يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ﴾ [الحشر:18

Rabu, 03 Juni 2009

mengenal AHLUS SUNNAH (2)

Bagian II

Manhaj Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah



Ahlussunnah adalah jama'ah yang dimaksud oleh Rasulullah e dalam sabdanya,”Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tetap membela al-haq, mereka senantiasa unggul, yang menghina dan menentang mereka tidak akan mampu membahayakan mereka hingga datang keputusan Allah (Tabaraka wa Ta'la), sedang mereka tetap dalam keadaan yang demikian".[28]

Ahlussunnah adalah al-firqotun najiyah, yang pada masa Rasulullah e mereka adalah umat yang satu sebagaimana firman Allah I ,”Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian, maka beribadahlah kepada-Ku".[29]

Orang Yahudi dan munafiqun berusaha memecah belah kaum muslimin pada zaman Rasulullah, namun belum pernah berhasil, sebagaimana firman Allah ,

” Segolongan (lain) dari Ahli Kitab telah berkata (kepada sesamanya) : (pura-pura) berimanlah kamu kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (para sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah pada akhirnya, mudah-mudahan (dengan cara demikian) mereka (kaum muslimin) kembali kepada kekafiran".[30]



Namun Rasulullah e memberitahukan akan terjadi perpecahan di kalangan umat Islam sebagaimana sabda beliau,” Sesunguhnya barangsiapa yang masih hidup diantara kalian dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnah-Ku dan sunnah Khulafaa'rasiddin yang mendapat petunjuk setelah Aku". [31]

Dan sabda beliau e,”Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan; dan telah berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh dua golongan; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah ..? ; beliau menjawab : yaitu barang-siapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini".[32]

Setelah kita mengetahui bahwa kelompok ini adalah golongan yang selamat dari kesesatan, maka kita perlu mengetahui nama-nama dan ciri-cirinya agar kita dapat mengikutinya. Di antara nama-namanya adalah : Al-Firqotun Najiyah (golongan yang selamat), Ath-Thooifatul Manshuroh (golongan yang ditolong), dan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, yang maksudnya adalah sebagai berikut:

Kelompok ini adalah yang selamat dari api neraka sebagaimana sabda Nabi e,” Seluruhnya di atas neraka kecuali satu (Maksudnya yang tidak masuk ke dalam neraka adalah satu).

Kelompok yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dan apa-apa yang dipegang oleh As-Saabiqunal Awwalun (para pendahulu) dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Rasulullah bersabda,”Mereka itu adalah siapa-siapa yang berjalan diatas apa-apa yang aku dan sahabatku lakukan hari ini".

Mereka itu bisa dibedakan dari kelompok lainnya pada dua hal penting;

pertama, berpegang teguhnya mereka terhadap As-Sunnah sehingga mereka di sebut sebagai pemilik sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeda dengan kelompok-kelompok lain yang berpegang pada pendapat, hawa nafsunya sehingga dinisbahkan kepadanya seperti Al-Qadariyah dan Al-Murji'ah. Atau dinisbatkan kepada para imam-nya seperti Al-Jahmiyah, atau dinisbatkan pada pekerjaan-pekerjaannya yang kotor seperti Ar-Rafidhah dan Al-Khawarij.

Kedua, mereka adalah Ahlul Jama'ah karena mereka bersepakat untuk berpegang teguh dengan Al-Haq dan jauhnya mereka dari perpecahan.

Mereka adalah golongan yang ditolong Allah sampai hari kiamat. Karena gigihnya dalam menolong agama Allah , sebagaimana firman-Nya,

”Jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolong mereka".[33]

Rasulullah e bersabda, "Tidak ada yang menghina dan menentang mereka itu akan mampu membahayakan mereka sampai datang keputusan Allah sedang mereka itu tetap dalam keadaan demikian".

Di antara prinsip dan manhaj Ahlussunnah wal jamaah adalah sebagai berikut:



Prinsip Pertama: Beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir-Nya.

Beriman kepada Allah I artinya meyakini Rububiyyah Allah, uluhiyyah-Nya dan Asma wa –Sifat-Nya. Allah I berfirman,

” Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. [34]

Juga firman Allah I,

”Dan Allah mempunyai nama-nama yang baik, maka berdo'alah kamu dengannya".[35]

Beriman kepada Para Malaikat-Nya yakni membenarkan adanya para malaikat dan mereka adalah mahluk mahluk Allah yang diciptakan dari cahaya. Mereka diciptakan untuk beribadah kepada Allah dan menjalankan perintah Allah di dunia. Allah I berfirman,”Bahkan malaikat-malaikat itu adalah mahluk yang dimuliakan, mereka tidak mendahului-Nya dalam perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya".[36]

Iman kepada Kitab-kitab-Nya Yakni membenarkan adanya kitab Allah dan segala kandungannya berupa hidayah (petunjuk) dan ia diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia. Dan yang paling agung diantara sekian kitab tersebut adalah Al-Qur'an, karena ia sendiri merupakan mukjizat dari Allah. Allah berfirman,

”Katakanlah (Hai Muhammad) : 'Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya walaupun sesama mereka saling bahu membahu".[37]

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah mengimani Al-Qur'an kalam (firman) Allah, bukan makhluq baik huruf maupun artinya. Berbeda dengan pendapat Jahmiyah dan Mu'tazilah yang mengatakan Al-Qur'an makhluk baik huruf maupun maknanya. Juga berbeda dengan Asyaa'irah yang mengatakan kalam (firman) Allah hanyalah artinya, sedangkan huruf-hurufnya adalah makhluk. Kedua pendapat tersebut bathil berdasarkan firman Allah ,

” Dan jika ada seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar KALAM ALLAH (Al-Qur'an)". [38]

Iman Kepada Para Rasul yakni membenarkan semua rasul-rasul baik yang disebutkan namanya oleh Allah maupun yang tidak. Dan penutup para nabi adalah nabi Muhammad , tidak ada nabi sesudahnya. Termasuk beriman kepada para rasul adalah tidak menyepelekan mereka dan tidak berlebih-lebihan terhadap mereka seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashara, Allah I berfirman,

” Dan orang-orang Yahudi berkata : 'Uzair itu anak Allah ; dan orang-orang Nasharani berkata :'Isa Al-Masih itu anak Allah...".[39]

Sebaliknya orang-orang sufi dan ahli filsafat telah menghina para rasul dan lebih mengutamakan para pemimpin mereka, sedang kaum penyembah berhala dan atheis telah kafir kepada seluruh rasul tersebut. tetapi Ahlussunah tidak membeda-bedakan antara semua Rasul, sebagaimana firman Allah ,

” Kami tidak membeda-bedakan satu diantara Rasul-rasul-Nya ....".[40]

Iman Kepada Hari Akhirat yakni membenarkan semua yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya tentang pristiwa setelah kematian seperti adzab dan ni'mat kubur, hari kebangkitan dari kubur, hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar, hisab (perhitungan), mizan (ditimbangnya) segala perbuatan dan pemberian buku catatan amal dengan tangan kanan atau kiri, jembatan (sirat), serta Surga dan Neraka. Keimanan yang membuat bersiap sedia dengan amalan-amalan sholeh dan meninggalkan amalan jelek dan serta bertaubat dari dosa. Berbeda dengan orang-orang musyrik dan dahriyyun yang mengingkari adanya hari kiamat, atau orang Yahudi dan Nashara yang tidak mengimaninya dengan benar, Allah berfirman,

” Dan mereka (Yahudi dan Nashara) berkata Sekali-kali tidaklah masuk Surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashara. Demikianlah angan-angan mereka ......".[41]

Juga firman Allah I,

“Dan mereka berkata : Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka kecuali hanya dalam beberapa hari saja".[42].

Iman kepada taqdir maksudnya meyakini bahwasanya Allah mengetahui apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi, menulisnya dalam Lauhul mahfudz. Segala sesuatu yang terjadi berdasarkan telah dikehendaki dan diciptakan oleh Allah . Allah mencintai keta'atan dan membenci kemaksiatan. Manusia mempunyai kekuasaan, kehendak dan kemampuan memilih pekerjaan yang mengantar mereka pada keta'atan atau kemaksiatan, tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah. Berbeda dengan Jabariyah yang mengatakan manusia terpaksa dengan pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki pilihan dan kemampuan. Sebaliknya Qodariyah mengatakan hamba itu memiliki kemauan yang berdiri sendiri dan dialah yang menciptkan pekerjaannya. Kemauan dan kehendaknya terlepas dari kemauan dan kehendak Allah. Allah membantah kedua pendapat di atas dengan firman-Nya,

” Dan kamu tidak bisa berkemauan seperti itu kecuali apabila Allah menghendakinya".[43]



Prinsip Kedua, iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan keta'atan dan berkurang dengan kema'siatan.

Iman bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab itu merupakan keimanan kaum munafiq. Bukan pula sekedar ma'rifah (mengetahui) dan meyakini tanpa ikrar dan amal sebab itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran. Allah berfirman,

Dan mereka mengingkarinya karena kedzoliman dan kesombongan (mereka), padahal hati-hati mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan itu"[44].

Iman juga bukan sekedar keyakinan dalam hati atau perkataan tanpa perbuatan karena yang demikian adalah keimanan Murji'ah. Allah seringkali menyebut amal perbuatan termasuk iman sebagaimana firman-Nya,

Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang apabila ia disebut nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya dan kepada Allahlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada mereka. Merekalah orang-orang mu'min yang sebenarnya ..."[45]

Juga firman Allah ,

” Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian"[46]



Prinsip Ketiga: Tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya.

Adapun perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya kafir. Misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelakunya tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. Apabila dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Allah berkehendak Dia akan mengampuninya, atau menghukumnya namun tidak kekal di neraka, sebagaimana firman Allah ,

” Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.[47]

Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam hal ini berada di tengah-tengah antara Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar walau bukan termasuk syirik dan Murji'ah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mu'min sempurna imannya. Mereka mengatakan dosa dan ketaatan tidak berpengaruh pada iman.



Prinsip Keempat: Wajib ta'at kepada pemimpin kaum muslimin selama tidak memerintahkan untuk kema'shiyatan.

Apabila mereka memerintahkan kepada kemaksiatan maka dilarang menta'atinya namun tetap wajib ta'at dalam kebenaran yang lainnya, Allah berfirman,

” Hai orang-orang yang beriman, ta'atlah kamu kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul serta para pemimpin diantara kalian ..." [48]

Diriwayatkan dari Irbadh bin Sariyyah, Rasulullah e bersabda,”Dan aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan ta'at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba".

Ahlus Sunnah wal Jama'ah menentang seorang amir (pemimpin) yang muslim itu merupakan ma'shiyat kepada Rasulullah e, sebagaimana sabdanya,”Barangsiapa yang ta'at kepada amir (yang muslim) maka dia ta'at kepadaku dan barangsiapa yang ma'shiyat kepada amir maka dia ma'shiyat kepadaku".[49]

Ahlus Sunnah wal Jama'ah juga memandang bolehnya shalat dan berjihad di belakang para pemimpin yang zalim dan menasehati serta medo'akan mereka untuk kebaikan dan keistiqomahan.



Prinsip Kelima: Haramnya memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur.

Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah tentang wajibnya ta'at kepada mereka dalam hal-hal yang bukan ma'shiyat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berbeda dengan Mu'tazilah yang mewajibkan keluar dari pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai amar ma'ruf nahi munkar. Padahal sebenarnya tindakan mereka itu termasuk kemunkaran yang besar karena menimbulkan bahaya yang besar bagi umat.

Prinsip Keenam: Tidak mencela dan membenci para sahabat Rasulullah.

Hal ini telah dicontohkan oleh sahabat Muhajirin dan Anshar, sebagaimana firman Allah I, ”Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan : Ya Allah, ampunilah kami dan saudara-suadara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman : Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".[50]

Rasulullah e bersabda,”Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya, kalau seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang diantara mereka tidak juga setengahnya". [51]

Ahlus Sunnah memandang bahwa khalifah setelah Rasulullah secara berurutan adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma'in. Barangsiapa yang mencela salah satu di antara mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka .Berbeda dengan sikap ahlul bid'ah dari kalangan Rafidhoh maupun Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat.



Prinsip Ketujuh: Mencintai Ahlul bait (Keluarga) Rasulullah e.

Hal ini sesuai dengan wasiat Rasul dengan sabdanya,”Sesungguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku".[52]

Termasuk Ahlul bait adalah keluarga Rasulullah yang beriman dan juga istri-istrinya yang menjadi ibu kaum mu'minin Radhiyallahu 'anhuma wa ardhaahuma, yang telah disucikan oleh Allah , sebagaimana firman-Nya,

” Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya".[53]



Prinsip Kedelapan: Membenarkan adanya karomah para wali Allah.

Karomah yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui sebagian mereka, berupa sesuatu yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Berbeda dengan Muktazilah dan Jahamiyah yang mengingkari adanya karomah. pada hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya.

Namun sebagian orang pada zaman sekarang tersesat dalam masalah karomah, mereka berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk karomah seperti jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya adalah karomah merupakan kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang sholeh dan bersumber dari Allah semata. Sedangkan sihir adalah kejadian yang luar biasa yang diperlihatkan para tukang sihir dan orang-orang kafir dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengeruk harta-harta mereka dan bersumber pada kekafiran dan kemaksiatan.



Prinsip Kesembilan: Dalam berdalil selalu mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah e baik secara lahir maupun bathin sesuai dengan pemahaman Salafussalih.

Hal ini sesuai dengan wasiat Rasulullah e,”Berepegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang mendapat petunjuk".

Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah. Setelah itu mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Segala hal yang diperselisihkan selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, sebagaimana firman Allah ,

Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya". [54]

Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema'shuman seseorang selain Rasulullah dan mereka tidak berta'ashub pada suatu pendapat sampai pendapat tersebut disesuaikan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul 'ilmi. Perbedaan-perbedaan diantara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh menimbulkan permusuhan dan saling memutuskan hubungan diantara mereka, sebagaimana dilakukan orang-orang yang ta'ashub dan ahlul bid'ah. Mereka tetap metolerir perbedaan yang layak (wajar), dan tetap saling mencintai satu sama lain. Sebagian mereka tetap shalat di belakang yang lain betapapun perbedaan masalah far'i (cabang) diantara mereka. Sedang ahlul bid'ah saling memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang yang menyimpang dari golongan mereka.



Prinsip kesepuluh: Prinsip-prinsip di atas menjadikan mereka senantiasa berakhlak mulia sebagai pelengkap aqidah yang diyakininya.

Diantara sifat-sifat mulia tersebut adalah mereka beramar ma'ruf dan nahi mungkar sebagaimana firman Allah I,” Jadilah kalian umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, beramar ma'ruf dan nahi munkar dan kalian beriman kepada Allah".[55]

Rasulullah e bersabda,”Barangsiapa diantara kamu menyaksikan suatu kemunkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya dan yang demikian itulah selemah-lemah iman".[56]

Ahlus Sunnah wal Jama'ah tetap menjaga tegaknya syi'ar Islam dengan menegakkan shalat Jum'at dan shalat berjama'ah sebagai pembeda terhadap ahlul bid'ah dan orang-orang munafik yang tidak mendirikan shalat Jum'at maupun shalat Jama'ah.

Mereka juga menegakkan nasehat bagi setiap muslim dan bekerja sama serta tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa sebagaimana sabda Nabi,” Agama itu nasehat, kami bertanya : untuk siapa .? Beliau menjawab : Untuk Allah dan Rasul-Nya dan para imam kaum muslimin serta kaum muslimin pada umumnya". [57]

Mereka juga tegar dalam menghadapi ujian-ujian dan sabar ketika mendapat cobaan-cobaan dan bersyukur ketika mendapatkan keni'matan dan menerimanya dengan ketentuan Allah.

Singkatnya mereka selalu berahlak mulia dan berbuat baik kepada kedua orang tua, menyambung tali persaudaraan, berlaku baik dengan tetangga, dan mereka senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong, dzolim (aniaya) sebagaimana firman Allah ,

”Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib, kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri".[58]

Rasulullah e bersabda,” Sesempurna-sempurna iman seorang mu'min adalah yang baik ahlaknya". [59]

Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan kita semua menjadi bagian dari mereka. shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad e, keluarganya beserta shabat-sahabatnya. Aamin.



Disarikan dari buku “Prinsip-Prinsip 'Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah” Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Terj. Abu Aasia, terbitan Dar Al-Gasem PO Box 6373 Riyadh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar