يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ﴾ [الحشر:18

Rabu, 25 Februari 2009

ARTIKEL TERBARU

JANGAN SEBRONO MENAHDZIR SAUDARAMU (1 S/d 3)............
Ustadz FIRANDA as SORONJI

KETIKA UKHUWAH TERKOYAK.................................
Ustadz FIRANDA as SORONJI

MENGAPA KAMI BERMU'AMALAH DENGAN IHYA TURATS............
Ustadz ABU SALMA al ATSARI

SURURI WAHDAH ISLAMIYAH.................................
Ustadz ABU ABDILLAH IBRAHIM

HUBUNGAN PUSTAKA AL KAUTSAR DAN WAHDAH ISLAMIYAH........
Ustadz ABU ABDILLAH IBRAHIM

WASPADA..!!! WAHDAH ISLAMIYAH BANDUNG..................
Ustadz ABU ABDILLAH IBRAHIM

NASHIHAT SYAIKH AL-MUHADDITS ABDULLAH AL-UBAILAN, TEHADAP PERSELISIHAN SYAIKH ALI HASAN DENGAN DR AHMAD BAZMUL -HAFIZAHUMALLOH-

ARTIKEL INI DAPAT DI LIHAT DI HALAMAN UTAMA INI.... Selengkapnya...

إتحاف الطلاب برد على شبه الطال

Pada masa sekarang ini, ada sebagian ahlussunnah yang sibuk menyerang ahlussunnah lainnya dengan berbagai celaan dan tahdzir. Hal tersebut tentu mengakibatkan perpecahan, perselisihan dan sikap saling tidak akur.
Padahal mereka saling cinta mencintai dan saling berkasih sayang, serta bersatu padu dalam barisan yang kokoh untuk menghadapi para ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu yang menyelisihi ahlussunnah.

MAKA sepatutnyalah kami membela assatidza dan ikhaw salafiyun yang terdzalimi maka kami terpanggil untuk mengUPLOAD artikel artikel buah pena EMAS

"AL USTADZ ABU ABDIL MUHSIN FIRANDA ASSORONJI"
dalam bukunya "lerai pertikaian Sudahi permusuhan"
PENERBIT MEDIA TARBIYAH

dan kami juga mengucapkan Jazakumullohu khairan kepada

AL USTADZ AL FADHIL ABU SALMA al ATSARI

yang mana kami mengambil faedah dari nya..
Semoga ALLOH Mempersatukan kita diantas manhaj yang haq tanpa celaan dan lainya ..
AMIN Selengkapnya...

نصيحة ورجاء إلى الأخوة السلفيي

نصيحة ورجاء إلى الأخوة السلفيين

NASEHAT DAN HARAPAN TERHADAP SALAFIYIN

بسم الله الرحمن الرحيم

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه وسلم ومن اتبع هداه .

Segala Puji hanya milik Allah dan sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya dan siapa saja yang mengikutinya.

أما بعد :

Adapun setelah itu :

فإنني أوجه رجائي إلى كل السلفيين في كل مكان أن

Sesungguhnya aku menaruh harapan kepada setiap salafiyin di seluruh tempat supaya mereka :

يسلكوا مسلك السلف الصالح في إشاعة أسباب الألفة والمحبة

Senantiasa meniti jalan salafus sholih di dalam menyebarkan sebab-sebab persatuan dan kasih sayang

وترك التنابز بالألقاب

Meninggalkan memanggil dengan gelar-gelar yang buruk

والبعد عن أسباب الاختلافات

Menjauhi perkara-perkara yang dapat menyebabkan perselisihan

واحترام أهل العلم ودعاة الدعوة السلفية

Menghormati para ulama dan para du’at salafiyyah

والالتفاف حولهم والرجوع إليهم في المعضلات

Senantiasa berkumpul di sekeliling mereka dan rujuk (kembali) kepada mereka di dalam problema yang pelik

وكفّ الألسنة عن إخواننا أهل الشام السلفيين :

Menjaga lisan dari memperbincangkan saudara-saudara kami, salafiyun dari Syam, seperti :

الشيخ علي حسن عبد الحميد الحلبي والشيخ سليم الهلالي والشيخ محمد موسى نصر وسائر علماء المنهج السلفي .

Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid al-Halabi, Syaikh Salim al-Hilali dan Syaikh Muhammad Musa Nashr serta seluruh ulama yang bermanhaj salafi

ونطلب من مواقع الإنترنت التي تنتمي إلى المنهج السلفي أن تعرف للعلماء حقهم ومنزلتهم وأن تبتعد عن النَّيـْل منهم

Dan aku meminta kepada website-website internet yang berintima’ dengan manhaj salafi agar supaya mengenal hak-hak para ulama dan kedudukan mereka Serta supaya menjauhi dari mencela mereka

وإنا لنرجو – ختاما – أن يكون البيان الذي صدر عنا في هذه الليلة المباركة (12/ 9/ 1423هـ ) حَلاً حاسما لكل ما حصل من خلاف أو سوء فهم .

Dan yang terakhir, kami benar-benar mengharapkan bayaan (keterangan) yang bersumber dari kami pada malam yang penuh berkah ini (12/9/1423) dapat menjadi jalan keluar atas segala perselisihan dan kesalahfahaman yang terjadi.

وفق الله الجميع لما يرضيه .

Semoga Allah senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita semua kepada apa yang Ia ridhai.

ربيع بن هادي المدخلي
في 12/ 9/ 1423هـ
Rabi’ bin Hadi al-Madkholi
12/9/1423 H.
Dialihbahasakan dari http://www.rabee.net/ Selengkapnya...

JANGAN SEMBRONO DI DALAM MENG-HAJR SAUDARAMU (1)

Oleh : Al-Ustâdz Abu ‘Abdil Muhsin, Lc.
[Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Islam Madinah]

Sungguh, Allah benar-benar telah memberi kenikmatan kepada kaum muslimin dengan menjadikan mereka bersaudara. Allah berfirman:
﴿فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتٌمْ عَلَى شَفَى حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا﴾
“Lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kalian dahulu berada di tepi jurang neraka lalu Allah menyelamatkan kalian darinya.” * (Ali ‘Imran: 103)

Catatan * : Wahai saudaraku, coba kita renungkan kembali,

siapa kita pada tahun-tahun yang silam. Tatkala kita belum mengenal namanya “ngaji”. Saat itu kita masih berpesta di atas dosa, tersesat dalam belantara maksiat dan terombang ambing di lautan bid’ah. Alhamdulillah, Allah kemudian menyelamatkan kita, sehingga kita berkumpul dan bersaudara di atas tujuan yang satu, yaitu beribadah kepada-Nya semata. Ini merupakan karunia yang tiada tara.

Maka apakah layak jika kemudian kita saling menggunjing, saling menjatuhkan, saling memutuskan hubungan, saling hajr, hanya karena perkara ijtihadiyyah yang masih diperselisihkan oleh para ulama Ahlus Sunnah?!

Apakah kita hendak membuang nikmat Allah yang sangat agung itu hanya karena perkara dunia atau permasalahan-permasalahan yang seharusnya kita bisa saling memahami?!

Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang benar-benar merasakan nikmat persaudaraan, lalu bersyukur dan terus menjaga nikmat tersebut. Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari tipu daya setan yang menghendaki perpecahan pada barisan Ahlus Sunnah.


Dalam menafsirkan lafazh: بِنِعْمَتِهِ (karena nikmat-Nya), sebagian ulama berkata, “Ini adalah peringatan bahwasanya terjalinnya tali persaudaraan dan terjalinnya cinta kasih di antara kaum mukminin hanyalah disebabkan karunia Allah semata, sebagaimana dijelaskan dalam ayat lain:
﴿لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ﴾
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah-lah yang telah mempersatukan hati mereka” (Al-Anfal: 63)

Maka yang menjadikan hati-hati manusia bersatu dalam ibadah kepada Allah, sekaligus saling mencintai, padahal mereka berasal dari berbagai penjuru dunia, dari ras yang beraneka ragam, serta dari martabat yang bertingkat-tingkat, hanyalah Allah semata, dengan nikmat-Nya yang tiada bandingnya.

Ini adalah nikmat yang selayaknya seorang muslim bergembira dengannya. Allah berfirman:
﴿قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ﴾
“Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya’, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan” (Yunus: 58) [Lihat penjelasan Syaikh Shalih Alu Syaikh dalam ceramah beliau yang berjudul Huquuq al-Ukhuwwah]
Seorang muslim harus menyadari bahwa persaudaraan dan persatuan di antara sesama mukminin merupakan suatu nimat yang sangat agung dari Allah semata. Maka hendaknya senantiasa dijaga dan dipelihara.


Janganlah seorang mukmin menganggap remeh kenikmatan ini. Janganlah ia menganggap bahwa mencapai persatuan dan persaudaraan merupakan perkara yang mudah. Janganlah ia menyangka bahwa tersenyumnya seorang muslim kepada muslim lainnya tatkala bersua adalah perkara yang mudah. Sebab sekiranya Allah tidak menyatukan hati mereka maka yang terjadi adalah raut masam, sikap saling membenci dan menjatuhkan.
‘Abdah bin Abi Lubabah berkata, “Aku bertemu dengan Mujahid. Lalu dia menjabat tanganku, seraya berkata, ‘Jika dua orang yang saling mencintai karena Allah bertemu, lalu salah satunya mengambil tangan kawannya sambil tersenyum kepadanya, maka gugurlah dosa-dosa mereka sebagaimana gugurnya dedaunan’.”


‘Abdah melanjutkan ceritanya, “Maka aku pun berkata, ‘Ini adalah perkara yang mudah.’ Mujahid lantas menegur, seraya berkata: “Janganlah kau berkata demikian, karena Allah berfirman:
﴿لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ﴾
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allahlah yang telah mempersatukan hati mereka” (Al-Anfal: 63)


Lanjut ‘Abdah, “Aku pun mengakui bahwa Mujahid memiliki pemahaman yang lebih baik dibandingkan aku.” [Tafsir At-Thabari (X/36), Hilyatul Awliyaa` (III/297). Diriwayatkan juga dari Abu Lubabah, dari Mujahid, dari Ibnu 'Abbas, dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam dengan sanad yang marfu’, dalam Taariikh Waasith, pada biografi 'Abdullah bin Sufyan al-Wasithi (I/178), dengan kisah yang sama, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani karena beberapa syahid-nya. Lihat as-Shahiihah (V/10) hadits (2004).]

Persatuan dan persaudaraan merupakan karunia yang sangat besar dari Allah kepada para hamba-Nya. Oleh karena itu kita dapati bahwasanya syari’at sangat menjaga nilai persatuan, sekaligus berusaha mewujudkan persatuan dan persaudaraan dengan berbagai macam cara. Bahkan sampai dalam perkara-perkara yang dianggap ringan dan sepele.
Diantaranya adalah disyari’atkannya mengangkat amir (pemimpin) tatkala safar (melakukan perjalanan) untuk menghindari timbulnya silang pendapat.


Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,
إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ
“Jika tiga orang keluar untuk melakukan safar maka hendaknya mereka mengangkat salah satu dari mereka sebagai amir (pimpinan).” [HR Abu Dawud III/36 no 2608, dihasankan oleh Syaikh al-Albani. Lihat as-Shahiihah (III/314) no (1322)]
Dengan adanya pemimpin dalam safar maka semua permasalahan yang timbul dalam safar dapat terselesaikan dengan baik. [Lihat perkataan Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun Naazhiriin (II/201).]

idak adanya amir akan memudahkan munculnya perselisihan, terlebih lagi jika para musafir tersebut banyak jumlahnya.
Begitu juga mengucapkan dan menyebarkan salam. Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,
لاَتَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوْا أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوْا السَّلامَ بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan tidaklah kalian beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukan kepada kalian suatu amalan yang jika kalian melakukannya maka kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” [HR Muslim (I/74) no (54) dan at-Tirmidzi (IV/274) no (1833).]
Demikian pula dengan senyum kepada sesama saudara.


Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِقٍ
“Janganlah engkau meremehkan sedikit pun kebaikan meskipun hanya sekedar jika engkau bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang cerah.” [HR Muslim (IV/2026) no (2626), Abu Dawud (IV/350) no (5193), dan at-Tirmidzi (V/52) no (2688).]
Begitu juga dengan disyari’atkannya menjenguk orang sakit, menjawab salam, membalas orang yang mengucapkan hamdalah (alhamdulillah) tatkala bersin, dan demikian banyaknya perkara-perkara yang disyari’atkan demi menjalin persatauan dan persaudaraan.


Sebaliknya, syari’at juga mengharamkan segala perkara yang mengantarkan kepada perpecahan dan perselisihan.
Diantaranya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam:
وَلاَ يَبِيْعُ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطِبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ
“Janganlah seseorang membeli di atas pembelian saudaranya. Dan janganlah ia meminang (seorang wanita) di atas pinangan saudaranya.” [HR Al-Bukhari (II/752) no (2033); (II/970) no (2574) dan Muslim (II/1032) no (1412).]
Kedua perkara di atas tidaklah diharamkan melainkan karena menimbulkan permusuhan, sekaligus merusak persaudaraan dan persatuan di antara kaum mukminin.
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga bersabda,
إِذَا كُنْتُمْ ثَلاَثَةً فَلاَ يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُوْنَ صَاحِبِهِمَا فَإِنَّ ذَلِكَ يَحْزُنُهُ
“Jika kalian berjumlah tiga orang maka janganlah dua dari kalian melakukan najwa (berbicara sambil berbisik) tanpa mengajak orang ketiga, karena hal itu akan membuatnya sedih (gundah).” * [HR Muslim (IV/1718) no (2184).]
Catatan : Imam al-Qurthubi rahimahullahu berkata, “Timbul dalam hati orang ketiga sesuatu yang membuatnya sedih karena najwa tersebut.

Hal ini menyebabkan ia menyangka dalam hati bahwa najwa tersebut menyebutkan tentang dirinya dengan perkara yang tidak disukainya, atau ia menyangka bahwa para sahabatnya yang melakukan najwa memandangnya tidak layak untuk ikut dalam pembicaraan rahasia mereka, dan perasaan-perasaan lainnya yang merupakan lemparan-lemparan setan serta bisikan-bisikan hati. Semua terjadi jika ia bersendirian, (sementara kedua sahabatnya berbicara sambil berbisik). Adapun jika ada orang lain yang bersamanya (menemaninya), maka hal-hal tersebut tidak timbul dalam hati.

