يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ﴾ [الحشر:18

Rabu, 03 Juni 2009

mengenal AHLUS SUNNAH (2)

Bagian II

Manhaj Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah



Ahlussunnah adalah jama'ah yang dimaksud oleh Rasulullah e dalam sabdanya,”Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tetap membela al-haq, mereka senantiasa unggul, yang menghina dan menentang mereka tidak akan mampu membahayakan mereka hingga datang keputusan Allah (Tabaraka wa Ta'la), sedang mereka tetap dalam keadaan yang demikian".[28]

Ahlussunnah adalah al-firqotun najiyah, yang pada masa Rasulullah e mereka adalah umat yang satu sebagaimana firman Allah I ,”Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian, maka beribadahlah kepada-Ku".[29]

Orang Yahudi dan munafiqun berusaha memecah belah kaum muslimin pada zaman Rasulullah, namun belum pernah berhasil, sebagaimana firman Allah ,

” Segolongan (lain) dari Ahli Kitab telah berkata (kepada sesamanya) : (pura-pura) berimanlah kamu kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (para sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah pada akhirnya, mudah-mudahan (dengan cara demikian) mereka (kaum muslimin) kembali kepada kekafiran".[30]



Namun Rasulullah e memberitahukan akan terjadi perpecahan di kalangan umat Islam sebagaimana sabda beliau,” Sesunguhnya barangsiapa yang masih hidup diantara kalian dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnah-Ku dan sunnah Khulafaa'rasiddin yang mendapat petunjuk setelah Aku". [31]

Dan sabda beliau e,”Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan; dan telah berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh dua golongan; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah ..? ; beliau menjawab : yaitu barang-siapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini".[32]

Setelah kita mengetahui bahwa kelompok ini adalah golongan yang selamat dari kesesatan, maka kita perlu mengetahui nama-nama dan ciri-cirinya agar kita dapat mengikutinya. Di antara nama-namanya adalah : Al-Firqotun Najiyah (golongan yang selamat), Ath-Thooifatul Manshuroh (golongan yang ditolong), dan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, yang maksudnya adalah sebagai berikut:

Kelompok ini adalah yang selamat dari api neraka sebagaimana sabda Nabi e,” Seluruhnya di atas neraka kecuali satu (Maksudnya yang tidak masuk ke dalam neraka adalah satu).

Kelompok yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dan apa-apa yang dipegang oleh As-Saabiqunal Awwalun (para pendahulu) dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Rasulullah bersabda,”Mereka itu adalah siapa-siapa yang berjalan diatas apa-apa yang aku dan sahabatku lakukan hari ini".

Mereka itu bisa dibedakan dari kelompok lainnya pada dua hal penting;

pertama, berpegang teguhnya mereka terhadap As-Sunnah sehingga mereka di sebut sebagai pemilik sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeda dengan kelompok-kelompok lain yang berpegang pada pendapat, hawa nafsunya sehingga dinisbahkan kepadanya seperti Al-Qadariyah dan Al-Murji'ah. Atau dinisbatkan kepada para imam-nya seperti Al-Jahmiyah, atau dinisbatkan pada pekerjaan-pekerjaannya yang kotor seperti Ar-Rafidhah dan Al-Khawarij.

Kedua, mereka adalah Ahlul Jama'ah karena mereka bersepakat untuk berpegang teguh dengan Al-Haq dan jauhnya mereka dari perpecahan.

Mereka adalah golongan yang ditolong Allah sampai hari kiamat. Karena gigihnya dalam menolong agama Allah , sebagaimana firman-Nya,

”Jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolong mereka".[33]

Rasulullah e bersabda, "Tidak ada yang menghina dan menentang mereka itu akan mampu membahayakan mereka sampai datang keputusan Allah sedang mereka itu tetap dalam keadaan demikian".

Di antara prinsip dan manhaj Ahlussunnah wal jamaah adalah sebagai berikut:



Prinsip Pertama: Beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir-Nya.

Beriman kepada Allah I artinya meyakini Rububiyyah Allah, uluhiyyah-Nya dan Asma wa –Sifat-Nya. Allah I berfirman,

” Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. [34]

Juga firman Allah I,

”Dan Allah mempunyai nama-nama yang baik, maka berdo'alah kamu dengannya".[35]

Beriman kepada Para Malaikat-Nya yakni membenarkan adanya para malaikat dan mereka adalah mahluk mahluk Allah yang diciptakan dari cahaya. Mereka diciptakan untuk beribadah kepada Allah dan menjalankan perintah Allah di dunia. Allah I berfirman,”Bahkan malaikat-malaikat itu adalah mahluk yang dimuliakan, mereka tidak mendahului-Nya dalam perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya".[36]

Iman kepada Kitab-kitab-Nya Yakni membenarkan adanya kitab Allah dan segala kandungannya berupa hidayah (petunjuk) dan ia diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia. Dan yang paling agung diantara sekian kitab tersebut adalah Al-Qur'an, karena ia sendiri merupakan mukjizat dari Allah. Allah berfirman,

”Katakanlah (Hai Muhammad) : 'Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya walaupun sesama mereka saling bahu membahu".[37]

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah mengimani Al-Qur'an kalam (firman) Allah, bukan makhluq baik huruf maupun artinya. Berbeda dengan pendapat Jahmiyah dan Mu'tazilah yang mengatakan Al-Qur'an makhluk baik huruf maupun maknanya. Juga berbeda dengan Asyaa'irah yang mengatakan kalam (firman) Allah hanyalah artinya, sedangkan huruf-hurufnya adalah makhluk. Kedua pendapat tersebut bathil berdasarkan firman Allah ,

” Dan jika ada seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar KALAM ALLAH (Al-Qur'an)". [38]

Iman Kepada Para Rasul yakni membenarkan semua rasul-rasul baik yang disebutkan namanya oleh Allah maupun yang tidak. Dan penutup para nabi adalah nabi Muhammad , tidak ada nabi sesudahnya. Termasuk beriman kepada para rasul adalah tidak menyepelekan mereka dan tidak berlebih-lebihan terhadap mereka seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashara, Allah I berfirman,

” Dan orang-orang Yahudi berkata : 'Uzair itu anak Allah ; dan orang-orang Nasharani berkata :'Isa Al-Masih itu anak Allah...".[39]

Sebaliknya orang-orang sufi dan ahli filsafat telah menghina para rasul dan lebih mengutamakan para pemimpin mereka, sedang kaum penyembah berhala dan atheis telah kafir kepada seluruh rasul tersebut. tetapi Ahlussunah tidak membeda-bedakan antara semua Rasul, sebagaimana firman Allah ,

” Kami tidak membeda-bedakan satu diantara Rasul-rasul-Nya ....".[40]

Iman Kepada Hari Akhirat yakni membenarkan semua yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya tentang pristiwa setelah kematian seperti adzab dan ni'mat kubur, hari kebangkitan dari kubur, hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar, hisab (perhitungan), mizan (ditimbangnya) segala perbuatan dan pemberian buku catatan amal dengan tangan kanan atau kiri, jembatan (sirat), serta Surga dan Neraka. Keimanan yang membuat bersiap sedia dengan amalan-amalan sholeh dan meninggalkan amalan jelek dan serta bertaubat dari dosa. Berbeda dengan orang-orang musyrik dan dahriyyun yang mengingkari adanya hari kiamat, atau orang Yahudi dan Nashara yang tidak mengimaninya dengan benar, Allah berfirman,

” Dan mereka (Yahudi dan Nashara) berkata Sekali-kali tidaklah masuk Surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashara. Demikianlah angan-angan mereka ......".[41]

Juga firman Allah I,

“Dan mereka berkata : Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka kecuali hanya dalam beberapa hari saja".[42].

Iman kepada taqdir maksudnya meyakini bahwasanya Allah mengetahui apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi, menulisnya dalam Lauhul mahfudz. Segala sesuatu yang terjadi berdasarkan telah dikehendaki dan diciptakan oleh Allah . Allah mencintai keta'atan dan membenci kemaksiatan. Manusia mempunyai kekuasaan, kehendak dan kemampuan memilih pekerjaan yang mengantar mereka pada keta'atan atau kemaksiatan, tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah. Berbeda dengan Jabariyah yang mengatakan manusia terpaksa dengan pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki pilihan dan kemampuan. Sebaliknya Qodariyah mengatakan hamba itu memiliki kemauan yang berdiri sendiri dan dialah yang menciptkan pekerjaannya. Kemauan dan kehendaknya terlepas dari kemauan dan kehendak Allah. Allah membantah kedua pendapat di atas dengan firman-Nya,

” Dan kamu tidak bisa berkemauan seperti itu kecuali apabila Allah menghendakinya".[43]



Prinsip Kedua, iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan keta'atan dan berkurang dengan kema'siatan.

Iman bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab itu merupakan keimanan kaum munafiq. Bukan pula sekedar ma'rifah (mengetahui) dan meyakini tanpa ikrar dan amal sebab itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran. Allah berfirman,

Dan mereka mengingkarinya karena kedzoliman dan kesombongan (mereka), padahal hati-hati mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan itu"[44].

Iman juga bukan sekedar keyakinan dalam hati atau perkataan tanpa perbuatan karena yang demikian adalah keimanan Murji'ah. Allah seringkali menyebut amal perbuatan termasuk iman sebagaimana firman-Nya,

Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang apabila ia disebut nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya dan kepada Allahlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada mereka. Merekalah orang-orang mu'min yang sebenarnya ..."[45]

Juga firman Allah ,

” Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian"[46]



Prinsip Ketiga: Tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya.

Adapun perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya kafir. Misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelakunya tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. Apabila dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Allah berkehendak Dia akan mengampuninya, atau menghukumnya namun tidak kekal di neraka, sebagaimana firman Allah ,

” Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.[47]

Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam hal ini berada di tengah-tengah antara Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar walau bukan termasuk syirik dan Murji'ah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mu'min sempurna imannya. Mereka mengatakan dosa dan ketaatan tidak berpengaruh pada iman.



Prinsip Keempat: Wajib ta'at kepada pemimpin kaum muslimin selama tidak memerintahkan untuk kema'shiyatan.

Apabila mereka memerintahkan kepada kemaksiatan maka dilarang menta'atinya namun tetap wajib ta'at dalam kebenaran yang lainnya, Allah berfirman,

” Hai orang-orang yang beriman, ta'atlah kamu kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul serta para pemimpin diantara kalian ..." [48]

Diriwayatkan dari Irbadh bin Sariyyah, Rasulullah e bersabda,”Dan aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan ta'at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba".

Ahlus Sunnah wal Jama'ah menentang seorang amir (pemimpin) yang muslim itu merupakan ma'shiyat kepada Rasulullah e, sebagaimana sabdanya,”Barangsiapa yang ta'at kepada amir (yang muslim) maka dia ta'at kepadaku dan barangsiapa yang ma'shiyat kepada amir maka dia ma'shiyat kepadaku".[49]

Ahlus Sunnah wal Jama'ah juga memandang bolehnya shalat dan berjihad di belakang para pemimpin yang zalim dan menasehati serta medo'akan mereka untuk kebaikan dan keistiqomahan.



Prinsip Kelima: Haramnya memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur.

Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah tentang wajibnya ta'at kepada mereka dalam hal-hal yang bukan ma'shiyat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berbeda dengan Mu'tazilah yang mewajibkan keluar dari pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai amar ma'ruf nahi munkar. Padahal sebenarnya tindakan mereka itu termasuk kemunkaran yang besar karena menimbulkan bahaya yang besar bagi umat.

Prinsip Keenam: Tidak mencela dan membenci para sahabat Rasulullah.

Hal ini telah dicontohkan oleh sahabat Muhajirin dan Anshar, sebagaimana firman Allah I, ”Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan : Ya Allah, ampunilah kami dan saudara-suadara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman : Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".[50]

Rasulullah e bersabda,”Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya, kalau seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang diantara mereka tidak juga setengahnya". [51]

Ahlus Sunnah memandang bahwa khalifah setelah Rasulullah secara berurutan adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma'in. Barangsiapa yang mencela salah satu di antara mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka .Berbeda dengan sikap ahlul bid'ah dari kalangan Rafidhoh maupun Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat.



Prinsip Ketujuh: Mencintai Ahlul bait (Keluarga) Rasulullah e.

Hal ini sesuai dengan wasiat Rasul dengan sabdanya,”Sesungguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku".[52]

Termasuk Ahlul bait adalah keluarga Rasulullah yang beriman dan juga istri-istrinya yang menjadi ibu kaum mu'minin Radhiyallahu 'anhuma wa ardhaahuma, yang telah disucikan oleh Allah , sebagaimana firman-Nya,

” Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya".[53]



Prinsip Kedelapan: Membenarkan adanya karomah para wali Allah.

Karomah yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui sebagian mereka, berupa sesuatu yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Berbeda dengan Muktazilah dan Jahamiyah yang mengingkari adanya karomah. pada hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya.

Namun sebagian orang pada zaman sekarang tersesat dalam masalah karomah, mereka berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk karomah seperti jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya adalah karomah merupakan kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang sholeh dan bersumber dari Allah semata. Sedangkan sihir adalah kejadian yang luar biasa yang diperlihatkan para tukang sihir dan orang-orang kafir dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengeruk harta-harta mereka dan bersumber pada kekafiran dan kemaksiatan.



Prinsip Kesembilan: Dalam berdalil selalu mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah e baik secara lahir maupun bathin sesuai dengan pemahaman Salafussalih.

Hal ini sesuai dengan wasiat Rasulullah e,”Berepegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang mendapat petunjuk".

Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah. Setelah itu mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Segala hal yang diperselisihkan selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, sebagaimana firman Allah ,

Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya". [54]

Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema'shuman seseorang selain Rasulullah dan mereka tidak berta'ashub pada suatu pendapat sampai pendapat tersebut disesuaikan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul 'ilmi. Perbedaan-perbedaan diantara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh menimbulkan permusuhan dan saling memutuskan hubungan diantara mereka, sebagaimana dilakukan orang-orang yang ta'ashub dan ahlul bid'ah. Mereka tetap metolerir perbedaan yang layak (wajar), dan tetap saling mencintai satu sama lain. Sebagian mereka tetap shalat di belakang yang lain betapapun perbedaan masalah far'i (cabang) diantara mereka. Sedang ahlul bid'ah saling memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang yang menyimpang dari golongan mereka.



Prinsip kesepuluh: Prinsip-prinsip di atas menjadikan mereka senantiasa berakhlak mulia sebagai pelengkap aqidah yang diyakininya.

Diantara sifat-sifat mulia tersebut adalah mereka beramar ma'ruf dan nahi mungkar sebagaimana firman Allah I,” Jadilah kalian umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, beramar ma'ruf dan nahi munkar dan kalian beriman kepada Allah".[55]

Rasulullah e bersabda,”Barangsiapa diantara kamu menyaksikan suatu kemunkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya dan yang demikian itulah selemah-lemah iman".[56]

Ahlus Sunnah wal Jama'ah tetap menjaga tegaknya syi'ar Islam dengan menegakkan shalat Jum'at dan shalat berjama'ah sebagai pembeda terhadap ahlul bid'ah dan orang-orang munafik yang tidak mendirikan shalat Jum'at maupun shalat Jama'ah.

Mereka juga menegakkan nasehat bagi setiap muslim dan bekerja sama serta tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa sebagaimana sabda Nabi,” Agama itu nasehat, kami bertanya : untuk siapa .? Beliau menjawab : Untuk Allah dan Rasul-Nya dan para imam kaum muslimin serta kaum muslimin pada umumnya". [57]

Mereka juga tegar dalam menghadapi ujian-ujian dan sabar ketika mendapat cobaan-cobaan dan bersyukur ketika mendapatkan keni'matan dan menerimanya dengan ketentuan Allah.

Singkatnya mereka selalu berahlak mulia dan berbuat baik kepada kedua orang tua, menyambung tali persaudaraan, berlaku baik dengan tetangga, dan mereka senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong, dzolim (aniaya) sebagaimana firman Allah ,

”Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib, kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri".[58]

Rasulullah e bersabda,” Sesempurna-sempurna iman seorang mu'min adalah yang baik ahlaknya". [59]

Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan kita semua menjadi bagian dari mereka. shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad e, keluarganya beserta shabat-sahabatnya. Aamin.



Disarikan dari buku “Prinsip-Prinsip 'Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah” Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Terj. Abu Aasia, terbitan Dar Al-Gasem PO Box 6373 Riyadh. Selengkapnya...

mengenal AHLUS SUNNAH (3)

Bagian III

Manhaj Ibadah Ahlussunnah wal Jamaah



Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata:

أهل السنة يعبد الله، لله، بالله, وفي الله

“Ahlussunnah beribadah kepada Allah, karena Allah, dengan pertolongan Allah dan dalam agama Allah ”.

Ahlussunnah ya’budullah (beribadah kepada Allah) lillah maksudnya adalah ikhlas kepada Allah semata untuk mencari ridha-Nya. Mereka tidak beribadah kepada Allah supaya dilihat, dipuji orang dan agar digelari seorang ahli ibadah. Dari Amirul Mu’minin Abu Hafsh ‘Umar bin Khothob berkata,” Saya mendengar Rosululloh r bersabda,” Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya dan Sesungguhnya bagi setiap orang tergantung dari apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrah kepada dunia yang dia cari atau wanita yang dia ingin nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya.” [60]

Adapun billah maksudnya meminta tolong kepada Allah . Seorang tidak akan mungkin bisa beribadah kepada Allah dengan sendirinya, tetapi ia meminta pertolongan kepada Allah sebagaimana firman Allah :

“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan” [61]

Adapun fillah yaitu pada agama Allah yang disyariatkan melalui Rasulullah tanpa ditambah dan dikurangi. Mereka tidak keluar dari agama Rasulullah, mereka bersihkan ibadah mereka dari kesyirikan dan bid’ah sebagaimana firman Allah :

“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. [62]

Ibadah mereka bukan didorong oleh nafsu dan akalnya, akal yang sehat tidak akan membolehkan seorang mukmin untuk keluar dari syariat Allah. Karena berpegang pada syariat Allah termasuk bagian dari akal yang sehat. Itulah sebabnya Allah menyebut orang–orang yang mendustakan Rasulullah sebagai orang yang tidak berakal, sebagaimana firman-Nya:

“Tetapi kebanyakan mereka tidak berakal” [63]

Seandainya kita beribadah kepada Allah menurut nafsu kita, niscaya akan terjadi perpecahan dan pengelompokan yang setiap orang menganggap baik pendapatnya untuk beribadah kepada Allah. lihatlah mereka yang beribadah kepada Allah dengan melakukan hal-hal yang bid’ah yang tidak disyariatkan oleh Allah, bagaimana antar mereka saling membenci dan saling menyalahkan. Mereka mengkafirkan orang lain dengan sesuatu yang sebenarnya mereka tidak kafir tetapi hawa nafsunya yang membutakan mereka.

Seandainya kita tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat Allah , bukan dengan hawa nafsu niscaya kita akan menjadi satu umat. Karena syariat Allah adalah petunjuk bukan hawa kita. sebagian ahli bid’ah yang melakukan bid’ah dalam masalah aqidah atau amal, berdalil dengan sabda Nabi:

مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَي يَوْمِ القِيَامَةِ

“Barangsiapa yang membuat teladan yang baik dalam Islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya hingga hari kiamat” [64]

Kita mengatakan kepadanya,” Apakah yang anda anggap baik dalam bid’ah ini tidak diketahui oleh Rasulullah?. Atau beliau mengetahuinya tetapi menyembunyikannya sehingga tidak ada kalangan salaf yang mengetahuinya, kemudian beliau simpan untuk anda?.

Apabila mereka mengatakan,”Sesungguhnya Rasulullah tidak mengetahui kebaikan bid’ah ini sehingga beliau tidak ajarkan”. Kita menjawab,”Anda telah menuduh Rasulullah dengan sangat keji yaitu bodoh terhadap agama Allah dan syariat-Nya”. Bila mereka mengatakan,” Rasulullah mengetahuinya, tapi tidak menyampaikannya kepada orang lain”. Ini tuduhan yang lebih keji, anda menganggap Rasulullah seorang yang bergelar “al-Amin” (amanah), seorang pengkhianat dan tidak mengajarkan pengetahuannya.

Bisa juga mereka berkata,” Rasulullah mengetahuinya, mengajarkannya tapi belum sampai kepada kita”. Kita mengatakan kepada mereka bahwa anda telah menentang firman Allah yang menyebutkan:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya kami menurunkan Al-Dzikr dan Kami yang akan menjaganya” .[65]

Apabila syariat Allah hilang sehingga tidak sampai kepada kita, artinya Allah tidak menjaga syariat-Nya, bahkan kurang dalam menjaganya sehingga hilang sebagian dari yang ada dalam Al-Qur’an.

Kesimpulannya, setiap orang yang melakukan bid’ah dalam masalah agamanya baik dalam aqidah atau ibadah berupa ucapan maupun perbuatan, maka dia adalah orang yang sesat, sebagaimana sabda Nabi:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Setiap bid’ah adalah sesat”

Hadits ini umum mencakup setiap bidah dalam masalah agama, ia sesat dan tidak ada kebaikan di dalamnya, Allah berfirman:

“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)”.[66]

Adapun hadits Rasulullah e “Barangsiapa yang membuat teladan dalam Islam” tidak menjelaskan tentang bid’ah, karena semua yang bukan ajaran Rasulullah tidak termasuk dari Islam. Itulah sebabnya ditambahkan dengan “sunnah yang baik” karena ia termasuk yang diakui oleh Islam.

Sababul Wurud (Sebab munculnya) hadits tersebut menunjukkan bahwa maksudnya adalah segera untuk mengamalkan sunnah. Sekelompok orang faqir datang kepada Rasulullah, kemudian beliau menganjurkan orang untuk bersedekah kepada mereka. seorang dari Anshar datang dengan membawa sekeranjang korma kemudian memberikan kepada orang-orang tersebut. Dan orang-orang mengikutinya. Maka Rasulullah bersabda dengan hadits di atas.

Dengan demikian maksudnya bukan membuat syariat baru, tetapi mengamalkannya, menjadi teladan dalam mengamalkannya di hadapa orang sehingga ia menjadi teladan yang baik dan mendapatkan pahalanya sebagaimana pahala orang yang mengikutinya hingga hari kiamat.

Sebagian ahli bidah berhujjah dengan kaidah itu sebuah sarana untuk kebaikan seperti mengumpulkan al-Qur’an, mendirikan sekolah dll, yang hanya sebagai sarana bukan tujuan.

Ada perbedaan antara sesuatu yang menjadi sarana untuk tujuan baik yang ditetapkan oleh syariat, tetapi tidak bisa terwujud kecuali dengan melakukan sarana tersebut, dan sarana ini berkembang seiring perkembangan zaman, misalnya firman Allah :

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi”.[67]

Persiapan kekuatan di zaman Rasulullah berbeda dengan persiapan kekuatan di zaman kita. Maka bila kita melakukan suatu perbuatan yang merupakan persiapan kekuatan, maka ia bid’ah sarana bukan gayah (tujuan) yang seseorang beribadah kepada Allah dengannya. Kaidah yang sudah disepakati menyebutkan,” Anna Lil Wasaa’il Ahkaam al-Maqashid”, (Sarana memiliki hukum yang sama dengan tujuannya). Semua yang dilakukan adalah saran untuk tujuan yang terpuji.

Mengumpulkan Al-Qur’an dan mencetaknya merupakan sarana untuk tujuan yang disyariatkan. Hendaknya dibedakan antara sarana dan tujuan. Sesuatu yang sendirinya merupakan sebuah tujuan, maka ia telah disyariatkan oleh Allah dan diwahyukan kepada Rasulullah sebagaimana firman Allah :

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu”, [68]

Seandainya amalan bid’ah merupakan penyempurna syariat, niscaya sudah disyariatkan, dijelaskan dan disampaikan dan dijaga. Ia bukan menyempurnakan syariat bahkan ia menguranginya.

Sebagian orang mengatakan bahwa dalam perbuatan bidah tersebut bisa membersihkan hati, semangat beragama dan lainnya. kita katakan bahwa Allah telah memberitahu kita bahwa syaitan bersumpah:

“Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)”.[69]

Syaitan memperindah di hati manusia untuk memalingkan mereka dari ibadah kepada Allah . Rasulullah telah mengingatkan bahwa syaitan masuk ke dalam diri manusia seperti darah yang mengalir. Dan ini selaras dengan firman Allah I :

“Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah ”[70]

Allah menjadikan syaitan berkuasa pada orang-orang yang berpaling dari Allah dan menyekutukan-Nya. Dan setiap orang yang menjadi pengikut bidah di dalam agama Allah , maka ia telah menyekutukan Allah dan menjadikan orang yang diikuti ini sebagai sekutu Allah dalam masalah hukum. Padahal hukum syar’i itu hanya milik Allah sebagaimana firman-Nya:

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia”,[71] .

Ketahuilah!, semoga Allah merahmatimu, bahwa tidak ada jalan yang bisa mengantarkan kita kepada Allah kecuali dengan jalan yang telah ditentukan oleh Allah lewat Rasul-Nya. “Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi”[72], seandainya seorang raja menentukan sebuah pintu untuk masuk menemuinya dan berkata,”Barangsiapa yang ingin menemui saya, maka hendaknya masuk lewat pintu ini”. Bagaimana pendapat anda bila ada orang yang ingin menemui raja lewat pintu lain, apakah ia bisa bertemu dengannya?.

Allah telah menentukan jalan khusus untuk menemui-Nya yaitu jalannya Rasulullah, yang tidak mungkin seorang hamba akan mendapatkan kebahagiaan kecuali dengan menempuh jalan Rasulullah.

Penghormatan kepada Rasulullah dan termasuk adab kepada beliau adalah mengerjakan apa yang beliau kerjakan dan meninggalkan apa yang beliau tinggalkan. Kita tidak mendahului beliau dalam agamanya, berkata dalam agamanya yang beliau tidak pernah katakan da mengadakan suatu ibadah yang tidak pernah beliau syariatkan.

Apakah termasuk mencintai Rasulullah seorang yang mengada-ada dalam masalah agama, padahal beliau bersabda,”Setiap bid’ah itu sesat”. Juga beliau bersabda,” Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan agama maka ia tertolak”. Apakah ini merupakan kecintaan kepada Rasulullah? Dengan membuat syariat dalam agama Allah sesutu yang tidak pernah disyariatkan?. Allah I berfirman:

“Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu".[73]



Diterjemahkan dari “Manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah-Thariqatu Ahlussunah fi Ibadatillah” karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.



Bagian IV

Manhaj Akhlak Ahlussunnah wal Jamaah



Allah Mengutus Muhammad sebagai pembawa hidayah agama yang haq dan Penyempurna Akhlak. Allah I berfirman,

Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama agama meskipun orang-orang musyrik benci".[74]

Allah mengutus Muhammad kepada jin dan manusia, seluruh penduduk dunia sebagai rahmatan (karunia) dan imaman (pemimpin) bagi orang-orang yang bertaqwa. Mengajarkan dan memahamkan manusia tentang agama-Nya, menjelaskan penyebab keselamatan dan kebinasaan hidup di dunia dan di akhirat, Allah mengutusnya dengan Dienul Islam. Beliau membawa kabar yang benar, ilmu yang bermanfaat, syari'at yang lurus serta hukum-hukum yang adil. Allah mengutusnya untuk menyeru kepada seluruh kebaikan dan mencegah kejahatan, menyeru kepada akhlak yang mulia dan pebuatan yang baik serta mencegah rendahnya akhlak dan buruknya amal perbuatan. Allah berfirman,

”Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan".[75]

Juga firman Allah, ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". (Al-Anbiya' : 107).

Akhlak yang paling agung adalah beribadah kepada Allah , Allah berfirman,

”Hai manusia, beribadahlah kepada Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa".[76]

Juga firman Allah ,

” Beribadahlah kepada Allah dan janganlah engkau menyekutukan Allah dengan sesuatu". [77]

Allah berfirman,

”Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kecuali kepada-Nya ..." [78]

Kemudian berakhlak kepada Rasulullah dengan mengikuti sunnah beliau, Allah berfirman,

” Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia ; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa".[79]

Kita berdoa kepada Allah untuk ditunjukkan “Shiratal Mustaqim”, Allah berfirman,

” Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugrahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat". [80]

Pengertian Ash-Shirath Al-Mustaqim adalah Dienullah, yaitu Al-Islam, Al-Iman, ilmu yang bermanfaat serta amal yang shalih. Ia adalah jalannya orang-orang yang mendapat nikmat dari kalangan ahlul ilmi dan amal, mereka adalah para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik serta pendahulu dari kalangan Rasul beserta pengikutnya. sebagaimana firman Allah ,

”Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugrahi nikmat oleh Allah, yaitu : Nabi, para shidiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya".[81]



Wajib bagi setiap muslim untuk mendalami Kitabullah, dan mempelajari Sunnah-sunnah Rasul-Nya serta istiqamah padanya. Di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, tercantum penjelasan tentang perintah-perintah dan larangan yang dibawa dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alihi wa sallam. Dan di dalamnya terdapat penjelasan tentang akhlak mulia yang dipuji oleh Allah sebagai akhlak mukminin dan mukminat. Di antara firman Allah yang memuat akhlak mulia adalah surat Al-Furqan: 63-77. Allah befirman:

“Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan”. [82]

Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka. [83]

Dan orang-orang yang berkata:"Ya Rabb kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasan yang kekal". [84]

Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. [85]

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. [86]

Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya) [87]

(yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, [88]

kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan.Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [89]

Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. [90]

Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. [91]

Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. [92]

Dan orang-orang yang berkata:

"Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa. [93]

Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya,[94]

Allah juga berfirman,

” Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta, (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”,[95]

Dan di antara akhlak yang ketiga adalah akhlak kepada diri sendiri, dengan memberikan hak-haknya seperti hak mata untuk tidur, badan untuk istirahat dan lainnya. juga menjauhkan badan dari hal-hal yang memudaratkan baik di dunia terlebih lagi di akhirat. Agar badan mendapatkan ketenangan di dunia maka dengan menentramkan hati lewat dzikrullah, Allah berfirman,

” (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah hati menjadi tenteram. [96]

Dan keselamatan badan di akhirat dari azab Allah dengan bertaubat dari segala dosa dan kesalahan.

Semua bentuk akhlak di atas terangkum dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar Jundub bin Junadah Rasulullah bersabda:

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَاتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kepada Allah di mana saja berada. Iringilah kejelekan itu dengan kebaikan (bertaubat) niscaya kebaikan akan menghapuskan kejelekan. Dan pergaulilah manusia dengan budi pekerti yang baik”[97]

Semoga Allah mengaruniai kita akhlak yang terpuji dan menghindarkan kita dari akhlak tercela, amin!.



Disarikan dari buku,” Akhlaqul Mukminn wal Mukminat, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, terj. “Akhlak Salaf, Mukminin & Mukminat, oleh Ihsan, (Solo: Pustaka At-Tibyan). (Abu Athiyah).







Bagian V

Manhaj Dakwah Ahlussunnah wal Jamaah



Sesungguhnya berdakwah kepada Allah adalah jalan yang ditempuh Rasulullah e dan pengikut-pengikutnya, sebagaimana Allah I berfirman,

” Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". [98]

Dakwah kepada Allah merupakan tugas utama para Rasul dan seluruh pengikutnya, untuk mengeluarkan manusia dari kekufuran menuju keimanan, dari kesyirikan menuju tauhid dan dari Neraka menuju Surga. Dakwah tersebut ditopang dengan tiang-tiang yang didirikan diatas pondasi, jika salah satunya saja binasa maka dakwah tersebut tidaklah berjalan dengan benar serta tidak pernah membuahkan hasil yang diinginkan, meskipun dengan jerih payah yang amat sangat serta menghabiskan banyak waktu. Sebagaimana yang terjadi pada sebagian besar dakwah-dakwah modern masa kini yang tidak dilandasi dengan tiang-tiang dan juga tidak berdiri di atas pondasi tersebut. Adapun tiang-tiang yang menopang dakwah yang benar adalah seperti yang disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, ringkasnya sebagai berikut:



Pertama, mengetahui apa yang didakwahkan.

Maka seorang yang bodoh tidak layak menjadi da'i, Allah berfirman,

“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". ( QS. Yusuf : 108 ).

“Bashirah” maksudnya adalah ilmu, karena seorang da'i akan menghadapi ulama yang sesat dan berbagai syubhat (kekaburan), mereka membantah agar kebatilan bisa mengalahkan kebenaran, Allah berfirman:

“...bantahlah mereka dengan cara yang baik.”[99]

Nabi e bersabda kepada Mu'adz t: " Kamu akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab…". Jika seorang da'i tidak berbekal ilmu yang dapat digunakan untuk menghadapi setiap syubhat, maka ia akan kalah di awal pertandingan atau terhenti di tengah jalan.



Kedua, Mengamalkan apa yang didakwahkan.

Seorang da’i menjadi teladan yang baik , tindakan sesuai dengan ucapannya sehingga tidak membuah celah bagi orang-orang untuk menghinanya, Allah berfirman tentang nabi-Nya Syu'aib yang berkata kepada kaumnya:

“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan”.[100]



Ketiga, Ikhlas

Dakwah yang dilakukan hendaknya betul-betul mengharap ridha Allah, bukan supaya dipuji orang atau agar diangkat menjadi pemimpin atau demi keinginan duniawi semata, sebagaimana yang diceritakan oleh Allah tentang nabi-nabi-Nya, bahwasanya mereka mengatakan, “Aku tidak meminta kepadamu balasan”. Juga,” Aku tidak meminta kepadamu harta”.



Keempat, Memulai dari sesuatu yang terpenting

Hendaknya pertama kali yang didakwahkan adalah masalah akidah dengan memerintahkan beribadah kepada Allah semata dan melarang syirik kemudian memerintahkan untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, mengerjakan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan sebagaimana jalan yang dilakukan oleh semua rasul, Allah berfirman

“ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu". [101]

Juga firman Allah: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". [102]

Ketika Nabi e mengutus Mu'adz ke Yaman, beliau berkata kepadanya:

إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الكِتاَبِ , فَلْيَكًنْ أَوَّلُ مَاتَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَا الله فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ فَاعلَمُهُم أَنَّ الله افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَاوَاتِ فِي اليَوْمِ وَ اللَيْلَةِ ..... الحديث

“Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab maka jadikanlah hal yang utama engkau seru kepada mereka adalah syahadah ( persaksian ) bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan jika mereka menjawab seruanmu maka katakan pada mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu di dalam setiap harinya.........” Hadits.

Manhaj Rasulullah e dalam berdakwah menjadi teladan yang baik dan yang paling sempurna ketika beliau tinggal di Mekah selama 13 tahun mengajak manusia kepada tauhid dan melarang mereka berbuat kesyirikan sebelum beliau memerintahkan mereka shalat, zakat, puasa, dan haji dan sebelum beliau melarang mereka dari perbuatan riba, zina, mencuri, membunuh jiwa tanpa haq.



Kelima, Bersabar dalam menghadapi rintangan di jalan dakwah

Jalan dakwah tidaklah ditaburi bunga-bunga melainkan penuh dengan suatu yang tidak menyenangkan dan penuh dengan bahaya, sebagaimana yang terjadi pada para Nabi dan Rasul sebelumnya. Allah berfirman,

”Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (azab) olok-olokan mereka.” [103]

Dan Allah berfirman :

“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka.” [104]



Keenam, Berakhlak yang baik dan bijaksana dalam berdakwah

Akhlak mulia merupakan sebab utama diterimanya dakwah sebagaimana Allah memerintahkan dua Nabi-Nya yang mulia Musa dan Harun u agar mereka bijaksana dalam menghadapi orang yang paling kafir di muka bumi ini yaitu Fir'aun yang mengaku sebagai tuhan, Allah berfirman,

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". [105]

Firman Allah juga pada Musa u :

"Pergilah kamu kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, dan katakanlah (kepada Fir'aun): "Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)"[106]

Allah juga berfirman, tentang sikap yang harus dimiliki oleh Nabi kita Muhammad e:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”[107]

Allah juga berfirman : “Sesungguhnya kamu mempunyai akhlak yang mulia”. Allah juga berfirman :

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” [108]



Ketujuh, Seorang da'i harus memiliki rasa optimis

Seorang dai tidak mudah putus asa dalam dakwahnya atau mengharapkah hidayah atas kaumnya, seraya selalu mengharap pertolongan dan perlindugan dari Allah, meskipun waktu yang telah ditempuhnya sangatlah lama, karena pada rasul-rasul Allah terdapat contoh yang demikian itu.

Misalnya nabi Nuh u yang mendakwahi kaumnya selama 950 tahun. Dan demikian pula Rasulullah e ketika mendapat gangguan orang-orang kafir yang semakin berat, beliau didatangi oleh malaikat gunung yang menawarkan untuk melempar mereka dengan bebatuan. Rasulullah berkata: " Jangan , tetapi aku akan bersikap perlahan-lahan menghadapi mereka semoga Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka seorang keturunan yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatupun".

Jika seorang da'i telah kehilangan sifat optimisnya, maka ia akan berhenti di tengah jalan dan mengalami kegagalan dalam menjalankan tugasnya.

Dan setiap dakwah yang tidak di bangun di atas manhaj para rasul ini, maka dakwah tersebut akan gagal, sehingga hanya melelahkan dan tidak ada faedahnya. Seperti jama'ah-jama'ah dakwah yang ada sekarang ini yang telah salah memilih manhaj dakwah dengan menyelisihi manhaj dakwah para Rasul. Mereka lalai dalam mendakwahkan akidah, sehingga mereka lebih mementingkan masalah-masalah yang sifatnya cabang (sekunder).

Sebagian jama'ah-jama’ah tersebut menyeru pada perbaikan hukum dan politik dan menuntut agar dilaksanakan hukum pidana dan diterapkannya syari'at Islam dalam bentuk undang-undang di tengah-tengah masyarakat. Ini merupakan hal yang penting namun bukan yang terpenting. Bagaimana mereka menuntut untuk diterapkan hukum Allah terhadap pencuri, pezina, sebelum ia meminta untuk diterapkannya hukum Allah terhadap pelaku kemusyrikkan?. Bagaimana ia meminta diterapkan hukum Allah terhadap pencuri sebelum ia meminta diterapkannya hukum Allah terhadap orang-orang yang menyembah berhala dan kuburan dan orang-orang yang mengingkari Nama-Nama dan sifat-sifat Allah ?.

Bukankah dosa kemusyrikan lebih besar dari dosa orang yang berzina, meminum khamer dan mencuri?!! Sesungguhnya dosa-dosa ini merupakan yang dilakukan terhadap hak mahluk ( hamba ). Sementara kesyirikkan dan menolak akan nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan kejahatan terhadap hak Khaliq ( Pencipta ) I, Sedangkan hak Pencipta lebih diutamakan daripada hak mahluk-mahlukNya .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,” Dosa-dosa ini apabila dilakukan dengan benarnya tauhid lebih baik daripada rusaknya tauhid diiringi dengan perbuatan dosa-dosa ini”.[109]

Hal ini juga sesuai dengan firman Allah,

” Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.[110]

Sebagian jama'ah dakwah yang lainnya tidak menaruh perhatian terhadap masalah akidah, melainkan hanya mementingkan dakwah dengan membiasakan dzikir-dzikir dengan metode sufi dan menekankan akan pentingnya khuruj ( baik di luar atau di dalam negeri ). Yang penting bagi mereka adalah manusia mau bergabung bersamanya tanpa memandang akidah mereka. Semua ini merupakan cara-cara bid'ah dengan memulai dakwahnya pada bagian terakhir dari apa yang didakwahkan oleh para rasul. Hal ini bagaikan mengobati sekujur tubuh yang terpenggal kepalanya, karena akidah itu bagaikan kepala dalam masalah agama.

Yang diharapkan dari jama'ah dakwah ini adalah memperbaiki pemahamannya dengan merujuk kepada Al Qur'an dan As Sunnah agar mengetahui manhaj para rasul dalam berdakwah di jalan Allah . Karena sesungguhnya Allah telah memberikan kabar bahwa kekuasaan yang menjadi tujuan dakwah jama'ah-jama'ah tersebut tidak akan terwujud sebelum mereka memperbaiki akidah mereka yaitu menyembah Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Allah berfirman:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” [111]

Mereka ingin mendirikan Daulah Islamiyah sebelum membersihkan negara mereka dari akidah-akidah berhala, dengan menyembah patung, orang yang telah meninggal dunia, meminta pada kuburan. Hal ini tidak berbeda dengan akidah orang-orang kafir jahiliyah terhadap Laata, 'Uzza , Mannah dan lainnya. Sesungguhnya berhukum dengan syari'at Allah, menegakkan hukum pidana, mendirikan pemerintahan Islam, meninggalkan larangan-larangan dan mengerjakan suatu kewajiban-kewajiban merupakan hal yang menjadi pelengkap dan cabang Tauhid. Maka bagaimana memperhatikan yang cabang sedang yang pokok dilupakan?

Apa yang terjadi dengan jama'ah-jama'ah dakwah ketika menyelisihi manhaj para rasul dalam berdakwah terjadi karena mereka tidak mengetahui manhaj dakwah para Rasul. Seseorang yang tidak mengetahui akan hal tersebut tidaklah pantas menjadi seorang da'i, karena di antara syarat-syarat dakwah adalah mengetahui ilmunya, sebagaimana Firman Allah:

“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". [112]

Dan yang terpenting bagi seorang da’i adalah ilmu. Sehingga ada di antara mereka yang ditanya tentang pengertian Islam, pembatal-pembatalnya dan lainnya, tidak mampu bisa mereka jawab.

Setiap jama'ah dakwah juga membuat metode dakwah tersendir yang berbeda antara satu jamaah dengan jamaah yang lain. Inilah akibat dari menyelisihi manhaj dakwah Rasulullah e, karena manhaj para Rasul adalah satu tidak ada perbedaan di antara mereka, sebagaimana Firman Allah:

“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, [113]

Maka siapa saja yang mengikuti jalannya Rasulullah e yang satu ini maka mereka tidak akan mungkin berselisih.

Mereka berselisih karena menyelisihi manhaj beliau, sebagaimana Firman Allah:

“dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” [114]

Selama jama'ah-jama'ah dakwah yang bermacam-macam ini menyimpang maka ini akan membahayakan bagi Islam karena menyebabkan seseorang berpaling ketika akan masuk agama Islam dan hal tersebut bukanlah dari ajaran Islam, sebagaimana Firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.”[115]

Islam juga menyeru agar berkumpul di atas kebenaran, sebagaimana Firman Allah: “ Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” [116]





Disarikan dari Pengantar" Manhajul Anbiya' fid Da'wah ilallah fihil Hikmatu wal 'Aql " karya Prof. DR. Syaikh Rabi’ bin Hadi bin Umar Al-Madkhali, oleh Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan.

[1] Al-Jauhari, al-Shihah, 1/346

[2] Al-Maidah:48

[3] HR. Al-Darami no. 83

[4] Yusuf : 108

[5] Majmu’ Fatawa III/ 357

[6] Lihat : Al-Lalika'i Syarhus Sunnah No. 51 dan Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 8:1034

[7] Talbisul Iblis oleh Ibnul Jauzi hal.16 dan lihat Al-Fashlu oleh Ibnu Hazm 2:107

[8] Majmu’ Fatawa III/157

[9] Majmu’ Fatawa III/157

[10] HR.Muslim dalam kitab al-Iman

[11] Shahih al-Jami’ oleh Al-Bani I/12 No. 3816

[12] HR.Jama’ah

[13] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya hal.15

[14] Al-Intiqa fi Fadlailits Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha. hal.35 oleh Ibnu Abdil Barr

[15] Fathul Bari 13/259, dan Syarah Kitab Tauhoid ,Syekh Abdullah Al-Ghunaiman II/240

[16] As-Syarh wal Ibanah, Ibnu Batthah hal. 120

[17] Sunan ad-Darimi I/49

[18] As-Syarh wal Ibanah, Ibnu Batthah hal. 133

[19] al-Ibanah;I/206

[20] As-Syarh wal Ibanah, Ibnu Batthah hal. 133

[21] Syarah I’tiqad Ahlussunah, Al-lalika’iy I/65

[22] As-Syarh wal Ibanah, Ibnu Batthah hal. 137

[23] As-Syarh wal Ibanah, Ibnu Batthah hal. 137

[24] Tartibul Madarik I/72

[25] Madarijus sallikin III/174

[26] Ad-Durarul Mansyur, As-Suyuthi II/63

[27] As-Syarh wal Ibanah, Ibnu Batthah hal.137

[28] HR. Al-Bukhari 4/3641, 7460; dan Muslim 13 /65-67 pada syarah Imam Nawawy

[29] Al-Anbiyaa : 92

[30] Ali Imran : 72

[31] HR. Abu Dawud 5/4607, Tirmidzi 5/2676 Dia berkata hadits ini hasan shahih ; Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Majah 1/43

[32] HR. Abu Dawud 5/4607 dan Tirmidzi 5/2676 dan Dia berkata hadits ini hasan shahih ; Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Majah 1/43

[33] Muhammad : 7

[34] Al-Fatihah: 1-2

[35] Al-A'raf : 180

[36] Al-Anbiyaa : 26-27

[37] Al-isra : 88

[38] At-Taubah : 6

[39] At-Taubah : 30

[40] Al-Baqarah : 285

[41] Al-Baqarah : 111

[42] Al-Baqarah : 80

[43] At-Takwir : 29

[44] An-Naml : 14,) Baca juga Al-An'aam : 33 dan Al-Ankabut : 38 ).

[45] Al-Anfaal : 2-4

[46] Al-Baqarah : 143

[47] An-Nisaa : 48

[48] An-Nisaa : 59

[49] HR. Bukhari 4/7137, Muslim 12 / 223 Syarah Nawawi

[50] Al-Hasyr : 10

[51] HR. Bukhari 3/3673, dan Muslim 16/ 92-93 Syarah Nawawy

[52] HR. Muslim 15/180 Nawawy, Ahmad 4/366-367 dan Ibnu Abi 'Ashim dalam kitab As-Sunnah No. 629

[53] Al-Ahzab : 33

[54] An-Nisaa : 59

[55] Ali-Imran : 110

[56] HR. Muslim 1/Juz 2 hal. 22-25 syarah Nawawy dari Abu Sa'id Al-Khudry

[57] HR.Muslim 2/36-37, Abu Daud 5/49944, dan An-Nasaai 7/4197, Imam Ahmad 4/102 dari Tamiim Ad-Dary

[58] An-Nisaa : 36

[59] HR. Ahmad 13 No. 7396, Tirmidzi 3/1162, Abu Daud 5/4682, dan Al-Haitsamy dalam Mawarid No. 1311, 1926

[60] HR. Bukhori dan Muslim

[61] Al-Fatihah:5

[62] Al-Bayyinah:5

[63] Al-Ankabut: 63

[64] HR.Muslim

[65] Al-Hijr: 9

[66] Yunus:32

[67] Al-Anfaal: 60

[68] Al-Maidah: 3

[69] Al-A’raf:17

[70] An-Nahl:99-100

[71] Yusuf: 40

[72] lihat; An-Nahl: 60

[73] Ali Imron : 31

[74] Ash-Shaff : 9

[75] Saba' : 28

[76] Al-Baqarah : 21

[77] An-Nisaa' : 36

[78] Al-Isra' : 23

[79] Al-An'am : 153

[80] Al-Fatihah : 5 -7

[81] An-Nisaa : 69

[82] Al-Furqon:63

[83] Al-Furqon:64

[84] Al-Furqon:65

[85] Al-Furqon:66

[86] Al-Furqon:67

[87] Al-Furqon:68

[88] Al-Furqon:69

[89] Al-Furqon:70

[90] Al-Furqon:71

[91] Al-Furqon:72

[92] Al-Furqon:73

[93] Al-Furqon:74

[94] Al-Furqon:75

[95] Al-Baqarah : 177

[96] Al-Ra’du: 28

[97] HR. Tirmidzi-Hasan Shahih

[98] Yusuf : 108

[99] An Nahl : 125

[100] Huud : 88

[101] An Nahl : 36

[102] Al Anbiyaa’ : 25

[103] Al An’am : 10

[104] Al An’am : 34

[105] Thaaha : 44

[106] An Nazi’aat : 17-18

[107] Ali Imran : 159

[108] An Nahl : 125

[109] Istiqamah, 1/466

[110] An-Nisa:48

[111] An Nuur : 55

[112] Yusuf : 108

[113] Yusuf : 108

[114] Al An’am : 153

[115] Al An’am :159

[116] Ali Imran : 103 Selengkapnya...

KEIMANAN SALAFIYYAH(1)

PERKARA KEIMANAN YANG GLOBAL

DARI POKOK-POKOK AQIDAH SALAFIYYAH



Penyusun :

Syaikh Husain bin Audah al-Awaisyah

Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr

Syaikh Salim bin Ied al-Hilaaly

Syaikh Ali bin Hasan al-Halaby al-Atsary

Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman



Diperiksa dan Disepakati oleh :

Sejumlah Ulama dan Penuntut Ilmu



Diterbitkan oleh :

Markaz Imam Albany

Divisi Pengajaran Manhaj dan Riset Ilmiah

Amman - Yordania

1421 H./2000 M.



Dialihbahasakan oleh :

Abu Salma bin Burhan al-Atsary



Dikoreksi oleh :

Ust. Abu ‘Athiyyah, Lc., M.Ag.



Disebarkan oleh :

Lajnah Da’wah dan Ta’lim

FSMS (Forum Silaturrahim Mahasiswa as-Sunnah)

Surabaya



PENDAHULUAN

Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Segala Puji hanyalah milik Allah pemelihara semesta alam, Sholawat serta Salam semoga senantiasa tercurahkan kepada utusan termulia, keluarga beliau dan para sahabat seluruhnya.

Berikut ini adalah risalah yang ringkas, ilmiah dan cakupannya luas, yang menghimpun pokok-pokok Aqidah tentang perkara keimanan dan yang berkaitan dengannya, dimana banyak sekali perbincangan dan perdebatan di dalamnya, yang mana hal ini terkadang menyebabkan munculnya sikap saling menfitnah, menghujat, mencela dan menghancurkan...

Kami selaku penuntut ilmu, memandang perlu menulis pokok-pokok ilmiah yang sederhana berkaitan dengan perkara ini, menurut kaidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan menurut pokok manhaj Salaf Ahlu Hadits dan Ahlu Atsar, dengan keinginan yang kuat untuk mempersatukan kalimat, sebagai maslahat terhadap jama'ah, dalam rangka menerangkan al-Haq dan menjelaskan kebenaran, sebagai petunjuk bagi pencari kebenaran dan menumpas para pendusta.

Kami telah menyodorkan risalah ini untuk diperiksa oleh sejumlah ulama, para penuntut ilmu dan para du'at terbaik di seluruh dunia, dengan mengharapkan kritikan-kritikan dan masukan-masukan yang membangun. Merekapun sudi membaca dan mengoreksinya, dengan Fadhilah (Karunia) dan Taufiq Allah, kami memetik manfaat dari pengarahan mereka. Diantara mereka tersebut adalah :

- Fadhilatus Syaikh Sa'ad al-Hushain

- Fadhilatul Ustadz Prof. DR. Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkholy

- Fadhilatus Syaikh Ali bin Hamd al-Khasyaan

- Fadhilatus Syaikh DR. Husain Alu Syaikh

- Fadhilatus Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmy

- Fadhilatus Syaikh DR. Muhammad al-Maghrawy

- Fadhilatus Syaikh DR. Wasiyullah Abbad

- Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul

- Fadhilatus Syaikh DR. Khalid al-Anbary

- Fadhilatus Syaikh Usamah bin Abdul Lathif al-Qushy

- Fadhilatus Syaikh Abul Hasan al-Ma'riby

- Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Hadi al-Madkholy

- Fadhilatus Syaikh 'Abdus Salam bin Barjas Alu Abdil Karim (Rahimahullahu, Pent.)

- Fadhilatus Syaikh Husain 'Asyasy

- Fadhilatus Syaikh Mahmud 'Athiyyah

Semoga Allah mereka semua membalas dengan kebaikan.

Karena itu pula, kami juga memutuskan untuk menyodorkan risalah ini kepada Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh -Nafa'allahu bihi-, beliau adalah seorang Mufti Umum, Ketua Lembaga Ulama Besar (Hai`ah Kibaril Ulama') dan Komite Tetap Bidang Fatwa (Lajnah Da`imah lil Iftaa') serta Ketua Umum Bidang Penelitian Ilmiah dan Fatwa (Idarah al-Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta').

Risalah ini telah dikirim via surat pos resmi melalui perantara Fadhilatus Syaikh Sa'ad al-Hushain -Hafidhahullahu-, beliau adalah seorang Penasehat Agama Arab Saudi di Yordania. Kami telah menunggu hingga hampir 2 bulan dengan harapan beliau membalas surat yang kami kirimkan...

Saat kunjungan terakhir al-Akh Ali bin Hasan bin Abdil Hamid al-Halaby al-Atsary ke negeri haramain, beliau sempat bertemu dengan Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh -nafa'allahu bihi- dan menanyakan kembali tentang kitab (risalah yang telah kami kirim), dan beliau memberitahukan bahwa beliau belum menerimanya.

Maka, oleh karena itulah, kami berkewajiban menyebarkan risalah yang sederhana ini, untuk menerangkan kepada mereka baik yang jauh maupun dekat, bahwa kami berada di atas Aqidah Sunniyah Shahihah dan Manhaj Salafi yang Sharih (terang) semenjak kurang lebih 3 dekade ini, yang kami pelajari dari para masyaikh yang mulia dan tercinta, Abu Abdurrahman Muhammad Nashirudin al-Albany -rahimahullahu-, Abu Abdillah Abdul Aziz bin Baz -rahimahullahu-, dan Abu Abdillah Muhammad bin Sholih al-'Utsaimin -hafidhahullahu wa 'aafahullahu- (rahimahullahu, pent.)

Syarh (Penjelasan) dari perkara-perkara yang kami sebutkan ini secara terperinci beserta menyebutkan dalil-dalilnya dan mengkaitkannya dengan ucapan para Imam Salafus Shalih, memerlukan pemaparan dan penjelasan, namun bukan tempatnya di sini sekarang, semoga akan dapat dilakukan di masa mendatang. Kami memohon kepada Allah untuk menerima amal kami yang sedikit ini. Wallahu waliyyut taufiq.



*****************



LAMPIRAN

Surat kepada Samahatus Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh

Segala puji hanya milik Allah, Shalawat serta Salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan siapa saja yang mencintainya.

Kepada Samahatu al-Allamah al-Jalil asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh -nafa'allahu bihi-

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Amma Ba'du :

Sesungguhnya kami mengirimkan kepada yang mulia -ayyadakumullahu (Semoga Allah memperkokoh Anda)- risalah yang sederhana ini, berisi perkara keimanan yang mengandung kaidah-kaidah Aqidah Salafus Shalih yang terang dan jelas, dengan keinginan kuat untuk senantiasa memegang kebenaran dan termasuk ahli kebenaran. Sembari mengharapkan petunjuk dari pendapat dan faidah dari Anda serta menunggu kritikan dan pengarahan Anda.

Kami memohon kepada Allah Ta'ala taufiq, kelurusan, huda dan petunjuk bagi kami dan Anda.

Semoga Shawalat senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh sahabatnya.

Penulis : Husain bin Audah al-Awaisyah, Muhammad bin Musa Alu Nashr, Salim bin Ied al-Hilaly, Ali bin Hasan al-Halaby al-Atsary dan Masyhur bin Hasan Alu Salman.

28 Jumadil Ula 1421 H.

***************** Selengkapnya...

KEIMANAN SALAFIYYAH(2)

PERKARA-PERKARA KEIMANAN YANG GLOBAL

DARI POKOK-POKOK AQIDAH SALAFIYYAH

1. Keimanan

2. Kekufuran

3. Sholat

4. Berhukum dengan hukum Allah

5. Wala' (Loyalitas) dan Baro' (Berlepas Diri)

6. Murji'ah

7. Khowarij

8. Jihad fi Sabilillah



*****************



Pasal 1 : Keimanan

1. Iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan dengan lisan dan perbuatan dengan anggota tubuh

2. Amal perbuatan dengan segala macamnya, baik amalan hati maupun amalan anggota tubuh termasuk hakikat keimanan. Kami tidak mengeluarkan perbuatan, baik besar maupun kecil, dari yang namanya keimanan.

3. Bukanlah termasuk ucapan Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa Iman adalah pembenaran hati saja, atau pembenaran dengan ucapan lisan saja, tanpa perbuatan anggota badan. Barangsiapa yang berkata demikian maka ia telah sesat! Dan inilah dia madzhabnya Murji'ah yang buruk!!!

4. Iman itu bercabang-cabang dan bertingkat-tingkat. Diantaranya jika ditinggalkan dapat menjadikan kafir, ada pula yang menyebabkannya berdosa, baik dosa besar maupun kecil, dan ada pula yang jika ditinggalkan akan kehilangan ganjaran dan pahala yang berlipat.

5. Iman itu akan bertambah dengan ketaatan hingga dapat mencapai kesempurnaannya dan akan berkurang dengan kemaksiatan hingga bisa hilang sama sekali, tak tersisa sedikitpun.

6. Yang benar dalam perkara iman dan amal perbuatan serta hubungannya dengan lainnya, ditinjau dari sisi ketetapannya, berkurang maupun bertambahnya, keberadaan maupun ketiadaannya, tercakup dalam ucapan Syaikhul Islam -rahimahullahu- yang menyatakan, "Pokok keimanan itu di dalam hati, dan Iman itu adalah ucapan hati dan amalannya yang ditetapkan dengan pembenaran, kecintaan dan ketundukan. Keimanan yang bersemayam di dalam hati harus menampakkan konsekuensi dan kebutuhannya terhadap anggota tubuh. Jika tidak melaksanakan konsekuensi dan kebutuhannya, menunjukkan ketiadaan atau kelemahan iman. Oleh karena itu, amalan lahir merupakan konsekuensi dan kebutuhan iman yang menunjukkan pembenaran terhadap apa yang ada di dalam hati, sebagai dalil (petunjuk) dan syahid (saksi) atasnya. Amalan lahir juga merupakan cabang dari kumpulan keimanan yang mutlak serta merupakan bagian darinya. Akan tetapi yang bersemayam di dalam hatilah yang merupakan pokok dari amal perbuatan anggota tubuh."

Kami mengatakan : Ketiadaan iman yang mutlak, yaitu kesempurnaan iman, tidaklah mengharuskan penafian kemutlakan iman, yaitu pokok keimanan. Sebagaimana telah ditetapkan oleh Syaikhul Islam dalam beberapa tempat (dari karangan-karangan beliau, pent.).

7. Perbuatan anggota tubuh, selain sholat -yang insya Allah akan datang perinciannya nanti- bisa jadi termasuk kesempurnaan iman yang wajib dan bisa jadi mustahab, menurut kadarnya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam. Maka wajibnya (amalan lahir) adalah wajib dan mustahabnya adalah mustahab.

8. Adapun istilah Syarth Kamal al-Iman (syarat kesempurnaan iman) yang sering diperbincangkan dewasa ini, adalah istilah muhdats (baru) yang tidak berasal dari al-Qur'an dan as-Sunnah, tidak pula dari ucapan Salafus Shalih dari tiga kurun pertama yang terbaik. Oleh karena itu, sesungguhnya penggunaan istilah ini sesuai dengan keterangan sebelumnya yang terperinci, merupakan suatu hal yang tidak dapat diperdebatkan lagi, beserta peringatan bahwa penyebutan kata syarat di dalamnya, menurut definisi bahasa bermakna tingkatan kewajiban tertinggi, bukan menurut definisi istilah yang berkonsekuensi keluar dari hakikat sebenarnya. Adapun pemahaman istilah ini dengan pengertian 'kesempurnaan mustahab' atau 'mengeluarkan amalan dari yang namanya keimanan' atau 'orang yang bermaksiat memiliki keimanan yang sempurna' sebagaimana pemahaman murji'ah atau orang-orang yang terpengaruh dengannya, maka semua pengertian ini adalah sesat dan bathil.



*****************



Pasal 2 : Kekufuran

1. Takfir (Pengkafiran) adalah hukum syar'i yang harus dikembalikan kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa Sallam.

2. Barangsiapa yang keislamannya telah tetap dengan pasti, maka keislamannya takkan hilang darinya melainkan dengan kepastian pula.

3. Tidak setiap ucapan maupun perbuatan yang disifatkan oleh nash sebagai kekufuran serta merta menunjukkan kekufuran besar yang mengeluarkan dari agama, karena kekufuran itu ada dua, yaitu kufur kecil dan kufur besar. Maka, hukum terhadap ucapan dan perbuatan (yang disifatkan sebagai kekafiran ini) sesungguhnya hanyalah menurut koridor metode para ulama Ahlus Sunnah dan keputusan mereka.

4. Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir terhadap setiap muslim kecuali yang kekufurannya ditunjukkan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah dengan dalil yang terang, nyata dan jelas. Tidak cukup hanya dengan kesamaran (syubuhat) dan dugaan semata.

5. Terkadang terdapat di dalam al-Qur'an dan as-Sunnah tentang ucapan, perbuatan atau keyakinan yang difahami sebagai kekufuran, namun tidak boleh seseorang dikafirkan secara spesifik (mu'ayan) kecuali jika telah ditegakkan hujjah atasnya dengan memenuhi syarat-syarat : ilmu, maksud dan pilihan, serta menghilangkan penghalang-penghalangnya, yaitu lawan dan kebalikan dari hal ini.

6. Kekufuran itu bermacam-macam : ada kufur juhud (pengingkaran), takdzib (pendustaan), iba' (penolakan), syak (keraguan), nifaq (kemunafikan), i'radh (berpaling), istihzaa' (penghinaan) dan istihlal (penghalalan), sebagaimana disebutkan oleh para Imam Ahli Ilmu, Syaikhul Islam dan muridnya Ibnul Qoyyim al-Jauziyah dan selainnya dari para Imam Sunnah -rahimahumullahu-

7. Termasuk kufur amalan dan ucapan yang mengeluarkan dari agama secara dzatnya, yang tidak disyaratkan di dalamnya penghalalan hati, adalah perkara-perkara yang menunjukkan lawan dari keimanan ditinjau dari segala sisi, seperti mencela Allah Ta'ala, menghina Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, sujud kepada berhala, meletakkan mushaf di tempat-tempat najis, dan amalan-amalan yang serupa.

Menjatuhkan hukum kafir ini kepada perseorangan secara spesifik adalah sebagaimana (menjatuhkan hukum kafir) pada amalan kafir lainnya, yaitu tidaklah serta merta dikafirkan kecuali syarat-syaratnya dipenuhi.

8. Kami berpendapat sebagaimana pendapatnya Ahlus Sunnah, bahwa amalan kufur itu mengkafirkan pelakunya dikarenakan keadaannya yang menunjukkan kekufuran bathinnya. Kami tidak berpendapat sebagaimana ahlul bid'ah yang mengatakan bahwa amal kufur itu tidak mengkafirkan, melainkan sebagai petunjuk kekafiran. Perbedaan keduanya cukup jelas.

9. Sebagaimana ketaatan merupakan cabang keimanan, maka sesungguhnya kemaksiatan itu merupakan cabang kekufuran. Semuanya menurut tingkatannya.

10. Ahlus Sunnah tidaklah mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat dikarenakan dosa besarnya, namun mereka mengkhawatirkan akan terealisasinya ayat-ayat ancaman bagi mereka (pelaku dosa besar) tanpa beranggapan mereka kekal di dalam neraka. Bahkan Ahlus Sunnah berpendapat mereka akan keluar dengan syafaat para pemberi syafaat dan dengan Rahmat Allah Rabb semesta alam, selama mereka masih bertauhid. Pengkafiran terhadap para pelaku dosa besar adalah madzhabnya khowarij yang buruk.



***************** Selengkapnya...

KEIMANAN SALAFIYYAH(3)

Pasal 3 : Sholat

1. Sholat merupakan Rukun Islam berupa amalan yang paling penting dan besar. Bahkan sholat merupakan pilarnya dan simbol keimanan serta perilaku badan/fisik yang paling agung.

2. Meninggalkan sholat karena juhud (mengingkari kewajibannya) adalah kafir mengeluarkan dari agama. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan tentang hal ini di kalangan ulama Ahlus Sunnah.

Dan yang serupa dengan perkara ini -yaitu murtad dan kafir- adalah orang yang hendak dipenggal kepalanya dengan pedang (dieksekusi), ia lebih memilih mati ketimbang sholat.

3. Perselisihan yang terjadi di tengah Ahli Sunnah -pengikut manhaj salaf- berkenaan tentanng orang yang meninggalkan sholat karena malas tanpa penyangkalan dan pengingkaran (kewajibannya). Sebagaimana dinukil lebih dari seorang ulama semacam Imam Malik, Imam Syafi'i dan menurut riwayat yang masyhur dari Imam Ahmad.

4. Barang siapa yang mengkafirkan orang yang meninggalkan sholat secara mutlak, tidak boleh baginya menuduh orang yang berbeda dengannya sebagai murji'ah.

Dan barang siapa yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan sholat karena malas, tidak sepatutnya melempar tuduhan kepada orang yang berbeda dengannya sebagai khowarij.

5. Meninggalkan sholat -bagi fihak yang mengkafirkannya di dunia- termasuk kufur besar yang menyeret pelakunya sebagai kafir pula di akhirat. Adapun pengkafiran orang yang meninggalkan sholat sebagai kufur akbar di dunia setelah memenuhi syarat-syaratnya dan menghilangkan penghalang kekafiran, dan menjadikan orang yang meninggalkan sholat pada waktu yang bersamaan 'di bawah kekuasaan Allah di akhirat', jika orang yang meninggalkan sholat itu ikhlas dengan ucapannya 'Laa ilaaha illallah' di dunia, maka pendapat ini adalah pendapat yang mengada-ada (bid'ah), tidaklah termasuk dari pendapatnya Ahlus Sunnah sedikitpun. Karena para ulama yang merajihkan (menguatkan) pengkafiran bagi orang yang meninggalkan sholat, mereka meyakini bahwa orang yang meninggalkan sholat di akhirat nanti kekal di dalam neraka jahannam. Mereka berargumentasi bahwa 'orang yang tidak sholat tidak memiliki iman sedikitpun di dalam hatinya' dan argumentasi 'seandainya dia jujur dengan ucapan laa ilaaha illallah dan ikhlas, niscaya ia takkan meninggalkan sholat'.

6. Oleh karena itu, perselisihan tentang menghukumi orang yang meninggalkan sholat menurut sisi kebenarannya adalah perselisihan yang mu'tabar (dikenal) di tengah-tengah Ahlus Sunnah yang tidak merusak ukhuwah imaniyah. sebagaimana hal ini terjadi di zaman salaf yang pertama dari para imam yang ummat bersepakat menerima mereka dan mempersaksikan keutamaan mereka, seperti Imam Malik, Imam Syafi'i dan selainnya. Perselisihan Ilmiyah Sunniyah ini terus berlangsung hingga saat ini, sebagaiman terjadi pada dua Imam yang mulia, yaitu Imam Albany dan Imam Ibnu Baz -rahimahumallahu- dan selain mereka.

7. Tidak ada halangan syar'i untuk tarjih Ilmiah (meneliti yang lebih kuat) dan penelitian Fiqhiyyah, untuk mendukung dan menyokong salah satu dari pendapat ini tanpa mendukung pendapat lainnya, dalam lingkaran Ahlus Sunnah walau dengan perbedaan tarjih dan hakikat ucapan yang beragam, dengan tetap memelihara manhaj dalam meneliti dan etika dalam berselisih.



*****************





Pasal 4 : Berhukum dengan hukum Allah

1. Berhukum dengan hukum Allah adalah wajib 'ain bagi setiap muslim, baik secara individu maupun masyarakat, sebagai pemimpin maupun rakyat, tiap-tiap mereka adalah pemimpin dan tiap-tiap mereka bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya.

2. Berhukum dengan hukum Allah adalah sempurna, komprehensif dan lengkap. Dimana hukum Allah mencakup seluruh urusan ummat baik aqidah, dakwah, pendidikan, moralitas, ekonomi, politik, sosial, budaya dan lain-lain.

3. Meninggalkan berhukum dengan hukum Allah termasuk sebab-sebab bencana, perpecahan, kehinaan dan kemunduran yang saat ini tengah menyelimuti ummat Islam baik secara kemasyarakatan Individu.

4. Hukum itu ada tiga macam, yaitu :

- Hukum Munazzal (yang diturunkan), yaitu syariat Allah di dalam kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya. Semuanya adalah kebenaran yang pasti.

- Hukum Mu'awwal (yang ditakwil), yaitu ijtihad para Imam Mujtahid yang bisa benar dan salah. Akan mendapatkan satu ganjaran (jika salah) dan dua ganjaran (jika benar).

- Hukum Mubaddal (yang diganti), yaitu hukum dengan selain hukum Allah, dimana pelakunya bisa jadi kafir, dhalim atau fasiq. Sebagaimana dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Imam Ibnul Qoyim al-Jauziyah.

5. Orang yang berhukum dengan selain hukum Allah dilihat keadaannya:

Jika ia meninggalkan hukum Allah dengan meyakini kehalalannya atau menganggapnya pilihan (yang boleh diterima boleh tidak, pent.) atau beranggapan hukum Allah tidak relevan untuk mengatur urusan manusia atau berpendapat hukum selain hukum Allah lebih layak untuk manusia, maka dia telah kafir keluar dari agama setelah terpenuhinya syarat dan hilangnya penghalang, menurut fatwa para ulama yang mendalam pemahaman agamanya.

Jika ia meninggalkan berhukum dengan hukum Allah karena mengikuti hawa nafsu atau demi kepentingan (duniawinya), atau karena takut atau takwil, dengan tetap berikrar dan meyakini kesalahan dan penyelewengannya, maka ia jatuh ke dalam kufur kecil yang dosanya jauh lebih besar dari minum khamr. Akan tetapi, kekufurannya tidak sampai mengkafirkannya (kufrun duna kufrin) sebagaimana telah ditetapkan oleh para Imam dan Ulama salaf.

6. Berusaha untuk menegakkan syariat Allah di negeri yang tidak berhukum dengan hukum Allah, beramal untuk melanggengkan kehidupan Islam di atas manhaj kenabian yang akan menghimpun kaum muslimin dan mempersatukan kalimat mereka, adalah kewajiban syar'i yang terkandung di dalam manhaj Robbani dalam mengadakan perubahan, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang mengubah keadaan mereka.", tanpa berpartai-partai (tahazub) dan fanatisme yang jelek, dengan tetap berpegang pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah berdasarkan pemahaman Salaful Ummah dari generasi Sahabat dan Tabi'in, dengan saling tolong menolong dalam kebajikan dan ketakwaan, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, dan memurnikan (tashfiyah) segala kerusakan yang menimpa aqidah kaum muslimin serta mendidik (tarbiyah) mereka di atas manhaj yang benar dan terang.



*****************



Pasal 5 : Wala' (Loyalitas) dan Baro' (Berlepas Diri)

1. Kami memandang bahwa wala' di tengah-tengah kaum muslimin -dan wala' terhadap mereka- mengandung ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan termasuk manhaj salaf yang dipercaya serta jalannya para ulama Robbaniyun. Kami juga memandang bahwa baro' dari setiap orang yang menyelisihi syariat berdasarkan tingkat penyelewengannya baik besar maupun kecil, baik dalam masalah aqidah mapun hukum, dan sunnah atau bid'ah.

2. Tidak boleh khuruj/keluar dari ketaatan (memberontak) dari penguasa kaum muslimin, tidak boleh pula menentang dan melakukan revolusi terhadap mereka, kecuali hingga kita melihatnya melakukan kekufuran yang nyata dan kita memiliki bukti yang nyata dari Allah atas kekufurannya.

Jika hal demikian benar-benar terjadi -yakni penguasa melakukan kekufuran yang nyata- maka sesungguhnya justifikasi dan penentuannya dikembalikan kepada orang yang mendalam ilmunya dari para ulama kita yang terpercaya kekokohan agamanya, dimana mereka lebih bisa melihat tarjih antara masalahat dan madharatnya, yang akan menghilangkan kemunkaran tidak malah menambahnya, tanpa dibakar semangat yang menggelora.



*****************



Pasal 6 : Murji'ah

1. Murji'ah ada kelompok yang sesat, madzhabnya jelek dan bathil -tidak berada di atas manhaj Sunnah dan Ahlus Sunnah-. Akan tetapi kami tidak mengeluarkan mereka dari agama sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ahmad dan dinukil Syaikhul Islam dari beliau sebagai ketetapan beliau di sejumlah tempat.

2. Murji'ah ada tiga jenis :

a. Jahmiyah Murji'ah yang berpendapat bahwa Iman sebatas pengetahuan (ma'rifat) belaka. Sebagian Imam Salaf mengkafirkan mereka.

b. Karramiyyah yang membatasi keimanan hanya dengan ucapan lisan saja tanpa perlu diyakini dalam hati.

c. Murji'ah Fuqoha' yang berpendapat bahwa iman itu keyakinan dengan hati dan ucapan dengan lisan, namun mereka mengeluarkan amalan dari yang namanya keimanan.

Mereka semua di atas kesesatan walaupun tingkat kesesatannya berbeda-beda, sebagaimana yang telah diperinci oleh Syaikhul Islam -rahimahullahu-.

3. Termasuk pendapat jelek mereka yang terbentuk dari sebelumnya dan dari beragamnya kelompok-kelompok mereka, bahwasanya iman itu tidak bertambah tidak pula berkurang. Barang siapa yang mengatakan 'sesungguhnya iman itu bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Iman itu berupa ucapan, amalan dan keyakinan', maka dia telah berlepas diri dari pemikiran murji'ah seluruhnya, dari awal sampai akhir, sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin Hanbal; dan Imam Barbahari serta selain mereka.

4. Pelaku kemaksiatan baik kecil maupun besar masih termasuk ummat Islam (Ahlu Millah), dan mereka berada di bawah kehendak Allah hukuman dan siksanya, sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Sesungguhnya Allah tidak mengampuni kesyirikan namun ia mengampuni selain kesyirikan siapa saja yang dikehendaki-Nya."



*****************



Pasal 7 : Khowarij

1. Khowarij adalah kelompok yang sesat dan madzhabnya jelek lagi bathil. Mereka keluar dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah walaupun kami tidak beranggapan akan kekafiran mereka. Telah diriwayatkan sebagian ulama salaf bahwa ada yang mengkafirkan mereka.

2. Mereka adalah kebalikan Murji'ah dari sisi hukum. Namun keduanya berangkat dari pokok kesesatan yang sama, yaitu bahwa Iman seluruhnya tidak bercabang-cabang. Dari pokok yang satu inilah mereka menyimpang dan berpecah belah, oleh karena itu :

Menurut khowarij, sesungguhnya berkurangnya iman adalah kekufuran, dimana kemaksiatan akan menghilangkan dan membatalkan keimanan seluruhnya. Lain halnya dengan murji'ah, yang menjadikan keberadaan setiap maksiat tidak mempengaruhi berkurangnya keimanan, seperti setiap ketaatan tidak mempengaruhi pertambahan iman. Dari sinilah mereka mengatakan bahwa 'kemaksiatan tidaklah membahayakan keimanan'.

3. Perincian ilmiah tentang perkara 'berhukum dengan hukum Allah' yang telah lewat pembahasannya merupakan metodenya para salaf yang benar dan jalannya Ahlus Sunnah yang haq. Barangsiapa yang menambah-nambahi darinya maka ia telah berlaku ghuluw (ekstrim) dan ifrath (berlebih-lebihan) yang selaras dengan khowarij. Barangsiapa yang mengurangi darinya maka ia berlaku taqshir (mengurangi) dan tafrith (meremehkan) yang selaras dengan murji'ah.



*****************



Pasal 8 : Jihad fi Sabilillah

1. JIhad termasuk syiar Allah yang terpenting dan puncak tertinggi.

2. Kedudukan jihad di dalam agama tetap terpelihara dan dikenal kedudukan dan posisinya, yang tidak didahulukan dari perkara-perkara yang lebih penting darinya dan tidak diakhirkan dari perkara-perkara yang lebih rendah darinya. Jihad akan senantiasa berlangsung hingga hari kiamat.

3. Jihad terbagi menjadi 2 macam :

Pertama : Jihad Fath wa Tholab (ekspansi dan ofensif), yang harus memenuhi persyaratan syar'i sebagai berikut :

a. Imam

b. Negara (daulah)

c. Bendera (royah)

Kedua, Jihad Daf'u (defensif), hukumnya wajib 'ain bagi seluruh penghuni negeri yang diserang oleh musuh. Jika mereka tidak sanggup, maka penduduk di wilayah sekitarnya dari ahli tsughur (penjaga perbatasan) harus menolong mereka, demikian seterusnya.

4. Jihad syar'i memiliki persiapan ('idad) syar'i yang harus dipenuhi. Ada dua macam persiapan, yaitu :

Pertama : Persiapan dengan pembinaan keimanan ummat, dengan cara menegakkan hakikat peribadatan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, membina jiwa mereka dengan kitabullah, mensucikan mereka dengan sunnah nabinya dan menolong agama Allah dan syariat-syariat-Nya. 'Allah benar-benar akan menolong hamba-Nya yang menolong agama-Nya.'

Kedua : Persiapan fisik, yaitu mempersiapkan sejumlah perlengkapan dan alat-alat perang untuk melawan dan memerangi musuh-musuh Allah. 'Dan persiapkanlah bagi mereka apa-apa yang kamu sanggupi, dari kekuatan dan kuda yang ditambat yang akan menggentarkan musuh Allah dan musuh-musuh kalian.'



*****************



Penutup

-Semoga Allah menganugerahkan kebaikan dan tambahannya-

Inilah penutup dari apa yang telah Allah Jalla wa 'Ala tetapkan pada kami dalam penulisan perkara aqidah ini, yang mengkaitkan dan menyelaraskannya dengan timbangan manhaj salaf dan metode Ahlus Sunnah dengan format yang ringkas dan sederhana.

Sembari memohon kepada Allah Tabaroka wa Ta'ala Taufiq-Nya kepada kami dan kepada seluruh saudara-saudara kami, dengan mengharap agar Ia tetap mengatur urusan kami supaya tetap lurus, agar Ia memperkuat penolong-penolong agama-Nya dan menghinakan musuh-musuh-Nya, agar Ia menumpas ahlu ahwa' dan bi'dah, agar meluruskan dari apa-apa yang telah kami tulis, dan agar supaya Ia menganugerahkan keikhlasan dalam beramal dan berucap.

"Sesungguhnya aku hanya menghendaki perbaikan semampu aku bisa, dan tidak ada taufiq melainkan dari Allah, kepada-Nya aku bertawakal dan kepadanya aku kembali."

Semoga Sholawat, Salam dan Barokah senantiasa tercurahkan kepada nabi kita Muhammad, terhadap keluarga beliau dan seluruh sahabat-sahabat beliau.

Penutup do'a kami adalah, Segala puji hanyalah milik Allah Rabb semesta alam. Selengkapnya...

SEJARAH RAFIDHAH IRAN

SELAYANG PANDANG SEJARAH ROFIDHOH IRAN

Di bawah ini adalah ringkasan sejarah kelompok rofidhoh, kangker yang menggerogoti umat islam, akan kita bahas peristiwa penting dalam sejarah mereka dengan menyebutkan peristiwa yang secara langsung berkaitan dengan mereka.

14 H. Peristiwa yang terjadi pada tahun 14 H inilah pokok dan asas dari kebencian kaum rofidhoh terhadap Islam dan kaum muslimin, karena pada tahun ini meletus perang Qodisiyyah yang berakibat takluknya kerajaan Persia majusi, nenek moyang kaum rofidhoh. Pada saat itu kaum muslimin di bawah kepemimpinan Umar bin Khottob Radhiyallahu ‘anhu.

16 H. Kaum muslimin berhasil menaklukkan ibukota kekaisaran Persia, Mada’in. Dengan ini hancurlah kerajaan Persia. Kejadiaan ini masih disesali oleh kaum rafidhoh hingga saat ini.

23 H. Abu Lu’lu’ah Al Majusi yang dijuluki Baba Alauddin oleh kaum rofidhoh membunuh Umar bin Khottob Radhiyalahu ‘anhu.

34 H. Munculnya Abdullah bin Saba’, si yahudi dari yaman yang dijuluki Ibnu Sauda’ berpura-pura masuk Islam, tapi menyembunyikan kekafiran dalam hatinya. Dia menggalang kekuatan dan melancarkan provokasi melawan khalifah ketiga Utsman bin Affan Radhiyalahu ‘anhu hingga dibunuh oleh para pemberontak karena fitnah yang dilancarkan oleh Ibnu Sauda’(Abdullah Bin Saba’) pada tahun 35 H. Keyakinan yang diserukan oleh Abdullah Bin Saba’ berasal dari akar yahudi nasrani dan majusi yaitu menuhankan Ali bin Abi Tolib Radhiyalahu ‘anhu, wasiat, roj’ah, wilayah, keimamahan , bada’ dan lain-lain.

36 H. Malam sebelum terjadinya perang jamal kedua belah pihak telah bersepakat untuk berdamai. Mereka bermalam dengan sebaik-baik malam sementara Abdullah bin saba’ dengan konco-konconya bermalam dengan penuh kedongkolan. Lalu dia membuat provokasi kepada kedua belah pihak hingga terjadilah fitnah seperti yang diinginkan oleh Ibnu Saba’. Pada masa kekhilafahan Ali bin Abi Tholib kelompok Abdullah Bin Saba’ datang kepada Ali bin Abi Tholib Radhiyalahu ‘Anhu seraya berkata“Kamulah, kamulah !!” Ali bin Abi Tholib menjawab: ”Siapakah saya?” kata
mereka “Kamulah sang pencipta !!” lalu Ali bin Abi Tholib menyuruh mereka untuk bertobat tapi mereka menolak. Kemudian Ali bin Abi Tholib menyalakan api dan membakar mereka.

41 H. Tahun ini adalah tahun yang dibenci oleh kaum rofidhoh karena tahun ini dinamakan tahun jama’ah atau tahun persatuan karena kaum muslimin bersatu di bawah pimpinan kholifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyalahu ‘Anhu sang penulis wahyu karena Hasan bin Ali bin Abi Tholib menyerahkan kekhilafahan kepada Mu’awiyah, dengan ini maka surutlah tipu daya kaum rofidhoh.

61 H. Pada tahun ini Husein bin Ali terbunuh di karbala setelah ditinggal oleh penolongnya dan diserahkan kepada pembunuhnya.

260 H. Hasan Al Askari meninggal dan kaum rofidhoh menyangka bahwa imam ke 12 yang ditunggu-tunggu telah bersembunyi di sebuah lobang di Samurra’ Iraq dan akan kembali lagi ke dunia.

277 H. Munculnya gerakan rofidhoh Qoromitoh yang didirikan oleh Hamdan bin Asy’ats yang dikenal dengan julukan Qirmit di kufah.

278 H. Munculnya gerakan Qoromitoh di Bahrain dan Ahsa’ yang dipelopori oleh Abu Saad Al Janabi.

280 H. Munculnya kerajaan rofidhoh Zaidiyah di So’dah dan San’a di negeri Yaman yang didirikan oleh Husein bin Qosim Arrossi.

297 H. Munculnya kerajaan Ubaidiyin di mesir dan Maghrib (Maroko) yang didirikan oleh Ubaidillah bin Muhammad Al Mahdi.

317 H. Abu Tohir Arrofidhi Al Qurmuti masuk ke kota mekah pada hari tarwiya (8 Dzulhijjah) dan membunuh jama’ah haji di masjidil Haram serta mencongkel Hajar Aswad dan membawanya ke Ahsa’ hingga kembali lagi pada tahun 355 H. Kerajaan mereka tetap eksis di Ahsa’ hingga tahun 466 H. Pada tahun ini berdirilah kerajaan Hamdaniyah di Mousul dan Halab dan tumbang pada tahun 394 H.

329 H. Pada tahun ini Allah telah menghinakan kaum rofidhoh karena pada tahun ini dimulailah Ghoibah Al Kubro atau menghilang selamanya. Karena menurut mereka imam rofidhoh ke-12 telah menulis surat dan sampai kepada mereka yang bunyinya: "Telah dimulailah masa menghilangku dan aku tidak akan kembali sampai masa diijinkan oleh Allah, barangsiapa yang berkata dia telah berjumpa denganku maka dia adalah pembohong." Semua ini supaya menghindar dari pertanyaan orang awam kepada ulama mereka tentang terlambatnya Imam Mahdi keluar dari persembunyiannya.

320-334 H. Munculnya kerajaan rofidhoh Buwaihi di Dailam yang didirikan oleh Buwaih bin Syuja’. Mereka membuat kerusakan di Baghdad. Pada masa mereka orang-orang bodoh mulai berani memaki- maki sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

339 H. Hajar Aswad dikembalikan ke Mekkah atas rekomendasi dari pemerintahan Ubaidiyah di mesir.

352 H. Pemerintahan Buwaihi menutup pasar-pasar tanggal 10 Muharrom serta meliburkan semua kegiatan jual beli, maka keluarlah wanita-wanita tanpa mengenakan jilbab dengan memukul diri mereka di pasar. Pada saat itu pertama kali dalam sejarah diadakan perayaan kesedihan atas meninggalnya Husein bin Ali bin Abi Tholib.

358 H. Kaum rofidhoh Ubaydiy menguasai mesir. Salah satu pemimpinnya yang terkenal adalah Al Hakim Biamrillah yang mengatakan bahwa dirinya adalah tuhan dan menyeru kepada pendapat reinkarnasi. Dengan ambruknya kerajaan ini tahun 568 H muncullah gerakan Druz.

402 H. Keluarnya pernyataan kebatilan nasab Fatimah yang digembar gemborkan oleh penguasa kerajaan Ubaidiyah di mesir dan menjelaskan ajaran mereka yang sesat dan mereka adalah zindiq dan telah dihukumi kafir oleh seluruh ulama’ kaum muslimin.

408 H. Penguasa kerajaan Ubaidiyah di mesir yang bernama Al Hakim Biamrillah mengatakan bahwa dirinya adalah tuhan. Salah satu dari kehinaannya adalah dia berniat untuk memindahkan kubur Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari kota Medinah ke Mesir sebanyak 2 kali. Yang pertama adalah ketika dia disuruh oleh beberapa orang zindik untuk memindahkan jasad Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ke Mesir. Lalu dia membangun bangunan yang megah dan menyuruh Abul Fatuh untuk membongkar kubur Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam lalu masyarakat tidak rela dan memberontak membuat dia mengurungkan niatnya. Yang kedua ketika mengutus beberapa orang untuk membongkar kuburan Nabi. Utusan ini tinggal didekat mesjid dan membuat lobang menuju kubur Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Lalu makar mereka ketahuan dan utusan tersebut dibunuh.

483 H. Munculnya gerakan Assasin yang menyeru kepada kerajaan Ubaidiyah di mesir didirikan oleh Hasan Assobah yang memiliki asal usul darah Persia. Dia memulai dakwahnya di wilayah Persia tahun 473 H.

500 H. Penguasa Ubaidiyun membangun sebuah bangunan yang megah diberi nama mahkota Husein. Mereka menyangka bahwa kepala Husein bin Ali bin Abi Tholib dikuburkan di sana. Hingga saat ini banyak kaum rofidhoh yan berhaji ke tempat tersebut. Kita bersyukur kepada Allah atas nikmat akal yang diberikan kepada kita.

656 H. Pengkhianatan besar yang dilakukan oleh rofidhoh pimpinan Nasiruddin Al Thusi dan Ibnul Alqomi yang bersekongkol dengan kaum Tartar Mongolia agar masuk ke Baghdad dan membunuh 2 juta muslim dan banyak korban dari Bani Hasyim yang seolah-olah dicintai oleh kaum rofidhoh. Pada tahun yang sama muncullah kelompok Nusairiyah yang didirikan oleh Muhammad bin Nusair.

907 H. Berdirinya kerajaan Safawiyah di Iran yang didirikan oleh Shah Ismail Bin Haidar Al Safawi yang juga seorang rofidhoh. Dia telah membunuh hampir 2 juta muslim yang menolak memeluk mazhab rofidhoh. Pada saat masuk ke Baghdad dia memaki Khulafa’ Rosyidin di depan umum dan membunuh mereka yang tidak mau memeluk mazhab rofidhoh. Tak ketinggalan pula dia membongkar banyak kuburan orang Sunni seperti Abu Hanifah. Termasuk peristiwa penting yang terjadi pada masa kerajaan Safawiyah adalah ketika Shah Abbas berhaji ke masyhad untuk menandingi haji di Mekah. Pada tahun yang sama Sodruddin Al Syirozi memulai dakwahnya kepada mazhab Baha’iyah. Mirza Ali Muhammad Al Syirozi mengatakan bahwa Allah telah masuk ke dalam dirinya, setelah mati dia digantikan oleh muridnya Baha’ullah. Sementara itu di India muncul kelompok Qodiyaniyah pimpinan Mirza Ghulam Ahmad yang mengatakan bahwa dirinya dalah Nabi. Kerajaan Safawiyah berakhir pada tahun 1149 H.

1218 H. Seorang rofidhoh dari Irak datang ke Dar’iyah di Najd (Arab Saudi) dan menampakkan kesalehan dan kezuhudan. Pada suatu hari dia sholat di belakang Imam Muhammad bin Su’ud (Raja Pertama Negara Arab Saudi) dan membunuhnya ketika dia sedang sujud saat sholat ashar dengan belati. Semoga Allah memerangi kaum rofidhoh para pengkhianat.

1289 H. Pada tahun ini buku Fashlul Khitob Fi Tahrifi Kitabi Robbil Arbab (penjelasan bahwa kitab Allah telah diselewengkan dan diubah) karangan Mirza Husain bin Muhammad Annuri Attobrosi. Kitab ini memuat pendapat rofidhoh bahwasanya Al Qur’an yang ada saat ini telah diselewengkan, dikurangi dan ditambah.


1389 H. Ayatullah Khomeini menulis buku Wilayatul Faqih dan Al Hukumah Al Islamiyah. Sebagian kekafiran yang ada pada buku tersebut (Al Hukumah Al Islamiyah hal 35): Khomeini berkata bahwa termasuk hal pokok dalam mazhab kita adalah bahwa para imam kita memiliki posisi yang tidak dapat dicapai oleh para malaikat dan para Nabi.

1399 H. Berdirinya pemerintahan rofidhoh di Iran yang didirikan oleh Ayatullah Khomeini setelah berhasil menumbangkan pemerintahan Syah Iran. Ciri khas negara ini adalah mengadakan demonstrasi dan tindakan anarkis atas nama revolusi Islam di tanah suci Mekah pada hari mulia yaitu musim haji.

1400 H. Ayatullah Khomeini menyampaikan pidatonya pada peringatan lahirnya Imam Mahdi fiktif mereka pada tanggal 15 sya’ban. Sebagian pidatonya berbunyi demikian: Para Nabi diutus Allah untuk menanamkan prinsip keadilan di muka bumi tapi mereka tidak berhasil, bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang diutus untuk memperbaiki kemanusiaan dan menanamkan prinsip keadilan tidak berhasil... yang akan berhasil dalam misi itu dan menegakkan keadilan di muka bumi dan meluruskan segala penyimpangan adalah Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu... begitulah menurut khomeini para Nabi telah gagal, termasuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam... sementara revolusi kafirnya telah berhasil.

1407 H. Jamaah haji Iran mengadakan demonstari besar-besaran di kota Mekah pada hari jum’at di musim haji tahun 1407. Mereka melakukan tindakan perusakan di kota Mekah seperti kakek mereka kaum Qoromitoh, mereka membunuh beberapa orang aparat keamanan dan jamaah haji, merusak dan membakar toko, merusak dan membakar mobil beserta mereka yang berada di dalamnya. Jumah korban saat itu mencapai 402 orang tewas, 85 dari mereka adalah aparat keamanan dan penduduk Arab Saudi.

1408 H. Mu’tamar Islam yang diadakan oleh Liga Dunia Islam di Mekah mengumumkan fatwa bahwa Ayatullah Khomeini telah kafir.

1409 H. Pada musim haji tahun ini kaum rofidhoh meledakkan beberapa tempat sekitar Masjidil Haram di kota Mekah. Mereka meledakkan bom itu tepat pada tanggal 7 Dzulhijjah dan mengakibatkan tewasnya seorang jamaah haji dari Pakistan dan melukai 16 orang lainnya serta mengakibatkan kerusakan bangunan yang sangat besar. 16 pelaku insiden itu berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1410 H.

1410 H. Ayatullah Khomeini tewas, semoga Allah memberinya balasan yang setimpal. Kaum Rofidhoh membangun sebuah bangunan yang menyerupai Ka'bah, semoga Allah memerangi mereka. Selengkapnya...

KESESATAN PKS (1)

BUKTI KESESATAN PKS(1)



MUQADDDIMAH

Segala puji hanya milik Allah, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya serta orang yang berwala' kepadanya. Amma ba'du.

Ini adalah kajian singkat yang menjelaskan tentang beberapa indikasi destruktif dan bahaya yang ditimbulkan akibat terjun dan berkiprah dalam kancah demokrasi yang banyak orang tertipu dengannya dan menggantungkan harapan mereka kepadanya meskipun hal ini jelas-jelas bertentangan dengan manhaj Allah sebagaimana yang akan dijelaskan dalam kajian yang singkat ini, apalagi banyak sudah pengalaman pahit yang didapat oleh orang yang tertipu dengan permainan ini dan ditampakkan sisi penyimpangan dan kesesatannya.

Penyusun


LIMA PULUH INDIKASI DESTRUKTIF

Dengan memohon taufiq kepada Allah, kami berusaha memaparkan beberapa indikasi destruktif (kerusakan) demokrasi, pemilihan umum dan berpartai:

1. Demokrasi dan hal-hal yang berkaitan dengannya berupa partai-partai dan pemilihan umum merupakan manhaj jahiliyah yang bertentangan dengan Islam, maka tidak mungkin system ini dipadukan dengan Islam karena Islam adalah cahaya sedangkan demokrasi adalah kegelapan.
"Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat dan tidak (pula) kegelapan dengan cahaya." (Surat Faathir: 19-20)

Islam adalah hidayah dan petunjuk sedangkan demokrasi adalah penyimpangan dan kesesatan.

"Sungguh telas jelas petunjuk daripada kesesatan." (Surat Al-Baqarah: 256)

Islam adalah manhaj rabbani yang bersumber dari langit sedangkan demokrasi adalah produk buatan manusia dari bumi. Sangat jauh perbedaan antara keduanya.


2. Terjun ke dalam kancah demokrasi mengandung unsur ketaatan kepada orang-orang kafir baik itu orang Yahudi, Nasrani atau yang lainnya, padahal kita telah dilarang untuk menaati mereka dan diperintahkan untuk menyelisihi mereka, sebagaimana hal ini telah diketahui secara lugas dan gambling dalam dien. Allah Ta'ala berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menaati sekelompok orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir setelah kamu beriman." (Surat Ali 'Imran: 100)

"Karena itu janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar." (Surat Al- Furqaan: 52)

"Dan janganlah kamu menaati orang-orang yang kafir dan orang-orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakkallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung(mu)."(Surat Al-Ahzaab: 48)

Dan ayat-ayat yang senada dengan ini sangat banyak dan telah menjadi maklum.


3. Sistem demokrasi memisahkan antara dien dan kehidupan, yakni dengan mengesampingkan syari'at Allah dari berbagai lini kehidupan dan menyandarkan hukum kepada rakyat agar mereka dapat menyalurkan hak demokrasi mereka--seperti yang mereka katakan-- melalui kotak-kotak pemilu atau melalui wakil-wakil mereka yang duduk di Majelis Perwakilan.

4. Sistem demokrasi membuka lebar-lebar pintu kemurtadan dan zindiq, karena di bawah naungan sistem thaghut ini memungkinkan bagi setiap pemeluk agama, madzhab atau aliran tertentu untuk membentuk sebuah partai dan menerbitkan mass media untuk menyebarkan ajaran mereka yang menyimpang dari dienullah dengan dalih toleransi dalam mengeluarkan pendapat, maka bagaimana mungkin setelah itu dikatakan, "Sesungguhnya sistem demokrasi itu sesuai dengan syura dan merupakan satu keistimewaan yang telah hilang dari kaum muslimin sejak lebih dari seribu tahun yang lalu," sebagaimana ditegaskan oleh sejumlah orang jahil, bahkan (ironisnya) hal ini juga telah ditegaskan oleh sejumlah partai Islam yang dalam salah satu pernyataan resminya disebutkan:
"Sesungguhnya demokrasi dan beragamnya partai merupakan satu-satunya pilihan kami untuk membawa negeri ini menuju masa depan yang lebih baik."


5. Sistem demokrasi membuka pintu syahwat dan sikap permissivisme (menghalalkan segala cara) seperti minum arak, mabuk-mabukan, bermain musik, berbuat kefasikan, berzina, menjamurnya gedung bioskop dan hal-hal lainnya yang melanggar aturan Allah di bawah semboyan demokrasi yang popular:

"Biarkan dia berbuat semaunya, biarkan dia lewat dari mana saja ia mau," juga di bawah semboyan "menjaga kebebasan individu." Selengkapnya...