimin.
[7]. Memberikan kepada demokrasi baju syariat.
[8]. Termasuk membantu dan mendukung musuh musuh Islam yaitu Yahudi dan Nashrani.
[9]. Menyelisihi Rasulullah dalam metoda menghadapi musuh.
[10]. Termasuk wasilah yang diharamkan.
[11]. Memecah belah kesatuan umat.
[12]. Menghancurkan persaudaraan sesama Muslim.
[13]. Menumbuhkan sikap fanatisme golongan atau partai yang terkutuk.
[14] Menumbuhkan pembelaan membabi buta (jahiliyah) terhadap partai-partai di golongan mereka.
[15]. Rekomendasi yang diberikan hanya untuk kemaslahatan golongan.
[16]. Janji janji tanpa realisasi dari para calon hanya untuk menyenangkan para pemilih.
[17]. Pemalsuan-pemalsuan dan penipuan-penipuan serta kebohongan-kebohongan hanya untuk meraup simpati massa.
[18]. Menyia-nyiakan waktu hanya untuk berkampanye bahkan terkadang meninggalkan kewajiban (shalat dan lain-lain).
[19]. Membelanjakan harta tidak pada tempat yang disyariatkan.
[20]. Money politic, si calon menyebarkan uang untuk mempengaruhi dan membujuk para pemilih.
[21]. Terperdaya dengan kuantitas tanpa kualitas.
[22]. Ambisi merebut kursi tanpa perduli rusaknya aqidah.
[23]. Memilih seorang calon tanpa memandang kelurusan aqidahnya.
[24]. Memilih calon tanpa perduli dengan syarat syarat syar'i seorang pemimpin.
[25]. Pemakaian dalil-dalil syar'i tidak pada tempatnya, di antaranya adalah ayat-ayat syura yaitu Asy-Syura': 46.
[26] .Tidak diperhatikannya syarat-syarat syar'i di dalam persaksian, sebab pemberian amanat adalah persaksian.
[27]. Penyamarataan yang tidak syar'i, di mana disamaratakan antara wanita dan pria, antara seorang alim dengan si jahil, antara orang-orang shalih dan orang-orang fasiq, antara Muslim dan kafir.
[28]. Fitnah wanita yang terdapat dalam proses pemungutan suara, di mana mereka boleh dijadikan sebagai salah satu calon! Padahal Rasulullah telah bersabda: "Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada kaum wanita". [Hadits Riwayat Bukhari dari Abu Bakrah]
[29]. Mengajak manusia untuk mendatangi tempat-tempat pemalsuan.
[30]. Termasuk bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
[31]. Melibatkan diri dalam perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
[32]. Janji-janji palsu dan semu yang disebar.
[33]. Memberi label pada perkara-perkara yang tidak ada labelnya seperti label partai dengan partai Islam, pemilu Islami, kampanye Islami dan lain-lain.
[34]. Berkoalisi atau beraliansi dengan partai-partai menyimpang dan sesat hanya untuk merebut suara terbanyak.
[35]. Sogok-menyogok dan praktek-praktek curang lainnya yang digunakan untuk memenangkan pemungutan suara.
[36]. Pertumpahan darah yang kerap kali terjadi sebelum atau sesudah pemungutan suara karena memanasnya suasana pasca pemungutan suara atau karena tidak puas karena kalah atau merasa dicurangi.

Sebenarnya masih banyak lagi kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan akibat dari proses pemungutan suara ini. Kebanyakan dari kerusakan-kerusakan yang disebutkan tadi adalah suatu yang sering nampak atau terdengar melalui media massa atau lainnya !

Lalu apakah pantas seorang Muslim -apalagi seorang salafi- ikut-ikutan latah seperti orang-orang jahil tersebut ?!

Sungguh sangat tidak pantas bagi seorang Muslim salafi yang bertakwa kepada Rabb-Nya melakukan hal itu, padahal ia mendengar firman Rabb-Nya:

Maka apakah patut bagi Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (kafir). Mengapa kamu berbuat demikian ? Bagaimanakah kamu membuat keputusan ? [Al-Qalam: 35-36]

Pada saat bangsa ini sedang menghadapi bencana, yang seharusnya mereka memperbaiki kekeliruannya adalah dengan kembali kepada dien yang murni sebagaimana firman Allah

Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan buah tangan perbuatan manusia agar mereka merasakan sebagian perbuatan mereka dan agar mereka kembali. [Ar-Ruum: 41]

Yaitu, agar mereka kembali kepada dien ini sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam:

Jika kalian telah berjual beli dengan sistem 'inah dan kalian telah mengikuti ekor-ekor sapi, telah puas dengan bercocok tanam dan telah kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan atas kalian kehinaan; tidak akan kembali (kehinaan) dan kalian hingga kalian kembali ke dien kalian.

Kembali kepada dien yang murni itulah solusinya, kembali kepada nilai-nilai tauhid yang murni, mempelajari dan melaksanakan-melaksanakan konsekuensi-konsekuensinya, menyemarakkan as-Sunnah dan mengikis bid'ah dan mentarbiyah ummat di atas nilai tauhid. Da'wah kepada jalan Allah itulah jalan keluarnya, dan bukan melalui kotak suara atau kampanye-kampanye semu! Tetapi realita apa yang terjadi??

Para Du'at (da'i) sudah berubah profesi, kini ia menyandang predikat baru, yaitu juru kampanye (jurkam), menyeru kepada partainya dan bukan lagi menyeru kepada jalan Allah. Menebar janji-janji; bukan lagi menebar nilai-nilai tauhid. Sibuk berkampanye baik secara terang-terangan maupun terselubung. Bukan lagi berdakwah, tetapi sibuk mengurusi urusan politik –padahal bukan bidangnya dan ahlinya- serta tidak lagi menuntut ilmu.

Mereka berdalih: "Masalah tauhid memang penting akan tetapi kita tidak boleh melupakan waqi' (realita)."

Waqi' (realita) apa yang mereka maksud ? Apakah realita yang termuat di koran-koran, majalah-majalah, surat kabar-surat kabar ? -karena itulah referensi mereka- atau realita umat yang masih jauh dari aqidah yang benar, praktek syirik yang masih banyak dilakukan, atau amalan bid'ah yang masih bertebaran. Ironinya hal ini justru ada pada partai-partai yang mengatas namakan Islam ! Wallahul Musta'an

Mereka ngotot untuk tetap ikut pemungutan suara, agar dapat duduk di kursi parlemen. Dan untuk mengelabuhi umat merekapun melontarkan beberapa syubhat!

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Th. III/1420-1999, Disadur dari kitab Tanwiir adz-Dzulumat tulisan Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al-Imam dan kitab Madarik an-Nazhar Fi Siasah tulisan Abdul Malik Ramadhani] Selengkapnya...

SALAFIYYAH DAN POLITIK....!!

Salafiyah Dan Politik
Rabu, 7 September 2005 13:06:28 WIB

SALAFIYAH DAN POLITIK


Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilaly




Sesungguhnya salafiyah meniadakan untuk uluran apa saja kepada Hizbiyah Siasiyyah (gerakan politik) yang menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dan bukan sebagai wasilah (perantara), mereka yang berusaha mencapai kekuasaan dengan segala makar, kelicikan dan tipu daya, serta menjadikan Islam sebagai syiar (simbol). Jika mereka telah mencapai apa saja yang diinginkan, merekapun berpaling dari jalan Islam !

Yang demikian itu karena makna politik didalam benak mereka adalah :

“Kemampuan memperdaya dan menipu, dan seni membentuk jawaban-jawaban yang bermuatan (politis), serta perbuatan-perbuatan yang mempunyai halusinasi, yang diibaratkan dalam bentuk bejana yang diletakkan didalamnya baik itu warna, rasa dan baunya.”

Politik seperti ini dalam pandangan salafiyyin (mereka yang mengikuti pemahaman salafus shalih) serupa dengan kemunafikan ; karena dalam politik seperti ini ada sikap tidak konsisten pada aqidah, mereka mengotori jiwa Islam, merusak keimanan, melepaskan ikatan Al-Wala' (loyalitas) dan Al-Bara' (kebencian), serta menipu kaum muslimin, para dai yang fajir (jahat) tersebut menjadikan politik sebagai tangga saja, mereka menggembor-gemborkan dakwaan untuk menolak kedzaliman, menolong kaum muslimin, meringankan bahaya atau menghilangkan kemungkaran. Dan kami telah melihat kebanyakan mereka itu berubah dan tidak merubah. Dan orang yang berbuat seperti cara mereka, tidak akan keluar dengan selamat dari permainan politik, dan tidak akan kembali dengan kemenangan.

Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa salafiyyah (dakwah yang menyeru kepada Al Qur’an dan sunnah dengan pemahaman sahabat nabi) tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, tidak memahami keadaan/kondisi mereka, tidak berusaha dengan sunguh-sungguh memulai kehidupan Islam yang berlandaskan kepada Manhaj Nubuwah (ajaran nabi), kemudian setelah itu mewujudkan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dimuka bumi, agar agama itu seluruhnya menjadi milik Allah Subhanahu wa Ta’ala tiada sekutu bagi-Nya, agar tersebar keadilan dimana-mana. Oleh karena itu salafiyah menjadikan hal diatas sebagai salah satu dari tujuan-tujuannya, berusaha merealisasikan, beramal untuk mencapainya, serta mengajak kaum muslimin, khususnya para da’i “salafi” untuk bersatu diatasnya, agar kalimat mereka satu.

Meskipun demikian, kami melihat sebagian orang yang masih ingusan, menyangka/menuduh bahwasan dakwah salafiyyah pada saat ini tidak ada politik didalam manhajnya ! dia beralasan bahwa memulai kehidupan Islam bukan dari tujuan mereka, yang tercantum pada sampul belakang kitab-kitab mereka.

Sesungguhnya tuduhan ini hanyalah untuk merobohkan dakwah Salafiyyah, sekalipun ia berusaha mengatakan akan mendirikannya, semua itu ia lakukan untuk mengelabui teman-temannya. Dibawah ini ada keterangan yang sepatutnya untuk diketahui:

[1]. Sesungguhnya memulai kehidupan Islam diatas Manhaj Nubuwah (ajaran nabi) dan menumbuhkan masyarakat Rabbani, dan merealisasikan hukum Allah Azza wa Jalla dimuka bumi adalah hal yang ditegaskan oleh dakwah salafiyah dengan (tiada rasa harap dan takut), karena dakwah salafiyah akarnya kembali kepada generasi sahabat, dan metodenya adalah dasar-dasar yang telah ditetapkan oleh ulama Rabbani. Manhaj salafiyah dalam merubah adalah seperti para sahabat nabi dan ulama, yaitu dengan mengikuti sunnah bukan berbuat bid’ah. Dan manhaj seperti ini bertolak belakang dengan dakwah-dakwah masa kini yang mendakwahkan telah mendahului dalam segalanya dan dakwah-dakwah ini bagaikan tunas yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi tidak dapat tegak sedikitpun.

[2]. Sesungguhnya tujuan umum yang ditegaskan dakwah salafiyyah semuanya untuk merubah (kepada yang baik) :

[a]. Mengembalikan umat kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman sahabat Nabi , ini adalah merubah kondisi umat.

[b]. Membersihkan kotoran yang masih melekat pada kehidupan kaum muslimin berupa kesyirikan dengan berbagai macam bentuknya. Memperingatkan mereka dari perbuatan bid'ah yang munkar dan pemikiran-pemikiran batil yang masuk, mensucikan sunnah dari riwayat-riwayat yang dha’if dan palsu yang mengotori kebersihan Islam dan menghalangi kemajuan kaum muslimin, ini dalam rangka merubah kondisi umat.

[c]. Menyeru kaum muslimin untuk mengamalkan hukum-hukum Islam, berhias dengan keutamaan-keutamaan dan adab-adab agama yang membuahkan ridha Allah didunia dan akhirat, serta mewujudkan kebahagiaan dan kemuliaan bagi mereka : ini juga dala rangka merubah kondisi umat.

[d]. Dan sesungguhnya menghidupkan ijtihad yang benar sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah serta pemahaman sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghilangkan sikap fanatik madzhab, serta melenyapkan fanatik golongan agar kaum muslimin kembali bersaudara, dan bersatu diatas ajaran Allah Azza wa Jalla sebagai saudara, ini juga merubah kondisi umat.

[3]. Ini yang pertama, adapun hal lainnya, sesungguhnya tujuan-tujuan itu semuanya untuk memulai kehidupan Islam akan tetapi diatas manhaj Nubuwah (metode nabi), dan penyebutan masalah ini pada pembahasan setelahnya adalah termasuk dalam bab penyebutan hal yang khusus sesudah hal yang umum.

[4]. Adapun sesudah itu sesungguhnya salafiyyin menempuh manhaj (metode) perubahan berdasarkan Al-Qur'an yang tidak terdapat kebatilan didalamnya yaitu firman Allah Azza wa Jalla :

"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka merubah diri-diri mereka." [Ar-Ra'du : 11]

Maka medan perubahan ini adalah jiwa-jiwa manusia agar jiwa-jiwa itu tegak, istiqomah diatas manhaj Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan siap untuk menjadi pemimpin.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji untuk mengokohkan (Islam dan kaum muslimin) tapi dengan syarat mereka mau merubah diri-diri mereka sendiri :

"Artinya : Jika kalian menolong Allah niscaya Allah akan menolong kalian dan mengokohkan kedudukan kalian." [Muhammad : 7]

Oleh karena itu kami melihat guru kami Syaikh Al-Albani memuji kata-kata yang masyhur dibawah ini :

"Tegakkanlah daulah Islam dalam jiwa-jiwa kalian niscaya daulah Islam itu akan tegak dibumi kalian."

Beliau memuji kalimat tersebut karena sesuai dengan Al Qur’an dalam metode memperbaiki masyarakat bukan lantaran beliau terpengaruh dengan pencetusnya.

Barangkali ada orang yang akan berkata : Sesungguhnya metode “Tasfiyah dan Tarbiyah” (mensucikan dan mendidik) itu tidak jelas, untuk orang-orang seperti ini telah dikatakan : "Sesungguhnya manhaj ini lebih terang dari matahari akan tetapi terkadang mata mengingkari cahaya matahari karena tertutup dengan debu."

Sesungguhnya manhaj ini adalah metode Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus beliau untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya dan melahirkan umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kebaikan serta melarang kemungkaran dan beriman kepada Allah Azza wa jalla.

"Artinya : Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya pada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (As-Sunnah)." [Al-Jumu'ah : 2]

Sesungguhnya ini adalah ilmu dan tazkiyah (pensucian) dan kita tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan tasfiyah (pemurnian), dan sekali-kali tidak akan bisa mewujudkan pensucian melainkan dengan tarbiyah (mendidik).
Ini adalah pemahaman para pewaris Nabi, umat yang adil, yang mana Allah menyingkapkan kekaburan dengan mereka dan menghilangkan serta menghancurkan kezaliman, sebagaimana hal ini disebutkan dalam hadits yang hasan.

"Artinya : Ilmu ini akan dibawah oleh orang-orang yang adil, mereka meniadakan penyimpangan orang-orang yangmelampaui batas, melenyapkan orang-orang yang batil dan orang-orang yang bodoh."

Manhaj salaf menyelamatkan para pemuda/generasi umat dari jaring-jaring hizbiyyah, sebagaimana dalam hadits Bukhari dan Muslim :

"Artinya : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mencabut ilmu sesudah Allah memberikan kepada kalian akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan kematian para ulama hingga jika tidak tersisa seorang ulama manusia menjadikan pemuka-pemuka mereka orang-orang yang bodoh lalu mereka ditanya maka mereka berfatwa tanpa ilmu hingga mereka menyesatkan dan mereka sendiri tersesat."

Dakwah salafiyyah tidak mengarahkan untuk bentrok (secara frontal) dengan para penguasa dan undang-undang karena dakwah ini menginginkan perbaikan dan bersungguh-sungguh dalam memperbaiki. Karena hukum dan penguasa bukanlah tujuan menurut dakwah salafiyah tetapi hal itu adalah wasilah / sarana untuk beribadah kepada Allah semata dan agar agama ini menjadi milik Allah seluruhnya.

Bentrok dengan penguasa / kudeta dapat mengakibatkan urusan yang lebih besar, jika tidak percaya maka lihatlah fakta!

Demikian juga sesungguhnya peraturan Islam harus mempunyai penopang dan pembela dari rencana busuk musuh-musuh Islam dan para dai yang menghalangi jalannya :

“Artinya : Dialah yang menguatkanmu dengan pertolongan-Nya dan dengan orang-orang yang beriman.” [Al-Anfal : 62]

Dan tidaklah kaum muslimin menjadi penopang para rasul sesudah Allah, melainkan jika mereka terdidik diatas manhaj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat-sahabat beliau (semoga Allah meridhai mereka)..(contoh) jihad Afghanistan, jihad ini mempunyai pembela dan penopangnya dari rakyat Afghanistan...akan tetapi kaidah tasfiyah dan tarbiyah ini terlalaikan dengan perlawanan (terhadap musuh) sebelum tarbiyah, sehingga tatkala mencapai singgasana kekuasaan bercerai-berailah sesudah sebelumnya kuat, bermusuhan diantara mereka dan mereka menjadi lemah, dan hilang kekuatan mereka, runtuh dan hancur, dan para musuh pengintai mereka menunggu kesempatan.

Jika demikian (kenyataannya) haruslah dilakukan tashfiyah (pembersihan) dan tarbiyah (pendidikan) diatas manhaj Nabawi yang bersih yang terlahirkan darinya generasi yang menjadikan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sebagai panutan.

Disamping itu sesungguhnya salafiyyin tidak mengingkari orang-orang yang melakukan perubahan, akan tetapi mereka mengingkari metode perubahan, yang tidak bisa “mengenyangkan dan tidak bisa menghilangkan rasa lapar”, bahkan orang-orang yang tergesa-gesa dan orang-orang yang mengambil manfaat (dunia) menaiki metode itu untuk mengorbankan para pemuda muslim, mereka membuat kerusakan yang pada akhirnya mereka berguguran di sarang musuh dengan sebab ketergesa-gesaan mereka, dan sunnah Allah Azza wa jalla menimpa mereka sebagaimana yang dikatakan para ulama.

"Artinya : Barangsiapa tergesa-gesa sebelum waktunya maka diharamkan mendapatkannya."

Salafiyyun menolak metode-metode yang mendukung ahli batil serta menghina kaum muslimin menjadikan kaum muslimin berpecah-pecah, berkelompok-kelompok (berpartai-partai), permusuhan diantara mereka sangat sengit. Kemudian dilecehkannya aqidah serta syariat Islam.

Inilah yang diingkari salafiyyin, dan mereka selalu memperingatkan darinya, pendorong mereka dalam hal ini seluruhnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

"Artinya : Aku tidak bermaksud kecuali mendatangkan perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada petunjuk bagiku melainkan denga pertolongan Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nyalah aku kembali." [Hud : 88]

Dan Allahlah yang menjanjikan ..

[Diterjemahkan dari majalah al-Asholah edisi 18 hal 29]

[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyah, Edisi 10/Th II/2004/1425H] Selengkapnya...

YUSUF QARADHAWI DENGAN THAGHUT DEMOKRASI

Dr Yusuf Al-Qaradhawi Dan Demokrasi
Rabu, 8 Agustus 2007 10:49:41 WIB



Halaman ke-3 dari 3


Logika akal, syari'at dan realitas menyatakan perlu adanya (orang) yang dimenangkan. Yang diutamakan pada saat terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah mayoritas. Sebab, pendapat dua orang itu lebih mendekati kebenaran daripada pendapat satu orang. Dalam hadits pun sudah ditegaskan:

,"Sesungguhnya, syaitan itu bexsama satu orang dan dia (syaitan) lebih jauh dari dua orang."

Ditegaskan pula, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Abu Bakar dan `Umar radhiallahu `anhuma:

"Jika kalian bersatu dalam suatu musyawarah, niscaya aku tidak akan menentang kalian berdua."

Demikian yang diungkapkan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi.

Ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi di atas memerlukan adanya perincian, karena di dalamnya terdapat kerancuan dan beberapa hal yang membingungkan.

Pertama-tama, saya merasa heran karena Dr. Yusuf al-Qaradhawi menempatkan pendapat lawan-lawannya yang menurutnya tidak benar dengan membuka ucapannya bahwa mereka berpendapat "Demokrasi adalah ajaran yang diimport dari Barat dan tidak mempunyai hubungan dengan Islam"-Apakah Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengetahui bahwa demokrasi merupakan ajaran yang tidak diimport? Dan bahwasanya demokrasi merupakan prinsip dasar yang lahir dan tumbuh di dalam buaian sejarah Islam disertai berbagai perubahan peradaban, manhaj, agama dan politik? Lalu kapan hal itu terjadi? Di zaman apa, jika dihitung dari sejak diutusnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai pertengahan abad ke-19? Kapan Eropa mengimport demokrasi dari kaum muslimin? Serta apakah rahasia-rahasia yang terdapat dalam peristiwa bersejarah dan menghebohkan itu yang tidak diketahui oleh seantero bumi selama kurun waktu yang begitu panjang?

Saya kira, Dr. Yusuf al-Qaradhawi tidak seharusnya membuka ucapannya dengan kalimat tersebut. Sebab, siapa pun dari kaum muslimin tidak akan dapat mengaklaim bahwa demokrasi itu merupakan ajaran yang tidak diimport dari sistem Eropa. Sesungguhnya yang menjadi perbedaan pendapat adalah sikap Islam terhadap demokrasi itu. Ini yang pertama!

Adapun ungkapan Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi: "Seharusnya kita perlu membicarakan tentang demokrasi di dalam masyarakat muslim, yang mayoritas mereka dari kalangan orang­orang yang berpengetahuan, berakal, beriman lagi bersyukur. Kita tidak hendak membicarakan tentang masyarakat kaum atheis atau kaum yang sesat dari jalan Allah."

Yang demikian itu secara obyektif adalah kesalahan yang jelas. Sebab, demokrasi tidak mempersoalkan identitas, keimanan, kekufuran dan jenis nilai yang dibawa oleh seseorang, karena semuanya itu sama, baik itu orang alim yang bertindak sewenang-­wenang, Muslim dan Nasrani. Jika saya katakan: "Bahwa hak menerapkan demokrasi di masyarakat muslim tergantung pada orang muslim yang taat beragama, dan tidak masuk di dalamnya orang yang tidak taat beragama atau yang mempunyai identitas tidak jelas atau pemeluk Nasrani, Yahudi atau Atheis. Maka, artinya anda telah berbicara tentang sistem lain dan manhaj yang lain pula. Jelas, itu bukan lagi demokrasi."