Oleh karena itu, (hukumnya) sama saja, berapa pun jumlah orang-orang yang bernajwa. Maka janganlah empat orang melakukan najwa tanpa menyertakan salah seorang dari mereka, jangan pula sepuluh orang (melakukan najwa) tanpa menyertakan salah seorang dari mereka. Tidak juga seribu orang. Karena penyebab larangan tersebut tetap ada pada diri orang yang diikutkan dalam najwa (yaitu membuatnya gundah). Bahkan kemungkinan kegundahan jauh lebih besar jika yang melakukan najwa berjumlah banyak, sehingga tingkat pengharamannya menjadi lebih. Dalam hadits ini hanya disebutkan tiga orang, karena itulah jumlah terkecil yang memungkinkan terjadinya najwa. Lihat Tafsir al-Qurthubi (XVII/295).
Allah berfirman,

}إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا{ (المجادلة : 10 )
“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita.” (QS. 58:10)

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوْا وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانَا
“Waspadalah kalian dari (1) prasangka, karena prasangka adalah perkataan yang paling dusta, dan janganlah (2) ber-tahassus (mencari-cari kesalahan saudaranya melalui perantaraan kabar), (3) ber-tajassus (mencari-cari kesalahan saudaranya dengan mengamati gerak-geriknya), (4) saling hasad, (5) saling membelakangi, serta (6) saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara.” [HR. Al-Bukhari (V/2253) no (5717).]
Perhatikanlah, keenam perkara di atas diharamkan karena merusak tali persaudaraan dan persatuan. Karena itulah di akhir hadits Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam memerintahkan untuk saling bersaudara. Dan masih sangat banyak lagi hal-hal yang diharamkan demi menjaga persatuan dan persaudaraan di antara kaum muslimin; seperti ghibah**, namimah (adu domba), dan lain sebagainya.
Catatan ** : Di mana Allah menyerupakan pelakunya dengan memakan mayat saudaranya. Ini jelas menunjukan bahwa ghibah merupakan dosa besar. Di antara hikmah diharamkan ghibah adalah menimbulkan perpecahan antara pelaku ghibah dengan objek ghibah. Terlebih lagi jika objek ghibah mengetahui hal tersebut.
Oleh sebab itu syari’at memberi ganjaran yang sangat besar bagi orang yang berusaha menyatukan kaum muslimin yang sedang bersengketa.
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam berkata kepada Abu Ayyub,
أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى عَمَلٍ يَرْضَاهُ اللهُّ عَزَّ وَجَلَّ أَصْلِحْ بَيْنَ النَّاسِ إِذَا تَفَاسَدُوْا وَحَبِّبْ بَيْنَهُمْ إِذَا تَبَاغَضُوْا
“Maukah aku tunjukan kepadamu sebuah amalan yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya? Perbaikilah (hubungan) di antara manusia jika mereka saling merusak, dan buatlah mereka saling mencintai jika mereka saling membenci.” [HR Abul Husain ash-Shaidawi dalam Mu’jam asy-Syuyuukh (I/250), at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabiir (VIII/257) no (7999), Abu Dawud at-Thayalisi dalam Musnad-nya (I/81) no (598), al-Baihaqi dalam Syu’abul Iimaan (VII/490) no (11094). Syaikh al-Albani menghukumi hadits ini sebagai hadits hasan li ghairihi. Lihat Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib no (2820).]


Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga bersabda,

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَالصَّلاَةِ وَالصَّدَقَةِ قَالُوْا بَلَى قَالَ إِصْلاَحُ ذَاتِ الْبَيْنِ وَفَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ الْحَالِقَةُ
“Maukah kukabarkan kepada kalian perkara yang lebih afdhal dibandingkan derajat puasa, shalat, dan sedekah?” Para sahabat menjawab, “Tentu saja.” Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam berkata, “Perbaikilah (hubungan) di antara sesama kalian. Dan rusaknya hubungan adalah pencukur.” [HR. Abu Dawud (IV/280) no (4919). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.]
Maksudnya adalah mencukur dan menghilangkan agama. [Lihat ‘Aunul Ma’buud (XIII/178).]
Bahkan syari’at membolehkan berdusta dalam rangka mendamaikan dua orang yang sedang bersengketa, demi terjalinnya persatuan dan persaudaraan antara sesama mukminin.
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,
لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِيْ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرا أَو يَقُوْلُ خَيْرًا
“Bukanlah pendusta orang yang mendamaikan di antara manusia (yang bersengketa) atau menyampaikan kebaikan (dalam rangka mendamaikan) atau berkata baik. ”* [HR Al-Bukhari (II/958) no (2546), Muslim (IV/2011) no (2605), dan At-Tirmidzi (IV/331) no (1938).]
Catatan * : Yaitu mengabarkan kepada pihak pertama dari yang bersengketa tentang kebaikan yang dilakukan oleh pihak kedua, dan tidak menyebutkan kejelekannya. Begitu juga sebaliknya Lihat Faidhul Qodiir (V/359)
لاَ يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ
“Tidaklah halal dusta kecuali pada tiga perkara: (1) seorang suami berbohong kepada istrinya untuk membuat istrinya ridha, (2) berdusta tatkala perang, dan (3) berdusta untuk mendamaikan (memperbaiki hubungan) di antara manusia” *** [HR At-Tirmidzi (IV/331) no (1939). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, kecuali tambahan lafazh: "Untuk membuat istrinya ridha".]
Catatan *** : Para ulama berbeda pendapat tentang dusta yang dibolehkan. Ada yang berpendapat bahwa dusta tersebut memang dusta yang hakiki. Sebab dusta yang diharamkan adalah yang memberi mudharat bagi kaum muslimin, sementara dusta yang dibolehkan adalah yang membawa maslahat bagi kaum muslimin. Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dusta yang diperbolehkan adalah tauriyah, yaitu mengucapkan kalimat yang memiliki dua makna, makna yang dekat dan makna yang jauh, pembicara bertujuan agar sang pendengar memahami ucapan tersebut dengan makna yang dekat, padahal pembicara sendiri memaksudkan makna yang jauh, namun ucapan tersebut pada hakekatnya bukanlah dusta. Lihat al-Minhaaj (XVIII/158) dan ‘Umdatul Qaari (XIII/269).
Imam an-Nawawi berkata, “Yang zhahir, adalah bolehnya dusta secara hakiki pada tiga perkara tersebut. Namun at-ta’riidh itu lebih utama.” Ucapan tersebut dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (VI/159), bab al-Kadzib fil Harb. Selanjutnya pendapat tersebut dipilih oleh Ibnu Hajar, dan beliau membantah pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dusta di sini adalah ta’riidh (tauriyah).
Persatuan, saling bersaudara, dan saling mencintai antara sesama kaum muslimin merupakan hukum fundamental yang dibangun di atas dalil yang sangat banyak. Syaikh Salim al-Hilali berkata, “Mengingat hal ini merupakan hukum asal, maka sikap saling menjauhi dan saling memutuskan hubungan (hajr) adalah terlarang. Banyak dalil yang mengharamkan hal tersebut.” [Bahjatun Naazhiriin (III/108).]
Definisi Hajr
Hajr adalah antonim dari washl (menyambung). [Lisaanul ‘Arab (V/250).] Tahaajur (saling melakukan hajr) maknanya adalah taqaathu’, yaitu saling memutuskan hubungan. [Mukhtaar ash-Shihaah, hal. 288]
Imam Ibnu Hajr berkata, “Hajr adalah seseorang tidak berbicara dengan yang lain tatkala bertemu.” [Fat-hul Baari (X/492).]
Imam al-‘Aini berkata, “Hajr adalah tidak berbicara dengan saudaranya sesama mukmin tatkala bertemu, dan masing-masing dari keduanya berpaling dari yang lain tatkala berkumpul.” ['Umdatul Qaari (XXII/141).]
Hukum asal hajr adalah dosa besar
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata, “Hukum asal meng-hajr sesama muslim adalah haram, bahkan termasuk dosa besar jika lebih dari tiga hari.” [Majmuu’ Fatawaa Ibnu 'Utsaimin (III/16), soal no (385). Lihat juga penjelasan Syaikh Salim Al-Hilali dalam risalah beliau yang berjudul Mathla’ul Fajr fi Fiqhiz Zajr bil Hajr, hal 8-16.]
Diantara dalil-dalil yang menunjukan bahwa hukum asal dari hajr adalah dosa besar adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam,
مَنْ هَجَرَ أَخَاه سَنَةً فَهُوَ كَسَفْكِ دَمِهِ
“Barangsiapa yang meng-hajr saudaranya selama setahun maka ia seperti menumpahkan darah saudaranya tersebut.” [HR Abu Dawud (IV/279) no (4915). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat as-Shahiihah (II/599) no (928).]
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاه فَوْقَ ثَلاَثٍ فَمَنْ هَجَرَ فَوْقَ ثَلاَثٍ فَمَاتَ دَخَلَ النَّارَ
“Tidaklah halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr saudaranya lebih dari tiga hari.* Barangsiapa yang meng-hajr lebih dari tiga hari lalu meninggal maka ia masuk neraka.” [HR Abu Dawud (IV/279) (4914), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.]
Catatan * : Imam an-Nawawi berkata dalam al-Minhaaj (XVI/117), “Para ulama menyatakan bahwa hadits tersebut menunjukan diharamkannya hajr lebih dari tiga hari di antara kaum muslimin. Juga menunjukkan bolehnya hajr selama tiga hari…. Mereka menyatakan bahwasanya dimaafkan hajr selama tiga hari karena seorang manusia diciptakan dengan tabiat mudah marah, akhlak yang buruk, dan yang semisalnya, maka dimaafkan menghajr selama tiga hari agar sifat tersebut hilang.”
فَإِنْ مَاتَا عَلَى صِرَامِهِمَا لَمْ يَجْتَمِعَا فِي الْجَنَّةِ أَبَدًا
“Jika mereka berdua (yang saling meng-hajr) meninggal dalam keadaan saling meng-hajr maka keduanya tidak akan berkumpul di surga selamanya” [HR. Ahmad (IV/20) no (16301, 16302), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (I/145) no (402), al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab (V/269) no (6620), dan selainnya. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Shahiihah (III/249) no (1246).]


Pantaslah kiranya sikap meng-hajr seorang muslim selama lebih dari tiga hari termasuk dosa besar, mengingat hajr sangat bertentangan dengan prinsip Islam yang menyeru kepada persatuan dan persaudaraan.

Islam adalah nasihat, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
“Agama ini adalah nasehat.” [HR Muslim (I/74) no (55).]
Sedangkan tidak diragukan lagi bahwa hajr menafikan nasehat. Sebab dua orang yang saling menghajr tidak mungkin bisa saling menasehati. [Al-Hajr fil Kitaab was Sunnah, hal. 142.]
Hajr juga menghilangkan hak-hak seorang muslim, sehingga pelakunya tidak memberi salam kepada selainnya, begitu juga sebaliknya. Jika salah satu dari dua orang yang saling meng-hajr menderita sakit, maka yang lain tidak mengunjunginya. Masih banyak lagi hak-hak lainnya yang menjadi terabaikan.
[Dicuplik dari Kata Pengantar “Lerai Pertikaian Sudahi Permusuhan”, Media Tarbiyah] Selengkapnya...

JANGAN SEMBRONO DI DALAM MENG-HAJR SAUDARAMU (2)

JANGAN SEMBRONO DI DALAM MENG-HAJR SAUDARAMU (2)
Oleh : Al-Ustâdz Abu ‘Abdil Muhsin, Lc.
[Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Islam Madinah]

Penerapan Hajr

Kendati demikian, terkadang boleh, disyari’atkan, atau bahkan diwajibkan bagi seorang muslim untuk keluar dari hukum asal ini, yaitu melakukan hajr dan boikot kepada muslim lainnya, apabila kondisinya memang menuntut demikian. Sebagaimana halnya Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam pernah meng-hajr Ka’b bin Malik dan kedua sahabatnya karena mereka tidak ikut serta dalam perang Tabuk tanpa alasan yang syar’i. Begitu juga dengan sikap para Salaf yang meng-hajr ahli bid’ah dan men-tahdzir (memperingatkan umat dari) mereka, agar umat tidak terkena dampak buruk mereka. [Lihat atsar-atsar Salaf mengenai hal ini dalam risalah Imam as-Suyuthi yang berjudul Hijraan Ahlil Bid’ah aw az-Zajr bil Hajr.]


Namun perlu diperhatikan, mengingat penerapan hajr adalah keluar dari hukum asalnya –yaitu terlarang- maka seseorang tidak boleh keluar dengan hukum asal kecuali disertai dengan dalil dan argumen yang kuat. Sebab kaidah syari’at menyatakan bahwa kita tidak boleh keluar dari hukum asal melainkan dibarengi oleh dalil yang kuat. Terlebih lagi hukum asal tersebut dibangun di atas dalil yang sangat banyak, baik dalil-dalil yang menunjukan hukum asal wajibnya persatuan dan persaudaraan, maupun dalil-dalil yang menunjukan hukum asal haramnya hajr.

Apabila seseorang keluar dari hukum asal tersebut dengan argumen yang tidak kuat, atau bahkan masih berupa prasangka semata, berarti ia telah melawan sekian banyak dalil yang mendukung hukum asal di atas.
Yang sangat menyedihkan, di tanah air kita banyak sekali terjadi praktek hajr yang tidak dibangun di atas dalil yang jelas. Bahkan banyak penerapan hajr yang hanya dibangun di atas prasangka belaka*,atau diterapkan pada perkara-perkara yang sebenarnya tidak boleh ada pengingkaran, apalagi sampai tahapan tahdzir dan hajr. Seperti perkara-perkara yang merupakan masalah ijtihadiyyah yang masih diperselisihkan oleh para ulama.


Catatan * : Misalnya tuduhan bahwa saudaranya melakukan begini begitu, atau saudaranya tersebut memiliki pemikiran nyeleneh, namun realitanya tidak demikian. Terkadang mereka membangun hajr dan tahdzir karena mendapatkan informasi dari sebagian sahabat mereka, atau sebagian murid mereka, dengan dalih bahwa sahabat atau murid mereka yang membawa kabar tersebut adalah orang yang tsiqah (terpercaya), sehingga mereka tidak perlu lagi tastabbut (meneliti lebih lanjut). Kenyataan yang sering terjadi, kabar yang dibawa oleh sahabat atau murid mereka tidak sesuai dengan kenyataan, atau telah dibumbui dengan penyedap yang meracuni kehormatan saudaranya.


Lebih menyedihkan lagi, sebagian orang yang menerapkan hajr hanya karena permasalahan pribadi, lalu ia kait-kaitkan dengan manhaj. Masalah-masalah yang menyangkut keduniaan digembar-gemborkan dengan label manhaj.** Mereka ini menerapkan hajr karena mengikuti hawa nafsunya. Selanjutnya setan menghiasi amalan mereka tersebut, sehingga mereka menyangka bahwa perbuatan mereka adalah ibadah.

Catatan ** : Syaikh Salim al-Hilali berkata, “Namun ternyata perkaranya adalah masalah pribadi -sebagaimana guru kami, Syaikh al-‘Abbad, sebelumnya telah menerangkan hal ini secara gamblang- (tetapi) kemudian dikemas dengan label khilaf dalam masalah manhaj atau label perseteruan dalam masalah aqidah.” Lihat Madzhab Syaikhil Islam fil Hajr, hal 169.
Sebagian lagi menerapkan hajr tanpa kaidah dan batasan-batasan. Tanpa menimbang maslahat dan mudharat. Sehingga mereka terjatuh dalam kemaksiatan dan menyelisihi hukum asal.
Penerapan hajr secara membabi buta, tanpa menimbang mudharat dan maslahat, merupakan suatu kemaksiatan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata,

“…atau tidak dapat dirajihkan antara kerusakan dan maslahat, maka yang lebih dekat (kepada kebenaran) adalah dilarangnya penerapan hajr, mengingat keumuman sabda Nabi `:
لا يحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاث يلتقيان فيصُد هذا ويصد هذا وخيرهما الذى يبدأ بالسلام
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr (memboikot) saudaranya lebih dari tiga hari.“.” [HR. al-Bukhari (V/2302) (5879) dan Muslim (IV/1984) (2560). Lihat Majmuu’ Fataawa Syaikh Ibnu 'Utsaimin (III/17) soal no (385). Selain karena keumuman hadits tersebut juga karena hukum asal dalam berdakwah adalah dengan kelembutan, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama Salaf.]


Terlebih lagi jika penerapan hajr tersebut jelas-jelas menimbulkan kerusakan, fitnah, terhambatnya dakwah, dan lain-lain, maka tentunya lebih haram lagi.
Maka benarlah penilaian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang kebanyakan praktek hajr yang tidak sesuai dengan syari’at, sementara mayoritas pelakunya menyangka bahwa mereka telah berbuat keta’atan kepada Allah dengan praktek hajr tersebut, tetapi pada hakekatnya mereka menerapkan hajr karena mengikuti hawa nafsu. Beliau berkata, “Barangsiapa yang menerapkan hajr karena hawa nafsunya, atau menerapkan hajr yang tidak diperintahkan untuk dilakukan, maka dia telah keluar dari hajr yang syar’i. Betapa banyak manusia melakukan apa yang diinginkan hawa nafsunya, tetapi mereka mengira bahwa mereka melakukannya karena Allah.” [Majmuu’ al-Fataawa (XXVIII/203-210).]


Praktek hajr yang tidak sesuai syari’at efeknya sangat berbahaya bagi pelakunya, karena hukum asal hajr adalah dosa besar. Oleh karena itu barangsisapa yang ingin menerapkan hajr maka hendaknya ia benar-benar di atas bayyinah bahwa ia memang berhak untuk melakukan hajr.
Senjata Utama Setan Terhadap Ahli Tauhid Adalah Mengadu Domba Di Antara Mereka
Sesungguhnya semangat setan untuk mencerai-beraikan barisan ahli tauhid (Ahlus Sunnah) sangatlah besar dibandingkan semangat mencerai-beraikan barisan kaum muslimin pada umumnya. Sebab, jika orang-orang yang bertauhid bercerai-berai maka dakwah tauhid pun akan terhambat dan terbengkalai. Adapun ahli bid’ah, maka persatuan mereka dibangun di atas kesesatan, sehingga justru itulah yang diharapkan oleh setan. Berbeda dengan Ahlus Sunnah yang persatuan mereka tegak di atas kebenaran.


Hal ini tentu saja sangat dibenci oleh setan.


Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda
إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَئِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّوْنَ وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيْشِ بَيْنَهُمْ
“Sesungguhnya setan sudah putus asa untuk disembah oleh orang-orang yang shalat. Namun ia tidak putus asa untuk mengadu domba di antara mereka.” [HR. At-Tirmidzi (IV/330) no (1937). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat as-Shahiihah (IV/140) no (1608). Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh Ahmad (III/313) no (14406); (III/354) no (14858); (III/366) no (14982); (III/384) no (15158); dan Abu Ya’la (IV/73) no (2095); (IV/114) no (2154). Di dalam lafazh Imam Muslim (IV/2166) no (2812) terdapat tambahan: "Pada jazirah Arab."]
Al-Mubarakfuri berkata, “Yang dimaksud dengan orang-orang yang shalat adalah orang-orang yang beriman, sebagaimana sabda Nabi `: ‘Aku melarang kalian dari membunuh orang-orang yang shalat.’ Kaum mukminin dinamakan orang-orang yang shalat karena shalat adalah amalan yang paling mulia dan merupakan perbuatan yang paling tampak dalam menunjukkan keimanan.” [Tuhfatul Ahwaadzi (VI/57).]


Di dalam al-Ihsaan fi Taqriib Shahiih Ibn Hibbaan hadits tersebut dibawakan di bawah judul:
ذِكْرُ الأَخْبَارِ عَنْ تَحْرِيْشِ الشَّيَاطِيْنِ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ عِنْدَ إِيَاسِهَا مِنْهُمِ عَنِ الإِشْرَاكِ بِاللهِ جَلَّ وَعَلاَ
“Penyebutan kabar-kabar (hadits-hadits) bahwa setan-setan mengadu domba di antara kaum muslimin tatkala mereka telah putus asa dari menjerumuskan kaum muslimin untuk melakukan kesyirikan” [Al-Ihsaan (XIII/269).]


Jika setan melihat kaum muslimin berada di atas tauhid dan putus asa dari menjerumuskan mereka ke dalam kesyirikan, maka ia masih tidak putus asa untuk berbuat “tahrisy” di antara mereka. Yang dimaksud dengan tahrisy adalah membuat hati saling berselisih dan merusak hubungan. [Sebagaimana perkataan Imam an-Nawawi di dalam Riyaadhush Shaalihiin.]
Imam An-Nawawi berkata, “Setan berusaha mengadu domba di antara orang-orang yang beriman dengan permusuhan, kebencian, peperangan, fitnah, dan yang semisalnya.” [Al-Minhaaj Syarh Shahiih Muslim (XVII/156).]


Maka hendaknya para saudaraku yang berjuang dalam mendakwahkan tauhid agar berhati-hati dan tidak terjerumus dalam perangkap setan yang ingin merusak barisan mereka. Sesungguhnya senjata pamungkas setan tersebut sangat berbahaya dan ampuh. Namun barangsiapa yang meminta pertolongan kepada Allah maka sesungguhnya tipu daya setan adalah lemah.
Setan menghiasi amalan sebagian orang yang berafiliasi kepada Ahlus Sunnah ketika mencoba menasehati saudaranya yang menurutnya berbuat salah, dengan menerapkan hajr yang tidak dilandasi dengan kaidah yang benar. Akibatnya justru menyebabkan perpecahan yang berkepanjangan di kalangan Ahlus Sunnah dan berdampak sangat buruk bagi penyebaran dakwah tauhid.
Kenyataan Pahit dan Sangat Menyedihkan
Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad –hafizhahullaah- berkata, “Termasuk perkara yang sangat disayangkan terjadi di zaman ini adalah apa-apa yang terjadi di kalangan Ahlus Sunnah, berupa ketidakcocokan dan perpecahan, yang mengakibatkan mereka sibuk saling men-tajrih (melukai), men-tahdzir, dan meng-hajr. Yang wajib mereka lakukan adalah usaha mereka diarahkan kepada selain mereka, dari kalangan orang-orang kafir dan ahli bid’ah yang memusuhi Ahlus Sunnah. Hendaknya Ahlus Sunnah bersatu, saling menyayangi, dan saling mengingatkan di antara mereka secara halus dan lembut.” [Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, hal 19.]

Kalau kita perhatikan kenyataan yang ada pada medan dakwah di Indonesia, kita dapati bahwa salah satu sebab terbesar yang menimbulkan perpecahan di kalangan Ahlus Sunnah, terhambatnya penyebaran dakwah, dan tertawanya ahli bid’ah -karena mengejek Ahlus Sunnah yang menyeru kepada persatuan tetapi mereka sendiri tidak bersatu- adalah penerapan hajr yang dilakukan secara sembarangan, tanpa memperhatikan kaidah-kaidah yang telah digariskan oleh para ulama. Penerapan hajr secara membabi buta ini diterapkan oleh sebagian Ahlus Sunnah yang mengaku paling dekat kepada Sunnah, dan kemudian menuduh Ahlus Sunnah lain yang tidak sejalan dengan mereka sebagai ahli bid’ah yang wajib untuk di-hajr (diboikot).
Hal ini wajar, karena banyak dari mereka yang membaca kitab tanpa bimbingan para ulama besar. Terutama buku-buku yang berkaitan dengan hajr mubtadi’ (ahli bid’ah), sehingga akhirnya mereka menerapkan hajr secara sembarangan.

Ditambah lagi dengan ghirah dan semangat yang sangat besar dalam memberantas bid’ah tanpa dibekali dengan ilmu tentang kaidah-kaidah dalam menghukumi (baca: membid’ahkan) seseorang. Maka yang terjadi adalah pembid’ahan secara membabi buta dan penghalalan harga diri dan kehormatan kaum muslimin -yakni saudara-saudara mereka sesama Ahlus Sunnah- di depan khalayak umum, atau bahkan saudara-saudara mereka tersebut jadi bahan tertawaan dan lelucon di majelis-majelis mereka. Penerapan yang keliru ini berakibat buruk bagi dakwah salafiyah, bagi kaum muslimin pada umumnya, dan terlebih lagi bagi diri mereka sendiri kelak di akhirat.


Penerapan Jarh wa Ta’diil Membutuhkan Taqwa dan Sikap Wara’
Memang benar, memperingatkan seseorang dari bahaya ahli bid’ah adalah perkara yang wajib dan dituntut dalam menjaga syari’at Islam. Sebagaimana halnya para ulama berbicara tentang jarh wa ta’dil (celaan dan rekomendasi) demi menjaga keutuhan syari’at dari noda-noda bid’ah dan kedustaan.
Imam Ibnus Shalah berkata, “Pembicaraan tentang hal ini -baik jarh maupun ta’dil- telah ada sejak dahulu, dari Rasulullah ` kemudian dari banyak Sahabat dan Tabi’in, kemudian orang-orang setelah mereka. Dan hal ini dibolehkan dalam rangka menjaga syari’at dan menolak kesalahan dan kedustaan tentang syari’at….
Aku meriwayatkan dari Abu Bakr bin Khallad, ia berkata: Aku berkata kepada Yahya bin Sa’id, ‘Tidakkah engkau khawatir, mereka yang telah engkau tinggalkan hadits-haditsnya akan menjadi musuh-musuh engkau pada hari kiamat di hadapan Allah?’ Yahya bin Sa’id menjawab, ‘Mereka menjadi musuh-musuhku pada hari kiamat lebih aku sukai dibandingkan yang menjadi musuhku adalah Rasulullah `, di mana beliau ` berkata kepadaku, ‘Kenapa engkau tidak membantah kedustaan dari hadits-haditsku?’
Kami juga meriwayatkan, atau sampai kepada kami, bahwa Abu Turab an-Nakhsyabi az-Zahid mendengar sesuatu perkataan (celaan terhadap para perawi hadits) dari Imam Ahmad bin Hanbal, maka ia pun berkata kepada Imam Ahmad, “Ya Syaikh, janganlah engkau melakukan ghibah terhadap para ulama.” Imam Ahmad menjawab, “Celaka engkau, ini adalah nasehat dan bukan ghibah.” [Lihat 'Uluumul Hadiits, hal 350]


Namun perlu diingat, tatkala seseorang ingin melakukan jarh (celaan) terhadap orang-orang yang melakukan kesalahan, maka janganlah mereka hanya sekedar meneladani sikap keras Salaf dalam mencela ahli bid’ah. Tetapi hendaknya mereka juga meneladani Salaf dalam hal ketakwaan, wara’ dan ibadah mereka. Tatkala Salaf melakukan jarh terhadap seorang ahli bid’ah, atau menghukumi seseorang sebagai ahli bid’ah, maka mereka melakukan hal itu dengan penuh ketakwaan dan sifat wara’, sehingga mereka memberikan penilaian terhadap orang tersebut sesuai haknya.
Yang sungguh menyedihkan, sebagian orang di zaman ini bersemangat untuk melakukan jarh dan sangat mudah membid’ahkan saudara-saudara mereka***, sedangkan kondisi mereka sangat jauh dari sifat wara’. Hal ini sangatlah berbahaya bagi kaum muslimin, terlebih lagi bagi diri mereka sendiri di akhirat kelak.
Catatan *** : Padahal mayoritas saudara-saudara mereka yang di-tahdzir atau dinyatakan sebagai ahli bid’ah hanyalah menyelisihi mereka dalam perkara-perkara ijtihadiyyah yang tidak diperbolehkan jarh, tahdzir, apalagi tabdi’, sebagaimana akan datang penjelasannya.
Orang yang ingin memasuki pintu jarh wa ta’dil harus memiliki sifat wara’ dan ketakwaan.


Imam adz-Dzahabi berkata,
وَالْكَلاَمُ فِي الرُّوَاةِ يَحْتَاجُ إِلَى وَرَعٍ تَامٍّ وَبَرَاءَةٍ مِنَ الْهَوَى وَالْمَيْلِ …
“Membicarakan para perawi membutuhkan sifat wara’ yang sempurna dan terlepasnya diri dari hawa nafsu dan kecendrungan (subjektifitas)….” [Lihat al-Muuqizhah, hal 82.]
Demikian membicarakan kaum muslimin secara umum.
Ibnu Daqiqil ‘Ied pernah menjelaskan lima sebab timbulnya jarh terhadap seorang perawi. Tatkala menyebutkan sebab yang terakhir (kelima), beliau berkata, “Kesalahan yang terjadi (dalam hal ini) disebabkan karena tidak adanya sifat wara’ dan menghukumi dengan persangkaan dan indikasi-indikasi yang terkadang berbeda-beda. Barangsiapa yang melakukan demikian maka ia telah masuk dalam sabda Rasulullah ` ‘Hati-hatilah kalian terhadap prasangka karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang paling dusta.’ Dan hal ini (menghukumi seseorang dengan prasangka dan tanpa sifat wara’, pen) bahayanya sangat besar, jika pihak yang melakukan jarh dikenal keilmuannya namun tingkat ketakwaannya rendah. Sebab ilmu yang dimilikinya menjadikannya sebagai orang yang berhak (ahli) untuk didengar perkataan dan jarh-nya****ibatnya, timbullah kesalahan karena kurangnya sifat wara’ dan menyimpulkan hukum berdasarkan prasangka…


Catatan **** : Inilah perkara yang sangat berbahaya.

Jika ternyata tukang jarh atau tukang tabdi’ tersebut dikenal memiliki ilmu, namun jauh dari sifat wara’. Lisannya terkenal ceplas-ceplos. Harga diri saudaranya jadi mainan dan makanan sehari-hari dalam majelis-majelisnya. Bahkan sering menjadi bahan tertawaan! Majelisnya terasa tidak sedap jika tidak diberi bumbu celaan terhadap saudara-saudaranya. Selanjutnya perkataannya tersebut dijadikan pegangan oleh banyak orang. Wallaahul musta’aan.


Karena syarat-syarat tersebut (yaitu yang harus dipenuhi oleh pihak yang melakukan jarh, pen) sulit terkumpul (dalam diri individu tertentu), maka membicarakan orang-orang memiliki bahaya yang besar…. Oleh karena itu aku katakan,
أَعْرَاضُ الْمُسْلِمِيْنَ حُفْرَةٌ من حُفَرِ النَّارِ وَقَفَ عَلَى شَفِيْرِهَا طَائِفَتَانِ مِنَ النَّاسِ الْمُحَدِّثُوْنَ وَالْحُكَّامُ
“Kehormatan kaum muslimin adalah sebuah jurang dari jurang-jurang Neraka. Berdiri di tepi jurang tersebut dua kelompok manusia, yaitu para muhaddits (ahli hadits yang berbicara tentang derajat para perawi, pen) dan penguasa.“ [Lihat al-Iqtiraah, hal 301-302.]
Imam Ibnus Shalah berkata, “Wajib bagi orang yang berkecimpung dalam hal ini (jarh wa ta’dil, pen) untuk bertakwa kepada Allah, ber-tatsabbut (mengecek kembali), dan menjauhi sifat tasahul (sikap memudahkan), agar ia tidak melakukan jarh terhadap seorang yang sebenarnya selamat (dari hal tersebut) dan tidak menyifati seseorang yang tidak bersalah dengan sifat yang buruk, kemudian sifat jelek tersebut akhirnya tertempel pada orang tersebut hingga hari kiamat…. Apa yang kami riwayatkan, atau kami sampaikan, bahwa Yusuf bin al-Hasan ar-Razi ash-Shufi menemui Ibnu Abi Hatim yang dalam keadaan sedang membaca buku karyanya tentang al-jarh wat ta’dil. Yusuf berkata, ‘Berapa banyak dari mereka (yaitu orang-orang yang tercantum dalam buku al-Jarh wat Ta’diil tersebut) telah menempati tempat-tempat mereka di Surga sejak seratus atau dua ratus tahun yang lalu, sementara engkau masih sibuk menyebut-nyebut mereka dan melakukan ghibah terhadap mereka.’ (Mendengar hal ini), ‘Abdurrahman (Ibnu Abi Hatim) pun menangis.*****
Catatan ***** : Perhatikan betapa wara’-nya Imam Ibnu Abi Hatim. Beliau memang menerapkan prinsip-prinsip jarh wa ta’dil, namun hal itu hanyalah didasari oleh niat untuk memurnikan hadits-hadits Nabi `. Duhai, sekiranya saja orang-orang yang melakukan jarh di zaman ini juga meneladani beliau dalam sifat wara’ tersebut.


Juga telah sampai kepada kami, bahwa ketika Ibnu Abi Hatim sedang membacakan kitabnya, al-Jarh wat Ta’diil, kepada khalayak, maka disampaikan kepadanya kabar dari Yahya bin Ma’in, bahwa beliau berkata, “Sesungguhnya kita sedang mencela orang-orang yang mungkin saja mereka telah menempati tempat-tempat mereka di Surga sejak dua ratus tahun lebih.”

(Mendengar hal ini), ‘Abdurrahman (Ibnu Abi Hatim) pun menangis, kedua tangannya gemetar, sehingga jatuhlah kitab (yang sedang dibacanya) dari tangannya.” [Lihat 'Uluumul Hadiits, hal. 350-351.]
[Dicuplik dari Kata Pengantar “Lerai Pertikaian Sudahi Permusuhan”, Media Tarbiyah] Selengkapnya...

JANGAN SEMBRONO DI DALAM MENG-HAJR SAUDARAMU (3-Selesai)

Oleh : Al-Ustâdz Abu ‘Abdil Muhsin, Lc.
[Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Islam Madinah]

Melanggar ‘Irdh*(Kehormatan) Seorang Muslim Tanpa Alasan yang Dibenarkan oleh Syari’at Merupakan Dosa yang Sangat Besar.

Catatan * : Yang dimaksud dengan ‘irdh adalah sesuatu yang terdapat atau dimiliki oleh seseorang yang dengannya ia dapat dipuji atau dicela. Lihat ‘Umdatul Qori (XXII/123) dan Tuhfatul Ahwadzi (VI/313).

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Setiap muslim terhadap muslim yang lain adalah haram, darahnya, hartanya, dan kehormatannya. [HR Muslim (IV/1986) no (2564).]

Disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas:

فَإِنّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا ، فَأَعَادَهَا مِرَارًا
Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, di negeri kalian ini, di bulan kalian ini. Ibnu ‘Abbas berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam mengulang-ngulangi ucapan tersebut.” [HR Al-Bukhari (II/619).]

Al-Mubarakfuri berkata, “Yaitu haramnya sebagian kalian melakukan pelanggaran terhadap jiwa sebagian yang lain, (begitu juga) harta dan kehormatan, pada hari-hari yang lain (di luar bulan haram), sebagaimana haramnya kalian melakukan pelanggaran pada hari ini (yaitu di bulan haram), di tanah ini (tanah haram, tanah suci Makkah).” [Tuhfatul Ahwadzi (VI/313).]

Imam an-Nawawi berkata, “Maksud ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam tersebut adalah menjelaskan kerasnya penekanan keharaman harta, jiwa dan kehormatan, sekaligus untuk memperingatkan hal ini.” [Al-Minhaaj, Syarh Shahiih Muslim (XI/169)]
Al-Munawi berkata, “Islam yang paling mulia adalah masyarakat selamat dari lisanmu. Karena itu janganlah engkau mengumbar lisanmu dengan ucapan-ucapan yang memberi mudharat kepada mereka.” [Faidhul Qadiir (I/523).]


Sebagaimana halnya kita tidak boleh melanggar hak orang lain yang berkaitan dengan harta -dengan melakukan pencurian misalnya- maka kita juga tidak boleh melanggar hak orang lain yang berkaitan dengan kehormatan. Karena itu hukum asalnya adalah kita tidak boleh mencela atau menghina. Bahkan pelanggaran yang terkait dengan kehormatan lebih berat dibandingkan dengan harta. Seseorang lebih merasa tersakiti tatkala harga dirinya dijatuhkan, direndahkan, dan dihinakan, apalagi dihadapan khalayak ramai dibandingkan sekiranya hartanya dicuri atau diambil dengan tanpa alasan yang benar.


Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةُ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ
Sesungguhnya termasuk riba yang paling parah adalah mengulurkan lisan terhadap kehormatan seorang muslim tanpa hak (alasan yang dibenarkan). [HR Abu Dawud (IV/269) no (4876) bab Fil Ghiibah. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata, “Hadits Sa’id bin Zaid… dikeluarkan oleh Abu Dawud, dan ia memiliki syahid, sebagaimana yang dikeluarkan oleh al-Bazzar dan Ibnu Abid Dunya dari hadits Abu Hurairah, dan dikeluarkan oleh Abu Ya’la dari hadits Aisyah.” Fat-hul Baari (X/470). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Shahiihah, no (3950).]


Syamsul Haqq al-‘Azhim Abadi rahimahullahu berkata, “Makna arbar ribaa adalah riba yang paling besar bahayanya dan yang paling keras keharamannya. Dan makna al-istithaalah adalah mengulurkan lidah terhadap kehormatan seorang muslim. Maksudnya adalah merendahkannya dan merasa lebih tinggi darinya serta melakukan ghibah terhadapnya, seperti menunduhnya berzina atau mencelanya. Hal Ini merupakan riba yang paling keras keharamannya karena kehormatan merupakan perkara yang paling mulia bagi seseorang, lebih dari harta.” [‘Awnuul Ma’buud (XIII/152).]
Imam Ibnul Atsir rahimahullahu berkata, “Mengulurkan lisan pada harga diri manusia yaitu merendahkan mereka dan merasa tinggi di hadapan mereka serta melakukan ghibah terhadap mereka.” [An-Nihaayah fi Ghariibil Hadiits (III/145).]


Al-Baidhawi berkata, “Al-Istiithalah (mengulurkan lisan) pada kehormatan seorang muslim yaitu menjelekkannya lebih dari yang seharusnya -membalas lebih dari ucapannya** atau lebih dari yang rukhsah yang diberikan.*** Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam memisalkannya dengan riba, dan memasukkannya ke dalam bagian riba, lalu menjadikannya sebagai riba yang paling besar. Sebab hal ini lebih berbahaya dan kerusakannya lebih parah. Karena kehormatan (harga diri) seseorang -baik menurut syari’at maupun akal- adalah lebih mulia dibandingkan hartanya dan lebih besar bahayanya daripada harta.” [Sebagaimana dikutip oleh al-Munawi dalam Faidhul Qodiir (II/531).]


Catatan ** : Maksudnya, apabila terdapat seorang muslim yang mencelanya maka hendaklah ia membalas dengan yang semisalnya, tanpa menambah lebih dari itu. Sebab jika tidak, berarti ia seperti orang yang melakukan riba karena memberi lebih banyak daripada yang diterima.
Catatan *** : Maksudnya, syari’at memberi sejumlah rukhsah (keringanan) untuk melakukan ghibah, atau untuk mencela kehormatan seseorang. Namun hal ini merupakan keringanan yang keluar dari hukum asalnya, yaitu haramnya perbuatan tersebut. Maka tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil lebih dari batasan keringanan yang diizinkan oleh syari’at.


Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam berkata,
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ، أَشَدُّ عِنْدَ اللهِ مِنْ سِتَّةٍ وَ ثَلاَثِيْنَ زِنْيَةً
“Satu dirham karena hasil riba yang dimakan oleh seseorang sedangkan dia mengetahuinya, lebih berat di sisi Allah dibandingkan tiga puluh kali perbuatan zina.” [Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani. Lihat Ghaayatul Maraam: (172), ar-Raudh an-Nazhiir: (459), ash-Shahiihah (1033), dan Shahiih al-Jaami' (3375).]


Ketika mengomentari hadits ini, Imam asy-Syaukani berkata, “Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam: “…lebih berat di sisi Allah dibandingkan tiga puluh perbuatan zina…”, menunjukan bahwa maksiat riba termasuk maksiat yang paling berat. Sebab maksiat riba dinilai dengan maksiat zina -yang merupakan maksiat yang paling jelek dan menjijikkan- dengan jumlah yang banyak (36 kali zina), bahkan (maksiat riba) lebih parah daripada zina-zina tersebut. Karena itu tidak diragukan lagi bahwa maksiat riba telah melampaui ambang batas keburukan. Dan yang lebih buruk dari itu adalah mengulurkan lisan pada harga diri saudaranya sesama muslim. Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam menjadikan perkara tersebut (mengulurkan lisan untuk mencela kehormatan orang lain) merupakan riba yang paling parah.

Dan sungguh jauh (dari rahmat Allah) orang yang mengucapkan suatu kalimat yang ia tidak menemukan kelezatan dalam ucapannya tersebut, tidak menambah hartanya, dan tidak juga meninggikan kedudukannya, namun dosanya di sisi Allah lebih besar daripada dosa orang yang berzina sebanyak tiga puluh enam zina. Ini adalah perbuatan yang tidak dilakukan oleh orang yang berakal. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaeselamatan (dari hal ini)…. Amin. Amin.” [Nailul Authaar (V/297).]


Ada sebagian orang yang tidak bisa mengendalikan lisannya. Tidak peduli dengan apa yang diucapkannya. Tidak peduli siapa pun yang sedang ia ghibah, yang ia bicarakan, yang ia rendahkan, yang ia jatuhkan harga dirinya.
Terlebih lagi ghibah yang ia lakukan terkait dengan agama seseorang.
Imam al-Qurthubi berkata, “Para ulama, sejak awal masa para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam dan Tabi’in setelah mereka, menganggap bahwa tidak ada ghibah yang lebih parah dibandingkan ghibah yang berkaitan dengan agama (seseorang). Sebab aib yang berkaitan dengan agama merupakan aib terberat. Setiap orang mukmin lebih benci jika disinggung kejelekan agamanya daripada disinggung (cacat) tubuhnya.” [Tafsiir al-Qurthubi (XVI/337)]

Bahkan, para ulama sekalipun tidak selamat dari lisan orang tersebut. Tidak hanya ulama yang hidup di masanya, bahkan ulama masa lalu pun tidak selamat dari lisannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,
وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kalimat yang menjadikan Allah murka, sedangkan ia tidak perduli dengan ucapan tersebut, maka ia pun terjerumus dalam neraka Jahannam.” [HR Al-Bukhari (V/2377) no (6113)]

Dia tidak tahu bahwa bisa jadi orang yang ia ghibah, yang ia rendahkan, yang ia lecehkan, ternyata kedudukannya agung di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia tidak pernah menyangka bahwa ucapannya yang terasa sangat ringan di lisannya ternyata sangat berat di sisi Allah.
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّناً وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ
Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (an-Nuur: 15)


Ia tidak tahu bahwa satu kalimat yang ia keluarkan untuk melakukan ghibah atau merendahkan kedudukan dan kehormatan seorang mukmin dapat menghancurkan kabaikan-kebaikannya yang banyak, meskipun sebesar gunung dan telah ia kumpulkan selama bertahun-tahun dengan penuh perjuangan dan keletihan.
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,
أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوْا الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكاَةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Tahukah kalian siapa yang disebut dengan orang yang bangkrut?” Para Sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki barang.” Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam berkata, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan shalat, puasa, dan zakat. Dia datang, sementara ia telah mencela si Fulan, telah menuduh si Fulan (dengan tuduhan yang tidak benar), memakan harta si Fulan, menumpahkan darah si Fulan, dan memukul si Fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikannya dan diberikan kepada si Fulan dan Fulan. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum cukup menebus kesalahan-kesalahannya, maka diambillah kesalahan-kesalahan mereka (yang telah ia zhalimi) kemudian dipikulkan kepadanya, lalu ia pun dilemparkan ke Neraka.” [HR Muslim (IV/1997) no (2581).]


Sungguh benar sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam
وَ هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِيْ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ ؟!
Bukankah tidak ada yang menyebabkan manusia terjungkal di atas wajah-wajah mereka dalam Neraka melainkan akibat dari lisan-lisan mereka?! [HR At-Tirmidzi (V/11) no (2616) dan Ibnu Majah (II/1314) no (2973), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahiihah, no (1122).]
Begitu juga sabda Rasul `:
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و الْفَرَجُ
Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam Neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan. [HR. At-Tirmidzi (2004), Ahmad (II/291, 292), dan lain-lain. Syaikh Salim al-Hilali berkata, “Isnadnya hasan.”]
Kalau maksiat yang ia lakukan terkait antara ia dan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah. Mudah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengampuninya jika Ia menghendakinya. Namun jika kezhaliman berkaitan dengan hak manusia, maka ingatlah bahwa semua orang di hari Kiamat membutuhkan hasaanaat (kebaikan). Semua ingin menyelamatkan dirinya sendiri dari Neraka dengan berbagai macam upaya.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata, “Adapun hak orang yang terzhalimi, maka tidak gugur hanya dengan bertaubat…. Barangsiapa yang bertaubat dari kezhaliman, maka tidak gugur hak orang yang terzhalimi dengan taubatnya tersebut. Tetapi merupakan kesempurnaan taubat, hendaklah ia mengganti hak tersebut dengan semisal kezhaliman yang pernah dilakukannya. Jika ia tidak mengganti hak tersebut di dunia, maka ia pasti akan menggantinya di akhirat. Karena itu wajib bagi orang yang berbuat zhalim yang sudah bertaubat untuk memperbanyak perbuatan-perbuatan baik, sehingga apabila orang-orang yang dizhaliminya mengambil kebaikan-kebaikannya (kelak di Akhirat, sebagai penebus hak-hak mereka), ia masih tidak menjadi orang yang bangkrut (masih tersisa kebaikan-kebaikannya). Meskipun demikian, jika Allah menghendaki untuk menebus hak orang yang terzhalimi dari sisi-Nya, maka tidak ada yang menolak karunia-Nya. Sebagaimana halnya jika Allah menghendaki untuk mengampuni dosa-dosa yang tingkatannya di bawah kesyirikan bagi siapa saja yang Ia kehendaki….
Dan ghibah merupakan kezhaliman yang terkait dengan kehormatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
} أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ{
Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih. (al-Hujuurat: 12)
Allah telah mengingatkan kaum mukminin agar bertaubat dari ghibah yang merupakan kezhaliman.…” [Majmuu’ Fataawa (XVIII/187-189).]


Tidakkah orang-orang yang melanggar kehormatan seorang mukmin itu meyakini bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Sang Hakim yang Maha Adil dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya? Tidakkah mereka sadar bahwa orang yang ia ghibah, lecehkan, dan rendahkan tersebut akan menuntut haknya di hadapan Allah pada hari Kiamat kelak? Bagaimana lagi jika ia telah menjatuhkan harga diri banyak orang?


Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,

لَتُؤَدُنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادُ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ الْقُرَنَاءِ
“Kalian akan menunaikan hak-hak kepada para pemiliknya pada hari Kiamat. Sampai-sampai kambing yang bertanduk diqishash untuk kambing yang tidak bertanduk.” [HR Muslim (IV/4997) no (2582)]
Tidakkah ia tahu bahwa…
إِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya kezhaliman adalah kegelapan-kegelapan pada hari Kiamat.” [HR Muslim (IV/1996) no (2579)]
Disebabkan besarnya bahaya dan dosa melanggar kehormatan seorang muslim tanpa hak, maka Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدَرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِّلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang melakukan kezhaliman kepada seseorang, baik berkaitan dengan harga dirinya (kehormatannya) atau sesuatu yang lain, maka hendaklah ia memintanya untuk menghalalkannya pada hari ini sebelum datang hari yang tidak ada lagi dinar dan tidak juga dirham. Jika ia memiliki amal shalih maka akan diambil darinya sesuai ukuran kezhalimannya. Dan jika ia tidak memiliki kebaikan maka akan diambil kejelekan-kejelekan orang tersebut lalu dipikulkan kepadanya.” [HR Al-Bukhari (II/856) no (2317); dan (V/2394) no (6169).]
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam mengkhususkan penyebutan harga diri (kehormatan) pada hadits di atas. Hal ini menunjukan besarnya bahaya dari perbuatan tersebut.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing kita Selengkapnya...

KETIKA UKHUWAH YANG TERKOYAK

Oleh :
Ustâdz Firanda Ibn ‘Âbidîn as-Soronjî

Tidak diragukan lagi bahwa kita tengah berada di suatu zaman di mana nilai-nilai ukhuwwah (persaudaraan) yang dibangun karena Allôh mulai pudar. Orang-orang tidak saling berhubungan melainkan karena pertimbangan materi belaka. Mereka saling mencintai dan membenci karena dunia. Tidaklah salah seorang dari mereka mendekati yang lain dengan wajah yang manis kecuali karena ada maunya. Tatkala kepentingan itu tidak tercapai, maka senyuman pun berubah menjadi raut masam.
Hal ini bukanlah termasuk gaya hidup as-Salafus Shalih. Mereka sungguh jauh dari model hidup seperti ini. Tidaklah mereka mencintai dan bersahabat dengan seseorang melainkan karena Allôh.
Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
لاَتَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوْا
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman dan tidaklah kalian beriman sampai kalian saling mencintai…” [HR Muslim (54), Abu Dawud (5193), dan at-Tirmidzi (2689)]
Kita sama-sama mengetahui bahwa defininsi ibadah adalah sebuah nama yang mencakup semua perkara yang yang dicintai dan diridhai oleh Allôh, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang zhahir maupun batin. Diantara perkataan dan perbuatan yang dicintai dan diridhai oleh Allôh adalah menunaikan hak-hak ukhuwwah. Hak seorang muslim atas saudaranya yang lain. Terlebih lagi jika keduanya adalah sahabat karib. Bukan hanya sekedar saudara sesama muslim. Mereka bertemu dan berpisah karena Allôh, sama-sama berjalan di atas ketaatan kepada Allôh, saling tolong menolong dalam kebaikan, sehingga semakin kuatlah hak-hak ukhuwwah yang ada diantara keduanya. Hak-hak ini hendaknya tetap diperhatikan oleh setiap muslim, baik tua, muda, lelaki, maupun wanita.
Sungguh, Allôh benar-benar telah memberi kenikmatan kepada kaum muslimin dengan menjadikan mereka bersaudara. Allôh berfirman:
﴿فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتٌمْ عَلَى شَفَى حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا﴾
“Lalu menjadilah kalian karena nikmat Allôh orang-orang yang bersaudara, dan kalian dahulu berada di tepi jurang neraka lalu Allôh menyelamatkan kalian darinya.” (Âli ‘Imrân: 103)
Dalam ayat tersebut Allôh menyebutkan nikmat yang telah Ia berikan kepada hamba-hamba-Nya, yaitu menyatukan hati-hati mereka dan menjadikan mereka bersaudara. Hal ini menunjukkan bahwa nikmat yang sangat agung ini, yaitu ukhuwwah, semestinya hanya dilandasi karena Allôh semata.
Seorang muslim harus menyadari bahwa persaudaraan dan rasa cinta diantara sesama kaum mukminin yang dilandasi karena Allôh merupakan suatu nimat yang sangat agung dari Allôh. Maka hendaknya senantiasa dijaga dan dipelihara.
Dalam menafsirkan firman Allôh: بِنِعْمَتِهِ (karena nikmat-Nya), sebagian ulama berkata, “Ini adalah peringatan bahwasanya terjalinnya tali persaudaraan dan terjalinnya cinta kasih diantara kaum mukminin hanyalah disebabkan karunia Allôh semata, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang lain:
﴿لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ﴾
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allôh-lah yang telah mempersatukan hati mereka” (Al-Anfal: 63)
Maka yang menjadikan hati-hati manusia bersatu dalam ibadah kepada Allôh, sekaligus saling mencintai, padahal mereka berasal dari berbagai penjuru dunia, dari ras yang beraneka ragam, serta dari martabat yang bertingkat-tingkat, hanyalah Allôh semata, dengan nikmat-Nya yang tiada bandingnya. Ini adalah nikmat yang selayaknya seorang muslim bergembira dengannya. Allôh berfirman:
﴿قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ﴾
“Katakanlah: ‘Dengan karunia Allôh dan rahmat-Nya’, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allôh itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan” (Yunus: 58)
‘Abdah bin Abî Lubâbah berkata: “Aku bertemu dengan Mujâhid. Lalu dia menjabat tanganku, seraya berkata: ‘Jika dua orang yang saling mencintai karena Allôh bertemu, lalu salah satunya mengambil tangan kawannya sambil tersenyum kepadanya, maka gugurlah dosa-dosa mereka sebagaimana gugurnya dedaunan.”
‘Abdah melanjutkan: “Aku pun berkata: ‘Ini adalah perkara yang mudah.’ Mujahid lantas menegurku, seraya berkata: “Janganlah kau berkata demikian, karena Allôh berfirman:
﴿لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ﴾
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allôhlah yang telah mempersatukan hati mereka” (Al-Anfal: 63)
Akhirnya ‘Abdah berkata: “Maka aku pun mengakui bahwa dia memiliki pemahaman yang lebih dibandingkan aku” [Tafsir Ath-Thabari (X/36) dan Hilyatul Auliyâ` (III/297). Diriwayatkan juga dari Abu Lubâbah, dari Mujâhid, dari Ibnu 'Abbas, dari Rasūlullâh Shallâllâhuu ‘alaihi wa Sallam dengan sanad yang marfū’, dalam Târîkh Wâsith, pada biografi 'Abdullâh bin Sufyân Al-Wâsithi (I/178), dengan kisah yang sama, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albânî karena syawâhid-nya. Lihat: as-Shahîhah (V/10) hadits (2004).]

