يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ﴾ [الحشر:18

Selasa, 22 Desember 2009

FATWA SESAT WAHDAH ISLAMIYYAH <3>

Mereka tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, baik kepada pribadi-pribadi, kepada jama’ah-jama’ah maupun kepada pemerintah. Bahkan mereka menghukumi sesuai dengan hawa nafsunya, padahal mereka mendengung-dengungkan Hakimiyatullah, sedangkan mereka adalah orang yang paling membangkang terhadap Hakimiyatullah. Saya melihat bahwasanya mereka lebih ekstrim dari Murji’ah[1] dalam menyikapi ahli bid’ah dan kesesatan. Bagaimanapun banyaknya manusia yang terbenam dalam bid’ah-bid’ah yang besar, mereka tidak menganggapnya sebagai kemungkaran dan mereka juga tidak memandang bahwa hal ini mempunyai sangkut paut dengan Al-Wala’ wal Bara’ (cinta dan benci karena AllahFATWA KESESATAN JAMA’AH / ORMAS / YAYASAN WAHDAH ISLAMIYAH (Bag. 3)
Syaikh Rabi’ bin Hady Al-Madkhaly [1]– hafidzhohullah –
(Imam Jarh wat Ta’dil)

بسم الله الرحمن الرحيم

Mereka tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, baik kepada pribadi-pribadi, kepada jama’ah-jama’ah maupun kepada pemerintah. Bahkan mereka menghukumi sesuai dengan hawa nafsunya, padahal mereka mendengung-dengungkan Hakimiyatullah, sedangkan mereka adalah orang yang paling membangkang terhadap Hakimiyatullah. Saya melihat bahwasanya mereka lebih ekstrim dari Murji’ah[1] dalam menyikapi ahli bid’ah dan kesesatan. Bagaimanapun banyaknya manusia yang terbenam dalam bid’ah-bid’ah yang besar, mereka tidak menganggapnya sebagai kemungkaran dan mereka juga tidak memandang bahwa hal ini mempunyai sangkut paut dengan Al-Wala’ wal Bara’ (cinta dan benci karena Allah). Wal’iyadzubillah. Maka mereka akan berwala’ (loyalitas dan cinta) kepada orang-orang yang telah kami sebutkan seperti : Sayyid Quthb, Hasan Al-Banna, Al-Maududy, At-Tilmisany, Al-Ghozaly, As-Siba’i, Sayyid Hawwa’, Fathi Yakan, Muhammad Surur Zainul Abidin dan selainnya dari para Imam kesesatan dan para pemimpin fitnah. Mereka berwala’ kepadanya dan menganggapnya sebagai para imam dan bahwa mereka adalah para mujaddid (pembaharu) dan mereka adalah para da’i Islam dan mereka adalah syuhada dan mereka…. dan mereka…. dan demikian seterusnya. Dan demi Allah, ini adalah irja’ ekstrim yang sesungguhnya, sebab ini merupakan kemungkaran yang tidak dianggap sebagai kesesatan. Dimanakah peperangan terhadap irja’ sementara mereka berada beberapa derajat dibawah Murji’ah ekstrim ? Pahamilah ini !!!

Al-Quthbiyyun lebih ekstrim dalam irja’ daripada Murji’ah ekstrim dan di sisi lain mereka sangat ekstrim dalam khuruj (keluar dari ketaatan terhadap pemerintah) dan berkata dengan perkataan-perkataan khawarij[2]. Mereka adalah orang yang paling ekstrim dalam madzhab khawarij. Maka karena kejahilan dan kesesatannya, mereka mencampur adukkan dua kesesatan dari kesesatan-kesesatan yang paling buruk yaitu irja’ yang ekstrim dan khawarij yang ekstrim sehingga mereka keluar (karena hawa nafsu mereka) dari manhaj dan orang-orang yang memuliakan manhaj ini yaitu pemerintah negeri ini (Arab Saudi-pent). Mereka adalah murji’ah di hadapan kelompok-kelompok yang memerangi manhaj tauhid dan manhaj As-Salaf Ash-Sholeh karena mereka tidak menentang kelompok-kelompok tersebut padahal mereka punya kesesatan dari dahulu dan sekarang yang tidaklah ada yang mengetahuinya (seluruhnya) kecuali Allah. Ini adalah irja’ yang paling hina dan berada pada derajat irja’ yang terendah dan pada saat yang sama mereka juga memerangi manhaj Salafy serta orang-orang yang menyambut manhaj salaf tersebut dari kalangan pemerintah dan da’i-da’inya.

Dan termasuk kesalahan orang ini (Zaitun) bahwasanya dia mengkritik pemerintah di mimbar-mimbar bebas. Ini adalah jalannya khawarij karena dia menggerakkan massa melalui mimbar-mimbar, membawa kepada revolusi, pertumpahan darah, dan banyaknya kerusakan yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Dan Salaf yang mengetahui Manhaj Salaf yang sesungguhnya akan melarang dari perkara ini. Dan Rasul Shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahakan untuk bersabar terhadap pemerintah sepanjang mereka melaksanakan sholat sampai kalian melihat kekafiran yang nyata dan jelas. Janganlah engkau menggerakkan massa. Jika kamu mempunyai kemampuan dan jalan untuk melepaskan diri dari pemerintah yang kafir dan kamu mempunyai kemampuan untuk menyelamatkan Islam dan kaum muslimin dari fitnah dan kerusakan-kerusakan yang lebih besar daripada kerusakan yang menghapuskannya (kalau ada-pent), maka jika kamu mempunyai jaminan-jaminan seperti ini maka tidak apa-apa. Akan tetapi jika kalian tidak mempunyai hal tersebut maka wajib bagi kamu untuk diam, wajib bagi kamu untuk bersabar dalam rangka menjaga Islam dan memelihara kamu muslimin dalam agama, kehormatan, harta benda dan darahnya.

Perkataan Zaitun : “Bahwasanya ruju’ (kembali) kepada pemahaman Salaf adalah ketika kita tidak tahu bagaimana beramal dengan Kitab dan Sunnah”

Jawaban Syaikh : “Kamu (Zaitun) adalah ajam (bukan Arab), kamu tidak mengerti Kitab dan Sunnah, maka wajib bagi kamu dan selain kamu dari orang-orang Arab yang ada untuk mengakui pemahaman Salaf dan mengambilnya dalam masalah ‘aqidah, ibadah, halal dan haram, serta janganlah orang sepertimu bersandar pada pemahamannya, karena sesungguhnya dari pemaparanmu dengan ucapan ini dan perlakuanmu kepada Salafiyah dan selain kamu menunjukkan bahwa kamu tidak memahami perkataan orang apalagi Kalamullah dan Kalam Rasul. Wajib baginya dan orang-orang yang semisalnya untuk berhenti pada batas-batasnya dan dia tidak menundukkan dirinya pada kedudukan dan sebagai sentral melampaui apa yang pantas baginya dalam beberapa fase. Maka wajib baginya untuk tawadhu’ dan beradab serta mempelajari apa yang telah ditetapkan oleh Salaf dalam ‘aqidah dan ibadah serta berpegang teguh dengannya.

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisaa : 115)

Dan kadang-kadang seseorang memahami dengan pemahaman Jahmiyah, dengan pemahaman Rafidhoh, dengan pemahaman Khawarij pada Kitab dan Sunnah. Dan Rafidhoh telah keluar dari pemahaman Kitab dan Sunnah dan mereka itu adalah orang-orang yang menyesatkan, sebagaimana dirimu (Zaitun-pent). Dan mereka menyesatkan tatkala mereka menyelisihi pemahaman salaf. Maka wajib bagi kamu untuk mengambil petunjuk dari para ulama Salaf dan mengambil petunjuk dari para Khulafa’ Rosyidin dan untuk mengikuti jalannya orang-orang mukmin dan tinggalkanlah ghurur (kebanggaan yang menipu diri).

Kemudian Syaikh menjawab pertanyaan-pertanyaan yang khusus berkaitan dengan hukum dari orang yang menyebarkan perkataan-perkataan diatas :

Pertanyaan : “Apakah orang ini (Zaitun-pent) telah keluar dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jama’ah?”

Jawaban Syaikh : “Ya, dia tidaklah termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dia termasuk ahli kesesatan dan termasuk da’i-da’i fitnah”.

Pertanyaan : “Dan apa nasehat antum kepada orang ini (Zaitun-pent) ?”

Jawaban Syaikh : “Wajib baginya untuk mengumumkan taubat dan ruju’ (kembali) kepada manhaj Salaf dan untuk ihtiram (menghargai/menghormati) terhadap manhaj Salafy dan Ihtiram terhadap ‘ulama manhaj ini dan untuk mengumumkan pendiriannya tentang firqoh-firqoh yang sesat seperti; Tabligh (Jama’ah Tabligh), Ikhwan (Ikhwanul Muslimin) dengan berbagai macam bagian-bagiannya dan wajib bagi dia untuk mengumumkan pendiriannya terhadap mereka dan hendaknya pendiriannya adalah pendirian Salafy, bukan pendirian Quthbiyah yang sesat. Apabila dia tidak berhenti dan tidak mengambil petunjuk Salaf pada pemahaman mereka dengan cara komitmen terhadap mereka dan jika dia tidak ihtiram (menghargai/menghormati) terhadap ‘ulamanya dan tidak ihtiram terhadap manhaj mereka dan dia berwala’ kepada jama’ah-jama’ah ini dan membelanya serta memusuhi manhaj Salaf dan pengikutnya, maka dia termasuk ahli dholal (ahli kesesatan) dan wajib untuk mentahdzir (memperingatkan ummat) darinya, kecuali jika dia bertaubat kepada Allah dan ruju’ (kembali).

Wasallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa alihi wa shohbihi wasallam.

Keterangan :

[1] Al Murji`ah adalah isim fa’il (dalam bahasa Arab) dari kata "arja`a" yang bermakna "akhara" (mengakhirkan). Orang-orang yang dicap berpemahaman Murji`ah titik tolak pemikirannya adalah melebihkan perhatiannya terhadap dalil-dalil yang berisikan harapan (roja`) hingga pada akhirnya seolah-olah menganggap tidak ada dalil-dalil yang memuat ancaman (wa’iid).

Selain daripada itu, mereka yang dicap sebagai Murji’ah adalah karena prinsipnya yang aneh dan nyeleneh, dimana mereka mengakhirkan amalan dari definisi iman, artinya bahwa amalan tidak ada sangkut pautnya dengan keimanan, iman adalah pengakuan dalam hati saja. Walhasil, para pelaku dosa besar seperti pezina, pencuri, pemabuk, perampok, menurut mereka, tidak berhak untuk masuk neraka baik untuk selama-lamanya ataupun sementara waktu, semua kemaksiatannya besar atau kecil tidak akan membahayakan iman, selama tidak sampai kepada kekufuran, yang taat dan maksiat; keimanan mereka sama, wal ‘iyadzubillah.

[2] Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata, madzhab mereka (khawarij) adalah tidak berpegang dengan Ahlussunnah wal Jamaah, tidak mentaati pemimpin (pemerintah kaum muslimin, pen), berkeyakinan bahwa memberontak terhadap pemerintah dan memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin merupakan bagian dari agama. Hal ini menyelisihi apa yang diwasiatkan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam agar senantiasa mentaati pemerintah (dalam hal yang ma’ruf/ yang tidak bertentangan dengan syariat), dan menyelisihi apa yang telah diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya:

“Taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemimpin) di antara kalian.” (An-Nisa: 59)

Allah dan Nabi-Nya Shallallaahu ‘alaihi wasallam menjadikan ketaatan kepada pemimpin sebagai bagian dari agama… Mereka (Khawarij) menyatakan bahwa pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) telah kafir, tidak diampuni dosa-dosanya, kekal di neraka. Dan ini bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam Kitabullah (Al Qur’an). (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 31-33)

Sumber : Fatwa Imam Jarh wat Ta’dil, Syaikh Robi’ bin Hady Al-Madkhaly (hafidzhahullah) tentang Kesesatan Jama’ah/Yayasan Wahdah Islamiyah, Penerbit : Ma’had As-Sunnah Makassar (2002). Fatwa ini direkam di rumah beliau di Makkah Al-Mukarramah -semoga Allah menjaganya- pada hari Jum’at, tanggal 23 Ramadhan 1420 H / 31 Desember 1999 dan diterjemahkan dari kaset berbahasa Arab oleh pengasuh Pondok Pesantren As-Sunnah Makassar.


Selengkapnya...

FATWA SESAT WAHDAH ISLAMIYYAH<2>

Kemudian Syeikh membaca beberapa perkataan Zaitun dan memberikan komentarnya :

Perkataan Zaitun : “Karena itu disini ada poin yang penting. Tauhid kita[2] hendaknya membawa kita kepada pengertian yang syamil[3] (menyeluruh) terhadap ajaran Islam ini.”

Komentar Syeikh : “Demi Allah tauhid kalian menelantarkan faham Islam, tauhid kalian adalah tauhidnya Sayyid Quthb, ‘Abdurrahman ‘Abdul Kholiq dan orang-orang yang semisalnya dari kalangan Sururiyyin Quthbiyyin. Demi Allah….., kalian telah menelantarkan Islam dan kaum muslimin.”.FATWA KESESATAN JAMA’AH / ORMAS / YAYASAN WAHDAH ISLAMIYAH (Bag. 2)
Syaikh Rabi’ bin Hady Al-Madkhaly [1]– hafidzhohullah –
(Imam Jarh wat Ta’dil)
[Kirimkan Artikel ini Ke Teman Anda] Kirim Ke Teman

بسم الله الرحمن الرحيم

Kemudian Syeikh membaca beberapa perkataan Zaitun dan memberikan komentarnya :

Perkataan Zaitun : “Karena itu disini ada poin yang penting. Tauhid kita[2] hendaknya membawa kita kepada pengertian yang syamil[3] (menyeluruh) terhadap ajaran Islam ini.”

Komentar Syeikh : “Demi Allah tauhid kalian menelantarkan faham Islam, tauhid kalian adalah tauhidnya Sayyid Quthb, ‘Abdurrahman ‘Abdul Kholiq dan orang-orang yang semisalnya dari kalangan Sururiyyin Quthbiyyin. Demi Allah….., kalian telah menelantarkan Islam dan kaum muslimin.”.

Perkataan Zaitun : “Hendaknya membawa kita kepada pengertian yang syamil (menyeluruh) terhadap ajaran Islam ini. Kita tidak bisa menganggap seseorang itu dikatakan sebagai orang yang bertauhid atau orang-orang yang benar-benar Salafiyyah lalu jika dia menganggap masih ada hukum lain yang lebih baik dari hukum Allah”.

Jawaban Syeikh : “Siapa yang menganggap bahwa di sana ada hukum lain yang lebih baik dari hukum Allah ? Menurut Salafiyyin dia (orang tidak berhukum dengan hukum Allah) adalah kafir, sedangkan kamu masih ragu-ragu menentukan apakah dia Salafy atau bukan Salafy karena sesungguhnya kamu tidak mengerti Salafiyyah. Kami tidak ragu-ragu tentang keislamannya !!, dia kafir !! (karena dia tidak berhukum dengan hukum Allah). Lalu bagaimana dia (Zaitun-pent) mengatakan kita tidak mampu untuk mengatakan bahwasanya dia Salafy atau berada diatas Salafiyah. Ini adalah perkataan orang yang tidak paham. Kami tidak mengatakan bahwa orang yang menganggap adanya hukum lain yang lebih baikdari hukum Allah adalah Salafy…, kami tidak mengatakan dia itu muslim…, bahkan dia adalah kafir. Keraguanmu ini dan ketidaktegasanmu pada permasalahan ini, tentang hakimiyah yang merupakan hal yang paling khusus yang kalian sangat peduli terhadapnya sementara kamu ragu-ragu apakah dia Salafy atau bukan Salafy. Orang ini (yang menganggap bahwa disana ada hukum lain yang lebih baik dari hukum Allah) adalah kafir yang nyata menurut Salafiyyin dan para Imam kaum muslimin”.

Perkataan Zaitun : “Atau ada hukum lain yang boleh diterapkan selain dari hukum Allah”

Jawaban Syaikh : “Ini kafir menurut kami, kami tidak ragu-ragu tentangnya apakah dia Salafy atau bukan Salafy. Kami memastikan bahwasanya dia adalah kafir –barakallahu fiikum-, orang ini (Zaitun-pent) meskipun sangat menggebu-gebu semangatnya terhadap hakimiyah akan tetapi dia ragu apakah dia Salafy atau bukan Salafy. Sementara seorang Salafy yang sebenarnya memandang dua jenis ini adalah kafir dan keluar dari Islam, apalagi mau bimbang tentang ke-salafiyannya. Maka inilah Salafiyah yang sebenarnya lagi faham, bukan seperti salafiyah kalian yang tidak tegas”.

Perkataan Zaitun : “Nah, inilah kita harus jujur dan kita harus adil memberikan penilaian, jangan saudara-saudara kita para du’at dikatakan tidak bertauhid karena tidak sesuai dengan pendapat kita.”

Jawaban Syaikh : “Saudara-saudara kamu para da’i…., siapa mereka ??. Kami mengatakan kepada mereka ada bid’ah-bid’ah, kesesatan-kesesatan dan penyimpangan-penyimpangan. Maka jika yang kamu maksudkan dengan saudara-saudaramu para du’at itu adalah Quthbiyyin, Al-Ikhwan (Ikhwanul Muslimin) dan Tabhligiyyin (Jama’ah Tabligh) maka mereka adalah orang-orang sesat. Mereka punya sedikit dari tauhid tetapi –sungguh sangat disayangkan- mereka tidak mementingkan tauhid dan memerangi ahli Tauhid. Mereka adalah ahli fitnah dan kesesatan”.

Perkataan Zaitun : “Lalu orang-orang yang nyata-nyata tidak mau berhukum dengan hukum Allah lalu kita anggap dia sebagai orang yang bertauhid lalu…. kita anggap dia sebagai orang yang bertauhid ?”

Jawaban Syaikh : “Seakan-akan (Wallahu a’lam) dia (Zaitun) di sini menyindir Salafiyyin dan dia dengan zholim menuduh bahwa ada orang-orang yang berhukum selain apa yang diturunkan Allah, sementara Salafiyyin menganggap mereka termasuk Ahli Tauhid. Ini adalah kedustaan dan kebohongan yang sangat jelas. Jika yang mereka maksudkan adalah pemerintah Arab Saudi, maka pemerintah ini adalah pemerintah yang Mushlih (mengadakan perbaikan) tegak di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallah dan menerapkan manhaj ini di sekolah-sekolah, mesjid-mesjid dan pengadilan-pengadilannya –walaupun kalian tidak senang-, dan kami membantah kedustaan-kedustaan ini dengan mengatakan bahwa ada beberapa kesalahan pada pemerintahan tersebut, akan tetapi ‘aqidahnya tegak di atas Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dan manhaj Salaf , dan hukumnya tegak di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dan kesalahan-kesalahan itu selalu ada, baik di masa lalu maupun sekarang. Dan pemerintah Saudi komitmen terhadap Kitabullah lebih baik dari kalian, dari pemimpin-pemimpin kalian dan dari pemerintahan kalian yang berbentuk tanzhim-tanzhim Ikhwanul Muslimin. Mengapa kalian tidak mempermasalahkan pemerintahan At-Turaby (pembesar Ikhwanul Muslimin Sudan) yang mengajak kepada persatuan agama-agama dan mengadakan muktamar-muktamar untuk hal itu, membangun kuburan-kuburan, memberikan keleluasaan bagi gerakan kristenisasi, penyebaran faham Rafidhoh dan segala macamnya sedangkan kalian senang menerima pemerintahannya ?.

Hal ini menunjukkan bahwasanya kalian tidak ada apa-apanya dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah kecuali slogan-slogan dusta.

Demikian pula dengan pemerintahan Arbekan yang pemimpinnya ruku’ kepada kuburan Mustofa Ataturk dan berjanji padanya untuk berjalan diatas manhajnya, mengadakan pernjanjian militer, politik dan ekonomi dengan Yahudi untuk menghadapi kaum muslimin, sedangkan kalian tidak mengeritiknya dengan satu kalimatpun !.

Kalian semua di belahan barat bumi dan di timurnya yaitu Quthbiyah dan Ikhwanul Muslimin semuanya membela orang ini (Arbekan). Dan mereka tidak mengkritiknya sedikitpun pada hal-hal yang dia terjatuh kedalamnya dari kesesatan-kesesatan berupa kekufuran. Maka orang yang bergabung dengan Ikhwanul Muslimin atau kepada Sayyid Quthb walaupun berbuat apapun dari kemungkaran-kemungkaran dan kekafiran-kekafiran yang besar, tidak kalian kritik. Akan tetapi yang berpegang teguh dengan manhaj Salaf dan berbuat kekeliruan maka ini adalah musuhnya yang paling berbahaya dan lawannya yang paling utama diantara seluruh kelompok-kelompok yang sesat.

Perkataan Zaitun : “Sebab negara-negara Arab banyak yang ummat Islamnya dipimpin oleh orang-orang yang tidak menjalankan hukum Islam, namun mereka dikenal sebagai orang-orang atau diberi gelar-gelar sebagai orang-orang yang menjaga da’wah, da’wah Salafiyah misalnya atau da’wah Ahlussunnah.”

Jawaban Syaikh : “Salafiyyun ada di setiap tempat di berbagai negeri dan di negeri kaum muslimin. Mereka ada di India, ada di Pakistan, ada di Bangladesh, ada di Sudan, di Mesir, serta di dunia seluruhnya, termasuk di negeri-negeri yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan. Sedangkan pemerintah Arab Saudi berhukum dengan apa yang Allah turunkan. Jika kamu bermaksud untuk mencela mereka (Salafiyyin) karena mereka tidak mengkafirkan pemerintah Arab Saudi sebagaimana kalian, maka mereka tidak mengkafirkannya.

* Kalian tidak mencaci maki dan tidak mengeluarkan satu kata-pun terhadap orang-orang yang mengajak kepada orang-orang yang telah disebutkan terdahulu dari orang-orang yang mengajak kepada persatuan agama dan kesesatan-kesesatan lainnya. Kalian tidak berbicara sepatah katapun.
* Kalian menginginkan tertancapnya panah-panah mereka di negara yang ditegakkan atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam.
* Kalian tidak bergerak memerangi negara-negara ini kecuali dengan pergerakan Rafidhah (Syi’ah), Khawarij dan musuh-musuh Islam.
* Kalian tidak bergerak diatas manhaj shohih, kalian hanyalah bergerak diatas manhaj yang bathil. Seandainya kalian mempunyai mizan (timbangan) Islam, dan kalian memandangnya dengan pandangan Islamy, maka kalian tidak akan menyelisihi Salafiyyin. Tidak menyelisihi pada manhaj mereka dan tidak pula kalian berselisih terhadap sikap Salafiyyin terhadap negeri-negeri ini.
* Kalian sekarang sudah hampir mengkafirkan mereka dan kalian mencela mereka dengan celaan ini dengan kezholiman dan permusuhan. Dan telah terdahulu penjelasan sikap mereka terhadap orang-orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, jika dia begini, begini, dan begini. Kalian pelajari ini dari Salafiyyin, dan mereka (salafiyyin) meletakkan perkara-perkara tersebut pada tempatnya, sedangkan kalian tidak meletakkannya pada tempatnya. Kalian mengkafirkan orang yang tidak berhak dikafirkan.
* Kalian membela dan pertahankan orang-orang yang terjerumus dalam kekufuran-kekufuran dan kesesatan-kesesatan”.

Kata Zaitun : “Sebab negara-negara Arab banyak yang ummat Islamnya dipimpin oleh orang-orang yang tidak menjalankan hukum Islam”

Jawaban Syaikh : “Yakni (pemerintah tersebut-pent) adalah kuffar (orang-orang kafir) menurut kalian. Dan mereka telah mengkafirkan pemerintah Saudi. Akan tetapi mereka dikenal dengan uslubnya ( gaya bahasa) yaitu uslub hadatsiyat . Hadatsiyyin adalah mereka yang menggunakan uslub-uslub yang berupa rumus-rumus (symbol-simbol). Mereka dengan latah (ikut-ikutan) menyerupai perbuatan orang yang gemar membuat simbol-simbol dari kalangan Hadatsiyyun, bahkan mereka telah mengunggulinya. Sekarang mereka telah mengungguli Hadatsiyyin dalam penggunaan istilah-istilah, dalam mengaburkan dan ketidaktegasan ucapan. Maka dia (Zaitun-pent) disini bermaksud untuk mengkafirkan permerintah Arab Saudi dan menginginkan untuk menggolongkan mereka (Salafiyyin) –sebagaimana yang mereka sangka- sebagai pengekor pemerintah Arab Saudi, karena mereka tidak sepakat dalam pengkafiran mereka terhadapnya (pemerintah Arab Saudi). Dan kami tidak mungkin berjalan dibelakang setiap kebatilan meskipun kami diperangi dan dimusuhi, kami tidak mungkin akan mengikutinya. Kami berhukum dengan apa yang Allah turunkan –InsyaAllah-. Manhaj Salafy berhukum dengan apa yang Allah turunkan baik terhadap perorangan, jama’ah maupun pemerintahan. Maka dia tidak menghukumi atas mereka kecuali dengan suatu hukum yang dilihatnya sesuai dengan Kitabullah dan Manhaj Salaf. Dan bahwasanya itulah keadilan dan inshof yang sebenarnya dan kamu tidak boleh menzholimi seseorang, jama’ah, pemerintah ataupun rakyat.

Akan tetapi semua hukum mereka dibangun diatas kelancangan, maka mereka mengkafirkan dan menuduh sesat dengan hawa nafsunya. Mereka menghiasi, memuji dan mengangkat dengan hawa nafsunya pula. Maka siapa saja yang mencocoki mereka, dia adalah mujaddid (pembaharu), muhtadi (orang yang diatas petunjuk), shohhibul haq (pembawa kebenaran) walaupun bergelimang dengan segala kesesatan seperti Sayyid Quthb dan orang-orang yang semisalnya. Dan siapa saja yang menyelisihi mereka walaupun dia adalah orang yang paling komitmen terhadap Kitabullah dan paling kuat mengambil cahaya Kitabullah dan Sunnah Rasul. Orang seperti ini menurut mereka adalah sesat. Wal’iyadzubillah.

Footnote :

[1] Silahkan klik http://almakassari.com/biografi-syaikh-robi-bin-hady-al-madkhaly untuk mengetahui biografi beliau.

[2] Syeikh Rabi’ menimpalinya dengan berkata : “Iya, tauhid kalian”

[3] Yang kami nukil kepada syeikh “pengertian yang baik” tapi setelah dicek kembali tarnyata perkataannya “pengertian yang syamil”

Sumber : Fatwa Imam Jarh wat Ta’dil, Syaikh Robi’ bin Hady Al-Madkhaly (hafidzhahullah) tentang Kesesatan Jama’ah/Yayasan Wahdah Islamiyah, Penerbit : Ma’had As-Sunnah Makassar (2002). Fatwa ini direkam di rumah beliau di Makkah Al-Mukarramah -semoga Allah menjaganya- pada hari Jum’at, tanggal 23 Ramadhan 1420 H / 31 Desember 1999 dan diterjemahkan dari kaset berbahasa Arab oleh pengasuh Pondok Pesantren As-Sunnah Makassar.


Selengkapnya...

FATWA SESAT WAHDAH ISLAMIYYAH

Wahai penanya yang mulia, pertanyaan-pertanyaan berikut ini seputar jama’ah atau yayasan yang mereka namakan Yayasan Wahdah Islamiyah (YWI-pent). Dari selah-selah apa yang antum ajukan tentang jama’ah ini, maka saya melihat bahwasanya mereka adalah Jama’ah Hizbiyah QutHbiyah Sururiyah berlawanan dengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan manhaj mereka bertentangan dengan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah.FATWA KESESATAN JAMA’AH / ORMAS / YAYASAN WAHDAH ISLAMIYAH (Bag. 1)
Syaikh Rabi’ bin Hady Al-Madkhaly [1]– hafidzhohullah –
(Imam Jarh wat Ta’dil)
[Kirimkan Artikel ini Ke Teman Anda] Kirim Ke Teman

بسم الله الرحمن الرحيم

Wahai penanya yang mulia, pertanyaan-pertanyaan berikut ini seputar jama’ah atau yayasan yang mereka namakan Yayasan Wahdah Islamiyah (YWI-pent). Dari selah-selah apa yang antum ajukan tentang jama’ah ini, maka saya melihat bahwasanya mereka adalah Jama’ah Hizbiyah QutHbiyah Sururiyah berlawanan dengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan manhaj mereka bertentangan dengan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah.

Mereka ikut bersama dengan kelompok-kelompok yang sesat dalam perkataan mereka tentang bolehnya berdemonstrasi dan bolehnya ikut pemilu kadang dengan ber-istisyhad (berpatokan, menjadikannya sebagai penguat) pada fatwa sebagian ‘Ulama Ahlussunnah, tetapi kenyataannya, orang yang memperhatikan fatwa-fatwa tersebut dan mengetahui syarat-syarat yang disebutkan oleh para ‘ulama dalam hal bolehnya ikut pemilu, maka dia akan melihat/mendapati bahwasanya mereka tidak konsisten dengan syarat-syarat tersebut, seandainya mereka konsisten dengannya maka mereka tidak akan ikut Pemilu di negeri manapun di antara negeri-negeri yang ada sekarang.

Dan ucapan mereka tentang Tauhid Hakimiyah, mereka mengambilnya dari Sayyid Quthb. Hakimiyah menurut Sayyid Quthb adalah hal yang paling khusus dari Tauhid Uluhiyah (Tauhid Ibadah) dan dengannya (pemahamannnya tentang tauhid hakimiyah ini-pent) ia mengkafirkan seluruh masyarakat muslim tanpa mengecualikan pribadi dan jama’ah pun kecuali orang-orang yang semodel dengannya, tetapi pada saat yang sama dia tidak memberi perhatian dan tidak peduli dari segala bid’ah-bid’ah kekufuran seperti men-Ta’thil (membatalkan, membuang) sifat-sifat Allah, pemahaman hululiyah (pemahaman kufur yang menganggap bahwa Allah menyatu dengan makhlukNya), (pemahaman) wihdatul wujud (menganggap semua yang ada hakikatnya adalah Allah), mencerca shahabat, menikam (baca: merendahkan) sebagian Nabi-nabi, orang ini tidak peduli dengan semua perkara tadi dan (demikian pula) para pengikutnya tidak peduli dengan segala sesuatu dari bentuk kesesatan yang ia (Sayyid Quthb) dan orang-orang yang semisal dengannya jatuh di dalamnya. Bagaimanapun sesatnya seseorang pada ‘aqidahnya dia tidak memandangnya sebagai kesesatan yang menafikan Laa Ilaha Illallah sebagaimana perbuatan (baca:pandangan) Sayyid Quthb dalam kitabnya Ma’alim fit Thoriq yaitu dia menganggap semua masyarakat Islam sesat dan dia tidak melihat kesesatannya itu dalam ‘aqidahnya ataupun selain ‘aqidah dan dia menganggap bahwa kesesatan itu hanyalah dalam masalah hakimiyah saja. Ini semuanya adalah kebodohan dan kesesatan dan pokok yang paling mendasar dari pemahaman Murji’ah ekstrim. Bahkan manhaj ini yang tidak menganggap bahwa bid’ah Rofidhoh (syiah ekstrim), Khawarij (kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar), Shufiyah Quburiyah yang di dalamnya ada istighoshah (meminta tolong) kepada selain Allah, hululiyah dan wihdatul wujud, dia tidak melihat perkara-perkara ini menafikan Laa Ilaha Illallah. Sesungguhnya ini adalah kesesatan yang paling sesat dan dia menetapkan hal ini dalam kitabnya “Ma’alim fit Thoriq” dia tidak menganggap ada dalam masyarakat kaum muslimin perkara-perkara yang mengkafirkan kecuali kalau menyelisihi Hakimiyah saja. Ini adalah kesesatan yang tiada bandingannya melampaui segala kelompok yang sesat, Wal’iyadzu billah.

Dan saya mengetahui banyak dari doktor-doktor dari pengikut manhaj Quthuby yang mentazkiyah Sayyid Quthb bahwasanya tidak ada seorangpun yang menandinginya dalam menjelaskan makna Laa Ilaha Illallah dan saya tidak mengetahui seorangpun sepertinya yang paling merusak makna Laa Ilaha Illallah sebagaimana dalam kitabnya Fi Dzilalil Qur’an dan Ma’alim Fith Thoriq karena dia tidak melihat ada yang menafikan kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah kecuali siapa yang berpaling dari Hakimiyah. Adapun penyimpangan-penyimpangan dalam agama semuanya, maka dia tidak melihatnya sebagai kesesatan. Maka apa yang terdapat pada kelompok-kelompok Islam yang sesat dari aqidah-aqidah yang rusak seperti hululiyah, wihdatul wujud, rhofidhoh, penyembah kuburan, kesyirikan-kesyirikan, kesesatan-kesesatan dan seterusnya semuanya ini sama sekali tidak melihatnya sebagai kesesatan karena (Sayyid Quthb) mengatakan bahwa mereka tidak menyembah kepada selain Allah dan tidak memberikan persaksian ibadah kepada selain Allah. Maka seluruh amalan kesyirikan ini tidak ia anggap sebagai kesyirikan dan amalan-amalan mereka yang bertaqarrub kepada wali-wali dan kuburan-kuburan, dia tidak menganggap mereka menyelisihi manhaj Allah dan menyelisihi Laa Ilaha Illallah. Ini adalah puncak kesesatan dan jika mereka (Yayasan Wahdah Islamiyah) masih berkaitan dengan Tauhid orang ini (Sayyid Quthb) yang ia namakan Tauhid Hakimiyah, maka mereka (Yayasan Wahdah Islamiyah -pent) termasuk kelompok-kelompok sesat yang sangat berbahaya dan jika membela manhaj Sayyid Quthb dan berwala’ dengannya maka dia termasuk kelompok yang paling sesat, waliyadzu billah.

Maka tanyakanlah mereka (Yayasan Wahdah Islamiyah -pent) :

* Bagaimana pendiriannya terhadap Sayyid Quthb dan sesesatan-kesesatannya?
* Bagaimana pendirian mereka terhadap celaan Sayyid Quthb terhadap Nabi Allah Musa ‘alaihis Salaam ?
* Bagaimana pendirian mereka terhadap caci makian Sayyid Quthb kepada shahabat-shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam ?
* Bagaimana pendirian mereka dari Ta’thil-nya kepada sifat-sifat Allah Azza wa Jalla ?
* Bagaimana pendirian mereka tentang ucapannya tentang isytirakiyah (Sosialisme) ?
* Bagaimanakah pendirian mereka dari ucapan Sayyid Quthb bahwasanya Al-Quran itu Makhluk ?
* Bagaimana pendirian mereka tentang pengkafirannya terhadap ummat dengan kebodohan dan kedzholiman ?
* Bagaimana pendiriannya dalam mema’afkan/membiarkan orang-orang sesat yang menisbahkan dirinya kepada Islam dari (perbuatan) syirik akbar seperti menyembelih kepada selain Allah, meminta pertolongan kepda selain Allah, tawaf di kuburan-kuburan, bersujud padanya, menyembelih untuknya, bernazar untuknya, men-Ta’thil sifat-sifat Allah dan banyak diantara mereka berfaham hululiyah, wihdautl wujud dan banyak diatara mereka bathiniyah, bagaimana pendirian mereka (YWI) terhadap mereka ?

Mereka tidak memiliki sikap apapun.

Bahkan ia (Sayyid Quthb) menetapkan semua perkara ini dan tidak memandangnya menafikan Laa Ilaha Illallah, dan kitab ini ada maka bacalah ucapannya dalam Bab Manhajul Hayat. Dia mendatangkan bencana-bencana ini yang dia meletakkan baginya suatu judul yang sangat menarik untuk mengelabui Ahlut Tauhid. Akan tetapi siapa yang membaca dari apa yang dia goreskan di bawah judul ini, maka dia akan melihat bahwa orang ini (Sayyid Quthb) termasuk orang yang paling bodoh terhadap Tauhidullah dan termasuk orang yang paling kuat penetapannya terhadap seluruh kebatilan yang ada pada kelompok-kelompok Islam dan dia tidak mengingkarinya dan tidak melihat adanya penyimpangan kecuali dalam Tauhid Hakimiyah saja. Tauhid Hakimiyah tidaklah sebagaimana yang mereka katakan. Hakimiyah bukanlah hal yang paling khusus dari Uluhiyah. Perkara yang paling khusus dari Uluhiyah adalah apa yang Allah wajibkan dari hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya.

“Dan tidaklah Saya menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahku” (QS. Adz Dzaariyaat : 56)

Dan ibadah adalah perkara yang mencakup segala yang dicintai dan diridhoi oleh Allah berupa perkataan dan perbuatan baik yang zhohir maupun yang batin, dan ibadah adalah sholat, zakat, puasa, haji, sedekah, berbuat baik dan kebajikan. Ini ibadah tersebut dan bukan hakimiyah saja dan hakimiyah di sisi kami mempunyai kedudukan dalam Islam. Tetapi hakimiyah itu punya dalil-dalil tersendiri seperti :

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir”. (QS. Al Maidah : 44)

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zholim” (QS. Al-Ma`idah : 45)

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq”. (QS. Al-Ma`idah : 47)

Dan ayat-ayat yang semakna dengannya. Adapun untuk dianggap sebagai hal yang paling khusus dari makna Laa Ilaha Illalllah maka tidak ada seorangpun yang mengatakannya baik dari orang-orang yang terdahulu maupun orang-orang sekarang kecuali Sayyid Quthb dan orang-orang yang taqlid (membebek buta) kepadanya. Ini adalah penafsiran bid’ah dan sesat yang menyebabkan pengikut-pengikutnya terjerumus dalam puncak kesesatan. Hakimiyah termasuk hak-haknya Laa Ilaha Illallah dan dia adalah perkara yang sangat penting dalam Islam tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang kafir. Tetapi kita tidak mengatakan bahwa Hakimiyah adalah hal yang paling khusus dari uluhiyah dan hal yang paling khusus dari makna Laa Ilaha Illallah dan bahwa makna Laa Ilaha Illallah itu adalah tidak ada Hakim selain Allah. Ini adalah sesat yaitu lebih sesat dari penafsirannya orang-orang mutakallimin (ahli Filsafat) yang sesat yang menafsirkan makna Laa Ilaha Illallah dengan tidak ada pencipta, tidak ada pemberi rezki kecuali Allah. Benar bahwa tidak ada pencipta, tidak ada pemberi rezki kecuali Allah, akan tetapi ini bukanlah makna Laa Ilaha Illallah. Penciptaan, pemberian rezki dan selainnya dari sifat-sifat Allah, telah ada nash-nashnya tersendiri :

“Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan” (QS. Al-Hasyr : 24)

“Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi Rezki Yang Mempunya Kekuatan lagi Sangat Kokoh” (Adz-Dzariyat : 58)

Ini adalah dalil-dalilnya. Akan tetapi para ulama salaf menafsirkan Laa Ilaha Illallah dengan tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Allah. Dan mereka menafsirkan ibadah-ibadah yaitu syari’at-syari’at Islamiyah yang telah kami sebutkan dan yang selainnya. Maka jika dia tidak beriman terhadap tauhid hakimiyah menurut cara Sayyid Quthb maka dia adalah sesat. Dan bila mereka memiliki sejumlah perkara (yang telah disebutkan-pent) dengan bertumpu pada ahli bid’ah dan orang-orang sesat maka adalah indikasi kesesatan dan penyimpangan mereka.

Dan apa yang disebutkan dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut dari ucapan-ucapan mereka tentang demonstrasi, ikut pemilu dan tanzhim-tanzhim rahasia maupun terang-terangan serta al-wala’ wal baro’ (Cinta dan Benci karena Allah) , semua ini menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Al Wala’ wal Baro’ adalah prinsip yang paling mendasar dalam Islam dan prinsip yang paling mendasar dalam manhaj As-Salaf Ash-Sholeh dan tidaklah agama Allah yang haq bisa tegak kecuali dengan menjaga prinsip yang agung ini. Sesungguhnya itu merupakan pagar (pembatas) bagi Islam dan tembok bagi manhaj Salaf. Jika kita membuangnya dan menelantarkannya sebagaimana Ikhwanul Muslimin dan para pengikutnya dari kalangan sururiyyin menelantarkannya, maka Islam dan manhaj Salaf akan benar-benar hilang, akan hilang bahkan dia (Islam dan manhaj Salaf) telah hilang dari mereka dan tidak akan tinggal –insyaAllah- kecuali pada orang yang menjaganya dan mengerti kedudukannya dan mereka itu adalah Safiyyin yang hakiki, pengikut Salaf yang murni. Tidak ada padanya membebek buta, tidak kepada Sayyid Quthb dan tidak pula kepada selainnya dari ahlul bid’ah dan sesat. Maka Salafiyah berlepas diri kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dari Sayydi Quthb dan tidak pula kepada selainnya dari ahlul bid’ah dan sesat. Dan mereka berwala’ kepada para Nabi dan Rasul yang mulia dan semua shahabat dan tidak mengecualikan seorangpun dari mereka berwala’ kepada para imam yang mendapatkan petunjuk pada periode yang terbaik dan periode lainnya hinga hari ini, mereka berwala’ kepada para imam yang mendapatkan petunjuk dan da’i-da’i tauhid dan menyeru kepada keikhlasan kepada Allah Robb alam semesta. Dan mereka tidak berwala’ kepada ahli bid’ah, tidak membela mereka bahkan mentahdzir (memperingatkan manusia dari) mereka dan dari bid’ah serta kesesatannya.

Dan pembicaraan tentang mereka (YWI-pent) akan panjang, akan tetapi disini disebutkan tentang pimpinan dari yayasan ini (Muh. Zaitun Rasmin-pent) yang berkata ketika mensyarah kitab “Al Ushul Al-‘Ilmiyah fid Da’wah As-Salafiyah” karangan ‘Abdurrahman ‘Abdul Kholiq, dan ‘Abdurrahman ‘Abdul Kholiq ini mengaburkan da’wah Salafiyah dan mengaburkan pengikutnya dan menyesatkan banyak pemuda di dunia. Dan buku ini termasuk bukunya yang baik dan padanya ada beberapa kritikan. Maka kalau dia (Zaitun-pent) menetapkan tauhid Hakimiyah dengan model seperti ini, maka itu termasuk kesesatan-kesesatan ‘Abdurrahman ‘Abdul Kholiq dan para ‘ulama telah membantahnya tatkala dia menjadikan tauhid Hakimiyah sebagai bagian keempat (dari pembagian tauhid), karena tauhid Hakimiyah bukan bagian tersendiri dari bagian manapun dari jenis-jenis tauhid. Akan tetapi dia termasuk atau bagian dari hukum Laa Ilaha Illallah sebagaimana kata Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, atau masuk ke dalam tauhid rububiyyah atau tauhid uluhiyah. Ini (menjadikan tauhid hakimiyah sebagai tauhid keempat-pent) adalah perkara yang baru yang mereka buat-buat. Kadang-kadang (tauhid Hakimiyah) masuk pada tauhid rububiyah dari satu sisi dan masuk pada tauhid uluhiyah dari sisi yang lain. Dia hanya mengikut dan bukanlah pokok yang berdiri sendiri dan bukan pula bagian tersendiri dari bagian-bagian tauhid.

Footnote :

[1] Silahkan klik http://almakassari.com/biografi-syaikh-robi-bin-hady-al-madkhaly untuk mengetahui biografi beliau.

Sumber : Fatwa Imam Jarh wat Ta’dil, Syaikh Robi’ bin Hady Al-Madkhaly (hafidzhahullah) tentang Kesesatan Jama’ah/Yayasan Wahdah Islamiyah, Penerbit : Ma’had As-Sunnah Makassar (2002). Fatwa ini direkam di rumah beliau di Makkah Al-Mukarramah -semoga Allah menjaganya- pada hari Jum’at, tanggal 23 Ramadhan 1420 H / 31 Desember 1999 dan diterjemahkan dari kaset berbahasa Arab oleh pengasuh Pondok Pesantren As-Sunnah Makassar.


Selengkapnya...

ANJING ANJING NERAKA

Di tengah menghadapi krisis ekonomi global, kaum muslimin di cengangkan dengan beberapa aksi TERORISME yang telah mencoreng citra islam di mata dunia. Kejadian-kejadian itu menimbulkan banyak keraguan di hati manusia -khususnya kaum muslimin- tentang agamanya sebagai agama yang penuh rahmat dan kasih sayang. Sehingga mereka menjadi bingung dan berusaha menjauhi agamanya yang murni serta antipati terhadap sunnah Nabinya -Shallallahu ‘ Alaih Wa Sallam-. Naudzu billahi min dzaalik. Di tengah menghadapi krisis ekonomi global, kaum muslimin di cengangkan dengan beberapa aksi TERORISME yang telah mencoreng citra islam di mata dunia. Kejadian-kejadian itu menimbulkan banyak keraguan di hati manusia -khususnya kaum muslimin- tentang agamanya sebagai agama yang penuh rahmat dan kasih sayang. Sehingga mereka menjadi bingung dan berusaha menjauhi agamanya yang murni serta antipati terhadap sunnah Nabinya -Shallallahu ‘ Alaih Wa Sallam-. Naudzu billahi min dzaalik.

Ini disebabkan karena kaum muslimin tidak mau lagi mempelajari agamanya dan hadits-hadits -Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-yang menjelaskan tentang kejadian-kejadian yang akan muncul di akhir zaman sebagaimana yang telah diwahyukan Allah -Azza Wa Jalla- kepada Beliau pada 14 abad yang silam, namun telah terbukti pada hari ini. Hal ini menambah keimanan kepada kaum muslimin bahwa Beliau -Shallallahu ‘ Alaih Wa Sallam- adalah seorang rasul yang tidak ada lagi nabi setelahnya. Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

" Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). " (QS. An-Najm :4)

Karenanya, orang-orang yang sering membaca hadits-hadits -Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidaklah merasa heran dan menganggap kejadian-kajadian itu sebagai suatu hal yang baru, karena orang yang melakukan aksi-aksi tersebut telah memiliki pendahulu di zaman -Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat.

Aksi-aksi brutal tersebut lahir dari orang-orang khawarij yaitu makhluk terjelek yang ada di kolong langit. Nabi -Sholllallahu alaihi wa sallam- dan para sahabat sejak dahulu telah memperingatkan kita tentang bahaya kesesatan mereka, yang mereka saling mewarisi pemahaman sesat ini sejak dulu sampai pada hari ini. Merekalah yang disebutkan oleh Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- sebagai anjing-anjing neraka . Abu Ghalib -rahimahullah- berkata,

لَمَّا أُتِيَ بِرُءُوسِ الْأزَارِقَةِ فَنُصِبَتْ عَلَى دَرَجِ دِمَشْقَ جَاءَ أَبُو أُمَامَةَ فَلَمَّا رَآهُمْ دَمَعَتْ عَيْنَاهُ فَقَالَ كِلَابُ النَّارِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ هَؤُلَاءِ شَرُّ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ وَخَيْرُ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ الَّذِينَ قَتَلَهُمْ هَؤُلَاءِ قَالَ فَقُلْتُ فَمَا شَأْنُكَ دَمَعَتْ عَيْنَاكَ قَالَ رَحْمَةً لَهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا مِنْ أَهْلِ الْإِسْلَامِ قَالَ قُلْنَا أَبِرَأْيِكَ قُلْتَ هَؤُلَاءِ كِلَابُ النَّارِ أَوْ شَيْءٌ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنِّي لَجَرِيءٌ بَلْ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا ثِنْتَيْنِ وَلَا ثَلَاثٍ قَالَ فَعَدَّ مِرَارًا

”Ketika didatangkan kepala orang-orang Azariqah (salah satu sekte khawarij yang dicetuskan oleh Nafi’ bin Al-Azraq.) dan dipancangkan di atas tangga-tangga Kota Damaskus, datanglah Abu Umamah Al Bahili -radhiyallahu anhu-. Ketika melihat mereka, air matanya pun mengalir dari kedua pelupuk matanya dan berkata, “Mereka adalah anjing-anjing neraka, anjing-anjing neraka, anjing-anjing neraka. Mereka ini (Khawarij) adalah sejelek-jelek orang yang dibunuh di bawah kolong langit ini, dan sebaik-baik orang yang terbunuh dibawah kolong langit adalah orang-orang yang dibunuh oleh mereka (Khawarij). Abu Ghalib kemudian bertanya,”Kenapa engkau menangis?” Abu umamah -radhiyallahu anhu- menjawab, ”Aku kasihan kepada mereka, dahulunya mereka itu ahlul islam” Abu Ghalib berkata lagi, ”Apakah pernyataanmu, "Mereka adalahanjing-anjing neraka" adalah pendapatmu sendiri atau perkataan yang engkau dengar (langsung) dari Nabi -Sholllallahu alaihi wa sallam- ?” Abu Umamah -radhiyallahu anhu- menjawab, ”Kalau aku mengatakan dengan pendapatku sendiri, maka sungguh aku adalah orang yang lancang. Tapi perkataan ini aku dengar dari Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- tidak hanya sekali, bahkan tidak hanya dua kali atau tiga kali.”[HR. At-Tirmidzi (3000), Ibnu Majah (176), Ahmad (V/253).]

Diantara ciri khas mereka (Khawarij), mengkafirkan pemerintah kaum muslimin dan orang-orang yang bersama pemerintah tersebut (karena melakukan dosa-dosa besar), memberontak kepada pemerintah kaum muslimin , menghalalkan darah dan harta kaum muslimin

Pemberontakan pertama dalam sejarah islam dilakukan oleh gembong Khawarij yaitu Dzul Khuwaishirah dimasa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Ibnul Jauzi -rahimahullah- di dalam kitabnya Talbis Iblis, “Khawarij yang pertama dan yang paling jelek adalah Dzul Khuwaishirah.”[Lihat Al-Muntaqo An-Nafis (hal. 89)]

Al-Imam Al-Bukhari -Rahimahullah- meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa beliau berkata,

بَعَثَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْيَمَنِ بِذُهَيْبَةٍ فِي أَدِيمٍ مَقْرُوظٍ لَمْ تُحَصَّلْ مِنْ تُرَابِهَا قَالَ فَقَسَمَهَا بَيْنَ أَرْبَعَةِ نَفَرٍ بَيْنَ عُيَيْنَةَ بْنِ بَدْرٍ وَأَقْرَعَ بْنِ حابِسٍ وَزَيْدِ الْخَيْلِ وَالرَّابِعُ إِمَّا عَلْقَمَةُ وَإِمَّا عَامِرُ بْنُ الطُّفَيْلِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ كُنَّا نَحْنُ أَحَقَّ بِهَذَا مِنْ هَؤُلَاءِ قَالَ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَا تَأْمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِي السَّمَاءِ يَأْتِينِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً قَالَ فَقَامَ رَجُلٌ غَائِرُ الْعَيْنَيْنِ مُشْرِفُ الْوَجْنَتَيْنِ نَاشِزُ الْجَبْهَةِ كَثُّ اللِّحْيَةِ مَحْلُوقُ الرَّأْسِ مُشَمَّرُ الْإِزَارِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اتَّقِ اللَّهَ قَالَ وَيْلَكَ أَوَلَسْتُ أَحَقَّ أَهْلِ الْأَرْضِ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ قَالَ ثُمَّ وَلَّى الرَّجُلُ قَالَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا أَضْرِبُ عُنُقَهُ قَالَ لَا لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ يُصَلِّي فَقَالَ خَالِدٌ وَكَمْ مِنْ مُصَلٍّ يَقُولُ بِلِسَانِهِ مَا لَيْسَ فِي قَلْبِهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَمْ أُومَرْ أَنْ أَنْقُبَ عَنْ قُلُوبِ النَّاسِ وَلَا أَشُقَّ بُطُونَهُمْ قَالَ ثُمَّ نَظَرَ إِلَيْهِ وَهُوَ مُقَفٍّ فَقَالَ إِنَّهُ يَخْرُجُ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمٌ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ رَطْبًا لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ وَأَظُنُّهُ قَالَ لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ ثَمُودَ

“Ali pernah mengirim dari Yaman untuk -Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- sepotong emas dalam kantong kulit yang telah disamak, namun emas itu belum dibersihkan dari kotorannya. Maka -Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- membaginya kepada empat orang; ‘Uyainah bin Badr, Aqra’ bin Habis, Zaid Al-Khail dan yang ke-empat, ‘Alqamah atau ‘Amir bin Ath-Thufail. Maka seseorang dari para sahabatnya menyatakan,”Kami lebih berhak dengan (harta) ini dibanding mereka”.

Ucapan itu sampai kepada Rasulullah -Shallallahu ‘ Alaihi Wa Sallam- , maka Beliau bersabda, “Apakah kalian tidak percaya kepadaku, padahal aku adalah kepercayaan Dzat yang ada dilangit (Allah), wahyu turun kepadaku dari langit diwaktu pagi dan sore”.

Kemudian datanglah seorang laki-laki (Dzul Khuwaishirah) yang cekung kedua matanya, menonjol kedua atas pipinya, menonjol kedua dahinya, lebat jenggotnya, botak kepalanya, dan tergulung sarungnya. Orang itu berkata,” Bertaqwalah kepada Allah, wahai Rasulullah!!”

Maka Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- bersabda, ”Celaka engkau!! Bukankah aku manusia yang paling bertakwa kepada Allah?!” Kemudian orang itu pergi. Maka Khalid bin Al-Walid -radhiyallahu anhu- berkata,”Wahai Rasulullah bolehkah aku penggal lehernya?”

Nabi -Sholllallahu alaihi wa sallam- bersabda,”Jangan, barangkali dia masih shalat (yakni, masih muslim).” Khalid berkata,”Berapa banyak orang yang shalat dan berucap dengan lisannya (syahadat) ternyata bertentangan dengan isi hatinya.” Nabi -Sholllallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Aku tidak diperintah untuk mengorek isi hati manusia, dan membela dada-dada mereka.”

Kemudian Nabi -Sholllallahu alaihi wa sallam- melihat kepada orang itu, sambil berkata,“Sesungguhnya akan keluar dari keturunan orang ini sekelompok kaum yang membaca Kitabullah (Al-Qur’an) dengan mudah, namun tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka melesat dari (batas-batas) agama mereka seperti melesatnya anak panah dari sasarannya”. Saya (Abu Sa’id Al-Khudriy) yakin beliau -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda,

لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ ثَمُوْدَ

“Jika aku menjumpai mereka, niscaya aku akan bunuh mereka seperti dibunuhnya kaum Tsamud.”. [HR. Al-Bukhari dalam Kitab Al-Maghozi (4351), dan Muslim dalam Kitab Az-Zakah (2448)]

Dalam riwayat lain, Abu Sa’id -radhiyallahu anhu- berkata,

بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقْسِمُ قِسْمًا أَتَاهُ ذُو الْخُوَيْصِرَةِ وَهُوَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْدِلْ فَقَالَ وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ قَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ فَقَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي فِيهِ فَأَضْرِبَ عُنُقَهُ فَقَالَ دَعْهُ فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ

“Ketika kami bersama Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- , beliau sedang membagi ghonimah, tiba-tiba Dzul Khuwaishirah –seseorang dari Bani Tamim- mendatangi beliau kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah berbuat adillah!!” Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Celaka engkau, siapa lagi yang bisa berbuat adil jika saya sudah (dikatakan) tidak adil. Sungguh celaka dan rugi jika saya tidak bisa berbuat adil”. Maka Umar berkata,”Wahai Rasulullah, izinkan saya untuk memenggal lehernya! ”Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Biarkan dia. Sesungguhnya dia mempunyai pengikut, dimana kalian akan merendahkan (menganggap kecil) shalat kalian dibanding shalat mereka, puasa kalian dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al-Qur’an, tapi tidak mencapai tenggorokan mereka. Mereka melesat dari (batas-batas) agama seperti melesatnya anak panah dari sasaran (buruan)nya…”. [HR. Al-Bukhari dalam Kitab Al-Manakib (3610) dan Muslim dalam Kitab Az-Zakah (2453)].

Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- juga bersabda,

إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا أَوْ فِي عَقِبِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ يَقْتُلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ لَئِنْ أَنَا أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ

“Sesungguhnya dianatara keturunan orang ini, ada suatu kaum yang mereka itu ahli membaca Al-Qur’an, namun bacaan tersebut tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat (keluar) dari (batas-batas) agama seperti melesatnya anak panah dari (sasaran) buruannya. Mereka membunuh orang-orang Islam dan membiarkan hidup para penyembah berhala. Jika aku sempat mendapati mereka, akan aku bunuh mereka dengan cara pembunuhan terhadap kaum ‘Aad.” [HR. Al Bukhari dalam Kitab Ahadits Al-Anbiya' (3344) Muslim dalam Kitab Az-Zakah (2448), Abu Dawud dalam Kitab As-Sunnah (4764), dan An-Nasa'iy dalam Kitab Tahrim Ad-Daam (4112)].

Oleh karena itu, janganlah kita tertipu dengan banyak dan kuatnya ibadah mereka; meski selalu shalat di malam hari dan puasa di siang hari, namun amal kebaikan mereka tidak bermanfaat sedikitpun disebabkan kedurhakaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya serta menyelewengkan makna ayat-ayat Al Qur’an sesuai dengan hawa nafsunya. Patokannya bukanlah banyak sedikitnya suatu ibadah, namun cocok tidaknya seseorang di atas sunnah. Karenanya, Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- memerintahkan kita untuk memerangi mereka sebagaiamana yang ditegaskan oleh Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- .

سَيَخْرُجُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِي قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Akan keluar di akhir zaman, suatu kaum yang muda-muda umurnya lagi pendek akalnya. Mereka mengucapkan ucapan sebaik-baik manusia. Mereka membaca Al-Qur’an (tapi) tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka melesat (keluar) dari (batas-batas) agama ini seperti melesatnya anak panah dari (sasaran) buruannya. Maka jika kalian mendapati mereka(Khawarij), perangilah mereka! Karena sesungguhnya orang-orang yang memerangi mereka akan mendapat pahala di sisi Allah pada hari kiamat” .[HR. Al Bukhari (6930) Muslim (1066)]

Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman bin Affan -radhiyallahu anhu- muncul pula gerakan teror dan pemberontakkan yang memprovokasi massa untuk anti terhadap khalifah yang sah, Amirul Mukminin ‘Utsman Bin Affan. Gembong gerakan ini adalah ‘Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi (nenek moyang orang Syi’ah). Dia menampilkan diri sebagai seorang muslim, namun kedengkian dan kekufurannya terhadap Islam tersimpan di dadanya. Dia berpindah dari suatu tempat ke tempat lainnya (diberbagai negeri kaum muslimin) dengan tujuan untuk menebarkan kesesatan di tengah-tengah umat dan memprovokasj mereka. Sampai akhirnya dia mendapatkan tempat yang cocok, yaitu Mesir. Dari sanalah kemudian dia mengendalikan fitnah dan menyalakan apinya dalam rangka menentang Allah dan Rasul-Nya. Provokasi yang dia propagandakan disambut baik oleh orang-orang jahat yang setipe dengannya, yang cenderung emosional dan reaksioner dalam menilai dan menyikapi kondisi. Kaum pemberontak ini mengklaim bahwa Khalifah ‘Utsman bin Affan telah melakukan 18 kemungkaran dan kezholiman yang nyata!!.

Kemudian pada bulan Syawal kaum Khawarij dari kalangan saba’iyyun ini, bergerak dari Mesir menuju Madinah dengan menampakkan diri seolah-olah hendak berhaji yang terbagi dalam empat regu, setiap regu mempunyai amir. Gerakan para pemberontak dan teroris juga dari Kufah. Sesampai di Madinah mereka mendemo dan mengepung rumah ‘Utsman dan secara paksa meminta Khalifah ‘Utsman untuk turun dari jabatannya! Demikianlah mereka mengepung rumah Khalifah ‘Utsman sehingga beliau terhalang dari sholat jama’ah di mesjid. Bahkan membiarkan ‘Utsman tidak minum dan menghalangi jalannya air kepadanya. Hal ini membuat para sahabat yang lainnya marah, sehingga ‘Ammar bin Yasiir -radhiyallahu anhu- berkata,”Subhanallah!! Dia telah membeli sumur Ruumah (untuk kaum muslimin) kemudian kalian menghalangi dia dari airnya? Biarkan jalan air itu (jangan di halangi dari ‘utsman)!”

Kemudian ‘Ammar mendatangi ‘Ali bin Abi Thalib -radhiyallahu anhu- dan melaporkan hal ini. Maka segera ‘Ali -radhiyallahu anhu- mengirimkan pemuda-pemudanya untuk menorobos masuk ke rumah Khalifah ‘Utsman -radhiyallahu anhu- memberikan air minum kepada beliau.

Setelah 40 hari beliau dikepung di rumah beliau sendiri, para pemberontak (Khawarij) itu berani menerobos masuk ke rumah Khalifah ‘Utsman dengan menaiki dinding-dinding rumah beliau. Kemudian dengan kejinya mereka membunuh Amirul Mukminin ‘Utsman bin Affan -radhiyallahu anhu- yang ketika itu sedang membaca Al-Qur’an. Muncratlah darah segar seorang sahabat Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- yang mulia, dan tetesan pertama darah beliau mengenai mush-haf yang ada di pangkuannya tepat mengenai ayat Allah,

“Maka Allah akan mencukupimu (membalas) dari mereka”dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” .((QS. Al Baqarah:137).

Kemudian tangan istri ‘Utsman dipotong, lalu pembunuh keji tersebut menusukkan pedangnya ke dada Khalifah ‘Utsman dan terbunuhlah beliau! Inna lillahi wa inna lillahi raji’un. [Lihat Tarikh Al-Islam (1/439-449) karya Al-Imam Abu Abdillah Adz-Dzahabiy]

Seorang yang membeli tanah dengan harta pribadinya untuk mesjid Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- , dilarang shalat di dalamnya. Seorang yang membeli sumur Rumah dan digali dengan harta pribadinya untuk kaum mukminin, dihalangi untuk minum airnya. Seorang yang paling sabar dan tidak mengizinkan adanya pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin, ternyata ditumpahkan darahnya oleh para Khawarij yang haus darah.

Maka hendaklah kita waspada terhadap kelompok ini, sebab mereka berada di sekitar kita sampai hari ini. Mereka tidak segan-segan menumpahkan darah kaum muslimin dengan mengatas namakan jihad. Berlindunglah kepada Allah dari mereka. Hanya kepada Allah Azza Wa Jalla tempat kita mengadu.


Selengkapnya...

Jumat, 04 Desember 2009

fatawa

Banyaknya manusia yang lalai dari sholat Subuh, baik dalam pelaksaannya maupun dalam mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengannya, telah menimbulkan berbagai dampak negatif dalam kehidupan masyarakat muslim. Maka berikut ini kami ketengahkan beberapa fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin -Salah seorang ulama besar Saudi Arabia- rahimahullâh berkaitan dengan sholat Subuh. Semoga bermanfaat bagi para pembaca.

Soal 1 :

Apakah lebih baik memanjangkan sholat shubuh, khususnya (memanjangkan) bacaannya ?



Jawab:

Ya, termasuk sunnah dalan sholat shubuh hendaknya memanjangkan bacaannya. Dan hendaknya dari bacaan yang panjang diambil dari surat-surat Mufashshal yaitu dari surah Qaaf sampai Amma (An-Naba`,-pent) kemudian memanjangkan bacaannya, demikian pula memanjangkan ruku’ dan sujudnya lebih dari yang lainnya.



Soal 2 :

Seorang lelaki terkena junub beberapa menit sebelum sholat shubuh, apakah dia tayamum atau mandi ? Jika mandi, barangkali dia akan kehilangan sholat shubuh (berjama’ah, -pent), perlu diketahui bahwa sholat telah ditegakkan.



Jawab :

Wajib baginya untuk mandi sekalipun kehilangan sholat berjama’ah, karena mandi dari junub termasuk syarat sahnya sholat menurut kesepakatan (para ulama). Adapun sholat berjama’ah wajib dan tidak mungkin bertentangan dengan syarat yang wajib.



Soal 3 :

Jika sekelompok orang dalam perjalanan (safar), kemudian salah satu dari mereka terkena junub, apakah dia harus mandi atau tayamum, perlu diketahui bahwa waktunya pendek dan saat itu musim dingin yang sangat menusuk, apa yang mesti dilakukan ?



Jawab :


Jika mengkhawatirkan akan dirinya dari bahaya jika harus mandi, atau air hanya sedikit yang mereka butuhkan untuk minum dan masak, maka dia boleh tayamum. Dan jika air itu banyak atau mungkin bisa menjaga dingin dengan menjerangnya dan mandi di tempat yang terjaga dari hawa dingin, maka wajib baginya untuk mandi.



Soal :

Banyak dari para imam yang terus menerus membaca beberapa surah yang di dalamnya ada ayat sajadah khususnya hari jum’at, apakah hal itu ada dasarnya atau tidak ?


Jawab :

Adapun membaca ayat-ayat yang di dalamnya ada ayat sajadah maka tidak mengapa untuk membacanya, berdasarkan firman Allah Ta’âlâ,


"Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur`ân." (QS. Al-Muzzammil : 20)

Adapun membaca ayat sajadah pada hari jum’at, maka yang disyari’atkan adalah hendaknya seseorang membaca, Alif Laam Miim Tanzil yakni surah As-Sajadah pada raka’at pertama dan Hal Atâ ‘Alal Insân (Yaitu surah Al-Insân,-pent.) pada raka’at yang kedua. Bukanlah yang dimaksud dengan Alif Laam Miim Tanzil adalah surah yang di dalamnya ada ayar sajadah tapi yang dimaksudkan adalah surah (As-Sajadah) itu sendiri. Jika mudah baginya untuk membaca (surah As-Sajadah) pada raka’at pertama dan pada Hal Atâ ‘Alal Insân raka’at kedua, maka inilah yang disyari’atkan. Kalau tidak, maka janganlah menyengaja membaca surat yang di dalamnya ada ayat sajadah sebagai ganti dari surat As Sajadah.



Soal 5 :

Banyak orang yang mereka memiliki kesiapan yang sempurna untuk menunaikan sholat subuh, kemudian meletakkan semua sebab namun tidak juga menunaikan sholat, maka apa yang mesti kita nasehatkan terhadap orang-orang seperti mereka? Apa hukum sholatnya setelah dia bangun? Apa dia berdosa?


Jawab :

Wajib baginya untuk mengerjakan semua sebab yang menjadikannya dia mengikuti sholat shubuh dengan berjama’ah, diantaranya dengan tidur lebih awal, karena sebagian orang suka terlambat tidur dan mereka tidak tidur kecuali menjelang shubuh kemudian tidak mampu untuk bangun sekalipun sudah memasang jam weker dan menyuruh orang untuk membangunkannya. Oleh karena itu, kami menasehati dia dan orang yang seperti dia agar mereka tidur lebih awal sehingga bisa bangun dengan mudah dan mengikuti sholat berjama’ah.


Adapun apakah dia berdosa ? Ya, dia berdosa jika sebabnya adalah hal seperti ini, baik karena keterlambatan tidur atau karena meninggalkan kehati-hatian untuk bisa bangun maka dia berdosa.



Soal 6 :

Sekelompok orang dalam rihlah atau safar, kemudian mereka semua tertidur dari sholat shubuh dan tidak bangun kecuali setelah matahari terbit, apakah mereka mengqadha’ sholat dengan berjama’ah atau sendiri-sendiri ? Apakah imam mengeraskan bacaannya, sementara mereka menunaikannya pada saat seperti ini ?


Jawab :


Ya, jika ditaqdirkan mereka sekelompok orang dalam safar dan semua tertidur dan tidak bangun kecuali setelah matahri terbit, maka hendaknya mereka berjalan dulu dari tempat mereka berada, kemudian wajib dikumandangkan adzan dan sholat sunnah rawatib fajar kemudian iqamah dan mereka menunaikan sholat secara berjama’ah dan imam mengeraskan bacaannya sebagaimana telah dikerjakan oleh Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa sallam.



Soal 7


Ada sebagian orang yang memberi perhatian khusus sholat shubuh berjama’ah hanya di bulan Ramadhan saja dan tidak mengerjakannya di bulan yang lain, apa nasehat anda kepada mereka ?



Jawab :

Saya nasehatkan kepada mereka agar bertaqwa kepada Allah Ta’âlâ dalam semua waktunya baik di bulan Ramadhan atau di bulan yang lainnya karena manusia diperintahkan untuk beribadah kepada Allah Ta’âlâ sampai maut mendatanginya, Allah Ta’âlâ berfirman,



" Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)." (QS. Al Hijr : 99)



Soal 8 :


Apa hukum orang yang luput baginya sholat shubuh secara berjama’ah karena membangunkan anak-anaknya ? Apa nasehat anda ?



Jawab :

Saya nasehatkan agar membangunkan anak-anaknya sebelum adzan sehingga bisa menunaikan sholat berjama’ah, tidak halal baginya untuk meninggalkan sholat berjama’ah lantaran membangunkan anak-anaknya. Jalan keluarnya adalah dengan membangunkan mereka lebih awal dalam tempo yang bisa untuk membangunkan mereka dan mendapatkan sholat berjama’ah. Adapun membiarkan mereka sampai terdengar adzan kemudian bangkit membangunkan mereka, maka terkadang anaknya banyak dan tidurnya lelap maka ini berarti sikap ceroboh darinya.



Soal 9 :


Apa hukum orang yang menunaikan semua sholat (dengan berjama’ah) kecuali sholat shubuh ?



Jawab :


Dia berdosa dengan meninggalkan sholat shubuh berjama’ah, wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah Ta’âlâ dan menunaikan sholat shubuh dengan berjama’ah. Maka dikhawatirkan dengan kumunafikan pada orang yang seperti itu keadaannya karena Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,




أَثْقَلُ الصَّلَوَاتِ عَلَى الْمُنَافِقِيْنَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِيْهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا




"Sholat yang paling berat terhadap orang-orang munafiqin adalah sholat Isya’ dan sholat Subuh, jika mereka mengetahui (keutamaan) apa yang ada pada keduanya (yakni sholat Isya’ dan sholat Subuh) pasti mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak." (Muttafaq ‘alaih)



Soal 10 :


Apakah imam masjid bertanggung jawab dengan sholat berjawab ? Apa nasehat anda kepadanya ?



Jawab


Tidaklah imam masjid bertanggung jawab dengan jama’ahnya, namun hendaknya dia mengingatkan mereka dengan nasehat dan bimbingan. Baik nasehat itu bersifat umum yang dia berbicara terhadap mereka di masjid atau secara khusus dimana ketika melihat sesorang menggampangkan (sholat berjama’ah) kemudian dia datangi dan menasehatinya, maka dia bertanggung jawab terhadap mereka dalam hal yang berkaitan dengan sholat. Artinya hendaknya dia mengerjakan dalam sholatnya dengan cara yang lebih sempurna, tidak terburu-buru yang menghalangi mereka untuk melakukan hal-hal yang disyari’atkan.



Soal 11 :


Apa hukum orang yang tertidur dari sholat Isya’ kemudian bangun untuk sholat shubuh dan menunaikannya, namun di tengah-tengah sholatnya dia ingat belum mengerjakan sholat Isya’, apakah dia menyempurnakan sholat subuhnya atau apa yang musti dikerjakan ?



Jawab :

Ya, dia menyempurnakan sholat shubuhnya kemudian sholat Isya’.



Soal 12 :

Apakah cukup dengan adzan pertama untuk mengerjakan sholat shubuh sebelum waktunya ?



Jawab :


Tidak cukup dengan adzan pertama untuk mengerjakan sholat shubuh, karena adzan untuk sholat itu tidak dikerjakan kecuali setelah masuk waktunya, karena Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,




إِذَا حَضَرَتِ الصّلَاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدَكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرَكُمْ قُرْآنًا


"Jika sudah tiba waktu sholat maka hendaknya salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan dan mengimami kalian yang paling banyak (hafalan) Al-Qur`annya."



Soal 13 :


Apa hukum orang yang memasang jadwal waktu kerja resmi dan sholat shubuh dalam waktu tersebut, baik itu jam tujuh atau jam setengah tujuh, apakah dia berdosa, bagaimana hukum sholatnya ?




Jawab :


Dia berdosa dalam perbuatannya itu tanpa ada keraguan dan dia termasuk orang yang lebih mementingkan dunia mengalahkan akhiratnya. Allah Ta’âlâ telah mengingkarinya dalam firman-Nya,




"Tetapi kamu (orang-orang) kafir memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal." (QS. Al-A’lâ : 16-17)


Sholatnya yang seperti ini tidak akan diterima dan bisa lepas dari tanggung jawabnya, kelak dia akan dihisab karenanya pada hari kiamat maka wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah Ta’âlâ dan hendaknya sholat bersama kaum muslimin kemudian tidur setelah itu sampai waktu kerja resminya.



Soal 14 :


Apa nasehat anda secara umum kepada semua laki-laki dan perempuan?




Jawab :


Saya nasehatkan kepada setiap muslim untuk menjaga sholat shubuhnya dan sholat-sholatnya yang lain karena sholat merupakan tiang agama yang merupakan ibadah yang paling pokok setelah mengucapkan dua kalimah syahadat. Barang siapa meninggalkannya maka dia telah kafir dan barang siapa yang menyia-nyiakannya maka dia dalam bahaya. Allah Ta’âlâ berfirman,




"Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dantidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun." (QS. Maryam : 59-60)


Maka jika mereka bertaubat dan beramal shalih, diharapkan mereka termasuk orang-orang yang mendapatkan janji dari Allah Ta’âlâ dengan firman-Nya,




"Maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun." (QS. Maryam : 60)



Soal 15 :


Seorang laki-laki luput baginya sholat subuh berjama’ah bersama kaum muslimin, apakah dia sholat rawatib atau cukup sholat shubuh saja ? Perlu diketahui bahwa jama’ah sudah keluar dari masjid.




Jawab :


Dia dahulukan sunnah (rawatib) dari sholat yang wajib (shubuh) karena rawatibnya sholat shubuh adalah sebelum mengerjakan sholat shubuh, sekalipun orang-orang yang sholat telah keluar dan sekalipun telah keluar dari waktunya.




Soal 16 :


Jika orang-orang menunaikan sholat ‘Idul Fitri di tempat sholat shubuh maka apakah makan beberapa butir kurma sebelum sholat shubuh atau lebih utama pulang kepada keluarganya kemudian membuat langkah baru untuk menunaikan sholat ‘ied ?



Jawab :


Jika tidak mungkin untuk pulang, kita katakan : Jangan keluar dari rumah sampai makan dahulu karena keluarmu dari rumah dengan menunaikan sholat shubuh dan sholat ‘ied.



Soal 17 :


Jika seorang muadzin lupa mengucapkan "Ash-Sholâtu Khairun Minan Naum" apa yang mesti dia lakukan ?



Jawab :


Jika seorang muadzin lupa mengucapkan "Ash-Sholâtu Khairun Minan Naum" maka yang dikenal oleh para ulama bahwa adzannya sah, karena ucapan "Ash-Sholâtu Khairun Minan Naum" dalam adzan shubuh itu hukumnya sunnah bukan wajib dengan dalil bahwa Abdullah bin Zaid radhiyallâhu ‘anhu ketika melihat adzan dalam tidurnya, beliau melihatnya dan tidak ada lafadz ini maka ucapan ini adalah tidak wajib dan jika dikumandangkan oleh sesorang dalam adzan shubuh setelah masuk waktu shubuh maka itu lebih utama dan jika tidak melafadzkannya maka tidak mengapa.



Soal 18 :


Sesorang ketinggalan satu raka’at dari sholat shubuh, apakah dia menyempurnakan dengan jahr (bacaan keras) atau sirr (bacaan pelan) ?



Jawab : Dia boleh memilih, namun lebih utama untuk menyempurnakannya dengan sirr karena barangkali ada orang lain yang menunaikannya maka akan mengganggunya jika dikeraskan bacaannya.




Soal 19 : Saya duduk (di dalam masjid,-pent) sampai terbit matahari dan belum mengerjakan sholat sunnah sebelum shubuh, apakah cukup dengan mengerjakan sholat sunnah Isyraq tanpa mengerjakan sholat sunnah sebelum shubuh ?


Jawab : Apakah kita katakan sampai Isyraq atau sampai Syuruq? Syuruq adalah terbitnya matahari sebelum naik sampai sepenggalah dan Isyraq adalah menyebarnya cahaya matahari. Yang jelas jika kamu menunaikan sholat Isyraq maka itu belum mencukupi dari mengerjakan sholat sunnah sebelum shubuh dan jika mengerjakan sholat sunnah sebelum shubuh ini juga tidak mencukupi, karena zhahirnya adalah seorang muslim mengerjakan dua raka’at khusus untuk Isyraq dan hal ini lebih hati-hati. Maka dia mengerjakan sholat sunnah fajar kemudian sholat sunnah Isyraq.



Soal 20 :

Saya mendengar hadits –Wallähu A’lam- yakni,




مَنْ صَلَّى الْفَجْرَ فِيْ جَمَاعَةٍ ثُمَّ جَلَسَ يَذْكُرُ اللهَ حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةً تَامَّةً تَامَّةً



"Barang siapa yang sholat shubuh berjama’ah kemudian duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit kemudian sholat dua raka’at maka baginya seperti pahala haji dan umrah sempurna, sempurna dan sempurna."

Pertanyaan : Apakah hadits ini shahih atau lemah? Mudah-mudahan Allah membalas anda dengan kebaikan.



Jawab :

Hadits ada syahidnya dalam shahih Muslim bahwa Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam jika sholat shubuh beliau duduk di tempat sholatnya sampai terbit matahari adalah hasan, namun yang ada dalam shahih tidak menyebutkan bahwa Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam sholat sesudah itu. Dan hadits yang disebutkan oleh penanya adalah tidak mengapa dan sanadnya adalah hasan.




Selengkapnya...

NASHIHAT BAGI PEGAWAI BANK

Setelah uraian panjang tentang masalah mudharabah dan aplikasinya dalam dunia perbankan syariah, serta sampai pada kesimpulan bahwa sistem mudharabah yang dipraktikkan di bank-bank syariah adalah riba, maka saya aturkan tulisan berikut kepada para pegawai dan karyawan bank, sebagai nasihat dan peringatan. Semoga diberi kemanfaatan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia dan di akhirat.
Setelah uraian panjang tentang masalah mudharabah dan aplikasinya dalam dunia perbankan syariah, serta sampai pada kesimpulan bahwa sistem mudharabah yang dipraktikkan di bank-bank syariah adalah riba, maka saya aturkan tulisan berikut kepada para pegawai dan karyawan bank, sebagai nasihat dan peringatan. Semoga diberi kemanfaatan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia dan di akhirat.

Hukum Bekerja di Bank (Syariah)
Fatwa Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullahu: “… Tidak diperbolehkan bekerja di bank seperti itu (yang melakukan transaksi riba, pen.). Sebab bekerja di sana termasuk ta’awun (tolong-menolong) di atas dosa dan permusuhan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Ma'idah: 2)
Disebutkan dalam Ash-Shahih dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan orang lain dengan harta riba, penulis, dan kedua saksinya. Beliau menyatakan:
هُمْ سَوَاءٌ
“(Dosa) mereka sama.”
Adapun gaji yang telah anda terima, maka halal bagi anda bila sebelumnya anda jahil (tidak tahu) tentang hukum syar’inya, dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ. يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 275-276)
Sementara bila anda tahu bahwa pekerjaan tersebut tidak diperbolehkan, maka seyogianya gaji yang anda terima disalurkan kepada proyek-proyek kebajikan dan menyantuni para fuqara disertai dengan taubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan taubat nashuha, maka Allah l akan menerima taubatnya dan mengampuni kesalahannya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (At-Tahrim: 8)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kalian semua wahai kaum mukminin, agar kalian beruntung.” (An-Nur: 31) [Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz, Kitab Ad-Da’wah, 2/195-196, lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ hal. 128-130]
Fatwa serupa juga disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu sebagaimana dalam Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin (2/703). Lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 128).
Juga Al-Lajnah Ad-Da’imah (13/344-345) yang diketuai oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, anggota: Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’.
Juga penjelasan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam kitabnya Qam’ul Mu’anid (2/278).
Fatwa mereka berlaku umum bagi siapa saja yang bekerja di bank-bank ribawi, walaupun hanya sebagai sopir atau sekuriti (petugas keamanan). Juga berlaku pada semua lembaga ribawi selain bank. Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu, lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 133).
Bahkan hukumnya pun berlaku bagi pihak yang tidak punya pilihan pekerjaan kecuali di bank ribawi, atau pihak yang kondisi ekonominya pailit dan hanya ada lowongan pekerjaan di bank ribawi, sebagaimana fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu. Lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 132-133).
Ancaman keras bagi pihak yang terlibat praktik riba
1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (Al-Baqarah: 275)
2. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menegaskan:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279)
3. Pihak yang terlibat dalam praktik ribawi didoakan laknat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yang lalu.
4. Memakan harta riba termasuk dosa yang menghancurkan pelakunya, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الَمُوبِقَاتِ -فَذَكَرَ مِنْهَا:- أَكْلَ الرِّبَا
“Jauhilah tujuh dosa yang menghancurkan… (beliau menyebutkan di antaranya): memakan harta riba.” (Muttafaqun ‘alaih)
Masih banyak lagi dalil tentang keharaman dan ancaman terhadap muamalah riba.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan: “Tidak ada dalam Kitabullah sebuah ancaman atas tindakan dosa selain syirik yang lebih keras daripada ancaman terhadap riba.” (Syarah Buyu’ hal.125)

Harta riba tidak barakah dan berujung pada kehancuran
Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan dalam firman-Nya:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Al-Baqarah: 276)
Pemusnahan harta riba itu meliputi dua hal:
 Pemusnahan di dunia secara hakiki dengan kehancuran harta tersebut atau diambil barakahnya. Hal ini sebagaimana hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلَّا كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ
“Tidaklah ada seseorang yang memperbanyak riba melainkan akibat akhir urusannya adalah kekurangan.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/16)
 Pemusnahan di akhirat nanti secara maknawi. Dia akan berjumpa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan sebagai orang muflis (bangkrut). (Syarah Buyu’ hal. 126)

Takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tawakkal kepada-Nya adalah kunci datangnya rezeki yang halal
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Lafadz ﮟ dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk nakirah (umum) dalam konteks persyaratan. Secara kaidah ushul fiqih mengandung arti umum, sehingga mencakup jalan keluar dari semua kasus dan problem. Ini juga memberi isyarat makna akan adanya jalan keluar terbaik dalam waktu cepat.
Bila Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Kuasa lagi Maha Kaya, yang memberi jalan keluar sekaligus menjamin kebutuhan hamba yang takwa dan bertawakkal, lalu apa yang dikhawatirkan? Apa yang dia risaukan? Ketenangan dan ketentraman hatilah yang semestinya dirasakan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan anugerahkan rezeki kepada kalian sebagaimana melimpahkan rezeki kepada burung, di pagi hari dalam keadaan lapar, (pulang) sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dan dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 2/110-111)

Anjuran mencari usaha yang halal dan keutamaan qana’ah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللهِ
“Maka apabila shalat itu telah usai, maka menyebarlah kalian di atas muka bumi dan carilah keutamaan dari Allah.” (Al-Jumu’ah: 10)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah ada seorang pun yang memakan suatu makanan yang lebih baik daripada apa yang dia makan dari hasil usahanya sendiri. Dan sungguh Nabiyullah Dawud makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Al-Bukhari dari Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu)
Sungguh benar. Berusaha mencari rezeki yang halal dari hasil usaha sendiri, bukan dengan cara mengemis, diiringi dengan ketakwaan dan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, setelah itu banyak bersyukur dan qana’ah (merasa cukup) atas anugerah rezeki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Alangkah tentramnya hati seorang hamba yang memiliki sifat qana’ah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرِةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya materi (dunia). Namun kekayaan yang hakiki adalah kekayaan (yang ada) dalam hati.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَكَانَ رِزْقُهُ كِفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا أَتَاهُ
“Sungguh bahagia seseorang yang masuk Islam, rezekinya cukup dan Allah jadikan dia merasa qana’ah dengan apa yang Allah anugerahkan kepadanya.” (HR. Muslim)
Seorang hamba yang diberi anugerah sifat qana’ah adalah orang yang merasa paling kaya di dunia. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فـِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حُيِّزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا
“Siapa saja di antara kalian yang berpagi hari dalam keadaan aman (tentram) jiwanya, diberi kesehatan pada jasadnya, memiliki makanan pada hari itu, maka seolah telah dianugerahkan untuknya dunia seisinya.” (HR. At-Tirmidzi dan beliau hasankan dari shahabat Abdullah bin Mihshan Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu)
Akhirul kalam, mari kita renungkan bersama sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
“Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai cita-cita/harapannya, maka Allah akan cerai-beraikan urusannya, Allah jadikan kefaqiran selalu di pelupuk kedua matanya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya. Dan barangsiapa akhirat sebagai niatnya, maka Allah akan kumpulkan urusannya, Allah jadikan kekayaan dalam hatinya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan dunia itu tidak suka.” (HR. Ibnu Majah dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dan dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 1/263)
Wallahu a’lam bish-shawab.

HUKUM MENABUNG DI BANK RIBAWI

Seseorang memiliki sejumlah uang dan menyimpannya di bank demi keamanan hartanya dan agar bisa menunaikan zakatnya bila telah berlalu satu haul. Bolehkah hal yang seperti ini? Berikanlah penjelasan kepada kami. Jazakumullah khairan.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab:
Tidak boleh menyimpan di bank-bank ribawi meskipun tidak mengambil bunganya. Karena hal ini mengandung sikap tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Allah Subhanahu wa Ta’ala sungguh telah melarang hal tersebut. Namun, bila seseorang terpaksa melakukannya dan tidak mendapatkan tempat untuk menjaga hartanya kecuali di bank-bank ribawi, maka tidak mengapa insya Allah, karena darurat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (Al-An’am: 119)
Bila dia mendapatkan suatu bank Islami atau tempat aman yang tidak mengandung unsur tolong-menolong dalam dosa dan ketakwaan, di mana dia bisa menyimpan hartanya di sana, tidak diperbolehkan baginya menyimpan hartanya di bank ribawi. (Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 19/414, pertanyaan no. 253)

TRANSFER UANG MENGGUNAKAN JASA BANK

Apakah dibolehkan menabung di bank yang bermuamalah dengan riba bila seorang muslim mengkhawatirkan dirinya? Dan apakah hukum bermuamalah dengan bank tersebut pada perkara yang tidak mengandung riba, semacam transfer uang ke luar atau dalam negeri, yang di dalamnya terkandung maslahat untuk kami (muslimin) terbatas pada bank tersebut?

Jawab:
Pertama, menabung uang di bank-bank tersebut yang bermuamalah dengan riba tidaklah dibolehkan walaupun tidak mengambil bunganya. Karena di dalamnya terdapat unsur saling membantu dalam hal dosa dan permusuhan, sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah: 2)
Kecuali bila seorang muslim khawatir hartanya hilang (kecurian atau semacamnya, ed.) dan tidak mendapatkan cara lain untuk menjaganya kecuali di bank riba, maka diperbolehkan baginya untuk melakukannya, tanpa adanya bunga atas tabungan itu. Hal ini dalam rangka mengambil mudharat yang lebih kecil dan menangkal mudharat yang lebih besar.
Kedua, bermuamalah dengan bank yang memakai riba dalam hal yang mubah semacam mengirim/mentransfer uang adalah boleh ketika dibutuhkan untuk itu. Adapun berhubungan dengan bank dalam hal yang haram, tidaklah diperbolehkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufiq, semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, wakil: Abdurrazzaq ‘Afifi, anggota: Abdullah bin Qu’ud (Fatawa Al-Lajnah, 13/351-352, fatwa no. 4997)
BAGAIMANA MEMANFAATKAN BUNGA BANK

Seseorang memiliki bunga (bank) dalam jumlah yang besar –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyucikan kita dan melindungi muslimin darinya–. Apakah boleh dia menyalurkannya untuk kegiatan-kegiatan yang baik, seperti membangun perguruan tinggi syariah atau madrasah tahfidzul Qur’an secara khusus, dan kegiatan-kegiatan baik lainnya secara umum? Dan apakah membangun masjid dengannya haram atau makruh, atau hanya kurang baik? Berikan fatwa kepada kami, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menambahkan ilmu kepada Anda sekalian.

Jawab:
Bunga riba termasuk harta yang haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Seseorang yang memiliki sesuatu dari harta tersebut hendaknya berusaha membersihkan diri darinya, dengan menginfakkannya pada hal yang bermanfaat bagi muslimin. Di antaranya membangun jalan, membangun sekolah, dan memberikannya kepada orang-orang fakir. Adapun masjid, tidak boleh dibangun dari harta riba. Tidak halal pula bagi seseorang untuk senantiasa mengambil atau memanfaatkan bunga.
Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Shalih Al-Fauzan, Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Bakr Abu Zaid
(Fatawa Al-Lajnah, 13/354, fatwa no. 16576)


Apakah boleh seseorang meminta bunga dari uang seseorang yang telah meninggal –yang dahulu ditabungkan– ketika uang itu hendak diambil? Kalau tidak boleh, apakah bunga bank tersebut dibiarkan diambil oleh bank tersebut, baik untuk kepentingan bank atau selainnya?

Jawab:
Bila seorang muslim wafat dan meninggalkan harta di sebagian bank ribawi di mana ada bunganya, ahli waris atau para walinya yang lain tidak boleh mengambil bunga tersebut untuk kepentingan mereka, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan riba. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melaknat orang-orang yang memakannya, menulisnya, dan menjadi saksinya.
Namun jangan biarkan bunga itu ada di bank tersebut, bahkan ambil dan salurkanlah secepatnya pada kegiatan-kegiatan kebaikan. Seperti menyantuni orang fakir, melunasi utang orang yang kesulitan membayarnya, dan sejenisnya. Bagi orang yang berwenang terhadap pokok harta tersebut, hendaknya mengambilnya dari bank. Karena keberadaannya di bank adalah salah satu bentuk saling membantu dalam dosa dan permusuhan. Kecuali bila terpaksa untuk tetap menyimpannya di sana, maka tidak mengapa namun tanpa bunga, seperti jawaban pertanyaan pertama yang telah lalu.
Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad, wa alihi wshahbihi wasallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, wakil: Abdurrazzaq Afifi, anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud


Dalam permasalahan seseorang yang menyimpan uang di bank dan ia mengetahui haramnya riba, apakah ia harus mengambil uangnya saja atau beserta ribanya, terdapat perbedaan pendapat. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menyatakan dalam kaset Silsilatul Huda wa Nur (no. 231), bahwa ada yang berpendapat riba tersebut tidak diambil secara mutlak, adapula yang berpendapat boleh diambil dan diberikan kepada fuqara. Ada lagi yang berpendapat riba tersebut boleh diambil tapi jangan dimanfaatkan olehnya secara pribadi. Namun riba tersebut hendaknya diberikan untuk pembuatan fasilitas umum yang dimanfaatkan oleh masyarakat secara bersama seperti jalan atau saluran air, dan yang sejenisnya.




Selengkapnya...

NONTON SULAP,BOLEH GAG YA?

Seringkali kami mendengar tentang apa yang dilakukan oleh para penyulap berupa atraksi-atraksi mereka yang disaksikan oleh anak-anak muslimin, baik melalui layar televisi atau secara langsung di sebagian daerah dengan atraksi yang cepat dan tersembunyi sehingga mengundang perhatian mata. Seperti mematikan dan menghidupkan burung, mengeluarkan telur dari dua tangan, dan hal-hal semacam ini. Lantas apa hukum dari menyaksikan hal itu dan apakah hal tersebut termasuk sihir?
Bolehkah Menonton Sulap?
[Print View] [kirim ke Teman]

Seringkali kami mendengar tentang apa yang dilakukan oleh para penyulap berupa atraksi-atraksi mereka yang disaksikan oleh anak-anak muslimin, baik melalui layar televisi atau secara langsung di sebagian daerah dengan atraksi yang cepat dan tersembunyi sehingga mengundang perhatian mata. Seperti mematikan dan menghidupkan burung, mengeluarkan telur dari dua tangan, dan hal-hal semacam ini. Lantas apa hukum dari menyaksikan hal itu dan apakah hal tersebut termasuk sihir?

Jawab:
Ya, itu termasuk salah satu macam sihir, yang disebut sihir takhyil (pengkhayalan/ilusi) semacam sihir yang dilakukan para tukang sihir Fir’aun, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan dalam surat Thaha ayat 66:
يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى
“Terbayang kepada Musa seakan-akan ia (tali-tali dan tongkat-tongkat mereka) merayap cepat, lantaran sihir mereka.” (Thaha: 66)
Juga firman-Nya:
قَالَ أَلْقُوا فَلَمَّا أَلْقَوْا سَحَرُوا أَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوهُمْ وَجَاءُوا بِسِحْرٍ عَظِيمٍ
“Musa menjawab: ‘Lemparkanlah (lebih dahulu)!’ Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan).” (Al-A’raf: 116)
Hal-hal yang dilakukan para tukang sulap dalam sihir jenis ini adalah tidak sebenarnya. Bahkan hanya penipuan khayalan yang dilakukan penyulap untuk mengundang perhatian mata orang kepada apa yang dilakukannya dengan kecepatan tangannya.
Adapun itu disebut sebagai sihir, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutnya demikian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang para tukang sihir Fir’aun:
وَجَاءُوا بِسِحْرٍ عَظِيمٍ
“…Serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan).” (Al-A’raf: 116)
Akan tetapi, apa hukumnya melihat atraksi semacam itu?
Tanpa diragukan, tidak boleh menyaksikannya dan haram bagi seseorang melihatnya. Semestinya seseorang memperingatkan anak-anaknya agar tidak melihat yang semacam itu. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي ءَايَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka mengalihkan pada pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’am: 68)
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam.” (An-Nisa': 140)
Melihat sesuatu yang mungkar, padahal kita tidak mampu mengingkari. Kita juga dilarang duduk-duduk bersama orang yang melakukannya, karena dengan duduk di situ mengisyaratkan bahwa ia rela dengan perbuatan tersebut. Sementara sihir merupakan kemungkaran yang besar. Semestinya kita menjauhi tempat-tempatnya dan orang yang melakukannya. Demikian pula dalam permainan ini terkandung kesyirikan dan kekafiran, karena pesulap yang melakukan hal ini beranggapan bahwa ia memiliki sifat Rububiyyah (ketuhanan) yaitu kemampuan untuk menghidupkan sesuatu yang mati. Orang yang menganggap dirinya mampu melakukan demikian maka dia telah kafir, karena ini adalah kekhususan Rabb yang Maha Suci dan Tinggi.
Yang penting di sini, kami katakan bahwa tidak boleh menyaksikan permainan yang dilakukan para pesulap dan mengandung sihir takhyil yang juga memuat hal-hal yang kufur (kekafiran), syirik, atau haram, baik melalui media penyiaran atau yang lain. (Diambil dari kitab Kaifa Tatakhallas minas Sihr)




Selengkapnya...

BULAN MUHARAM = SIAL ??

“Bulan Muharram telah tiba, jangan mengadakan hajatan pada bulan ini, nanti bisa sial.” Begitulah kata sebagian sebagian orang di negeri ini. Ketika hendak mengadakan hajatan, mereka memilih hari/bulan yang dianggap sebagai hari/bulan baik yang bisa mendatangkan keselamatan atau barakah. Dan sebaliknya, mereka menghindari hari/bulan yang dianggap sebagai hari-hari buruk yang bisa mendatangkan kesialan atau bencana. Seperti bulan Muharram (Suro) yang sudah memasyarakat sebagai bulan pantangan untuk keperluan hajatan. Bahkan kebanyakan mereka meyakininya sebagai prinsip dari agama Islam. Apakah memang benar hal ini disyariatkan atau justru dilarang oleh agama? Bulan Muharram (disebut Suro, Jw) Bukan Bulan Sial
Dikirim oleh webmaster, Jum'at 04 Desember 2009, kategori Aqidah
Penulis: Redaksi Assalafy.org
.: :.
“Bulan Muharram telah tiba, jangan mengadakan hajatan pada bulan ini, nanti bisa sial.” Begitulah kata sebagian sebagian orang di negeri ini. Ketika hendak mengadakan hajatan, mereka memilih hari/bulan yang dianggap sebagai hari/bulan baik yang bisa mendatangkan keselamatan atau barakah. Dan sebaliknya, mereka menghindari hari/bulan yang dianggap sebagai hari-hari buruk yang bisa mendatangkan kesialan atau bencana. Seperti bulan Muharram (Suro) yang sudah memasyarakat sebagai bulan pantangan untuk keperluan hajatan. Bahkan kebanyakan mereka meyakininya sebagai prinsip dari agama Islam. Apakah memang benar hal ini disyariatkan atau justru dilarang oleh agama?

Maka simaklah kajian kali ini, dengan penuh tawadhu’ untuk senantiasa menerima kebenaran yang datang dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai yang telah dipahami oleh para sahabat Rasulullah ?.

Apa Dasar Mereka Menentukan Bulan Suro Sebagai Pantangan Untuk Hajatan?

Kebanyakan mereka sebatas ikut-ikutan (mengekor) sesuai tradisi yang biasa berjalan di suatu tempat. Ketika ditanyakan kepada mereka, “Mengapa anda berkeyakinan seperti ini ?” Niscaya mereka akan menjawab bahwa ini adalah keyakinan para pendahulu atau sesepuh yang terus menerus diwariskan kepada generasi setelahnya. Sehingga tidak jarang kita dapati generasi muda muslim nurut saja dengan “apa kata orang tua”, demikianlah kenyataannya.

Para pembaca sekalian, dalil “apa kata orang tua”, bukanlah jawaban ilmiah yang pantas dari seorang muslim yang mencari kebenaran.
Apalagi permasalahan ini menyangkut baik dan buruknya aqidah seseorang. Maka permasahan ini harus didudukkan dengan timbangan Al Qur’an dan As Sunnah, benarkah atau justru dilarang oleh agama?
Sikap selalu mengekor dengan apa kata orang tua dan tidak memperdulikan dalil-dalil syar’i, merupakan perbuatan yang tercela. Karena sikap ini menyerupai sikap orang-orang Quraisy ketika diseru oleh Rasulullah ? untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa kata mereka? (artinya):
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22)

Jawaban seperti ini juga mirip dengan apa yang dikatakan oleh kaum Nabi Ibrahim ? ketika mereka diseru untuk meninggalkan peribadatan kepada selain Allah.
“Kami dapati bapak-bapak kami berbuat demikian (yakni beribadah kepada berhala, pen).” (Asy Syu’ara’: 74)

Demikian juga Fir’aun dan kaumnya, mengapa mereka ditenggelamkan di lautan? Ya, mereka enggan untuk menerima seruan Nabiyullah Musa, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya …” (Yunus: 78)
Kaum ‘Aad yang telah Allah ? binasakan juga mengatakan sama. Ketika Nabi Hud ? menyeru mereka untuk mentauhidkan Allah dan meninggalkan kesyirikan, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami, agar kami menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?” (Al A’raf: 70)

Apa pula yang dikatakan oleh kaum Tsamud dan kaum Madyan kepada nabi mereka, nabi Shalih dan nabi Syu’aib?
Mereka berkata: “Apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?…” (Hud: 62)
“Wahai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kami agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami …” (Hud: 87)
Demikianlah, setiap rasul yang Allah utus, mendapatkan penentangan dari kaumnya, dengan alasan bahwa apa yang mereka yakini merupakan keyakinan nenek moyang mereka.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Al Baqarah: 170)

Lihatlah, wahai pembaca sekalian, mereka menjadikan perbuatan yang dilakukan oleh para pendahulu mereka sebagai dasar dan alasan untuk beramal, padahal telah nampak bukti-bukti kebatilan yang ada pada mereka.
“(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al Baqarah: 170)

Agama Islam yang datang sebagai petunjuk dan rahmat bagi semesta alam, telah mengajarkan kepada umatnya agar mereka senantiasa mengikuti dan mengamalkan agama ini di atas bimbingan Allah ? dan Rasul-Nya ?. Allah berfirman (artinya):
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Al A’raf: 3)

Sudah Ada Sejak Zaman Jahiliyyah
Mengapa sebagian kaum muslimin enggan untuk mengadakan hajatan (walimah, dan sebagainya) pada bulan Muharram atau bulan-bulan tertentu lainnya?

Ya, karena mereka menganggap bahwa bulan-bulan tersebut bisa mendatangkan bencana atau musibah kepada orang yang berani mengadakan hajatan pada bulan tersebut, Subhanallah. Keyakinan seperti ini biasa disebut dengan Tathayyur (تَطَيُّر) atau Thiyarah (طِيَرَة), yakni suatu anggapan bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu.
Misalnya seseorang hendak pergi berjualan, namun di tengah jalan dia melihat kecelakaan, akhirnya orang tadi tidak jadi meneruskan perjalanannya karena menganggap kejadian yang dilihatnya itu akan membawa kerugian dalam usahanya.

Orang-orang jahiliyyah dahulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan mudharat. Setelah Islam datang, keyakinan ini dikategorikan kedalam perbuatan syirik yang harus dijauhi. Dan Islam datang untuk memurnikan kembali keyakinan bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah dan membebaskan hati ini dari ketergantungan kepada selain-Nya.
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al A’raf: 131)

Tathayyur Termasuk Kesyirikan Kepada Allah
Seseorang yang meyakini bahwa barangsiapa yang mengadakan acara walimahan atau hajatan yang lain pada bulan Muharram itu akan ditimpa kesialan dan musibah, maka orang tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah ?.
Rasulullah ? yang telah mengkabarkan demikian, dalam sabdanya:

الطِّـيَرَةُ شِـرْكٌ

“Thiyarah itu adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)

Para pembaca, ketahuilah bahwa perbuatan ini digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal, di antaranya:
1. Seseorang yang berthiyarah berarti dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah ?. Padahal tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang Allah ? perintahkan kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan kehendak-Nya, keselamatan, kesenangan, musibah, dan bencana, semuanya datang dari Allah ?.
Allah berfirman (artinya):
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai sepenuhnya).” (Hud: 56)
2. Seseorang yang bertathayyur berarti dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak ada hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika seseorang menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan Muharram atau bulan-bulan yang lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya bulan Muharram itu tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hanya Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Allah berfirman (artinya):
“Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.” (Al Ikhlash: 2)

Para pembaca, orang yang tathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan;
Pertama: meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan.
Kedua: melakukan apa yang dia niatkan namun di atas perasaan was-was dan khawatir.
Maka tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.

Bagaimana Menghilangkannya?
Sesungguhnya syariat yang Allah turunkan ini tidaklah memberatkan hamba-Nya. Ketika Allah dan Rasul-Nya melarang perbuatan tathayyur, maka diajarkan pula bagaimana cara menghindarinya.
‘Abdullah bin Mas’ud, salah seorang shahabat Rasulullah telah membimbing kita bahwa tathayyur ini bisa dihilangkan dengan tawakkal kepada Allah.

Tawakkal yang sempurna, dengan benar-benar menggantungkan diri kepada Allah dalam rangka mendapatkan manfaat atau menolak mudharat, dan mengiringinya dengan usaha. Sehingga apapun yang menimpa seseorang, baik kesenangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, dia yakin bahwa itu semua merupakan kehendak-Nya yang penuh dengan keadilan dan hikmah.
Rasulullah juga mengajarkan do’a kepada kita:

اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَ لاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَ لاَ إِلهَ غَيْرُكَ

“Ya Allah, tidaklah kebaikan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidaklah kesialan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad)

Hakekat Musibah
Suatu ketika, Allah menghendaki seseorang untuk tertimpa musibah tertentu. Ketahuilah bahwasanya musibah itu bukan karena hajatan yang dilakukan pada bulan Muharram, tetapi musibah itu merupakan ujian dari Allah.
Orang yang beriman, dengan adanya musibah itu akan semakin menambah keimanannya karena dia yakin Allah menghendaki kebaikan padanya.

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan timpakan musibah padanya.” (HR. Al Bukhari)
Ketahuilah, wahai pembaca, bahwa musibah yang menimpa seseorang itu juga merupakan akibat perbuatannya sendiri. Allah berfirman (artinya):
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …” (Asy Syura: 30)
Yakni disebabkan banyaknya perbuatan maksiat dan kemungkaran yang dilakukan manusia.

Tinggalkan Tathayyur, Masuk Al Jannah Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab
Salah satu keyakinan Ahlussunnah adalah bahwa orang yang mentauhidkan Allah dan membersihkan diri dari segala kesyirikan, ia pasti akan masuk ke dalam Al Jannah. Hanya saja sebagian dari mereka akan merasakan adzab sesuai dengan kehendak Allah dan tingkat kemaksiatan yang dilakukannya.

Namun di antara mereka ada sekelompok orang yang dijamin masuk ke dalam Al Jannah secara langsung, tanpa dihisab dan tanpa diadzab. Jumlah mereka adalah 70.000 orang, dan tiap-tiap 1.000 orang darinya membawa 70.000 orang. Siapakah mereka?
Mereka adalah orang-orang yang telah disifati Rasulullah dalam sabdanya:

هُمُ الَّذِيْنَ لاَيَسْتَرْقُوْنَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ

“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay (suatu pengobatan dengan menempelkan besi panas ke tempat yang sakit), tidak melakukan tathayyur, dan mereka bertawakkal kepada Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Meraka dimasukkan ke dalam Al Jannah tanpa dihisab dan tanpa diadzab karena kesempurnaan tauhid mereka. Ketika ditimpa kesialan atau kesusahan tidak disandarkan kepada hari/bulan tertentu atau tanda-tanda tertentu, namun mereka senantiasa menyerahkan semuanya kepada Allah.

Semoga tulisan yang singkat ini, dapat memberikan nuansa baru bagi saudara-saudaraku yang sebelumnya tidak mengetahui bahaya tathayyur dan semoga Allah selalu mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin.


Selengkapnya...