Demikian juga dengan ungkapan Syaikh Dr. Yusuf ai-Qaradhawi: "Kemudian, di sana terdapat beberapa masalah yang tidak masuk ke dalam voting dan tidak pula diperlukan pemungutan suara terhadapnya, karena semua itu merupakan bagian dari hal­-hal yang sudah baku dan tidak dapat dilakukan perubahan, kecuali jika masyarakat itu mengalami perubahan sendiri dan tidak menjadi muslim lagi"

Perbedaan yang dianggap aneh oleh Syaikh Dr. Yusuf al­Qaradhawi di sini adalah bahwa suatu masyarakat, jika mengalami perubahan dan tidak menjadi muslim lagi, maka dimungkinkan menjadi masyarakat yang demokratis. Tetapi, jika masih tetap menjadi masyarakat muslim, maka dapat dipastikan ia tidak akan demokratis, karena mempunyai sistem lain berupa hal-hal yang sudah baku, `aqidah dan nilai-nilai yang tidak mungkin untuk di­tundukkan pada pendapat manusia.

Di sini, kita kembali lagi kepada pokok kesalahan pada konsepsi Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi terhadap wujud dan substansi demokrasi. Di dalam demokrasi, rakyat merupakan tempat kembali sekaligus penguasa, pembuat ketetapan, dan penentu satu-satunya. Jika anda mengatakan, bahwa di sana terdapat beberapa hal yang tidak akan dapat ditundukkan pada voting atau tidak masuk pada ruang voting, maka dengan demikian anda tidak demokratis. Jika anda mengatakan, bahwa di sana terdapat beberapa hal pasti dan permanen, baik yang menyangkut masalah pemikiran, agama, moral, ekonomi atau politik yang tidak akan dapat diubah, maka pada saat itu anda juga tidak demokratis.

Demikian juga ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi: "Jadi , tidak ada ruang voting dalam berbagai ketetapan syari'at yang sudah pasti," maka ungkapan itu pun sama sekali tidak demokratis. Sebab, pengakuan anda bahwa di sana terdapat syari'at yang memerintah di atas kehendak dan kemauan manusia, maka yang demikian itu sebagai pukulan telak terhadap isi dan substansi demokrasi.

Apakah sekarang gambarannya sudah menjadi jelas dalam pandangan Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fahmi Huwaidi dan alirannya? Saya sependapat dengan mereka dalam setiap ketentuan, batasan dan bingkai yang diberikan oleh Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi bagi politik masyarakat muslim, tetapi kesalahan mendasar adalah mereka menolak -dan saya tidak tahu mengapa- kecuali dengan meletakkan simbol demokrasi pada manhaj Allah dan sistem politik Islam. Apakah mereka menyangka, bahwa mereka telah memperindah Islam dan manhajnya dengan tindakannya meletakkan slogan hasil impor dari Barat ini?

Sesungguhnya Islam, wahai para sahabatku, lebih baik, lebih tinggi, suci dan lebih lurus dari demokrasi dan dari segala konsep buatan manusia untuk mengatur politik masyarakat. Demi Allah, saya katakan itu tidak hanya sekedar untuk membela agama, atau sekedar militansi iman, tetapi yang demikian itu merupakan keyakinan yang teguh dari perjalanan panjang selama melakukan kajian, pertimbangan dan perenungan perhatian terhadap ber­bagai perubahan sejarah kemanusiaan terdahulu maupun modern sekarang ini.

Saudaraku sekalian, sesungguhnya dengan demikian itu kalian telah menimbulkan kegoncangan, keraguan dan kerancuan berpikir dalam otak dan hati nurani generasi muda pemegang panji kebang­kitan Islam yang diharapkan umat.

Mengapa kalian tidak mencari suatu pemikiran orisinil konstruktif (yang berasal dari Islam), yang dengannya kalian membina proyek Islam yang fundamental untuk kebangkitan dan untuk mengatur aktivitas sosial Islami yang baru? Apakah tugas seorang ahli fiqih atau pemikir muslim sekarang ini harus menunggu produk dari Barat, baik pemikiran maupun materi, untuk ditempelinya dengan label tradisional: "Disembelih dengan cara Islami?"

Wahai saudaraku, apakah Islam tidak mengenal sistem, masyarakat, peradaban, teori-teori politik dan pola-pola manajemen sebelum munculnya demokrasi? Dan apakah Islam serta masyarakat­nya tidak mengetahui keadilan, kasih sayang, kebebasan, pencerahan, peradaban, permusyawaratan, pluralitas pemikiran dan paham, dan lain-lainnya, sebelum menculnya demokrasi?

Jika Islam mengetahui semuanya itu, maka beritahukan hal itu kepada kami, lalu kembalikan bentuk dan formatnya, lalu kembangkanlah sistem dan kelembagaan, telitilah aturan-aturan dan sarana untuk merealisasikannya, serta lahirkanlah apa yang kalian butuhkan darinya berupa istilah-istilah orisinil dan simbol-simbol Islami, yang mengekspresikan keistimewaan manhaj Islam dalam pemerintahan, daripada melakukan penjiplakan pemikiran, paham, dan istilah yang hina dan memalukan di hadapan kancah pemikiran Eropa modern.

Wahai Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, demokrasi dan sekularisme merupakan dua sisi mata uang Eropa. Orang yang mengatakan selain itu kepada Anda, berarti dia telah membohongi Anda. Dalam pandangan Islam, kedua hal tersebut (demokrasi dan sekularisme) ditolak. Tetapi penolakan terhadap keduanya tidak berarti kita menolak sebagian dari produknya yang hampir menyerupai nilai-nilai Islam. Merupakan hak rakyat untuk memilih pemimpin atau penguasa dan hak mereka pula untuk melengserkannya jika menyimpang, atau mempertanyakan kepadanya jika melakukan kesalahan, juga mempunyai kebebasan berpendapat, hak berbeda pendapat, menjaga kehormatan manusia, hak perputaran kekuasaan, dan lain-lainnya. Semuanya itu merupakan pilar pilar pokok manhaj Islam dalam pemerintahan yang ditetapkan melalui nash Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, akan tetapi semuanya itu merupakan pilar-pilar yang berdiri di atas dasar-dasar idealis dan aqidah, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan dan bingkai-­bingkai sistematis, yang berbeda total dari dasar-dasar dan ketentuan-­ketentuan yang dimainkan oleh demokrasi sebagai sistem bagi politik masyarakat manusia.

Wahai Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, bukan itu peranan Anda dan bukan itu pula problema Anda, semuanya itu merupakan tindakan ninabobo yang dimunculkan oleh para propagandis pencerahan yang mempunyai pemikiran berlebihan, yang mereka tidak mengemban tanggung jawab dan kebangkitan umat, mereka tidak mengetahui nilai agama mereka, juga tidak memahami bahwa mereka mengemban risalah Islam bagi seluruh alam semesta.

Wahai Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, fatwa Anda telah menyebar ke seluruh belahan bumi, yang telah dibaca dan diketahui oleh sebagian besar kaum terpelajar. Saya meminta kepada Anda dengan penuh kesungguhan, "agar Anda menjelaskannya bagi umat manusia dan tidak menyembunyikannya," supaya mencermati kembali apa yang telah Anda tetapkan dalam masalah ini. Jika Anda mendapatkan kesalahan pada fatwa Anda, maka jelaskan kesalahan itu kepada umat manusia. Anda mestinya lebih adil daripada sekedar menolak kebenaran jika Anda mengetahuinya. Jika apa yang saya katakan itu salah atau menyimpang, Jelaskanlah kepada saya dan kepada umat manusia, mudah-mudahan Allah memberikan kita petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini. Segala puji bagi Allah pada permulaan dan akhirnya, dan tidak ada daya dan upaya melainkan dari Allah semata"'[13]

Perlu penulis katakan: "Oleh karena Dr. Yusuf al-Qaradhawi percaya kepada demokrasi, maka sesungguhnya tidak diragukan lagi bahwa dia akan percaya terhadap segala resikonya, yaitu mun­culnya berbagai partai yang bersaing untuk kekuasaan"

DR YUSUF AL-QARADHAWI MEMBOLEHKAN BERDIRINYA LEBIH DARI SATU PARTAI DI NEGARA ISLAM
Dalam hal ini, Dr Yusuf al-Qaradhawi mengatakan : “Pendapat saya yang telah saya suarakan dari sejak beberapa tahun yang lalu dalam berbagai ceramah umum dan pertemuan khusus adalah, bahwasanya tidak ada larangan syari’at tentang adanya lebih dari satu partai politik di negara Islam, karena larangan syari’at itu pasti membutuhkan adanya nash, dan ternyata tidak ada nash.

Bahkan, multi partai ini bisa jadi merupakan suatu hal yang penting pada zaman sekarang ini, sebab ia berperan sebagai katup pengaman dari kediktatoran seseorang atau kelompok tertentu yang berkuasa dan penindasannya terhadap manusia, atau hilangnya kekuatan yang mampu mengatakan “Tidak” kepada manusia atau mengatakan “tidak” atau “Mengapa?” kepada penguasa. Sebagaimana hal itu telah ditunjukkan oleh catatan sejarah dan dibuktikan oleh kenyataan.

Semua persyaratan yang ditetapkan agar partai-partai mendapat legitimasi eksistensinya adalah dua hal penting, yaitu :

1. Harus mengakui Islam, baik sebagai aqidah maupun syari’at serta tidak memusuhi atau menolaknya, meskipun partai-partai itu mempunyai ijtihad khusus dalam pemahamannya di bawah pancaran dasar-dasar pokok ilmiah yang telah ditetapkan.

2. Tidak berbuat untuk kepentingan kelompok-kelompok yang memusuhi Islam dan umatnya,. apapun nama dan dimanapun tempatnya.

Dengan demikian, tidak ada satu partai pun boleh didirikan untuk menyeru kepada atheisme, leiberalisme atau anti agama, atau menyerang semua agama samawi secara keseluruhan, atau agama Islam pada khusunya, atau meremehkan kesucian Islam, baik itu aqidah, syari’at, Al-Qur’an maupun Nasbi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [14]

Perlu penulis katakan : “Jika anda mensyaratkan bagi paartai-partai tersebut untuk mengakui Islam sebagai aqidah dan juga syari’at, tidak memusuhinya atau menolaknya, lalu apa alasan pendiriannya di bawah pemerintahan Islami yang menerapkan syari’at Allah? Karena tujuannya adalah satu, yaitu penerapan syari’at Allah, dan alhamdulillah, hak itu telah berhasil. Lalu, utuk apa lagi keberadaan partai-partai tersebut?


Jika Dr Yusuf al-Qaradhawi mengatakan : Paratai-partai ini mempunyai perbedaan cara dalam menangani dan mencari solusi bagi berbagai permasalahan beraneka ragam yang menghadang perjalanan negara Islam, baik itu yang bersifat sosial, ekonomi maupun politik”

Menanggapi hal tersebut, dapat penulis katakan : “Bahwa hal tersebut tidak mengharuskan pendirian partai-partai yang saling bertentangan yang masing-masing berusaha dengan segala macam cara untuk sampai pada kekuasaan. Cukup didirikan suatu majelis permusyawaratan yang bisa mencarikan jalan keluar yang sesuai bagi berbagai permasalahan negara”.

Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan janganlah kalian berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan” [Al-Anfaal : 46]

Dia juga berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka” [Al-An’aam : 159]

Partai-partai yang pendiriannya diinginkan oleh Dr Yusuf al-Qaradhawi merupakan faktor penting bagi timbulnya perpecahan umat, yang membawa dan menyebarkan beragam pertikaian dan permusuhan serta persaingan duniawi, jika tidak sampai kepada saling tuduh-menuduh.

Sedangkan ungkapan Dr Yusuf al-Qaradhawi mengenai beberapa persyaratan atas berdirinya partai :”Yaitu, harus mengakui Islam sebagai aqidah maupun syari’at serta tidak memusuhi atau menolaknya, meskipun partai-partai itu mempunyai ijitihad khusus dalam pemahamannya,” maka berarti dia mengisyaratkan kepada para pelaku bid’ah dari kalangan Syi’ah Rafidhah, ibadhiyah, dan semisalnya yang akan diperkenankan mendirikan partai-partai di bawah naungan negara. Dr Yusuf al-Qaradhawi akan menutup mata dari bid’ah yang mereka buat dan perbedaan mereka terhadap umat.

Apa yang anda kira, wagau saudaraku, ketika pemerintahan negara Islam dipegang oleh partai penganut Syi’ah Rafidhah, dan apa akibatnya yang akan timbul karenanya?

Sudah pasti akan terjadi seperti apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : “Syi’ah Rafidhah, jika mereka sudah menduduki jabatan, maka mereka akan mengangkat kaum kafir sebagai pemimpin dan memusuhi setiap orang muslim yang tidak sejalan dengan pendapat mereka” [15]

Perlu penulis katakan : “Bagi yang ingin mendapatkan tambahan informasi tentang berbagai dampak buruk dari pendirian partai-partai di negeri Islam, maka hendaklah dia membaca risalah Hukmul Intimaa, karya Syaikh Bakr Abu Zaid dan risalah Al-Hizbiyyah Maa Lahaa wa Maa Alaiha, karya Syaikh Abdul Majd Ar-Riimi.

[Disalin dari kitab Al-Qaradhaawiy Fiil-Miizaan, Penulis Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi, Edisi Indonesia Pemikiran Dr. Yusuf al-Qaradhawi Dalam Timbangan, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, E.M. Penerbit Pustaka Imam Asy-syafi'i, Po Box: 147 Bogor 16001, Cetakan Pertama Dzulqa'dah 1423 H/Januari 2003]
__________
Foote Note
[13]. Jihaaduna ats-Tsaqafi (54-65).
[14]. Fatawa Mu’aashirah (II/652-653)
[15]. Minhajus Sunnah (IV/537)


prev 1 2 3 Selengkapnya...