Landasan Seorang Muslim Tatkala Bermu’âmalah dengan Saudaranya
Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik, dari Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya segala (kebaikan) yang dia sukai bagi dirinya sendiri” [HR Al-Bukhari (13) dan Muslim (45)]
Keinginan agar saudara kita juga mendapatkan apa yang kita sukai bagi diri kita merupakan suatu kewajiban setiap orang yang beriman. Hukumnya bukan hanya sekedar mustahab (sunnah), sebagaimana persangkaan sebagian orang. Barangsiapa yang dalam hatinya tidak terdapat perasaan demikian maka dia telah berdosa. Hal ini telah dijelaskan secara panjang lebar oleh Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah. [Lihat Majmuu’ Fataawa (VII/14-19)]
Tidaklah Allôh dan Rasul-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam menafikan sesuatu perkara yang diperintahkan, kecuali karena ditinggalkannya sebagian kewajiban dalam perkara tersebut. Tentang shalat misalnya, Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidak ada shalat bagi orang yang menahan dua hadats (buang air dan buang angin).”
Beliau juga bersabda:
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah.”
Tatkala melihat orang yang rusak shalatnya karena tergesa-gesa, tidak thuma`ninah (tenang), Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam berkata:
“Kembalilah shalat karena sesungguhnya engkau belum shalat.”
Ini menunjukkan bahwa hukum tidak menahan buang air ketika shalat adalah wajib. Begitu juga dengan hukum membaca al-Fâtihah dan thuma’nihah dalam shalat.
Kembali ke masalah keimanan, dengan menganalogikan contoh-contoh di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa jika meninggalkan suatu perbuatan menyebabkan iman ternafikan, maka perbuatan tersebut hukumnya adalah wajib.
Misalnya sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam :
“Tidaklah beriman orang yang tidak amanah”
Begitu juga sabda beliau :
”Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga akulah yang lebih dia cintai dari pada orang tuanya, dari pada anaknya, dan dari seluruh manusia.”
Serta sabda beliau:
“Tidaklah beriman orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.”
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa menjaga amanah, mendahulukan kecintaan kepada Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam di atas manusia yang lain, dan tidak mengganggu tetangga hukumnya adalah wajib.
Di dalam nash-nash syar’i, iman dan shalat tidak mungkin dinafikan jika yang ditinggalkan adalah perkara yang sunnah. Maka tidaklah kita katakan pada orang yang shalat dengan tidak membaca do’a iftitah, “Tidak ada shalat untukmu.” Sebab, do’a iftitah hukumnya adalah sunnah. Sekiranya kita boleh menafikan iman dikarenakan ada perkara mustahab yang ditinggalkan, maka tentulah kita boleh berkata, “Abu Bakr tidak beriman.” Sebab, tidak ada yang melakukan seluruh perkara mustahab secara sempurna kecuali Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Pasti ada sebagian perkara mustahab yang ditinggalkan oleh Abu Bakr. Namun, tentunya tidak seorang pun dari Ahlus Sunnah berkata, “Abu Bakr tidak beriman.” Ini merupakan perkataan yang jelas-jelas batil.
Ibnu Taimiyyah berkata: “Barangsiapa yang tidak menginginkan untuk saudaranya seiman apa yang dia sukai bagi dirinya, maka dalam dirinya tidak ada keimanan yang wajibkan Allôh kepadanya. Tatkala Allôh menafikan keimanan dari seseorang, maka tidaklah ini terjadi melainkan karena adanya kekurangan pada keimanan yang wajib, sehingga pelakunya termasuk orang-orang yang terkena ancaman Allôh dan bukan termasuk orang-orang yang berhak memperoleh janji baik dari Allôh.” [Majmuu' Fataawa (VII/41)]
Berkata Ibnu Rajab: “Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam memberikan balasan surga bagi sifat berikut ini.” [Jâmi' al-'Ulūm wal Hikam (I/304)]
Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ
“Barang siapa yang ingin diselamatkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka hendaklah ketika ajal menemuinya dia dalam keadaan beriman kepada Allôh dan hari akhir, dan hendaklah dia memberi orang lain apa yang dia suka untuk diberikan kepadanya.” [HR Muslim (1844)]
Lafazh “Mâ” dalam hadits: “Mâ yuhibbu linafsihi” adalah isim maushul. Dalam disiplin ilmu ushul fiqh disebutkan bahwa isim maushul memberikan makna yang umum (universal).
Syaikh Shalih Alu Syaikh berkata: “Hadits di atas mencakup ‘aqidah, perkataan dan perbuatan, yaitu mencakup seluruh bentuk amal shalih, baik keyakinan, perkataan, maupun perbuatan… Hendaknya seorang mukmin menginginkan agar saudaranya memiliki ‘aqidah yang benar seperti ‘aqidah yang ia yakini. Sikap seperti ini hukumnya wajib. Hendaklah ia juga menginginkan agar saudaranya shalat sebagaimana ia shalat. Sekiranya ia senang jika saudaranya tidak berada di atas petunjuk yang benar, maka ia telah berdosa, dan telah hilang darinya keimanan sempurna yang wajib. Jika ia senang bila ada saudaranya yang berada di atas ‘aqidah yang batil dan tidak sesuai dengan sunnah, yaitu ‘aqidah bid’ah, maka telah ternafikan darinya kesempurnaan iman yang wajib. Demikian pula halnya dengan seluruh peribadatan dan seluruh jenis-jenis sikap menjauhi perkara-perkara yang diharamkan. Jika ia senang bila dirinya terbebas dari praktek suap, tetapi ia senang jika ada saudaranya yang terjatuh dalam praktek suap, hingga dia merasa unggul –lebih shalih dari saudaranya tersebut-, maka telah ternafikan kesempurnaan iman yang wajib dari dirinya (dia telah berdosa). [Dalam Syarh al-Arbaîin an-Nawawiyyah, oleh Syaikh Shâlih Âlu Syaikh]
Ibnu Rajab berkata: “Hadits Anas yang sedang kita bicarakan ini menunjukkan bahwa wajib bagi seorang mukmin untuk bergembira jika ada saudaranya yang seiman gembira. Hendaklah ia menginginkan agar saudaranya mendapatkan kebaikan, sebagaimana ia juga menginginkan kebaikan. Semua ini tidak bisa terwujud kecuali dari hati yang bersih dari sifat dendam, hasad (dengki), dan curang. Sesungguhnya sifat hasad menjadikan pemiliknya benci jika ada orang lain yang mengunggulinya atau menyamainya dalam kebaikan. Sebab, ia ingin menjadi spesial dan istimewa di tengah-tengah manusia dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Tetapi konsekuensi dari iman adalah sebaliknya, yaitu ia ingin agar seluruh kaum mukminin menyamainya dalam kebaikan yang Allôh berikan kepadanya, tanpa mengurangi kebaikan dirinya sedikit pun.” [Jâmi' al-'Ulūm wal Hikam (I/306)]
Bahkan derajat yang lebih tinggi dari ini –meskipun tidak wajib- adalah seorang mukmin ingin agar kaum mukminin yang lain melebihi dia dalam kebaikan. Karena yang wajib dalam syari’at adalah ia menginginkan agar orang-orang seperti dirinya dalam kebaikan
al-Fudhail berkata: “Jika engkau ingin manusia seperti engkau, maka engkau belum menunaikan nasehat pada Rabbmu.…”
Karena itu seorang mukmin hendaknya selalu memandang dirinya penuh dengan kekurangan, sehingga ia selalu berusaha untuk meraih keutamaan dan kebaikan untuk memperbaiki dirinya. Hal ini akan menimbulkan dalam hatinya agar kaum mukminin lebih baik dari dirinya. Ia tidak rela jika kaum mukminin seperti dirinya yang penuh kekurangan.
Muhammad bin Wâsi’ pernah berkata kepada putranya:
أَمَّا أَبُوْكَ فَلاَ كَثَّرَ اللهُ فِي الْمُسْلِمِيْنَ مِثْلَهُ
“Adapun ayahmu, maka semoga Allôh tidak memperbanyak yang semisalnya di tengah kaum muslimin.” [Disarikan dari Jaami' al-'Ulum wal Hikam (I/309-310)]
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh berkata: “Jika ada yang mengatakan bahwa sifat ini terkadang sangat sulit dipraktekkan, yaitu engkau menghendaki bagi saudaramu apa yang kau inginkan bagi dirimu. Engkau menghendaki saudaramu menjadi seorang ‘alim, kaya, memiliki harta dan anak-anak, serta menjadi orang yang istiqâmah. Bukankah hal ini sulit dipraktekkan? Maka jawabnya, hal tersebut tidaklah sulit jika engkau melatih dan membiasakan diri. Latihlah dan biasakan dirimu, niscaya kelak akan ringan rasanya. Namun, jika engkau menuruti hawa nafsumu maka hal ini benar-benar akan sangat sulit untuk dilakukan.” [Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, hal. 164]
Faidah lain dari hadits ini adalah penjelasan tentang makna akhlak yang mulia. Syaikh ‘Abdurrazzâq bin ‘Abdil Muhsin al-’Abbâd –hafizhahumallôh- pernah berkata: “Banyak pendapat dalam menjelaskan definisi akhlak mulia. Namun definisi terbaik dari akhlak mulia adalah perkataan Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam:
وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْه
“Hendaknya ia memberi kepada orang lain apa yang ia suka untuk diberikan padanya.” [HR Muslim (1844)]
Praktek dari hadits ini, jika engkau ingin bermu’amalah dengan kedua orangtuamu maka bayangkan bahwa dirimu adalah orang tua. Anggaplah engkau adalah seorang ibu, apa yang kau kehendaki dari anakmu untuk bermu’amalah kepadamu (maka seperti itulah yang kau lakukan terhadap ibumu). Qiyaskanlah hal ini tatkala engkau ingin bermu’amalah dengan tetangga dan sahabatmu. Jika ada sahabatmu yang bersalah kepadamu maka apa sikapmu kepadanya? Bayangkan seandainya engkau adalah sahabatmu yang bersalah itu, maka apakah yang kau harapkan? Tentunya engkau mengharapkan untuk dimaafkan. Jika demikian maka maafkanlah sahabatmu itu.” [Faidah yang kami dapatkan guru kami, Syaikh 'Abdurrazzâq –hafizhahullâh-, tatkala menjelaskan hadits ke-18 dari al-Arbaîin an-Nawawiyyah]
Demikianlah, sangat penting bagi kita untuk selalu mengingat faidah hadits ini, tatkala bergaul dan bermu’amalah dengan siapa pun, terutama tatkala bermu’amalah dengan saudara seiman.
Apakah makna ukhuwwah yang disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam? .
Jika dua orang berjalan di sebuah jalan yang lebar dan aman, maka keduanya bisa berjalan bersama dengan tentram. Masing-masing saling bergandengan tangan karena rasa cinta yang ada di antara mereka. Namun lihatlah, ternyata jalan yang ditempuh semakin sempit dan akhirnya tidak cukup kecuali untuk salah seorang saja diantara keduanya? Salah seorang dari mereka bergumam, “Manakah yang aku dahulukan? Diriku ataukah saudaraku?” .
Lalu lihatlah, ternyata jalannya semakin bertambah sempit, sehingga tidak mungkin dilalui kecuali untuk satu orang saja. Ia pun bergumam kembali, “Ini adalah kesempatan emas. Hanya sekali. Kalau bukan untuk diriku tentulah untuk saudaraku. Maka siapakah yang aku dahulukan? Apakah aku ambil kesempatan ini dan membiarkan saudaraku mencari jalan lain, ataukah aku berikan kesempatan ini kepadanya dan aku berusaha lagi?”.
Kondisi seperti inilah yang menjadi ajang pembuktian persahabatan sejati..
Sungguh, persahabatan dalam kondisi aman dan tentram sama sekali tidak berat dan tidak bertentangan dengan keinginan-keinginan hati. Bahkan ukhuwwah dalam kondisi ini merupakan perkara yang diinginkan oleh hati, dimana setiap orang berusaha untuk mewujudkannya dalam rangka meraih ketenangan jiwa. Namun pada saat kondisi genting atau ingin mendapatkan sesuatu yang sangat berharga, maka saat itulah teruji ukhuwwah yang sejati. Ujian inilah yang membedakan antara sikap itsar (mengutamakan orang lain) dan egoisme yang kadang tersembunyi dalam diri pemiliknya ketika kondisi aman dan tentram, sampai-sampai ia menyangka bahwa ia adalah sahabat sejati yang merealisasikan segala konsekuensi ukhuwwah. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. [Lihat muqaddimah tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman terhadap risalah Âdabul ‘Isyrah wa Dzikrus Shuhbah wal Ukhuwwah, hal 5-6] Selengkapnya...

Kerjasama dengan Ihya’ut Turats)

Petikan dari ucapan para ulama salafiyin

Beberapa Syubuhat dan Jawabannya (Kerjasama dengan Ihya’ut Turats)



اعداد :

أبو سلمى الأثري





Beberapa Syubuhat dan Jawabannya



Ada beberapa Syubuhat yang sering dilontarkan oleh sebagian kalangan untuk melegalisasikan tindakan hajr bahkan tabdi’-nya ke saudaranya sesama ahlus sunnah. Berikut ini adalah syubuhat mereka beserta tanggapan dan jawabannya.



1. Berta’awun dengan Yayasan Ihya’ut Turats

Dalam masalah ini, buku al-Akh al-Ustadz Firanda tampaknya telah memadai. Namun berikut ini sedikit tambahan dari kami.

Mereka mengatakan bahwa Yayasan Ihya’ut Turats adalah yayasan hizbiyah, para ulama sepakat mentahdzirnya[1], berta’awun dengannya sama dengan berta’awun dengan hizbiyah. Barang siapa yang berta’awun dengan hizbiyah maka mereka adalah hizbiyun. Seakan-akan mereka menyatakan, barangsiapa bekerja sama dengan ahlul bid’ah maka mereka sama dengan ahlul bid’ah. Hal ini mirip dengan kaidah yang dilontarkan oleh pembesar Neo Haddadiyun zaman ini, Syaikh Falih al-Harbi yang mengatakan :

من دفع ساقط فهو ساقط ومن دفع مبتدعا فهو مبتدع

“Barangsiapa membela orang yang keliru maka dia keliru dan barangsiapa membela mubtadi’ maka dia adalah mubtadi’.”[2]

Diantara mereka adalah, seorang fanatikus yang bernama Abu Dzulqornain Abdul Ghofur al-Malanji[3], menyusun sebuah artikel yang berjudul “Ulama berbaris tolak Jum’iyah Ihya’ut Turots” yang mana dia menukil dari buku Malhudlot wa Tanbihat ‘ala Fatawa Fadhilatus Syaikh Abdullah al-Jibrin karya Tsaqil bin Shalfiq azh-Zhufairi. Padahal nukilan itu menyebutkan deretan ulama yang mengkritik Abdurrahman Abdul Khaliq hadahullahu.

Komentar saya : Abdul Ghafur al-Malanji telah melakukan talbis dan licik di dalam menggiring opini publik umat, dimana ia mengopinikan ulama yang mengkritik Abdurrahman Abdul Khaliq otomatis juga turut mentahdzir Jum’iyah Ihya’ut Turots. Liciknya lagi, setelah itu dia menyandarkan secara serampangan dan penuh kedustaan bahwa Abdurrahman Abdul Khaliq sebagai “big-boss” para du’at salafiyin yang bekerja sama dengan Ihya’ut Turots Kuwait.

Demikianlah karakter dan sikap Abdul Ghafur ini, dia berani melakukan suatu kedustaan dan kelicikan untuk memenuhi ambisinya agar dapat menembakkan tuduhan-tuduhan dan celaan-celaan kejinya.

Saya katakan kepada Abdul Ghafur : Ya Abdal Ghafur, dari ke-23 nama ulama yang antum sebutkan, apakah mereka semua turut mentahdzir IT (Ihya’ut Turats), mengharamkan bekerja sama dengan IT dan mengharuskan untuk mentahdzir siapa saja yang berta’awun dengan IT?!! Jika antum katakan iya, maka ini jelas menunjukkan antum ini jahil dan telah melakukan kedustaan atas nama mereka. Jika antum katakan tidak, maka antum juga telah berdusta atas nama mereka dan melakukan suatu tindakan talbis kepada umat. Dan jika antum katakan tidak tahu, maka sungguh ini adalah musibah, bagaimana bisa seorang ahlus sunnah berkata tanpa ilmu?!! Haihata haihata…!!!

Saya katakan : diantara ke-23 orang yang disebutkan oleh Abdul Ghafur, beberapa di antaranya tidak mentahdzir IT, bahkan sebagiannya memujinya dan memperbolehkan bekerja sama dengan yayasan ini. Di antara mereka adalah :

- Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz[4]

- Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin[5]

- Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan[6]

- Syaikh Prof. DR. Ali bin Nashir al-Faqihi[7]

- Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr[8]

- Syaikh DR. Abdullah al-Farsi[9]

Hal ini menunjukkan kejahilan Abdul Ghafur dan sikap tadlis-nya untuk memenuhi obsesinya di dalam melancarkan makian dan celaan. Saya juga meminta bukti kepada Abdul Ghafur bahwa ulama berikut ini, yaitu : Syaikh Abdullah al-Ghudayyan, Syaikh Shalih Ghusun, Muhammad al-Maghrawi dan Abdullah as-Sabt juga turut mentahdzir IT dan mengharamkan berta’awun dengan yayasan ini.

Sebagai tambahan, sebenarnya masih banyak lagi ulama yang mentazkiyah yayasan ini dan memperbolehkan berta’awun dengan yayasan Ihya’ut Turots al-Kuwaitiyah, diantaranya adalah :

- Syaikh Abdul Muhsin bin Hammad al-‘Abbad.[10]

- Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, Mufti kerajaan Arab Saudi saat ini.[11]

- Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh, Menteri Agama Kerajaan Arab Saudi.[12]

- Syaikh Abdullah bin Mani’, Anggota Lajnah Da`imah.[13]

- Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid, anggota Lajnah Da`imah.[14]

- Syaikh Shalih bin Ghanim as-Sadlan.[15]

- Syaikh Shalih al-‘Abud

- Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Aqil

Dan selain mereka hafizhahumullahu jami’an.

Selain itu, juga ada sederetan ulama yang mentahdzir yayasan ini, namun mereka tidak mentahdzir secara mutlak salafiyun yang berta’awun dengan yayasan ini, apalagi sampai menghajr dan mentabdi’ mereka. Bahkan mereka menasehatkan supaya berlemah lembut dengan mereka, memberikan nasehat yang baik dan meluruskan mereka dengan cara yang terbaik apabila mereka salah. Di antara barisan para ulama ini adalah :

- Syaikh Ali Hasan al-Halabi al-Atsari

- Syaikh Salim bin Ied al-Hilali.

- Syaikh Muhammad Musa Alu Nashr.

- Syaikh Masyhur bin Hasan Salman.

- Syaikh Abdul Malik Ramadhani al-Jaza`iri.

- Syaikh Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili.

- Syaikh Sulaiman bin Salimullah ar-Ruhaili.

- Syaikh Tarhib ad-Dausari.

- Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi.

- Syaikh Washiyullah ‘Abbas.

- Syaikh Khalid al-Anbari.

- Syaikh Husain al-Awaisyah.

- Syaikh Usamah bin Abdul Lathif al-Qushi.

- Syaikh Muhammad bin Sa’id Ruslan al-Mishri.

- Syaikh Bashim Faishal al-Jawabirah.

Dan masih banyak lagi selain mereka. Namun kami juga tidak menafikan juga pendapat ulama yang mentahdzir keras akan yayasan ini dan melarang mengambil bantuan dari mereka secara mutlak. Diantara mereka adalah :

- Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullahu dan murid-murid beliau.

- Syaikh Ahmad Yahya an-Najmi.

- Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkholi.

- Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri.

- Syaikh Falah Isma’il.

Dan selain mereka. Al-Ustadz Abu Karimah telah mengumpulkan ucapan mereka ini, menukil dari website semisal sahab dan selainnya.

Dari paparan di atas, apakah masalah ini[16] adalah masalah manhajiyah yang tidak boleh berselisih di dalamnya, yang apabila terjadi perselisihan di dalamnya, maka salah satunya menyimpang dan menyempal dari manhaj Ahlus Sunnah atau ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyah yang tidak boleh ada tabdi’ dan hajr di dalamnya, dan seluruhnya adalah ahlus sunnah dan wajib berkasih sayang di antara sesama mereka?!!

Dari paparan di atas, yakni banyaknya ucapan dan pendapat di dalam masalah ini, yang semuanya berasal dari para ulama ahlus sunnah, maka adalah suatu hal yang jauh dari kebenaran apabila dikatakan bahwa perselisihan ini adalah perkara manhajiyah yang apabila berselisih di dalamnya, maka ada salah satu fihak yang keluar dari lingkaran Ahlus Sunnah. Jika demikian keadaannya, maka sungguh betapa banyak para ulama kita yang telah keluar dan menyimpang manhajnya dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Wal’iyadzubillah.

Jika demikian, maka pendapat yang paling tepat dan wasath di dalam hal ini adalah, bahwa perkara ini adalah perkara khilafiyah ijtihadiyah yang tidak boleh ada hajr dan tabdi’ di dalamnya. Yang boleh dalam hal ini adalah pengingkaran dan munadhoroh (saling berdiskusi) serta munashohah (saling menasehati). Kami katakan dengan tegas, bahwa pendapat yang menyatakan tidak ada pengingkaran di dalam masalah khilafiyah adalah tidak benar. Berikut ini adalah penjelasannya :

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata :

(( وقولهم مسائل الخلاف لا إنكار فيها ليس بصحيح فإن الإنكار إما أن يتوجه إلى القول بالحكم أو العمل. أمّا الأول فإذا كان القول يخالف سنة أو إجماعاً قديماً وجب إنكاره وفاقاً. وإن لم يكن كذلك فإنه يُنكر بمعنى بيان ضعفه عند من يقول المصيب واحد وهم عامة السلف والفقهاء. وأما العمل فإذا كان على خلاف سنة أو إجماع وجب إنكاره أيضاً بحسب درجات الإنكار. أما إذا لم يكن في المسألة سنة ولا إجماع وللاجتهاد فيها مساغ لم ينكر على من عمل بها مجتهداً أو مقلداً.))

“Ucapan mereka bahwa di dalam masalah khilaf tidak ada pengingkaran adalah tidak benar, karena pengingkaran bisa jadi ditujukan kepada ucapan dengan penghukuman/vonis ataupun amalan. Adapun yang pertama, apabila ada ucapan yang menyelisihi sunnah ataupun ijma’ yang terdahulu maka wajib mengingkarinya dengan sepakat. Apabila tidak demikian, maka diingkari dengan artian menjelaskan kelemahannya terhadap orang yang mengatakan bahwa yang benar itu satu dan mereka adalah kaum salaf pada umumnya dan fuqoha’. Adapun amalan, apabila menyelisihi sunnah maka wajib pula diingkari sesuai dengan tingkat pengingkarannya. Adapun jika tidak ada di dalam sunnah dan tidak pula ijma’, maka ijtihad di dalamnya diperbolehkan dan tidaklah diingkari orang yang mengamalkannya karena berijtihad ataupun bertaklid.”[17]

Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata :

((وقولهم "إن مسائل الخلاف لا إنكار فيها" ليس بصحيح؛ ...، وكيف يقول فقيه لا إنكار في المسائل المختلف فيها والفقهاء من سائر الطوائف قد صرحوا بنقض حكم الحاكم إذا خالف كتاباً أو سنة وإن كان قد وافق فيه بعض العلماء؟ وأما إذا لم يكن في المسألة سنة ولا إجماع وللاجتهاد فيها مَسَاغ لم تنكر على مَنْ عمل بها مجتهداً أو مقلداً))

“Ucapan mereka ‘sesungguhnya di dalam permasalahan khilaf tidak ada pengingkaran’ tidaklah benar… bagaimana bisa seorang faqih (ahli fikih) berkata tidak ada pengingkaran di dalam masalah yang banyak perselisihan di dalamnya sedangkan para ahli fikih dari seluruh kelompok telah menunjukkan dengan jelas kritikan terhadap keputusan seorang hakim apabila menyelisihi Kitabullah dan Sunnah walaupun keputusan tersebut selaras dengan pendapat beberapa ulama? Adapun di dalam permasalahan itu tidak ada sunnah dan ijma’ (yang menjelaskannya), maka diperbolehkan berijtihad di dalamnya dan tidak diingkari orang yang mengamalkannya karena berijtihad ataupun bertaklid.”[18]

Oleh karena itu di dalam mensikapi masalah khilafiyah adalah dengan pengingkaran dengan cara yang baik, bukannya malah menerapkan hajr dan tabdi’ secara serampangan dan gegabah, yang ujung-ujungnya malah menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Dan inilah pendapat yang kami pegang, yaitu masalah ini adalah masalah khilafiyah, tidak boleh ada hajr apalagi tabdi’ di dalamnya, namun boleh ada nasehat, diskusi dan pengingkaran di dalamnya.

Adapun pendapat kami adalah : Kami meyakini bahwa Ihya’ut Turats memiliki penyimpangan-penyimpangan di dalam manhajnya, kami lebih menguatkan pendapat bahwa Ihya’ut Turats lebih cenderung kepada hizbiyah oleh karena itu kami pribadi tidak mau bekerja sama dengan Ihya’ut Turats, namun kami tidak bersikap keras terhadap saudara-saudara kami salafiyin yang bekerja sama dengan mereka. Kami tidak mentahdzir mereka, menghajr apalagi sampai membid’ahkan mereka, selama tidak tampak tanda-tanda penyimpangan manhaj yang nyata pada mereka, dan syarat-syarat berupa iqamatul hujjah dan izalatul mawani’ belum ditegakkan atas mereka. Kami bersikap lemah lembut dengan mereka, kami bekerja sama dengan mereka di dalam kebajikan dan ketakwaan dan kami saling menasehati di dalam kebenaran dan kesabaran. Inilah pendapat yang kami berjalan di atasnya. Kami tidak condong kepada sikap ghuluw dan tidak pula tasaahul. Alhamdulillah.[19]



[1] Klaim para ulama bersepakat adalah klaim dusta semata. Lihat bantahan al-Ustadz Firanda dalam masalah ini di dalam bukunya, “Lerai Pertikaian Sudahi Permusuhan”, cet. I, 2005, Pustaka Cahaya Islam, hal. 251.

[2] Ucapan Syaikh Falih al-Harbi di dalam kaset ceramah yang berjudul al-As`ilah wal Ajwibah al-Manhajiyah minal Jaza`ir. Transkrip ini pernah masuk di website www.sahab.net. Namun setelah Syaikh Falih ditahdzir, transkrip ini sudah tidak ada lagi di website tersebut. Kaset rekaman inilah yang dikritik secara pedas oleh al-‘Allamah Abdul Muhsin al-‘Abbad dalam risalah beliau al-Hatstsu yang mengatakan :

ولا ينتهى العجب إذا سمع عاقل شريطا له يحوي تسجيلا لكالمة هاتفية طويلة بين المدينة والجزائر, أكل فيها المسئول لحوم كثير من أهل السنة, وأضاع فيها السائل ماله بغير حقّ, وقد زاد عدد مسئول عنهم في هذا الشريط على ثلاثين شخصا, فيهم الوزير والكبير والصغير, وفيهم فئة قليلة غير مأسوف عليهم, وقد نجى من هذا الشريط من لم يسأل عنه فيه, وبعض الذين نجوا منه لم ينجوا من أشرطة أخرى له, حوتها شبكة المعلومات الإنترنت...

“Keanehan ini tidak hanya berakhir sampai di situ jika seorang yang berakal mendengarkan sebuah kasetnya (Falih al-Harbi, pent.) yang berisi rekaman percakapan telepon yang panjang antara Madinah dan Aljazair. Di dalam kaset ini, fihak yang ditanya (Falih al-Harbi, pent.) memakan daging mayoritas ahlus sunnah, dan di dalamnya pula si penanya membuang-buang hartanya tanpa haq. Orang-orang yang ditanyainya mencapai hampir 30-an orang di dalam kaset ini, di antara mereka (yang ditanyakan) adalah wazir (menteri), pembesar dan penuntut ilmu pemula. Juga di dalamnya ada sekelompok kecil yang tidak merasa disusahkan (yang tidak turut dicela, pent.). yang selamat (dari celaan) adalah orang-orang yang tidak disebutkan di dalam pertanyaan, namun sebagian mereka yang selamat di dalam kaset ini tidak selamat dari kaset-kasetnya yang lain. Penyebaran utamanya adalah situs-situs informasi internet…” (al-Hatstsu ‘ala ittiba`is Sunnah karya al-‘Allamah Abdul Muhsin al-‘Abbad, cet. I, 1425 H., tanpa penerbit (dibagikan gratis), hal. 64-65).

[3] Bagi yang pernah membuka website “Jarh wa Ta’dil” (baca : “Jarh wa Tanfir”) terbesar di Indonesia (sebagaimana klaim mereka dulu), yaitu www.salafy.or.id (sekarang sudah tidak begitu aktif lagi semenjak administrasi wesbite ini dihandle langsung oleh seorang ustadz di Malang, sehingga adminnya sudah tidak bisa bebas lagi melepaskan kekang ‘lisan’ dan ‘hasutan’ mereka), tentulah tidak asing dengan nama Abu Dzulqornain Abdul Ghafur al-Malanji. Orang ini dilihat dari tulisan-tulisannya menunjukkan sifat dan karakter ke’kanak-kanak’an sekali. Orang ini juga bukanlah seorang tholibul ilmi yang multazim, apalagi dikatakan ustadz. Pribadinya bagaikan bocah kecil yang masih ingusan, namun apabila mencela bagaikan tokoh ahli jarh wa ta’dil yang paling alim di seantero dunia.

Kegemarannya adalah memakan daging saudaranya sesama ahlus sunnah, (kecuali apabila orang ini sudah mentabdi’ semua orang yang dia cela secara sporadis maka lain ceritanya) hingga telah merasuk hingga ke sanubarinya. Oleh karena itu ‘bau mulut’ orang ini sudah menyebar ke mana-mana, bahkan ‘bau’nya disambut oleh hizbiyun yang bermaksud mengaduk di air keruh untuk menghantam dakwah salafiyah.

Kita bisa lihat, seorang fanatikus Hizbut Tahrir dari Malang yang berkedok dengan nama “Mujaddid” (baca : Mubaddil) yang melemparkan tuduhan-tuduhan kejinya terhadap dakwah salafiyah, tidak lepas dari merujuk kepada tulisan si Abdul Ghafur ini. Demikian pula seorang yang bekedok Abu Rifa’ al-Puari, seorang simpatisan HT yang tidak ketinggalan ikut ambil bagian di dalam menyerang dakwah ini. Semuanya hampir menukil tulisan si Abdul Ghafur yang penuh dengan sumpah serapah, makian, ejekan, celaan, kutukan, dan kata-kata kotor lainnya.

Seharusnya, Abdul Ghafur ini lebih menyibukkan diri dengan ilmu, menuntut ilmu dan berdakwah dengan cara yang hikmah dan hasanah. Jika merasa telah menjadi seorang alim ahli jarh terbesar di dunia, dan selalu terobsesi untuk menjarh serta senantiasa lapar untuk memakan daging para penuntut ilmu ahlus sunnah yang beribu-ribu kali –insya Alloh- jauh lebih baik dari dirinya, maka sebaiknya dia jarh sendiri dirinya dan memakan sendiri dagingnya, karena yang demikian ini lebih utama dan baik baginya.

Jika dia merasa bahwa dirinya adalah ahli jarh dan naqd (kritik) yang bertujuan membela dakwah salafiyah, maka hendaknya dia sibukkan pula dirinya dengan membantah syubuhat dan tuduhan-tuduhan kaum hizbiyun harokiyun kepada dakwah ini. Bukankah banyak di antara kaum hizbiyun yang mencela dakwah ini beserta ulamanya. Apakah Abdul Ghafur tidak pernah tahu tentang celaan syabab HT, kepada Syaikh al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, kepada Syaikh al-Albani, Syaikh Ibnu Baz dan ulama salafiyin. Apakah Abdul Ghafur tidak tahu akan celaan hizbiyun terhadap Syaikh Rabi’ bin Hadi, Syaikh Muhammad Aman al-Jami dls. Apakah Abdul Ghafur tidak tahu celaan Fauzan al-Anshori kepada dakwah salafiyah? Celaan Abu Rifa’ al-Puari, “al-Mujaddid”, Farid Nu’man, Ali Mustofa Ya’qub, Majalah Sunni milik kaum Ba’alawi, Majalah an-Najah milik kaum takfiriyun dan masih banyak lagi selain mereka…

Saya yakin saudara Abdul Ghafur pasti tahu –insya Alloh-. Namun adakah dirinya memberikan andil dan kontribusi di dalam membantah dan mengcounter syubuhat dan tuduhan mereka?!! Ataukah dia malah menyibukkan diri untuk membantah dan mencela saudara sendiri (kecuali apabila Abdul Ghafur sudah tidak lagi menganggap orang yang dia cela sebagai saudaranya lagi, wal’iyadzubillah). Bahkan tulisan-tulisannya dijadikan bumerang oleh para pembenci dakwah untuk menyerang dakwah ini. Subhanalloh.

Wahai Abdul Ghafur, lihatlah!!! Siapakah yang membela dakwah ini, ulamanya dan ahlinya dari makar ahlul bid’ah?!!

- Siapakah yang membantah tuduhan dusta Fauzan al-Anshori terhadap dakwah salafiyah ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah saudara kami, al-Ustadz Abu Abdirrahman Thayib, Lc.

- Siapakah yang membantah syubuhat dan tuduhan Farid Nu’man di dalam bukunya “Al-Ikhwanul Muslimin Anugerah yang terzhalimi”? Tidak lain dan tidak bukan adalah saudara kami, al-Akh Andi Abu Thalib al-Atsari.

- Siapakah yang membantah tuduhan Prof Ali Mustofa Ya’qub terhadap al-Muhaddits Muhammad Nashirudin al-Albani rahimahullahu? Tidak lain dan tidak bukan adalah saudara kami, al-Ustadz Yusuf Abu ‘Ubaidah as-Sidawi.

- Siapakah yang membantah tuduhan simpatisan dan fanatikus Hizbut Tahrir di dalam forum-forum, milis dan website mereka, semisal di Mujaddid dan Abu Rifa’ al-Puari???

- Dan masih banyak lagi lainnya…

Apakah kami berbangga-bangga dengan amal kami ini??? Wallohi tidak!!! Kami menyebutkan hal ini bukan untuk membanggakan diri! Namun untuk menunjukkan bahwa masih banyak tugas kita yang lebih urgen dan penting di dalam memperjuangkan dan membela dakwah mubarokah ini.

Dan kami menyebutkan ini bukannya menafikan bahwa Anda, saudara-saudara Anda atau ustadz-ustadz Anda tidak memiliki upaya yang seperti ini. Kami tidak menafikan apa yang dilakukan oleh al-Ustadz Abu Karimah di dalam membantah Habib Husein al-Habsyi dalam masalah tersihirnya Nabi. Sungguh, ini buku yang bermanfaat. Demikian pula beberapa tulisan al-Ustadz Abu Karimah yang mengoreksi tentang dzikir jama’I dan selainnya.

Sengaja kami hanya menyebutkan nama al-Ustadz Abu Karimah, karena hanya beliaulah yang kami ketahui memiliki buku-buku bantahan ilmiah terhadap ahlul bid’ah. Juga beliau memiliki bahasa yang ilmiah, beradab, sopan dan tegas. Berbeda dengan Anda, tidak memiliki sifat ilmiah, keras, tidak beradab dan tidak sopan.

Anehnya lagi, di tengah bulan ramadhan yang penuh berkah, dimana ketika itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam melarang kaum muslimin dari berkata keji dan kotor, si Abdul Ghafur ini melepaskan lagi ‘taring’ dan ‘bisa’ beracunnya, kali ini yang dizhalimi adalah Ustadzuna Abu ‘Auf bin Abdil Karim at-Tamimi raghmun unufihi. Tidak hanya itu, dia dengan beraninya menyematkan label “al-Kadzdzab’ kepada beliau hafizhahullahu. Celaan dan makiannya ini berangkat dari kebodohan, kegelapan di atas kegelapan, kedengkian, hawa nafsu, kezhaliman dan buruk sangka terhadap saudaranya sesama muslim (apalagi sesama ahlus sunnah).

Tulisan gelapnya ini disambut dengan gegap gempita oleh fanatikus juhala’ dari kalangan mereka, bahkan mereka mengklaim bahwa tuduhan Abdul Ghafur adalah haq, karena tidak ada bantahan dan klarifikasi sedikitpun terhadap risalahnya. Saya sebenarnya bermaksud untuk memberikan bantahan dan klarifikasi, namun Ustadzuna Abu ‘Auf menahan saya dan mengatakan bahwa tidak ada faidahnya membantah tulisan seperti sampah itu. Kemudian saya bersikeras kepada beliau, sembari menyatakan bahwa apabila tidak dijawab maka mereka akan semakin menjadi-jadi dan semakin besar kepala, karena mereka menyatakan diamnya kita adalah pertanda benarnya mereka… Maka al-Ustadz Abu ‘Auf menjawab dengan tegas dan beliau sampaikan pula pada pembukaan Dauroh Ilmiyah ke-3 (tahun 1424 H./2003 M.)…

“Janganlah sekali-kali seseorang menyangka bahwa diamnya ahlul haq dari penjelasan kebenaran yang terdapat pada mereka berarti pengecut. Atau jangan pula menyangka bahwa diamnya ahlul haq untuk menyingkapkan orang-orang yang menyelisihi mereka pertanda kelemahan, atau kesabaran mereka dari kewajiban mereka di dalam menerangkan dan memberi penjelasan pertanda kelesuan… tidak seribu kali tidak!!! Tetapi sikap mereka itu adalah sikap kedewasaan, sikap pengekangan jiwa dan sikap kesabaran atas atas orang yang menyelisihi agar kembali kepada kebenaran dan petunjuk…”

Beliau juga berkata : “Dan burung kecil sekalipun mengaku seperti burung elang tetaplah ia burung kecil, kedudukannya sekali-kali tidaklah akan diperhitungkan…”

Kemudian beliau tutup dengan menukil ucapan al-Imam Ibnul Qoyim al-Jauziyah di dalam Qashidah Nuniyah-nya sebagai berikut :

لا يفزعنك قعاقع وقراقع وجعاجع عريت عن البرهان

فالبهت عندهم رخيص سعره حثوا بلا كيل ولا ميزان

فاحمد إلهك أيها السني إذ عافاك من تحريف ذي البهتان

يا من يشب الحرب جهلا مالكم بقتال حزب الله قط يدان

وجنودكم ما بين كذاب ودجا ل ومحتال و ذي البهتان

أنى تقوم جنودكم لجنودهم وهم الهداة وناصرو الرحمن

Janganlah mengejutkanmu suara guntur, gemeretak

dan deruman yang kosong dari petunjuk

Karena kedustaan bagi mereka adalah sesuatu yang murah harganya

Seperti pemberian sedikit yang tidak ternilai oleh neraca dan timbangan

Maka pujilah Alloh wahai sunni

Karena Dia telah menyelamatkanmu dari penyimpangan si pendusta itu

Wahai orang yang memprovokasi untuk memerangi ahlus sunnah lantaran kebodohan

Kalian tidak mempunyai dua tangan untuk memerangi golongan Alloh sama sekali

Dan tentara-tentara kalian adalah dari golongan para pendusta,

para dajjal dan penipu

Bagaimana mungkin tentara-tentara kalian mampu menghadapi tentara-tentara hizbullah

Yang mana mereka adalah pemberi petunjuk dan penolong-penolong Alloh

[4] Beliau mentazkiyah yayasan ini terakhir kali pada tanggal 6-5-1418 menjelang wafatnya beliau. Barangsiapa yang mengatakan bahwa beliau ruju’ dan menasakh ucapannya ini, maka dia telah berdusta dan haruslah menunjukkan keterangannya. (Lihat Syahadatul Muhimmah dan al-Hatstsu oleh al-‘Allamah al-‘Abbad, melalui perantaraan “lerai Pertikaian”, cet. I, hal. 227.)

[5] Beliau mentazkiyah yayasan ini terakhir kali pada tanggal 25-5-1418 menjelang wafatnya beliau. (lihat “lerai” hal. 227)

[6] Syaikh Fauzan menasehatkan untuk tidak bersikap keras terhadap Jum’iyah ini, tidak mentahdzir-nya dan mencukupkan diri dengan memberikan nasehat dan ucapan yang baik terhadap mereka. Beliau juga memberikan taqdim terhadap kitab al-Mubin li Manhaji Jum’iyah at-Turots al-Kuwaitiyah as-Salafiyah. Beliau hafizhahullahu berkata :

أنا أوصي جميع إخواني وخاصة الشباب والطلبة أن يشتغلوا بطلب العلم الصحيح سواء كانوا في المساجد أو في المدارس أو في المعاهد أو في الكليات أن يشتغلوا بدروسهم وبمصالهم ويتركوا الخوص في هذه الأمور لأنه لا تأتي بخير وليس من المصلحة الدخول فيها...

“Saya wasiatkan kepada seluruh saudara-saudaraku, khususnya kepada para pemuda dan penuntut (ilmu) agar menyibukkan diri dengan menuntut ilmu yang benar, baik di masjid, sekolah, ma’had ataupun di perkuliahan, agar mereka senantiasa menyibukkan diri dengan pelajaran mereka dan kemanfaatan bagi mereka. Juga supaya mereka meninggalkan menyelami pembahasan di dalam perkara ini, karena hal ini tidaklah mendatangkan suatu kebaikan dan tidaklah bermanfaat masuk ke dalam pembahasan ini…” (Muhadhorot fil Aqidah wad Da’wah oleh Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan (III/332); melalui perantaraan Daf’u Zhulm wa Iftiroo`aat Fauzi al-Jadidah oleh DR. Abdullah al-Farsi dalam http://alsaha.fares.net/sahat?128@78.azDzf2mcKjZ.o@.1dd3e122)

[7] Lihat “lerai” hal. 225.

[8] Ibid. hal. 217 dan 225.

[9] Dahulu beliau termasuk orang yang keras mentahdzir Ihya’ut Turots, namun setelah beliau bertemu dengan ulama senior semisal Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan, Syaikh al-Abbad dan Syaikh Shalih bin Ghanim as-Sadlan, beliau akhirnya berubah sikap mau berta’awun dengan yayasan ini. Beliau berkata :

وفضيلة الشيخ الفوزان هو الذي نصحني شخصيا عندما زرته في مكتبة بالإفتاء قبل أكثر من سبعة سنوات و سألته عن سبب تقديمه للكتيب المبين لمنهج جمعية احياء التراث الكويتية السلفية بترك الشدة على الجمعية والتحذير منها والإكتفاء بالنصيحة والقول الحسن معهم. وقد نصحني قبل ذلك أيضا فضيلة الشيخ صالح السدلان وفقه الله ونحن في الطائرة في طريقنا للمشاركة في مؤتمر اسلامي...

“Dan Fadhilatus Syaikh al-Fauzan, beliaulah yang menasehatiku secara pribadi ketika aku mengunjungi beliau di Maktabah (Perpustakaan) al-Ifta’ kurang lebih tujuh tahun yang lalu, dan aku menanyakan kepada beliau sebab beliau memberikan taqdim (kata pengantar) terhadap sebuah kitab kecil yang menjelaskan tentang manhaj Jum’iyah Ihya’ut Turots al-Kuwaitiyah as-Salafiyah, dan beliau menasehatkanku agar meninggalkan kekerasan terhadap jum’iyah dan dari mentahdzirnya serta mencukupkan diri dengan nasehat dan ucapan yang baik terhadap mereka. Aku juga telah dinasehati sebelumnya oleh Fadhilatus Syaikh Sholih as-Sadlan wafaqohullahu dan kami saat itu sedang berada di atas pesawat hendak menuju untuk mengikuti sebuah mu’tamar Islami…” Lihat Daf’u Zhulm (op.cit).

[10] Sebagaimana di dalam risalah beliau Rifqon dan al-Hatstsu.

[11] Rekomendasi terakhir beliau adalah pada tanggal 11-8-1421. lihat “lerai” hal. 224 dan 227.

[12] Rekomendasi terakhir beliau adalah pada tanggal 24-10-1423. (ibid. hal. 224 dan 227).

[13] Ibid. hal. 224

[14] Ibid, hal. 225

[15] Sebagaimana di dalam Daf’u Zhulm (Op.Cit.)

[16] yaitu masalah kondisi yayasan ini yang para ulama berbeda pendapat tentangnya, ada yang menyatakan sebagai yayasan hizbiyah dan haram bekerja sama dengannya secara mutlak, ada yang menvonis hizbi namun tidak mutlak mengharamkan kerja sama dengannya, dan ada pula yang menyatakan kebolehannya secara mutlak dan mentazkiyah-nya

[17] Lihat Bayanud Dalil ‘ala Buthlanit Tahlil karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 210; melalui perantaraan artikel berjudul Qouluhum inna Masa`ilal Khilaf La Inkara Fiha Laysa Bishahih, www.dorar.net.

[18] Lihat I’lamul Muwaqqi’in karya Imam Ibnul Qoyyim, Juz III hal. 300; melalui perantaraan (ibid.)

[19] Inilah pendapat yang dipegang oleh para du’at dan asatidzah munshifin, semisal al-Ustadz Abu ‘Auf at-Tamimi dan staf pengajar Ma’had Ali Al-Irsyad as-Salafi, sikap al-Ustadz ‘Aunur Rafiq Ghufran dan staf pengajar Ma’had Al-Furqon al-Islami, sikap al-Ustadz Muhammad Arifin Baderi dan rekan-rekan beliau di Madinah, dan selain mereka. Sikap mereka ini hafizhahumullahu adalah sikap yang wasath dan adil. Yang mana mereka tidak fanatik terhadap salah satu dari dua pendapat ulama yang bersebarangan, antara yang memuji dan mencela. Selengkapnya...