Oleh : Al-Ustâdz Abu ‘Abdil Muhsin, Lc.
[Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Islam Madinah]
Melanggar ‘Irdh*(Kehormatan) Seorang Muslim Tanpa Alasan yang Dibenarkan oleh Syari’at Merupakan Dosa yang Sangat Besar.
Catatan * : Yang dimaksud dengan ‘irdh adalah sesuatu yang terdapat atau dimiliki oleh seseorang yang dengannya ia dapat dipuji atau dicela. Lihat ‘Umdatul Qori (XXII/123) dan Tuhfatul Ahwadzi (VI/313).
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Setiap muslim terhadap muslim yang lain adalah haram, darahnya, hartanya, dan kehormatannya. [HR Muslim (IV/1986) no (2564).]
Disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas:
فَإِنّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا ، فَأَعَادَهَا مِرَارًا
Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, di negeri kalian ini, di bulan kalian ini. Ibnu ‘Abbas berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam mengulang-ngulangi ucapan tersebut.” [HR Al-Bukhari (II/619).]
Al-Mubarakfuri berkata, “Yaitu haramnya sebagian kalian melakukan pelanggaran terhadap jiwa sebagian yang lain, (begitu juga) harta dan kehormatan, pada hari-hari yang lain (di luar bulan haram), sebagaimana haramnya kalian melakukan pelanggaran pada hari ini (yaitu di bulan haram), di tanah ini (tanah haram, tanah suci Makkah).” [Tuhfatul Ahwadzi (VI/313).]
Imam an-Nawawi berkata, “Maksud ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam tersebut adalah menjelaskan kerasnya penekanan keharaman harta, jiwa dan kehormatan, sekaligus untuk memperingatkan hal ini.” [Al-Minhaaj, Syarh Shahiih Muslim (XI/169)]
Al-Munawi berkata, “Islam yang paling mulia adalah masyarakat selamat dari lisanmu. Karena itu janganlah engkau mengumbar lisanmu dengan ucapan-ucapan yang memberi mudharat kepada mereka.” [Faidhul Qadiir (I/523).]
Sebagaimana halnya kita tidak boleh melanggar hak orang lain yang berkaitan dengan harta -dengan melakukan pencurian misalnya- maka kita juga tidak boleh melanggar hak orang lain yang berkaitan dengan kehormatan. Karena itu hukum asalnya adalah kita tidak boleh mencela atau menghina. Bahkan pelanggaran yang terkait dengan kehormatan lebih berat dibandingkan dengan harta. Seseorang lebih merasa tersakiti tatkala harga dirinya dijatuhkan, direndahkan, dan dihinakan, apalagi dihadapan khalayak ramai dibandingkan sekiranya hartanya dicuri atau diambil dengan tanpa alasan yang benar.
Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةُ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ
Sesungguhnya termasuk riba yang paling parah adalah mengulurkan lisan terhadap kehormatan seorang muslim tanpa hak (alasan yang dibenarkan). [HR Abu Dawud (IV/269) no (4876) bab Fil Ghiibah. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata, “Hadits Sa’id bin Zaid… dikeluarkan oleh Abu Dawud, dan ia memiliki syahid, sebagaimana yang dikeluarkan oleh al-Bazzar dan Ibnu Abid Dunya dari hadits Abu Hurairah, dan dikeluarkan oleh Abu Ya’la dari hadits Aisyah.” Fat-hul Baari (X/470). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Shahiihah, no (3950).]
Syamsul Haqq al-‘Azhim Abadi rahimahullahu berkata, “Makna arbar ribaa adalah riba yang paling besar bahayanya dan yang paling keras keharamannya. Dan makna al-istithaalah adalah mengulurkan lidah terhadap kehormatan seorang muslim. Maksudnya adalah merendahkannya dan merasa lebih tinggi darinya serta melakukan ghibah terhadapnya, seperti menunduhnya berzina atau mencelanya. Hal Ini merupakan riba yang paling keras keharamannya karena kehormatan merupakan perkara yang paling mulia bagi seseorang, lebih dari harta.” [‘Awnuul Ma’buud (XIII/152).]
Imam Ibnul Atsir rahimahullahu berkata, “Mengulurkan lisan pada harga diri manusia yaitu merendahkan mereka dan merasa tinggi di hadapan mereka serta melakukan ghibah terhadap mereka.” [An-Nihaayah fi Ghariibil Hadiits (III/145).]
Al-Baidhawi berkata, “Al-Istiithalah (mengulurkan lisan) pada kehormatan seorang muslim yaitu menjelekkannya lebih dari yang seharusnya -membalas lebih dari ucapannya** atau lebih dari yang rukhsah yang diberikan.*** Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam memisalkannya dengan riba, dan memasukkannya ke dalam bagian riba, lalu menjadikannya sebagai riba yang paling besar. Sebab hal ini lebih berbahaya dan kerusakannya lebih parah. Karena kehormatan (harga diri) seseorang -baik menurut syari’at maupun akal- adalah lebih mulia dibandingkan hartanya dan lebih besar bahayanya daripada harta.” [Sebagaimana dikutip oleh al-Munawi dalam Faidhul Qodiir (II/531).]
Catatan ** : Maksudnya, apabila terdapat seorang muslim yang mencelanya maka hendaklah ia membalas dengan yang semisalnya, tanpa menambah lebih dari itu. Sebab jika tidak, berarti ia seperti orang yang melakukan riba karena memberi lebih banyak daripada yang diterima.
Catatan *** : Maksudnya, syari’at memberi sejumlah rukhsah (keringanan) untuk melakukan ghibah, atau untuk mencela kehormatan seseorang. Namun hal ini merupakan keringanan yang keluar dari hukum asalnya, yaitu haramnya perbuatan tersebut. Maka tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil lebih dari batasan keringanan yang diizinkan oleh syari’at.
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam berkata,
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ، أَشَدُّ عِنْدَ اللهِ مِنْ سِتَّةٍ وَ ثَلاَثِيْنَ زِنْيَةً
“Satu dirham karena hasil riba yang dimakan oleh seseorang sedangkan dia mengetahuinya, lebih berat di sisi Allah dibandingkan tiga puluh kali perbuatan zina.” [Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani. Lihat Ghaayatul Maraam: (172), ar-Raudh an-Nazhiir: (459), ash-Shahiihah (1033), dan Shahiih al-Jaami' (3375).]
Ketika mengomentari hadits ini, Imam asy-Syaukani berkata, “Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam: “…lebih berat di sisi Allah dibandingkan tiga puluh perbuatan zina…”, menunjukan bahwa maksiat riba termasuk maksiat yang paling berat. Sebab maksiat riba dinilai dengan maksiat zina -yang merupakan maksiat yang paling jelek dan menjijikkan- dengan jumlah yang banyak (36 kali zina), bahkan (maksiat riba) lebih parah daripada zina-zina tersebut. Karena itu tidak diragukan lagi bahwa maksiat riba telah melampaui ambang batas keburukan. Dan yang lebih buruk dari itu adalah mengulurkan lisan pada harga diri saudaranya sesama muslim. Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam menjadikan perkara tersebut (mengulurkan lisan untuk mencela kehormatan orang lain) merupakan riba yang paling parah.
Dan sungguh jauh (dari rahmat Allah) orang yang mengucapkan suatu kalimat yang ia tidak menemukan kelezatan dalam ucapannya tersebut, tidak menambah hartanya, dan tidak juga meninggikan kedudukannya, namun dosanya di sisi Allah lebih besar daripada dosa orang yang berzina sebanyak tiga puluh enam zina. Ini adalah perbuatan yang tidak dilakukan oleh orang yang berakal. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaeselamatan (dari hal ini)…. Amin. Amin.” [Nailul Authaar (V/297).]
Ada sebagian orang yang tidak bisa mengendalikan lisannya. Tidak peduli dengan apa yang diucapkannya. Tidak peduli siapa pun yang sedang ia ghibah, yang ia bicarakan, yang ia rendahkan, yang ia jatuhkan harga dirinya.
Terlebih lagi ghibah yang ia lakukan terkait dengan agama seseorang.
Imam al-Qurthubi berkata, “Para ulama, sejak awal masa para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam dan Tabi’in setelah mereka, menganggap bahwa tidak ada ghibah yang lebih parah dibandingkan ghibah yang berkaitan dengan agama (seseorang). Sebab aib yang berkaitan dengan agama merupakan aib terberat. Setiap orang mukmin lebih benci jika disinggung kejelekan agamanya daripada disinggung (cacat) tubuhnya.” [Tafsiir al-Qurthubi (XVI/337)]
Bahkan, para ulama sekalipun tidak selamat dari lisan orang tersebut. Tidak hanya ulama yang hidup di masanya, bahkan ulama masa lalu pun tidak selamat dari lisannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,
وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kalimat yang menjadikan Allah murka, sedangkan ia tidak perduli dengan ucapan tersebut, maka ia pun terjerumus dalam neraka Jahannam.” [HR Al-Bukhari (V/2377) no (6113)]
Dia tidak tahu bahwa bisa jadi orang yang ia ghibah, yang ia rendahkan, yang ia lecehkan, ternyata kedudukannya agung di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia tidak pernah menyangka bahwa ucapannya yang terasa sangat ringan di lisannya ternyata sangat berat di sisi Allah.
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّناً وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ
Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (an-Nuur: 15)
Ia tidak tahu bahwa satu kalimat yang ia keluarkan untuk melakukan ghibah atau merendahkan kedudukan dan kehormatan seorang mukmin dapat menghancurkan kabaikan-kebaikannya yang banyak, meskipun sebesar gunung dan telah ia kumpulkan selama bertahun-tahun dengan penuh perjuangan dan keletihan.
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,
أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوْا الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكاَةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Tahukah kalian siapa yang disebut dengan orang yang bangkrut?” Para Sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki barang.” Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam berkata, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan shalat, puasa, dan zakat. Dia datang, sementara ia telah mencela si Fulan, telah menuduh si Fulan (dengan tuduhan yang tidak benar), memakan harta si Fulan, menumpahkan darah si Fulan, dan memukul si Fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikannya dan diberikan kepada si Fulan dan Fulan. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum cukup menebus kesalahan-kesalahannya, maka diambillah kesalahan-kesalahan mereka (yang telah ia zhalimi) kemudian dipikulkan kepadanya, lalu ia pun dilemparkan ke Neraka.” [HR Muslim (IV/1997) no (2581).]
Sungguh benar sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam
وَ هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِيْ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ ؟!
Bukankah tidak ada yang menyebabkan manusia terjungkal di atas wajah-wajah mereka dalam Neraka melainkan akibat dari lisan-lisan mereka?! [HR At-Tirmidzi (V/11) no (2616) dan Ibnu Majah (II/1314) no (2973), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahiihah, no (1122).]
Begitu juga sabda Rasul `:
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و الْفَرَجُ
Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam Neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan. [HR. At-Tirmidzi (2004), Ahmad (II/291, 292), dan lain-lain. Syaikh Salim al-Hilali berkata, “Isnadnya hasan.”]
Kalau maksiat yang ia lakukan terkait antara ia dan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah. Mudah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengampuninya jika Ia menghendakinya. Namun jika kezhaliman berkaitan dengan hak manusia, maka ingatlah bahwa semua orang di hari Kiamat membutuhkan hasaanaat (kebaikan). Semua ingin menyelamatkan dirinya sendiri dari Neraka dengan berbagai macam upaya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata, “Adapun hak orang yang terzhalimi, maka tidak gugur hanya dengan bertaubat…. Barangsiapa yang bertaubat dari kezhaliman, maka tidak gugur hak orang yang terzhalimi dengan taubatnya tersebut. Tetapi merupakan kesempurnaan taubat, hendaklah ia mengganti hak tersebut dengan semisal kezhaliman yang pernah dilakukannya. Jika ia tidak mengganti hak tersebut di dunia, maka ia pasti akan menggantinya di akhirat. Karena itu wajib bagi orang yang berbuat zhalim yang sudah bertaubat untuk memperbanyak perbuatan-perbuatan baik, sehingga apabila orang-orang yang dizhaliminya mengambil kebaikan-kebaikannya (kelak di Akhirat, sebagai penebus hak-hak mereka), ia masih tidak menjadi orang yang bangkrut (masih tersisa kebaikan-kebaikannya). Meskipun demikian, jika Allah menghendaki untuk menebus hak orang yang terzhalimi dari sisi-Nya, maka tidak ada yang menolak karunia-Nya. Sebagaimana halnya jika Allah menghendaki untuk mengampuni dosa-dosa yang tingkatannya di bawah kesyirikan bagi siapa saja yang Ia kehendaki….
Dan ghibah merupakan kezhaliman yang terkait dengan kehormatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
} أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ{
Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih. (al-Hujuurat: 12)
Allah telah mengingatkan kaum mukminin agar bertaubat dari ghibah yang merupakan kezhaliman.…” [Majmuu’ Fataawa (XVIII/187-189).]
Tidakkah orang-orang yang melanggar kehormatan seorang mukmin itu meyakini bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Sang Hakim yang Maha Adil dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya? Tidakkah mereka sadar bahwa orang yang ia ghibah, lecehkan, dan rendahkan tersebut akan menuntut haknya di hadapan Allah pada hari Kiamat kelak? Bagaimana lagi jika ia telah menjatuhkan harga diri banyak orang?
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,
لَتُؤَدُنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادُ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ الْقُرَنَاءِ
“Kalian akan menunaikan hak-hak kepada para pemiliknya pada hari Kiamat. Sampai-sampai kambing yang bertanduk diqishash untuk kambing yang tidak bertanduk.” [HR Muslim (IV/4997) no (2582)]
Tidakkah ia tahu bahwa…
إِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya kezhaliman adalah kegelapan-kegelapan pada hari Kiamat.” [HR Muslim (IV/1996) no (2579)]
Disebabkan besarnya bahaya dan dosa melanggar kehormatan seorang muslim tanpa hak, maka Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدَرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِّلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang melakukan kezhaliman kepada seseorang, baik berkaitan dengan harga dirinya (kehormatannya) atau sesuatu yang lain, maka hendaklah ia memintanya untuk menghalalkannya pada hari ini sebelum datang hari yang tidak ada lagi dinar dan tidak juga dirham. Jika ia memiliki amal shalih maka akan diambil darinya sesuai ukuran kezhalimannya. Dan jika ia tidak memiliki kebaikan maka akan diambil kejelekan-kejelekan orang tersebut lalu dipikulkan kepadanya.” [HR Al-Bukhari (II/856) no (2317); dan (V/2394) no (6169).]
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam mengkhususkan penyebutan harga diri (kehormatan) pada hadits di atas. Hal ini menunjukan besarnya bahaya dari perbuatan tersebut.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing kita
Rabu, 25 Februari 2009
JANGAN SEMBRONO DI DALAM MENG-HAJR SAUDARAMU (3-Selesai)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar