يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ﴾ [الحشر:18

Kamis, 30 Oktober 2008

RESENSI MEREKA ADALAH TERORIS

RESENSI MEREKA ADALAH TERORIS
Mei
01
1 Mei 2007, admin @ 02:00


Ideologi dan aliran sesat Khawarij telah diperangi dan ditumpas oleh para shahabat Rasulullah di Nahrawan pada masa pemerintahan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Namun aqidah dan pemikiran khawarij tidak akan pernah terputus dan terhenti dengan meninggalnya tokoh-tokoh mereka, sebagaimana telah diberitakan oleh Rasulullah . Pemikiran dan aqidah sesat ini terus menjalar menjadi bahaya laten bagi umat Islam, yang sewaktu-waktu siap muncul dan memakan korban! Pekerjaan dan ciri khas mereka sama, yaitu mengkafirkan pemerintah kaum muslimin dan orang-orang yang pro dengan pemerintah, memberontak terhadap pemerintah kaum muslimin, menghalalkan darah dan harta kaum muslimin, serta membolehkan membunuh anak-anak kaum muslimin.

Pemberontakan dan pembunuhan yang mereka lakukan tidaklah muncul begitu saja, tetapi didahului dengan provokasi-provokasi pada rakyat, dan doktrin-doktrin kepada para anggotanya, untuk membenci pemerintah. Yang semua itu mereka coveri dengan slogan amar ma’ruf nahi munkar, atau slogan : “Penegakan hukum dan syari’at Allah”. Namun, sebagaimana ditegaskan oleh Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib , slogan-slogan tersebut adalah “Kalimat yang haq, namun dimaukan dibalik itu kebatilan.” Inilah ideologi dan aksi-aksi mereka sepanjang sejarah yang telah memakan berjuta-juta jiwa kaum muslimin, bahkan tidak tanggung-tanggung, di antara korbannya : tiga shahabat Rasulullah terbaik —sekaligus tiga al khulafa-ur rasyidun– : ‘Umar bin Al Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib.

Benar… tindakan-tindakan mereka selalu membikin kacau, onar, dan kerusakan yang luar biasa di muka bumi. Inilah yang disebut dengan terorisme. Karena itu khawarij itu teroris, teroris itu khawarij, sama persis tidak ada beda. Yang pasti pula bahwa mereka jahil terhadap ilmu, fiqh, dan syari’at Islam, karena mereka selalu berseberangan dan nyempal dari para ‘ulama ahlus sunnah, bahkan di barisan mereka sama sekali tidak ada ‘ulama. Mereka hanya memiliki semangat ibadah dan beramal yang tinggi, namun ditegakkan di atas emosi dan kebodohan. Sehingga segenap ideologi, sikap, dan aksi-aksi mereka sama sekali tidak didukung oleh ‘ulama ahlus sunnah.

Di zaman ini, umat Islam bahkan dunia secara umum, dikejutkan dengan maraknya aksi-aksi terorisme. Peledakan terjadi di mana-mana. Di antara yang cukup spektakuler adalah aksi attack terhadap WTC dan Pentagon AS. Kemudian setelah itu muncullah sosok Usamah bin Laden yang disebut-sebut sebagai pihak yang bertanggung jawab atas aksi tersebut. Nama Usamah bin Laden dengan ‘resolusi jihad’ melawan AS yang dikumandangkannya, menjadi tenar di dunia internasional. Siapakah Usamah? Bagaimana alur pemikirannya, siapa orang-orang di sekitarnya, benarkah dia itu seorang mujahid Islam? Semua itu akan terjawab dalam buku “Mereka adalah Teroris” ini.

Di nusantara pun, bom dan peledakan tak kalah marak. Di antaranya yang menjadi heboh dan menggegerkan adalah ledakan bom 12 Oktober 2002 di Legian Bali. Tak kurang 203 orang meninggal dunia dan ratusan mengalami cidera dan cacat. Ledakan bom berkekuatan tinggi juga terjadi pada 5 Agustus 2003 di Hotel JW Marriott. Di susul kemudian pada tanggal 9 September 2004 meledak pula bom di depan Kedutaan Besar Australia. Tertumpahlah darah orang-orang yang tidak dibenarkan secara syar’i untuk dibunuh. Bahkan muslimin pun ikut menjadi korban!

Bermula dari sikap yang membabi buta dan tanpa ilmu yang memunculkan ekstrimitas di dalam menyikapi kemungkaran. Yang paling menonjol adalah : dengan mudahnya mereka menjatuhkan vonis kafir terhadap pemerintah muslimin. Orang-orang yang tidak mau mengkafirkan pemerintah yang telah mereka vonis kafir tersebut juga ikut mereka kafirkan. Karena kafir maka segala aksi penentangan, teror, dan pemberontakan terhadap pemerintah tersebut menjadi sah dan halal, bahkan wajib. Yang itu semua mereka labeli dengan jihad fisabilillah.

Sikap ekstrim mereka yang lainnya, adalah kebencian dan permusuhan terhadap orang-orang kafir yang tidak didasari ilmu. Mereka menyatakan bahwa saat ini adalah perang global antara Islam vs kafir. Benarkah semua jenis orang kafir sah dan wajib untuk diperangi di setiap waktu dan tempat? Benarkah segala aksi pengeboman di tempat-tempat umum, hiburan, tempat-tempat ibadah, kepentingan-kepentingan asing, ….dll adalah jihad fi sabilillah? Apakah benar, aksi-aksi tersebut sebagai solusi atas problematika kelemahan, kemunduran, dan kekalahan umat Islam selama ini? Itu semua akan terjawab di buku ini.

Inilah buah aqidah dan ideologi sesat khawarij, yang pada masa ini dihidupkan kembali oleh tokoh-tokoh semacam Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Al Maududi, DR. ‘Abdullah ‘Azzam,…dll, yang kemudian dilanjutkan oleh DR. Safar Al Hawali, Salman Al ‘Audah, Usamah bin Laden, Aiman Azh Zhawahiri, …dll, yang karya-karya mereka banyak diterjemahkan dan disebarkan di negeri ini. Aqidah dan ideologi sesat ini ternyata tumbuh dan berkembang subur di kalangan para aktivis Islam, yang aktivitas dan pengamalan agamanya hanya dilandasi semangat dan emosi semata, tanpa ilmu yang benar yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana yang difahami dan diamalkan oleh para shahabat Rasulullah . Di Indonesia, telah ada upaya yang sangat gencar untuk menyebarkan serta melegal ideologi kaum teroris-khawarij ini. Dan ternyata berhasil mempengaruhi banyak kalangan, terkhusus kaum muda. Bahkan tak jarang pula, beberapa oknum di instansi pemerintah juga terkena virusnya.

Setelah pemerintah Indonesia menjatuhkan vonis mati terhadap para pelaku bom Bali, tiba-tiba umat Islam dikejutkan oleh sebuah buku “laporan pertanggungjawaban publik” dan “pembelaan diri” yang ditulis oleh salah satu pelakunya, Imam Samudra, dengan judul: “Aku Melawan Teroris”. Dalam bukunya ini, Imam Samudra dengan berbagai macam kedustaan, kepalsuan, dan syubhat-syubhat yang ia bawakan berusaha membalik opini, dari asumsi dan tuduhan teroris terhadap dirinya, menjadi pahlawan dan pejuang yang telah mengorbankan dirinya dalam rangka melawan vampire dan teroris internasional yang bernama Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Dari seorang yang kejam dan tidak punya perasaan, yang telah membunuh sekian nyawa manusia tak berdosa, menjadi pahlawan pembela duka nestapa kaum mustadh’afin. Dari pembunuh keji, menjadi pembela bayi-bayi tanpa kepala di Afghanistan dan Palestina. Dari aksi teror yang keji dan kejam, menjadi aksi heroik dalam rangka membela Islam dan umat Islam.

Di dalam bukunya, Imam Samudra, mengesankan kepada pembaca bahwa aksi bom Bali yang ia lakukan itu merupakan aksi yang dibenarkan dalam syari’at. Ia tampilkan ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah , ditambah lagi penukilan-penukilan dari para ‘ulama ahlus sunnah dan kitab-kitab mereka. Namun buku “Aku Melawan Teroris” ini pada hakekatnya merupakan kedustaan atas nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan para ‘ulama ahlus sunnah di satu sisi. Di sisi lain adalah caci maki terhadap para ‘ulama ahlus sunnah. Di antara bentuk-bentuk kedustaan tersebut adalah –yang itu ia lakukann untuk menjustifikasi aksi terornya– :

1. Mengaku dirinya sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang berpegang pada Al Qur’an, As Sunnah, sesuai dengan pengaplikasian para shahabat terhadap keduanya.
2. Pada prekteknya, Samudra ternyata menambahkan pokok yang ke-4 bikinanya, yaitu harusnya kembali dan meruju’ kepada ‘ulama mujahid dan ahluts tsughur. Memang benar, statemen ini pernah diucapkan oleh beberapa ‘ulama salaf, namun apakah pengaplikasiannya seperti yang dimaukan oleh Imam Samudra cs? Yaitu yang dimaukan dengan ‘ulama mujahid dan ahluts tsughur menurutnya adalah tokoh-tokoh teroris semacam : DR. ‘Abdullah ‘Azzam, DR. Safar Al Hawali, Salman Al ‘Audah, Usamah bin Laden, Aiman Azh Zhawahiri, Mullah Omar. dll. Adapun para ‘ulama ahlul hadits dari kalangan ahlus sunnah wal jama’ah, yang mereka itu lebih layak dan pantas disebut sebagai ‘ulama mujahid, tidak dimasukkan oleh Imam dalam deretan ‘ulama mujahid bikinannya. Para ‘ulama ahlul hadits pada masa ini antara lain: Asy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Asy Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin, Asy Syaikh Muqbil bin Hadi, Asy Syaikh Rabi’ Al Madkhali, Asy Syaikh Shalih Al Fauzan, Asy Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi, Asy Syaih ‘Ubaid Al Jabiri, dan sederet nama-nama besar lainnya —rahimahumullahu jami’an—-. Merekalah para ‘ulama ahlus sunnah wal jama’ah yang pantas untuk dijadikan rujukan umat.
3. Imam Samudra mencatut dan menyejajarkan nama-nama para ‘ulama ahlus sunnah kontemporer, dengan tokoh-tokoh teroris masa kini yang menjadi idola dia. Dengan cara ini, Imam mengesankan kepada publik sesungguhnya di belakangnya ada sekian tokoh ‘ulama besar yang ‘mengesahkan’ dan merekomendasi tindakan dia melalui fatwa-fatwa mereka. Apakah benar demikian adanya? Buku “Mereka adalah Teroris” akan menjawabnya.
4. Di samping caci maki dan pelecehan, Samudra juga menuding ‘ulama ahlus sunnah yang tidak sependapat dengan manhaj dan cara jihad yang dia lakukan, sebagai penganut aliran murjiah, antek-antek AS, ‘ulama qa’idun (duduk saja, alias tidak ikut berjihad), …dll.

Para teroris-khawarij itu telah menyerukan resolusi jihad, padahal sebenarnnya tindakan-tindakan mereka itu merupakan aksi teror, yang jauh dari nama harum jihad itu sendiri. Terorisme bukan jihad, jihad bukanlah terorisme. Karena jihad itu merupakan ibadah yang mulia, yang memiliki ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta dirinci oleh para ‘ulama ahlus sunnah. Jihad tidak berjalan di atas emosi dan semangat juang semata, namun sangat membutuhkan kepada ilmu dan kepala dingin. Syarat-syarat dan ketentuan serta penjelasan para ‘ulama tersebut akan tertera di dalam buku ini dengan lebih gamblang. Di antaranya secara singkat:

1. Ditegaskan oleh ahluts tsughur dan ‘ulama mujahid terkemuka, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, bahwa : “Kesimpulannya, pembahasan tentang perincian hukum jihad merupakan tugas khusus kalangan para ‘alim ‘ulama!”
2. Dua syarat penting yang harus dipenuhi dalam jihad, yaitu :

* Kekuatan dan kemampuan umat Islam, baik kemampuan fisik dan kemampuan Iman.
* Harus dilaksanakan bersama pemerintah muslimin., dan sepenuhnya diatur oleh pemerintah.

Dua syarat ini tidak ada pada umat Islam saat ini.

3. Dalam kondisi umat Islam yang lemah dalam dua sisi di atas, solusi apa yang ditempuh? Maka ‘ulama ahluts tsughur Ibnu Taimiyyah menasehatkan agar kaum muslimin, dalam kondisi lemah menerapkan dan mengaplikasikan ayatush shabr (ayat-ayat yang memerintahkan untuk bersabar dan menahan diri).
4. Tidak semua jenis orang kafir harus dan boleh diperangi. Orang kafir yang dalam perjanjian dan perlindungan pemerintah muslimin tidak boleh sama sekali untuk diganggu apalagi diperangi dan dibunuh. Bahkan membunuh seorang kafir di saat kondisi umat Islam lemah adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah .
5. Intihar (bunuh diri) selamanya tidak bisa disamakan dengan istisyhad (mencari syahid). Sehingga peledakan dan bom bunuh diri itu adalah teror, bukan jihad.

Dan masih banyak lagi statemen-statemen Samudra yang menggiring opini publik untuk menjustifikasi aksi-aksinya, yang sebenarnya justru itu menunjukkan kedustaan dan kebodohan Imam Samudra dalam masalah agama. Semua itu akan dibantah tuntas di dalam buku ini.

Buku ini sekaligus memuat nasehat-nasehat dan peringatan kepada umat atas bahaya kebatilan aliran terorisme dan para pengusungnya, yang ternyata pada masa ini mereka sedang mempropagandakannnya kepada umat dengan sangat gencar. Baik melalui ceramah, orasi, selebaran, buku, kaset, jaringan internernet, dan sebagainya.

Karena itu perlu adanya upaya nasehat dan peringatan yang serius kepada umat atas bahaya tersebut, dalam rangka membentengi aqidah umat ini, terkhusus para generasi muda, dari penyimpangan dan kesesatan. Kita semua wajib bekerja sama dengan waliyyul amr dalam memerangi terorisme sebagaimana telah dihimbau oleh pemerintah Indonesia dan lainnya, mudah-mudahan Allah selalu memberi hidayah mereka dan melindungi mereka dari rongrongan jahat pihak-pihak yang ingin menghancurkan negeri ini.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin… Selengkapnya...

Menebar Dusta, Membela Teroris Khawarij: Bantahan terhadap Buku SIAPA TERORIS? SIAPA KHAWARIJ? (karya Abduh Zulfidar Akaha)

RESENSI 1- MENEBAR DUSTA MEMBELA TERORIS KHAWARIJ -
Sep
18
18 September 2007, admin @ 19:24

PENULIS: ABU MAULID

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya): “Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh dari para syaitan (baik dari jenis) manusia maupun (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak melakukannya, maka tinggalkanlah mereka dan (kedustaan) yang mereka ada-adakan.” (Al-An’am: 112)
Demikianlah yang dilakukan oleh para musuh kebenaran (Al-Haq) yang terjadi dahulu dan sekarang. Mereka para penyeru kebatilan tersebut membungkus kesesatannya dengan berbagai warna dan wajah. Itu semua mereka lakukan tidak lain untuk menebarkan fitnah dan kesesatan serta untuk “menjajakan dagangannya” agar laku di tengah-tengah umat.

Salah satu penyeru kebatilan tersebut adalah seperti apa yang telah dilakukan oleh penulis buku Siapa Teroris? Siapa Khawarij? (selanjutnya disingkat STSK), Abduh Zulfidar Akaha–semoga Allah menunjuki kita semua kepada jalan yang lurus..Penulis STSK tersebut dengan berbagai kelihaiannya dalam merangkai kalimat dan memainkan kata-kata ingin menggiring opini kaum muslimin bahwa buku Mereka Adalah Teroris karya Al-Ustadz Luqman Ba’abduh (selanjutnya disingkat MAT) merupakan buku yang syarat dengan tuduhan dusta kepada umat, kelompok dakwah, dan para imam kaum muslimin serta dinilai jauh dari ilmiah dan tidak objektif. Namun, dengan sigap Al-Ustadz Luqman Ba’abduh membantah buku STSK dengan akurat dan ilmiah yang diberi judul Menebar Dusta Membela Teroris Khawarij (selanjutnya disingkat MDMT jilid 1). Benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai berikut:

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda (artinya): “Terus-menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al-Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).

Jika Anda sempat membaca buku STSK, mungkin akan terkelabui oleh gaya bahasa yang digunakan oleh Abduh ZA dengan untaian kata-kata yang dikemas sedemikian rupa sehingga buku STSK tampak seolah-olah ilmiah, proporsional, dan sportif. Ditambah lagi dengan bedah buku yang dilakukan di beberapa daerah serta resensi yang dimuat di surat kabar Harian Terbit, 13 Januari 2007 (resensi dapat dilihat di http://www.kautsar.co.id/resensi-siapa-teroris.htm.

Alhamdulillah , kedok dan kebusukan itu akhirnya terungkap di dalam buku MDMT. Dengan kesabaran dan kematangan ilmu, Ustadz Luqman mengupas satu per satu syubhat (kerancuan), kedustaan, dan talbis (memutarbalikkan fakta) yang dilakukan Abduh ZA dalam buku STSK. Anda pantas untuk membaca buku MDMT ini sehingga Anda akan mengetahui akan kedustaan dan ketidakilmiahan buku STSK.

Isi Buku MDMT

Buku MDMT jilid 1 ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pada bagian pertama, Ustadz Luqman ingin mengajak para pembaca untuk mengenal terlebih dahulu siapa dan bagaimana pemikiran penulis buku STSK beserta penerbitnya (Pustaka Al-Kautsar). Kemudian, pembahasan dilanjutkan kepada bagaimana metodologi Al-Jarh wat Ta’dil versi Abduh ZA. Pada pembahasan ini, Ustadz Luqman menjelaskan secara ilmiah bagaimana metode Al-Jarh wat Ta’dil sebagaimana yang telah dilakukan oleh salafush shaleh.

Pada bagian kedua, Ustadz Luqman dengan akurat menjelaskan kedustaan yang telah dilakukan Abduh ZA atas tuduhan kepada beliau dan buku MAT.

Bagian ketiga dalam buku MDMT jilid 1 berbicara mengenai bukti dan fakta yang dipertanyakan Abduh ZA, seperti dari mana gelar Al-Mursyidul Kamil atau hubungan antara ‘Abdullah ‘Azzam dan Usamah bin Laden. Di bagian ini pula, Ustadz Luqman menjelaskan dengan gamblang lengkap dengan bukti dan data akurat bahwa Abduh ZA telah berdusta atas nama para imam ahlus sunnah, seperti Imam At-Tarmidzi, Imam Asy-Syathibi, dan Imam Al-Albani rahimahumullahu jami’an. Selanjutnya, Ustadz Luqman memaparkan ketidakbecusan dan ketidakamanahan Abduh ZA dalam menukil isi buku. Dalam hal ini banyak dan salah satu contohnya sebagaimana telah disebutkan dalam buku MDMT hlm. 438-439 sebagai berikut:

Penukilan pada halaman 142 (buku STSK):

“Sesungguhnya Bani Isra-il telah berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku akan berpecah belah menjadi 73 golongan”. Para shahabat bertanya: Siapakah golongan (yang selamat) itu, Wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Apa yang aku dan para shahabatku ada di atasnya”.

Berikut teks asli pada buku kami MAT halaman 78 cetakan pertama:

Dari Abdullah bin ‘Amr ia berkata, bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Bani Isra-il telah berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku akan berpecah belah menjadi 73 golongan”. Mereka semua di neraka kecuali satu golongan”. Para shahabat bertanya: Siapakah golongan (yang selamat) itu, Wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Apa yang aku dan para shahabatku ada di atasnya”.

Dalam penukilan di atas, saudara Abduh ZA telah menghapus atau menghilangkan kalimat “Mereka semua di neraka kecuali satu golongan”. Padahal, kalimat ini sangat penting nilainya dalam keterangan hadits tersebut. Hal ini tentu menunjukkan ketidakbecusan dan ketidakamanahan dalam menukil….

———————————–

Lengkaplah sudah borok Abduh ZA seperti yang digambarkan pada bagian akhir buku MDMT jilid 1 bahwa penulis STSK tersebut menjadikan buku yang kualitasnya bak kacang goreng berjudul Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak karya Abu Abdirrahmah al Thalibi sebagai sumber rujukan.

Pembaca yang budiman… buku yang memiliki bobot dan kualitas seperti inilah yang dijadikan salah satu rujukan oleh penulis buku STSK, yang –katanya– mengedepankan “objektivitas”, “proporsional”, dan “metode ilmiah”. Jika demikian, kira-kira sejauh manakah bobot buku STSK?

———————————-

Keunggulan buku MDMT

Seperti halnya pada buku-buku salafy yang lain, buku MDMT juga menyuguhkan keunggulan dari yang lainnya. Beberapa keistimewaan buku MDMT, antara lain:

1. tampilan yang lux (hard cover) dan desain warna pada sampul buku yang sangat menawan sehingga orang tertarik untuk membaca dan memilikinya;
2. penggunaan bahasa yang mudah dipahami oleh khalayak, bahkan oleh pembaca awam sekalipun;
3. memberikan bantahan dengan bahasa yang halus dan menampilkan kesan sabar dalam membimbing ke arah kebaikan, tetapi tetap mengenai sasaran;
4. menyuguhkan bahasan yang ilmiah disertai dalil-dalil (Alquran dan Hadits), perkataan para ulama, dan rangkaian kalimat yang masuk akal (logis);
5. sangat bagus dalam menyajikan konsep bantahan sehingga arah bahasan dapat ditangkap dengan mudah oleh pembaca;
6. tidak hanya menampilkan bantahan semata, tetapi juga menyajikan faedah berupa ilmu agama yang bermanfaat.

Kekurangan buku MDMT

Sebagaimana yang dikatakan oleh penulis dalam pengantar buku MDMT hlm 15:

Kami menyadari bahwa tulisan kami ini jauh dari sempurna dan masih terdapat kekurangan dan kealpaan di sana sini. Kami mengakui berbagai kekurangan dan kealpaan tersebut. Kami telah berupaya semaksimal mungkin untuk tepat dan tidak terjadi kesalahan, termasuk dalam masalah pengetikan dan penukilan. Namun layaknya manusia biasa, tentu tak akan luput dari kekurangan. Tidak ada yang bisa kami janjikan, kecuali kami telah berusaha untuk lebih objektif, sportif, dan proporsional. Semoga Allah membantu kami mewujudkannya.

bahwa buku tersebut masih terdapat kekurangan—yang sifatnya redaksional, seperti salah pengetikan, kesalahan tanda baca, atau kelebihan huruf. Namun, hal ini tidak mengurangi bobot ilmiah, keakuratan data, dan keobjektivan isi buku sehingga tetap menjadikan buku ini syarat dengan mutu dan kualitas.

Akhirnya, buku MDMT ini layak untuk Anda baca dan miliki untuk dijadikan rujukan, tambahan ilmu, dan sebagai koleksi buku-buku bermutu yang bermanhaj salafush shaleh di rumah Anda.

*********************

Profil Buku MDMT

Judul Buku : Menebar Dusta, Membela Teroris Khawarij: Bantahan terhadap Buku SIAPA TERORIS? SIAPA KHAWARIJ? (karya Abduh Zulfidar Akaha)

Penulis : Al-Ustadz Luqman Bin Muhammad Ba’abduh

Penerbit : Pustaka Qaulan Sadida, Perum Villa Bukit Tidar Blok A-1/401 Malang

Cetakan : Pertama, April 2007

Tebal : 483 halaman

Daftar Isi

Bagian Pertama: MENGENAL PENERBIT DAN PENULIS BUKU “SIAPA TERORIS? SIAPA KHAWARIJ?”

Bab I : Sekilas Tentang Penerbit Pustaka Al-Kautsar
1. Sekilas tentang Penerbit Pustaka Al-Kautsar
2. Pustaka Al-Kautsar Berbicara Tanpa Ilmu

Bab II : Metodologi Al-Jarh wat Ta’dil versi Abduh ZA
1. Memposisikan Al-Jarh wat Ta’dil sebagai Perbuatan Ghibah
2. Membantah dan Mengkritik Itu Tidak Usah Menyebut Nama Orang atau Kelompok
3. Menyematkan Gelar “si Fulan Sesat”, si Fulan Ahlul Bid’ah”, “si Fulan Khawarij”, Tidak Sesuai dengan Apa yang Telah Dicontohkan oleh As-Salafush Shalih
4. Harus Menggunakan kata-kata yang Santun dan Beretika dalam Mengkritik

Bagian Kedua: KEDUSTAAN TUDUHAN DUSTA
Bab I : Kedustaaan Tuduhan Dusta Atas Nama Al-Imam At-Tirmidzi
Bab II : Kedustaaan Tuduhan Dusta Atas Nama Al-Imam Asy-Syathibi
Bab III : Kedustaaan Tuduhan Dusta Atas Nama Al-Imam Ibnu Katsir
Bab IV : Kedustaaan Tuduhan Dusta Atas Nama Asy-Syaikh Bin Baz (dan Hai’ah Kibaril ‘Ulama)
Bab V : Kedustaaan Tuduhan Dusta Atas Nama Kesepakatan Umat Islam
Bab VI : Pelengkap Kedustaan Tuduhan Dusta

Bagian Ketiga:
Bab I : Inilah Bukti dan Fakta yang Dipertanyakan
1. Dari Mana Gelar Al-Mursyidul Kamil?
2. ‘Abdullah ‘Azzam dan Usamah Bin Laden
3. Menggiring Opini Seolah-olah yang Meledakkan WTC Adalah Umat Islam
4. Inilah Kata-kata Keji Itu!
5. Inilah Para Hizbiyyun yang Kau Pertanyakan Itu

Bab II : Abduh Zulfikar Akaha Berdusta
1. Kedustaaan atas Nama Al-Imam At-Tirmidzi
2. Kedustaaan atas Nama Al-Imam Adz-Dzahabi
3. Kedustaaan Atas Nama Al-Imam Al-Albani rahimahullah
4. Kedustaan dalam Memaparkan Biografi Kami

Bab III : Abduh Tidak Becus dan Tidak Amanah dalam Menukil
Bab IV : STSK dan Kacang Goreng Selengkapnya...

Merekalah TERORIS

RESENSI 2- MENEBAR DUSTA MEMBELA TERORIS KHAWARIJ -
Sep
19
19 September 2007, admin @ 18:46

KOLABORASI HIZBI



Judul buku:
Menebar Dusta Membela Teroris Khawarij
Bantahan terhadap Buku:
Siapa Teroris? Siapa Khawarij? (Abduh Zulfidar Akaha)



Penulis:
Luqman bin Muhammad Ba’abduh



Cetakan I
Rabi’ul Awwal 1428 H/ April 2007 M



Penerbit:
Pustaka Qaulan Sadida, Malang

Apa sih kehebatan buku karya Abduh Zulfidar Akaha, Siapa Teroris? Siapa Khawarij? yang diterbitkan Pustaka Al-Kautsar Jakarta? Kata orang, kandungan bahasanya santun. Juga kata orang, bobot ilmiahnya bisa dipertanggungjawabkan. Benarkah?

Bagi sebagian orang yang sekadar baca saja, tanpa telaah kritis dan teliti, mungkin akan berdecak kagum setelah pungkas membaca buku tersebut. Bagaimana tidak, sebagai orang yang sehari-harinya berkutat dengan keredaksian di Pustaka Al-Kautsar, bagi Abduh tidak ada kendala untuk menyusun sebuah karya tulis dengan susunan kalimat yang ‘santun’ dan ‘berbobot ilmiah’.

Buku Siapa Teroris? Siapa Khawarij? merupakan bantahan terhadap buku Al-Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh, Mereka Adalah Teroris! Buku terakhir ini pun sebenarnya ditulis untuk menanggapi dan membantah paham Khawarij Imam Samudra melalui bukunya, Aku Melawan Teroris!

Timbul tanda tanya, Imam Samudra yang dibantah kenapa kok Abduh yang angkat bicara? Apakah Abduh satu kelompok dengan Imam Samudra? Untuk menyatakan Abduh memiliki jaringan secara struktural dengan Imam Samudra, rasanya terlalu dini tuduhan tersebut diarahkan kepadanya. Apalagi jelas-jelas Abduh mengatakan bahwa bukunya itu bukan pembelaan terhadap Imam Samudra. Namun, bila kita membaca Siapa Teroris? Siapa Khawarij? dengan sedikit teliti saja, kita akan menangkap nuansa pembelaan yang amat kental terhadap berbagai aksi kelompok-kelompok pergerakan yang berlawanan dengan syari’at. Abduh telah lakukan kolaborasi hizbi.
Kehadiran Siapa Teroris? Siapa Khawarij? adalah sebagai upaya merekonstruksi ‘aksi-aksi pergerakan’ yang turut babak belur dengan kehadiran buku Mereka Adalah Teroris! Sebab, bagaimanapun, buku Mereka Adalah Teroris! telah menelanjangi berbagai kebusukan yang selama ini disembunyikan beberapa pergerakan dakwah yang suka mengatasnamakan umat.

Kini, dengan argumentasi nan tajam dan akurasi data yang sangat tinggi, Al-Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh meluncurkan bantahan terhadap buku Siapa Teroris? Siapa Khawarij? melalui bukunya yang berjudul Menebar Dusta Membela Teroris Khawarij. Buku setebal 484 halaman ini merupakan buku jilid pertama dari dua jilid yang rencana akan diterbitkan.

Membaca buku Menebar Dusta Membela Teroris Khawarij akan mendapat pengayaan secara intelektual maupun spiritual. Nampaknya penulis menyengaja untuk tak sekadar membantah berbagai kedustaan dan kepalsuan data atau fakta yang disuguhkan Abduh dalam bukunya Siapa Teroris? Siapa Khawarij? Penulis, dengan kejujuran dan keamanahannya mengemban nilai-nilai ilmiah, telah berupaya meracik buku Menebar Dusta Membela Teroris Khawarij menjadi sebuah buku yang sarat faidah dan hujjah nan kokoh. Dari berbagai hujjah yang ditampilkan, pembaca akan melihat demikian ketatnya metodologi penulisan yang ada pada buku tersebut. Maka, tidak berlebihan bila dikatakan, buku Menebar Dusta Membela Teroris Khawarij ini bisa memberi pencerahan kepada pembaca. Biidznillah.

Pembaca yang telah membaca buku Siapa Teroris? Siapa Khawarij? seharusnya membaca buku ini pula. Sebab, bagaimana pun kehadiran buku Menebar Dusta Membela Teroris Khawarij ini bisa menjadi pembanding sejauh mana bobot ilmiah yang ada pada buku Abduh. Satu contoh, dalam masalah yang sederhana dan tak perlu pengkajian secara dalam, yaitu terkait data pembubaran Laskar Jihad, Abduh telah nyata terpeleset dalam hal ini. Kalau Abduh sedikit saja mau bersikap jujur, objektif, ilmiah, dan tidak bersikap tendensius, data sepele itu tidak akan mencoreng wajahnya. Ini dalam hal data yang sangat sepele, yang sebenarnya Abduh bisa melakukan klarifikasi kepada para mantan pengurus Laskar Jihad.

Contoh lainnya, saat Abduh mengkritik penulisan nama Al-Qaradhawi oleh Al-Ustadz Luqman Ba’abduh, dengan komentar yang ‘santun’ namun bertendensi menjatuhkan, dia tulis: “… Menyebut nama orang yang dikritik saja salah, bagaimana mungkin membaca bukunya?” Padahal dalam masalah sebut-menyebut nama, justru Abduh sendiri telah terjatuh pada kesalahan yang lebih parah, yaitu ketika dia menyebut nama Ubaidullah Al-Arzami. Kenapa dikatakan lebih parah? Karena penyebutan nama yang dilakukan Abduh terkait nama seorang perawi hadits yang bisa menentukan kedudukan hadits tersebut, shahih atau lemah (dhaif). Dari kedudukan hadits yang sudah diketahui shahih atau lemah tersebut, akan menentukan pula hukum suatu masalah. Selanjutnya, penyebutan nama yang dilakukan Abduh, yaitu Ubaidullah Al-Arzami, disandarkan kepada Al-Imam At-Tirmidzi. Padahal Al-Imam At-Tirmidzi tak pernah menyebut nama perawi hadits tersebut. Dengan demikian, Abduh telah terjatuh pada perbuatan dusta, karena yang disebut oleh Al-Imam At-Tirmidzi adalah Muhammad bin Ubaidillah Al-Arzami, bukan Ubaidullah Al-Arzami (hal. 407).

Manipulasi data yang kesekian kalinya ini –dan ternyata ada banyak data lainnya yang menyesatkan pembaca– tentu merupakan tindak yang memalukan yang justru tertera dalam sebuah karya tulis yang konon katanya menjunjung tinggi objektivitas, proporsionalitas, dan nilai ilmiah.

Membaca buku Menebar Dusta Membela Teroris Khawarij serasa disadarkan betapa buku Abduh yang selama ini dikatakan santun ternyata sangat amat tidak santun bahkan melecehkan nilai-nilai ilmiah dan objektivitas. Nilai ilmiah yang digembargemborkan dalam buku Siapa Teroris? Siapa Khawarij? nyata hanya sebuah isapan jempol.

Banyak hal yang bisa dipetik dari buku Menebar Dusta Membela Teroris Khawarij. Pembaca akan dikenalkan dengan metodologi Al-Jarh wat Ta’dil, sebuah metodologi yang telah diamalkan sejak zaman shahabat dulu. Melalui pemahaman yang baik terhadap metodologi ini, bisa mengeliminir tuduhan-tuduhan miring terhadap orang-orang salafi yang katanya ‘suka menjelek-jelekkan orang’ atau ‘suka mengghibahi orang lain’ atau tuduhan lain yang senada. Buku ini pun mengulas pula bagaimana para ulama membuat ungkapan keshahihan sebuah hadits. Dari ulasan ini pembaca akan disuguhi kajian ilmu hadits. Diungkap juga tentang tuduhan negatif terhadap Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah oleh orang yang menaruh kebencian terhadap Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kemudian, penulis membeberkan sekian banyak pujian para ulama terhadap Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah sehingga tudingan negatif itu menjadi terbantah karenanya. Masih banyak masalah lainnya yang disorot dalam buku Menebar Dusta Membela Teroris Khawarij. Itu semua akan memberikan wawasan dan pemahaman yang baik tentang apa dan bagaimana manhaj salaf. Wallahu a’lam bish Shawab.

Abul Faruq Ayip Syafruddin Selengkapnya...

Benarkah Pustaka Qaulan Sadida Mengkritik Pustaka Al-Kautsar??

Benarkah Pustaka Qaulan Sadida Mengkritik Pustaka Al-Kautsar??
Apr
11
11 April 2008, admin @ 21:39

Berikutnya, Abduh Zulfidar meletakkan pembahasan : Catatan 2 Pustaka Qaulan Sadida pun Bicara Tanpa Ilmu. Di sini Abduh mempunyai gaya tersendiri dalam menjatuhkan suatu penerbit buku, dalam hal ini Pustaka Qaulan Sadida.

Abduh mengawali pembahasannya dengan mengatakan :

“Kami tidak mengetahui dan tidak mendengar serta belum pernah melihat buku-buku apa saja yang telah diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Qaulan Sadida yang berada di kota Malang, Jawa Timur, ini selain dua buku saja. Kedua buku tersebut yaitu, “Sebuah Tinjauan Syari’at Mereka Adalah Teroris!” dan “Menebar Dusta Membela Teroris Khawarij.” … .”
[BAUS hal. 15]

Orang berakal tahu kalimat ini tidak perlu diucapkan oleh Abduh ZA. Karena kalau memang tidak tahu kenapa bicara tentang Pustaka Qaulan Sadida? Namun di sisi lain orang berakal sehat dan waras akan tahu bahwa dengan kalimat ini menunjukkan pengakuan Abduh sendiri bahwa informasi yang sampai padanya tentang Pustaka Qaulan Sadida sangat minim. Oleh karena itu ketika Abduh mengatakan :

“Tampaknya, Penerbit Pustaka Qaulan Sadida akan mengidentikan dirinya sebagai penerbit spesialis buku-buku bantahan dan buku-buku karya Al Ustadz Luqman Ba’Abduh, wallahu a’lam. “
[BAUS hal. 15]

Maka orang berakal sehat dan waras akan menilai bahwa ini dugaan semata, yang muncul dari orang yang tidak banyak tahu tentang Penerbit Pustaka Qaulan Sadida. Kata Nabi  bahwa zhan (persangkaan) itu merupakan ucapan yang paling dusta.

Kondisi Abduh ZA yang tidak banyak tahu tentang Pustaka Qaulan Sadida ini, ternyata punya cara sendiri untuk menjatuhkan Pustaka Qaulan Sadida. Perhatikan ucapannya :

“Yang menarik, sebagai penerbit, Pustaka Qaulan Sadida telah melakukan suatu terobosan baru dalam dunia kritik mengkritik sesama penerbit. Jika kita pernah mendengar istilah “Sesama bisa kta dilarang saling mendahului,” tampaknya hal ini tidak berlaku lagi bagi Penerbit Pustaka Qaulan Sadida. Pustaka Qaulan Sadida telah berani menabrak suatu pakem yang dianggap tabu dalam hal ini. secara demonstratif buku MDMTK yang diterbitkan oleh Pustaka Qaulan Sadida memuat bab khusus yang bernada mendiskreditkan penerbit lain, dalam hal ini Pustaka Al-Kautsar. Pembahasan tentang Pustaka Al-Kautsar oleh Pustaka Qaulan Sadida ini terdapat dalam Bagian Pertama: “Mengenal Penerbit dan Penulis Buku “Siapa Teroris? Siapa Khawarij?,” Bab I: “Sekilas Tentang Penerbit Pustaka Al-Kautsar,” dari halaman 58 sampai halaman 70. Cukup fantastis. … .”
[BAUS, hal. 16. cetak tebal dari kami]

Dengan paragraf ini, maunya Abduh ZA menjelaskan bahwa tidak pantas Pustaka Qaulan Sadida mengkritik Pustaka Al-Kautsar. Sesama penerbit kok saling mengkritik. Namun sayang, ditengah-tengah pembahasannya tersebut, Abduh ZA menyelipkan kata-kata yang sebenarnya justru menunjukkan ketidakjujuran Abduh ZA.

Perhatikan kata-kata yang bercetak tebal pada nukilan di atas. Siapapun yang membaca MDMTK pasti tahu bahwa pembahasan Bagian Pertama : Penerbit dan Penulis Buku “Siapa Teroris? Siapa Khawarij?,” itu dari penulis MDMTK -yaitu Al-Ustadz Luqman- bukan dari Penerbit Pustaka Qaulan Sadida. Bahkan sejak Pengantar Penulis, Muqaddimah, Bagian Pertama, … dst itu sudah dari penulis MDMTK. Adapun yang dari penerbit adalah sebatas : Pengantar Penerbit.

Berikutnya, Abduh masih ‘menyempatkan’ membahas permasalahan yang sepele, yang pembahasan seperti ini kata Abduh ZA pada Catatan I merupakan perbuatan “mengabaikan kemanusiaan seorang manusia.” atau kalau di tempat lain Abduh mengatakannya sebagai “kurang kerjaan”. Namun demikian jangan heran jika ternyata dalam BAUS-nya ini pun Abduh justru banyak “mengabaikan kemanusiaan seorang manusia” dan “kurang kerjaan”.

Yaitu ketika mengomentari kesalahan ketik yang terdapat pada Pengantar Penerbit :
“… sebagaimana akan kami jelaskan oleh penulis.”
Di sini Abduh memberikan catatan kaki no. 25 dengan mengatakan :

“MDMTK, hlm. 6. Beberapa kata terakhir yang berbunyi, “… akan kami jelaskan oleh penulis,” memang tertera demikian. Mungkin maksudnya, “… akan dijelaskan oleh penulis.” Wallahu a’lam.”

Kalau Abduh ZA berniat baik dan cenderung tidak mengabaikan kemanusiaan seorang manusia tentu dia akan berhenti sampai di sini. Namun ternyata Abduh melanjutkan :

“Atau, bisa jadi karena yang menulis pengantar penerbit ini adalah penulis MDMTK sendiri, maka tertulis kata “kami.” Namun sekali lagi walllahu a’lam.”

Perhatikan, dia melanjutkan dengan komentar yang membuat orang yang membacanya akan turut berkesimpulan –atau setidaknya turut menduga—seperti ucapan dia. Apakah cara yang demikian santun dalam membetulkan kesalahan yang bersifat manusiawi?
Kemudian Abduh minta ma’af :

“Kepada Penerbit Pustaka Qaulan Sadida, kami mohon maaf jika ada kesalahan dalam menukil.”

Perhatikan bukan minta ma’af dari cara dia mengkritik yang tidak sopan itu. Tapi malah minta ma’af kalau ada salah nukil.
Demikianlah pembaca sekalian, cara Abduh ZA dalam mengabaikan kemanusian seorang manusia. Dari kesalahan manusiawi itu, dia punya cara-cara tersendiri (khas) untuk bisa menjatuhkan pihak lain. Selengkapnya...

Kamis, 23 Oktober 2008

MEMBONGKAR KESESATAN DAN PENYIMPANGAN GERAKAN DAKWAH IKHWANUL MUSLIMIN

Membongkar Kesesatan Dan Penyimpangan Gerakan Dakwah Ikhwanul Muslimin
Sabtu, 5 Nopember 2005 07:03:22 WIB





MEMBONGKAR KESESATAN DAN PENYIMPANGAN GERAKAN DAKWAH IKHWANUL MUSLIMIN


Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary Al-Medany



SEJARAH IKHWANUL MUSLIMIN
Ikhwanul Muslimin adalah pergerakan Islam - yang didirikan oleh Hasan Al-Banna (1906-1949 M) di Mesir pada tahun 1941 M. Diantara tokoh-tokoh pergerakan itu ialah : Said Hawwa, Sayyid Quthub, Muhammad Al-Ghazali, Umar Tilimsani, Musthafa As-Siba`i, dan lain sebagainya.

Sejak awal mula didirikan pergerakan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jamaludin Al-Afghani, seorang penganut Syi`ah Babiyah, yang berkeyakinan wihdatul wujud. Dan keyakinan bahwa kenabian dan kerasulan diperoleh lewat usaha, sebagaimana halnya menulis dan mengarang. Dia (Jamaludin Al-Afghani) kerap mengajak kepada pendekatan Sunni-Syiah [Tidak,..Demi Allah . Hal ini tidak akan terwujud.Semua ini hanyalah khayalan biasa laksana menanam di lautan.Bagaimana tidak , dapatkah api bersatu dengan air ??-cat kaki], bahkan juga mengajak kepada persatuan antar agama [lihat dakwah Ikhwanul Muslimin fi Mizanil Islam. Oleh Farid bin Ahmad bin Manshur hal. 36)]

Gerakan itu lalu bergabung ke banyak negara seperti: Syiria, Yordania, Iraq, Libanon, Yaman, Sudan dan lain sebagainya. (lihat Al-Mausu`ah Al-Muyassarah hal. 19-25). Ia (Jamaludin Al-Afghani) telah dihukumi /dinyatakan oleh para ulama negeri Turki, dan sebagian masyayikh Mesir sebagai orang Mulhid, kafir, zindiq, dan keluar dari Islam.

Farid bin Ahmad bin Manshur menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jamaludin Al-Afghani pada beberapa hal, diantaranya:

[1]. Menempatkan politik sebagai prioritas utama
[2]. Mengorganisasikan secara rahasia
[3]. Menyerukan peraturan hukum demokrasi
[4]. Menghidupkan dan menyebarkan seruan nasionalisme
[5]. Mengadakan peleburan dan pendekatan dengan Syiah Rafidhah, berbagai kelompok sesat, bahkan kaum Yahudi dan Nashrani. [Lihat Ad-Dakwah hal 47}

Oleh sebab itu, jamaah Ikhwanul Muslimin banyak memiliki penyimpangan dari kaidah-kaidah Islam yang dipahami As-Salaf As-Shalih. Di antara penyimpangan tersebut misalnya:

TIDAK MEMPERHATIKAN MASALAH AQIDAH DENGAN BENAR
(Syaikh Abdul Aziz bin Bazz berkata sebagaimana dalam majalah Al-Majalah edisi 806 tanggal 25/2/1416 H halaman 24 :.."Harokah Ikhwanul Muslimin telah dikritik oleh para ahlul 'ilmi yang mu'tabar ? terkenal-.Salah satunya (karena) mereka tidak memperhatikan masalah da'wah kepada tauhid dan memberantas syirik serta bid'ah. Maka sewajibnya bagi Ikhwanul Muslimin untuk memperhatikan da'wah Salafiyah da'wah kepada tauhid, mengingkari ibadah kepada kubur-kubur dan meinta pertolongan kepada orang-orang yang sudah mati seperti Hasan, Husein, Badawi dan sebagainya.Wajib bagi mereka untuk mempunyai perhatian khusus dengan makna Laa Ilaaha Illallah Karena inilah pokok agama dan suatu yang pertama kali didakwahkan oleh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam yang mulia di kota Mekkah!!) Bukti nyata bahwa jama'ah Ikhwanul Muslimin tidak memeperhatikan perkara aqidah dengan benar, adalah banyaknya anggota-anggota yang jatuh dalam kesyirikan dan kesesatan, serta tidak memiliki konsep aqidah yang jelas.

Hal itu juga bahkan terjadi pada para pemimpin dan tokoh-tokohnya, yang menjadi ikutan bagi anggota-anggotanya seperti: Hasan Al-Banna, Said Hawwa, Sayyid Quthub, Muhammad Al-Ghazali, Umar Tilimsani, Musthafa As-Siba`i dan lain sebagainya.

Seorang tokoh Islam (Muhammad bin Saif Al-A`jami) menceritakan bahwa Umar Tilimsani yang menjabat Al-Mursyidu Al-`Am dalam organisasi Ikhwanul Muslimin dalam jangka waktu yang lama, pernah menulis buku yang berjudul "Syahidu Al-Mihrab Umar bin Al-Khattab (Umar bin Al-Khattab yang wafat syahid dalam mihrab) "Buku ini penuh dengan ajakan kepada syirik, menyembah kuburan, membolehkan beristighatsah kepada kuburan dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla di samping kubur. Tilimsani juga menyatakan bahwa kita TIidak Boleh melarang dengan keras penziarah kubur yang melakukan amalan seperti itu.

Coba simak teks perkataannya pada hal 225-226: "Sebagian orang menyatakan bahwa Rasulullah memohonkan ampun untuk mereka (penziarah kubur) tatkala beliau masih hidup saja. Tetapi saya tidak mendapatkan alasan pembatasan itu pada masa hidup beliau saja. Dan di dalam Al-Quran, tidak ada yang menunjukkan adanya pembatasan tersebut".

Di sini, dia menganggap bahwa memohon kepada Rasulullah sesudah kematian beliau, beristighatsah dan beristghfar dengan perantaraannya, hukumnya boleh-boleh saja. Pada hal 226 dia juga menyatakan: "Oleh karena itu saya cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa beliau telah memohonkan ampunan dikala beliau masih hidup, maupun sesudah matinya - bagi siapa yang mendatangi kuburan yang mulia".

Pada halaman yang sama dia juga menyebutkan :"Oleh karena itu, kita tidak perlu berlaku keras dalam mengingkari orang yang meyakini karamah para wali, sambil berlindung kepada mereka di kuburan-kuburan mereka yang disucikan, berdoa kepada mereka tatkala tertimpa kesusahan. Yang juga mereka yakini bahwa karamah para wali tersebut termasuk kemu`jizatan para nabi."

Kemudian pada halaman 231 ia menyatakan: "Maka kita tidak perlu memerangi wali-wali Allah Azza wa Jalla dan orang-orang yang menziarahi serta berdoa disamping kuburan-kuburan mereka".

Demikianlah, tidak ada satupun bentuk syirik terhadap kuburan yang tidak dibolehkan sebagaimana yang dikatakan oleh ``Al-Mursyidu Al-`Am dari Ikhwanul Muslimin itu. Karena kegandrungannya dan kecintaannya yang mendalam terhadap bentuk-bentuk perbuatan syirik dan kufur semacam inilah, sehingga Tilimsani menyatakan: "Maka kita tidak perlu memerangi (orang yang mereka anggap) wali-wali Allah Azza wa Jalla dan orang-orang yang menziarahi serta berdoa disamping kuburan-kuburan mereka".

Tilimsani sendiri juga hidup di Mesir yang terdapat banyak kuburan-kuburan dimana dilakukan syirik terbesar, bahkan lebih besar dari syirik ummat jahiliyah pertama.Kuburan-kuburan dijadikan tempat berthawaf dan tempat memohon segala sesuatu yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah .

Di antara yang mereka anggap wali, kebanyakannya adalah kumpulan orang-orang zindiq dan mulhid, seperti: Sayyid Da`iyyah fathimi yang tak pernah melakukan shalat. Diantaranya juga ada Kaum Sufi yang "keblinger", seperti: Syadzili, Dasuki, Qonawi dan lain sebagainya, yang ada disetiap kota dan pedesaan. Orang-orang itulah yang jadi wali-wali mereka. Dan kuburan-kuburan mereka itulah yang dipublikasikan oleh ''Al-Mursyidu Al-`Am/pemimpin umum'' dari Ikhwanul Muslimin itu.

Dia kembali menyatakan pada halaman 231 sebagai berikut: ''Meskipun hati saya sudah demikian cinta, suka dan bergantung kepada wali-wali Allah itu, meskipun saya amat gembira dan senang menziarahi mereka di tempat-tempat kediaman abadi mereka dengan melakukan hal-hal merusak aqidah tauhid - menurut anggapannya - akan tetapi saya tidak berorientasi penuh untuk mempropagandakannya. Hal itu hanya sebatas soal intuisi/perasaan.

Dan saya katakan kepada mereka yang bersikap ekstrim dalam mengingkarinya: "Tenanglah, di dalam masalah ini tidak ada perbuatan syirik, penyembahan berhala, maupun ilhad/kekufuran.''

Maka apalagiI yang bisa diharapkan dari keyakinan yang merancukan aqidah dan tauhid, sehingga berdoa kepada orang yang sudah mati disamping kuburan-kuburan mereka kala ditimpa kesusahan dianggap hanya soal perasaan yang tidak mengandung syirik dan penyembahan berhala, seperti yang diungkapkan Al-Mursyidu Al-`Am dari Ikhwanul Muslimun tersebut ?

Mushthafa As-Siba`i, Al-Mursyidu Al-`Am dari Ikhwanul Muslimin dari Syiria pernah menggubah qashidah yang dibacakannya di kuburan Nabi. Yang di antara bait-baitnya adalah: ''Wahai tuanku, wahai kekasih Allah. Aku datang diambang pintu kediamanmu mengadukan kesusahanku karena sakit. Wahai tuanku, telah berlarut rasa sakit dibadanku. Karena sangat sakitnya, akupun tak dapat mengantuk maupun tidur.....'' [Lihat Al-Waqafat hal. 21-22]

Dari kedua bait diatas, kita dapat memahami bahwa dia telah melakukan istighatsah kepada Rasulullah yang jelas merupakan perbuatan syirik yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah-Nya Shalallahu 'Alaihi wa Sallam .

Hasan Al-Banna juga mengambil aqidah dari thariqot sufiah quburiah yang bernama Al-Hashofiah. Dia berkata dalam kitabnya Mudzakkirot Ad-Dakwah Ad-Adalah'iah hal-27 :"Aku bersahabat dengan para anggota kelompok hasafiah di Damanhur. Dan aku selalu hadir setiap malam (bersama mereka) di mesjid At-Taubah."

Berkata Jabir Rozaq dalam kitabnya "Hasan Al-Banna bi Aqlami talamidzatihi wa ma'asirihi" hal-8 :"Dan di Damanhur mejadi kokohlah hubungan Hasan Al-bana dengan anggota-anggota al-Hashofiah,dan beliau selalu hadir setiap malam bersama mereka di masjid at-Taubah. Dia ingin mengambil (pelajaran) thariqot mereka sehingga berpindah dari tingkatan mahabbah ke tingkatan at-taabi' al-mubaya" [Lihat Da'wah al-Ikhwan al-Muslimin hal-63]

Bahkan Hasan Al-Banna sendiripun sebagai pendiri jamaah Ikhwanul Muslimin, nampak sebagai orang yang awam dalam perkara aqidah tauhid. Disebutkan dalam buku Al-Waqafat hal. 21-22, bahkan dia pernah berkata: ''Dan doa kepada Allah ababila disertai tawassul/mengambil perantaraan salah satu makhluknya adalah perselisihan furu` dalam cara berdoa, dan bukan termasuuk perkara aqidah.''

Dalam masalah asma` dan sifat Allah, dia termasuk pengikut madzhab Tafwidh, yaitu madzhab yang tidak mau tahu dan meyerahkan begitu saja perkara asma` dan sifat Allah, tanpa meyakini apa-apa. Itu adalah madzhab sesat, bukan sebagaimana madzhab As-Salaf As-Shalih yang meyakini makna-makna asma` dan sifat Allah, namun menyerahkan hakikat/bagaimana asma` dan sifat tersebut kepada-Nya.

Hasan Al-Banna menyatakan dalam buku Al-Aqaid hal. 74: ''Sesungguhnya pembahasan dalam masalah ini (asma` dan sifat), meski dikaji secara panjang lebar, akhirnya akan menghasilkan kesimpulan yang sama, yaitu tafwidh (tersebut di atas)[Syaikhul Islam berkata dalam kitabnya "Daaru ta'arubil aqli wa naqli ,Juz 1 hal 201-205 :"Adapun tafwidh, maka sudah merupakan hal yang maklum, bahwa Allah memerintahkan kita semuanya untuk merenungi Al Qur'an, memahaminya, dan menghayatinya, maka bagaimanakah kita akan berpaling dari memahaminya dan mendalaminya,...hingga beliau berkata : "Dari sini jelaslah bahwa perkataan ahlu tafwidh yang mengaku mengikuti Sunnah dan Salaf termasuk sejelek-jelek perkataan ahlu bid'ah dan ilhad (lih pula qowaidhul mutsla hal 44 oleh Syaikh Sholeh Utsaimin)].

Tokoh besar mereka yang lain yang serupa keadaannya adalah Sa`id Hawwa. Dia beranggapan bahwa umat Islam pada setiap masanya, (lebih banyak -red) yang beraqidah Asy-`Ariyyah-Maturidiyyah (termasuk golongan pentakwil sifat). Sehingga dengan itu beliau berangapan bahwa itulah aqidah yang sah dalam Islam. (lihat jaulah fil fiqhain - Sa`id Hawwa).

Sayyid Quthub pun memiliki aqidah wihdatul wujud. Dia berkata dalam kitabnya Dzilalu Al-Qur'an jilid 6 hal-4002 : "Hakekat yang ada adalah wujud yang satu. Maka di alam ini tidak ada yang hakekat kecuali hakekat Allah. Dan di sana tidak ada wujud yang hakiki kecuali wujud-Nya. Perwujudan selain Allah hanyalah sebagai perwujudan yang bersumber dari perwujudan yang hakiki itu".

[Tentang Sayyid Qutb ,maka sungguh Syaikh Robi' Ibnu Hadi Al-Madkhali telah mewakili segenap para 'ulama dan para penuntut ilmu dalam mengungkap kesesatan dan penyimpangannya (Sayyid Qutb), yaitu dalam 4 buah kitabnya :

[1]. Adzwa' Islamiyyah 'alaa Aqidati Sayyid Quthub,
[2]. Mathoin Sayyid Quthub fii Ash-Shahabah
[3]. Al-awaashim minma fii kutubi sayyid Quthub min Al-Qawasim
[4]. Al-Haddul faashil bainal haqqi wal bathil.

Ringkasnya "celaannya” (Sayyid Qutb) kepada Musa Alaihi Salam, celaannya kepada para shahabat Radhiallahu anhum, khususnya Ustaman bin Affan Radhiallahu anhu , perkataannya bahqwa Al-Qur’an adalah Mahluk, dan WIihadtul Wujud, Menta’thil (mengingkari) sifat-sifat Allah sebagaimana Jahmiyyah, tidak menerima hadits-hadits ahad yang shahih dalam aqidah,..dsb- lebih jelasnya bacalah kitab-kitab diatas dan sudah tercetak]

Selain itu dia juga tidak bisa membedakan antara tauhid rububiah dan tauhid uluhiah. Dan dia menyangka bahwa yang menjadi perselisihan antara para Nabi dengan umat mereka adalah dalam masalah tauhid rububiah bukan uluhiah.

Dia berkata dalam Dziilalu Al-Qur'an 4/1847 : " Bukanlah perselisihan seputar sejarah antara jahiliah dan Islam, dan bukan pula peperangan antara kebenaran dan thogut pada masalah uluhiah Allah ...." dan juga perkataannya dalam hal-1852: "Hanya saja perselisihan dan permusuhan adalah pada masalah siapakah Rob manusia yang menghukumi manusia dengan syari'at-Nya dan mengatur mereka dengan perintah-Nya dan memerintahkan mereka untuk beragama dan taat kepada-Nya" [Lihat Adwa'un Islahiah karya Syaikh Robi' pada hal-65] Selengkapnya...

BENIH TAKFIR DALAM TUBUH UMMAT

Benih Takfir Dalam Tubuh Ummat
Senin, 16 April 2007 15:05:16 WIB

BENIH TAKFIR DALAM TUBUH UMMAT


Oleh
Syaikh Abu Usamaha Salim bin Ied Al-Hilali



Semoga Allah menjadikan pertemuan ini, pertemuan yang diberkahi, mendorong penyebaran ilmu yang murni, penyebaran Kitabullah dan Sunnah Rasulullah dan manhaj Salafush Shalih, generasi yang datang setelah Nabi, dan membawa agama ini dengan amanah, antusias dan ketegaran.

Topik pembicaraan kami, (ialah) seputar fitnah ghuluw dalam takfir, bahayanya terhadap umat dan pengaruh destruktifnya di masyarakat lokal maupun internasional.

Definisi takfir, yaitu memvonnis atau mensifati seseorang dengan kekafiran, atau mensifatinya dengan hukum kafir ; baik dengan alasan yang benar ataupun tidak. Karena itu, saya tegaskan bahwa takfir merupakan hukum syar’i. Ia merupakan wewenang Allah dan RasulNya. Tidak boleh kita meniadakan atau menolaknya. Sebab, takfir merupakan hukum syar’i ; ada orang yang bisa dikafirkan (dan) ada juga yang terjerumus dalam perbuatan takfir.

Tetapi masalahnya bukan pada persoalan di atas, namun terletak pada sikap ekstrim dalam takfir (mengkafirkan) dan mengeluarkan takfir itu dari kaidah yang telah ditetapkan Allah dan Rasulullah.

Karena itu, ada orang yang boleh dikafirkan, ada juga yang tidak boleh untuk dikafirkan. Dalam permasalahan ini, Ahlus Sunnah bersikap tengah-tengah antara dua golongan. Golongan yang mengabaikan hak Allah dalam masalah takfir ini, dengan golongan ekstrim menempatkan takfir bukan pada porsinya.

Ulama mengklasifikasikan kekufuran menjadi dua katagori :

Pertama : Kufur akbar yang mengeluarkan (manusia) dari Islam.
Kedua : kufur ashgar, tidak mengeluarkan dari Islam, meskipun diistilahkan kufur.

Dalam masalah pembagian kufur ini, ada keterangan paling mewakili, yaitu yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnul Qayim dalam kitabnya yang agung Ash-Shalah. Beliau menuturkan, kufur terbagi (menjadi) dua jenis, (yaitu) kufur yang mengeluarkan dari agama. Beliau menerangkan kufur ini berlawanan dengan iman dalam semua aspek. Maksudnya, ketika ada seseorang yang melakukannya, maka imannya akan hilang. Misalnya mencaci Allah, memaki NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyakiti Nabi, bersujud kepada kuburan dan patung, melemparkan mushaf ke tempat kotor, atau contoh-contoh serupa lainnya yang telah dipaparkan para ulama. Orang yang terjerumus dalam perbuatan-perbuatan ini dihukumi sebagai kafir. Hujjah harus ditegakkan kepadanya (artinya, ia harus diingatkan dengan hujjah,-red), sampai syarat-syarat takfir terpenuhi dan segala penghalang kekafiran hilang. Jika hujjah sudah ditegakkan kepadanya oleh orang yang mempunyai kewenangan untuk itu atau oleh wakilnya, sedangkan ia tetap menolak, maka baru divonis sebagai kafir.

Jenis kedua, yang tidak mengeluarkan dari agama. Namun syari’at Islam menyebutkannya sebagai tindakan kekufuran, seperti perbuatan-perbuatan maksiat. Contohnya termaktub dalam beberapa hadits.

“Artinya : Mencaci orang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kufur” [Hadits Riwayat Bukhari No. 48, Muslim No. 64]

“Artinya : Barangsiapa bersumpah dengan menyebut nama selain Allah, maka ia kafir atau musyrik” [Hadits Riwayat Tirmidzi]

“Artinya : Janganlah kalian menjadi kafir sepeninggalkau, yaitu sebagian kalian membunuh yang lain” [Hadits Riwayat Bukhari No. 121. Muslim No. 65]

Begitu juga, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang orang yang meninggalkan shalat dengan sebutan kufur. Demikianpula firman Allah.

“Artinya : Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah, maka ia termasuk orang-orang yang kafir” [Al-Ma’idah : 44]

Ini adalah contoh-contoh kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari agama, dengan syarat tidak menganggapnya sebagai perbuatan yang halal. Jika meyakini perbuatan maksiat ini halal, maka ia telah keluar dari Islam, murtad dan menjadi kafir. Ini adalah istihlal qalbi (penghalalan secara hati).

Berikutnya, pembicaraan kita tentang masalah ini, yaitu tentang orang-orang yang berlebihan-lebihan dalam takfir, menjadikan perbuatan yang tidak mengeluarkan dari agama, sebagai perkara yang mengeluarkan dari Islam. Dari sinilah fitnah terjadi. Dan ini merupakan fitnah pertama yang terjadi di dalam Islam, di tangan-tangan orang Khawarij yang dinyatakan oleh Nabi sebagai anjing-anjing neraka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih.

Pada waktu itu, pembesar mereka menantang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala Belaiu membagi rampasan perang di Hunain dengan memberikannya kepada orang-orang yang muallaf dan tidak memberikan kepadanya sedikitpun. Pemimpin mereka itu mengatakan : “Bersikap adillah, wahai Muhammad! Sesungguhnya pembagian yang engkau lakukan ini tidak dimaksudkan untuk mencari wajah Allah”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Celaka engkau. Siapa lagi yang akan berbuat adil kalau aku tidak berbuat adil? Sesungguhnya aku orang yang paling mengenal Allah dan paling bertawqa kepadaNya” [Hadits Riwayat Bukhari]

Dari sikap yang ditujukan oleh laki-laki penentang Rasulullah tersebut, terlihat dengan jelas faktor-faktor yang mendorong mereka ke dalam sikaf takfir (mengkafirkan orang).

[1]. Mereka menjadikan himpitan sosial, politik atau ekonomi sebagai sarana untuk keluar dari prinsip-prinsip pemahaman Islam dan memberontak kepada penguasa kaum Muslimin.

[2]. Kelancangan mereka terhadap Waliyul Amr. Kelancangan itu ditunjukkan oleh pimpinan mereka terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam sebuah hadits shahih dalam Musnad (disebutkan). “Suatu hari Nabi melewati orang ini dalam keadaan sujud. Maka beliau menghampiri para sahabatnya. Beliau berkata : “Siapa yang mau membunuhnya ?” Abu Bakar mengiyakan, lalu bangkit dengan pedang terhunus. Kemudian beliau menghampiri orang itu, belaiu mendapati sedang sujud. Maka beliaupun kembali (tidak membunuhnya) seraya berkata :”Ya Rasulullah, bagaimana aku membunuh yang mengucapkan laa illaha illa Allah?”. Demikian juga yang dilakukan Umar. Kemudian Ali menyanggupinya, beliau bergegas ke sana, tapi orang tersebut sudah tidak ada lagi. Kemudian. Beliau bersabda : “Seandainya ia berhasil dibunuh, tentu tidak akan ada lagi dua orang yang berselisih di antara umatku”.

Jadi, benih-benih takfir tumbuh dari golongan Khawarij, dan ini merupakan fitnah yang pertama kali terjadi dalam Islam, dan akan terus berlangsung sampai akhirnya Dajjal bergabung dengan pasukan mereka.

Apa yang diperintahkan Nabi pun terjadi. Fitnah Khawarij merangsek. Dan hasil pertama yang menjadi akibatnya, ialah yang dialami Khalifah ketiga Utsman Asy-Syahid yang mendapat jaminan syurga. Orang-orang Khawarij dengan provokasi dari Yahudi, memberontak kepadanya dan berhasil mengepung, dan membunuh Khalifah Utsman Radhiyallahu ‘anha. Kemudian mereka memobilisasi pasukannya untuk memberontak kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi Ali memerangi, membunuh dan menghabisi mereka sampai akarnya. Sedikit pun tidak tersisa, kecuali sembilan orang saja, sebagaimana dipaparkan buku-buku sejarah. Sembilan orang ini menyebar ke seluruh penjuru dunia. Menyebar pula fitnah Khawarij bersama mereka, membawa pemikiran takfir, petumpahan darah dan pembunuhan. Sungguh benar sabda Nabi, mereka adalah duri buat Islam. Mereka tidak mengusik orang-orang kafir, tetapi justru memerangi umat Islam.

Demikianlah, fitnah ini menghasilkan pertumpahan darah, menciderai kehormatan serta perusakan. Dan ini terjadi di negari-negeri Islam.

Fitnah ini akan berlangsung terus sebagaimana dikabarkan Nabi. Dalam hadits Ibnu Umar dalam sunan Ibnu Majah (disebutkan) : “Akan tumbuh generasi yang membaca Al-Qur’an. Ketika sebuah generasi habis, maka akan datang generasi berikutnya sampai datang di tengah-tengah mereka Dajjal”. Mereka adalah Khawarij. Setiap kali pupus satu generasi, akan tumbuh generasi baru. Demikian seterusnya hingga muncul Dajjal ditengah pasukan mereka yang dimobilisasi untuk melawan kaum muslimin. Mereka adalah para pengikut Dajjal. Dajjal yang menyebarkan kerusakan dimuka bumi, dari barat sampai timur, dari utara sampai selatan. Orang-orang Khawarij ini adalah tentara Dajjal di akhir zaman, mereka mendukung kekuasaan Dajjal dan mendukung kerusakan yang dilakukan Dajjal. Wal’iyyadzu billah tabaraka wa ta’ala.

Inilah yang kita lihat di lapangan. Muculnya jama’ah-jama’ah takfir dan menodongkan senjata mereka kehadapan umat Islam. Hasilnya, (ialah) pemboman, perusakan, pembunuhan dan pengusiran penduduk.

Peristiwa ini juga terjadi dihadapan anda. Lihat misalnya, apa yang terjadi beberapa tahun silam ketika muncul golongan ekstrimis di Aljazair. Mereka melakukan pembunuhan, perusakan-perusakan dan penodaan terhadap kehormatan dengan dalih Islam di bawah panji jihad, atau dalih melawan himpitan politik dan seabreg dalih besar lainnya. Sebenarnya mereka pernah bertanyan kepada para ulama. Dan ulamapun telah memberikan nasihat kepada mereka. Namun mereka menutup telinga dan tetap keras kepala.

Fitnah mereka mulai terjadi tahun 90-an hingga kini. Hasil yang diakibatkannya adalah, setengah juta orang Islam terbunuh. Setengah juta orang terbunuh hanya dalam waktu sepuluh tahun, di tangan orang yang mengaku dirinya muslim, mengaku berbuat untuk Islam dan mengaku bahwa mereka berjihad di jalan Allah.

Sementara, negeri Islam Aljazair, ketika melancarkan perang kemerdekaannya melawan penjajah Perancis selama seratus tiga puluh tahun, hanya mengorbankan satu juta syahid. Apabila korban di tangan orang Islam saja mencapai setengah juta jiwa dalam waktu sepuluh tahun, bagaimana jika fitnah ini berlangsung selama seratus tiga puluh tahun ? Berapa korban yang akan jatuh ? Maka akan menghabisi masyarakat muslim di sana!

Sebelumnya di Suriah, juga ada kelompok ekstrim yang memberontak dengan semboyan-semboyan membahana dan slogan-slogan besar. Maka terjadilah apa yang terjadi, pembunuhan, pengusiran penduduk, dan pengeboman. Bahkan ada sebuah kota, yaitu kota Hamah, total hancur-lebur disebabkan oleh ulah mereka, dengan menelan korban tewas empat puluh ribu jiwa dan penduduknya.

Itulah ulah mereka, penyembelihan, perusakan, peledakan, dan teror terhadap masyarakat yang terusik rasa amannya. Di sana sini ada ranjau darat, bom mobil, granat dan pembunuhan-pembunhan misterius. Akan tetapi kemanapun mereka pergi, sesungguhnya Allah senantiasa mengawasi!

Tidak ada satu jengkal negeri kaum musliminpun yang selamat dari fitnah ini. Dan negeri ini, negeri Islam yang penduduknya paling banyak di antara negeri-negeri Islam lainnya, juga tidak selamat dari ulah mereka, dari perusakan mereka, dari pemboman mereka dan dari terror mereka.

Hal ini, atau beberapa hari sebelumnya, juga terjadi di negara Haramain. Semoga Allah menjaganya dan menjaga seluruh negara Islam dari ulah tangan para perusak itu. Dan semoga Allah membasmi mereka. Setiap negeri kaum muslimin, senantiasa terancam dengan keberadaan mereka.

Karena itu, kita wajib berhati-hati terhadap bahaya pemikiran ini. Pemikiran yang secara lahir kelihatan indah, tetapi disebaliknya menyimpan kebusukan. Ada banyak sebab mengapa hal itu terjadi. Namun akan saya sebutkan secara garis besar pada tiga sebab.

[1]. Semangat keagamaan yang ada pada para pemuda, namun disertai kebodohan terhadap syari’at dan terhadap maksud-maksud agama.

[2]. Semangat buta ini dimanfaatkan oleh para hizbiyyin dan harakiyyin, terutama yang terpengaruh pemikiran Sayyid Qutb dan Muhammad Qutb. Sesungguhnya kelompok-kelompok ghuluw dan jama’ah-jama’ah takfir lahir karena terinspirasi oleh buku-buku mereka berdua, sebagaimana pengakuan tokoh besar mereka. Kelompok-kelompok itu memanfaatkan semangat para pemuda yang bodoh ini dengan mengarahkan mereka untuk mengkafirkan para penguasanya, mengkafirkan negerinya dan mengkafirkan umatnya sehingga mereka menjadi perusak dan menjadi bencana bagi negeri mereka.

[3]. Ditambah lagi, ada tangan-tangan tersembunyi serta pihak-pihak yang mempunyai kaitan dengan orang-orang kafir, mengail di air keruh, ikut memanfaatkan kebodohan ini, kemudian mengarahkannya untuk mengadakan kerusakan, penghancuran dan menimbulkan kekacauan di negerinya kaum muslimin. Semua itu diatasnamakan Islam, padahal Islam berlepas diri dari itu semua. As-Salafiyah juga berlepas diri dari itu semua.

Islam adalah agama yang menjunjung keamanan, kesentausaan, dan ketentraman, Islam mempersatukan kata dan hubungan. Sedangkan Salafiyah adalah dakwah menuju Kitab Allah, Sunnah Rasulullah dan manhaj Salaf. Maka dakwah Salafiyah sangat memperhatikan keamanan kaum muslimin dan sangat memperhatikan keamanan negeri kaum muslimin, seperti halnya dakwah Salafiyah juga sangat memperhatikan keamanan kaum muslimin serta bersemangat untuk mempersatukan bahasa serta negeri kaum muslimin. Karena itu, kita wajib merujuk kepada ulama besar kita.

Dalam masalah-masalah krusial, kita harus bertanya kepada ulama-ulama besar, tidak boleh bertanya kepada ulama kecil. Masalah-masalah besar hanya bisa dijawab oleh ulama-ulama besar. Dahulu ulama besar yang telah wafat seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Utsaimin pernah mengeluarkan fatwa untuk para pemuda, bahwa kegiatan-kegiatan (merusak) itu adalah tidak syar’i, tidak boleh dikerjakan oleh para pemuda harus mempejari agamanya serta berpegang teguh pada Sunnah Rasulullah. Para pemuda harus duduk disekeliling ulama supaya bahasa dan barisannya bisa bersatu. Semantara para musuh, baik dari dalam maupun dari luar tidak mampu mengusik barisan kita.

Saya berdoa agar Allah mempersatukan kita, menolong kita untuk menghadapi musuh, dan agar Allah menjadikan izzah terlimpah bagi Islam, kaum muslimin dan siapa saja yang membela Islam. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk melakukan itu semua.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425H/2005M Rubrik Liputan Khusus yang diangkat dari ceramah Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilali Tanggal 5 Desember 2004 di Masjid Istiqlal Jakarta] Selengkapnya...

Minggu, 12 Oktober 2008

Radio Hang Terbakar

Radio Hang Terbakar
Filed Under (Info) by Admin Web on October-5-2008
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu

Innaa Lillaahi Wa Innaa Ilaiihi Raaji’uun

Pagi ini sebagian gedung my mart ( Carnavall Mall ) terbakar, api semula berawal dari salah satu toko meubel yang terletak persis berdampingan dengan radio Hang 106 fm yang kita cintai, sampai saat saya menulis email ini, gedung hang fm sudah terbakar, Pemancar, Ruangan Studio dan beberapa ruangan lainnya dilalap sijago merah, petugas kebakaran sudah terjun lengkap dengan personil, namun tidak mampu menjinakkan kobaran api yang kian membara. alhamdulillah Seluruh manajemen, staff dan crew hang fm selamat.

Mohon maaf jika saya menulis agak kaku, karena sampai detik ini seluruh Ikhwan yang berada dibatam bahu membahu dan berusaha untuk menolong semampu kami, crew saat ini dalam keadaan panik. dan kami mohon dukungan antum semua berupa doa, semoga Toko buku maktabah Assunnah dan toko obat dawa serta toko busana muslim izzah collection tidak terbakar, dan ketiga business unit tersebut juga berada satu atap dengan hang fm.

Mohon doa dan dukungan antum semua,
silahkan diforward ke ikhwan2 kita yang lainnya, termasuk mohon bantuan penyampaian info ini melalui ikhwan 2 kita di radio rodja, radio assunnah, radio alrahmah dan radio2 dakwah lainnya yang mempunyai link dengan hang fm. semoga manajemen, crew dan staff hang fm diberikan kesabaran dan ketabahan oleh Allah subhana hu wa ta’ala.

Dan informasi terakhir sampai jam 15.00 proses pemadaman masih berlangsung.
Inventaris Aset Radio yang terbakar :
1. Ruangan Pemancar
- Mesin Pemancar 1 set lengkap dengan power 6000 KiloWatt
- AC Pendingin 3 buah
- Stabilizer
- Mesin Power
2. Ruangan ON Air
- Mixer 1 Unit
- Komputer Server Onair
- Komputer Server SMS online
- Komputer Server Streaming
3. Ruangan Rekording
- Mixer 1 unit
- Kompute Server Recording
- Komputer Server Editing
4. Ruangan Dubbing/ Produksi
- Komputer Server Produksi Iklan
5. Ruangan Station Manager
- Laptop VAIO untuk Kajian dan Lain
6. Toko Buku/ Baju Assunnah
7. Toko Obat Dawa
8. Service Komputer Dama

Bagi antum yang bersimpati dan ingin menyumbangkan dana untuk membangun dan pembelian peralatan pemancar silahkan kirimkan infaq ke rek :
ACCOUNT NUMBER : 109 000 6388 607,
Atas Nama : PT RADIO MEDIA HANG BATAM ,
Bank : Mandiri

Kontak Person
- Pak Asep Ketua Yayasan Alkahfi - 081372395051
- Pak Zen Owner Radio Hang - 081536992233
- Pak Heri Manajemen Hang - 08163655267

Jazakallah
Manajemen Radio Hang FM

Sumber : http://blog.hang106.or.id/?p=68

Popularity: 7% [?] Selengkapnya...

Selasa, 07 Oktober 2008

HIZBUT TAHRIR

Hizbut Tahrir Neo Mu'tazilah
Rabu, 11 Februari 2004 16:56:30 WIB



Halaman ke-1 dari 4

HIZBUT TAHRIR NEO-MU'TAZILAH


Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani



Dihadapan saya ada dua pertanyaan. keduanya bertemu pada satu titik. Yaitu tentang Hizbut Tahrir.

Pertanyaaan Pertama :
Saya telah membaca tentang Hizbut Tahrir dan saya mengagumi banyak pemikiran mereka. Kami menginginkan agar anda menerangkan atau memberi faidah kepada kami tentang sekelumit kelompok ini?

Pertanyaan Kedua:
Berbicara sekitar persoalan diatas, tetapi penanya meminta kepada saya penjelasan yang luas tentang Hizbut Tahrir. Tujuan-tujuan serta pemikiran-pemikirannya. Apakah dia menyimpang dalam hal aqidah ?

Sebagai jawaban dari dua pertanyaan ini , saya katakan:
Sesungguhnya kelompok atau perkumpulan Islam mana saja yang tidak tegak diatas kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wassalam serta diatas manhaj salafus shalih tentu ia dalam kesesatan yang nyata! tidak diragukan lagi, bahwa kelompok mana saja yang tidak tegak diatas tiga sumber ini akhirnya hanyalah kerugian belaka. Sekalipun sangat ikhlas ia dalam dakwahnya.

Pembahasan saya (Albani) sekarang ini, adalah tentang jama'ah-jama'ah islam yang seharusnya menjadi jama'ah yang ikhlas karena Allah saja, dan menjadi penasehat bagi umat. Sebagaimana telah datang penjelasannya dalam sebuah hadits shahih. Agama itu adalah nasehat kami bertanya: Bagi siapa wahai Rasulullah? beliau menjawab: Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin serta orang awamnya mereka [Riwayat Muslim dari hadits Tamim ad-Daari]

Yang demikian itu karena perkara ini adalah sebagimana yang difirmankan oleh Rabb kita dalm Al-Qur'an al-Karim:

"Artinya : Dan orang-orang yangb berjihad untuk (mencari keridhaan)Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami " [Al-Ankabut :69]

Maka barangsiapa yang jihadnya karena Allah diatas kitabullah dan sunnah rasulullah serta diatas manhaj salafus shalih, niscaya orang yang demikian termasuk orang-orang yang dikatakan dalam firman Allah :

"Artinya : Jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu" [Muhammad :7]

Jadi manhaj shalafus shalih ini merupakan pokok agung yang seharusnya setiap jama'ah Islam berada diatasnya dalam menegakkan dakwah. Berdasarkan pengetahuan saya terhadap semua jama'ah serta kelompok yang ada sekarang ini dinegeri-negeri Islam, maka akan saya katakan bahwa sesungguhnya mereka semuanya kecuali jama'ah yang satu (saya tidak mengatakan: "Kecuali (kelompok/hizb yang satu) karena jama'ah ini tidaklah bertahazub (berbuat hizbiyah) tidak pula berkumpul dan berfanatik kecuali kepada pokok-pokok yang telah disebutkan tadi yaitu Kitabullah, Sunnah Rasulullah dan Manhaj Salaf. Saya mengetahui dengan baik bahwasanya semua jama'ah selain jama'ah ini tidak menyeru kepada pokok yang ketiga, padahal (pokok itu) adalah asas yang kuat. Mereka hanya menyerukan (agar orang kembali) kepada al-Kitab dan Sunnah saja tanpa menyerukan keduanya (agar orang berpijak) kembali pada manhaj Saalafus Shalih. Dan sebenarnya akan menjadi terang bagi kita arti penting dari qaid (syarat pengikat) yang ketiga ini manakala kita perhatikan nash-nash syar'i yang berasal dari nabi, baik berupa kitab (al-Qur'an) maupun sunnah.

Dalam kenyataan, jama'ah-jama'ah Islam modern bahkan firqah-firqah Islam, dari sejak dimulainya penyimpangan diantara jama'ah-jama'ah Islam pertama yaitu sejak hari keluarnya Khawarij menentang Amirul mu'minin Ali bin Abi Thalib dan sejak mulainya Al-Ja'ad bin Dirham berdakwah dengan dakwah mu'tazilah dan sejak munculnya firqah-firqah lain yang sudah dikenal nama-namanya semenjak dahulu namun yang sekarang diperbaharui nama-namanya dengan nama-nama yang baru. (kenyataan dari) semua firqah ini, baik firqah yang dahulu maupun yang sekarang, tidak terdapat satu firqah pun(diantaranya) yang mengatakan dan menyuarakan dia berada diatas manhaj salafus shalih.

Firqah-firqah ini dengan segala perbedaan/perselisihan yang ada diantara mereka, baik dalam masalah hukum maupun furu'(cabang), mereka semua sama-sama mengatakan : Kami berada diatas (pijakan) Al-Kitab dan as-Sunnah" akan tetapi mereka berbeda dengan kita katakan yang mana perkara tersebut justru merupakan kesempurnaan dakwah kita. yaitu perkataan dan diatas manhaj shalafus shalih.

Berdasarkan kenyataan ini, siapakah yang akan menghukumi (manakah yang paling benar) diantara firqah-firqah ini. Yaitu firqah-firqah yang secara pengakuan dan secara dakwah paling tidak berintima' (menisbatkan diri) kepada al-Kitab dan as-Sunnah? hukum apakah yang bisa digunakan untuk menentukan kata putus diantara mereka sedangkan mereka semuanya mengatakan diatas kalimat yang satu? jawabnya tidak ada jalan untuk menghukumi bahwa satu jama'ah diantara mereka itu berada diatas kebenaran (al-Haq) kecuali jika dia menisbatkan diri (intima') kepada manhaj Shalafus shalih.

Disini, seperti yang dikatakan dizaman sekarang menjadi tanda tanya yang terlontar pada diri sendiri. Yaitu dari manakah kita mendatangkan kalimat tambahan :dan diatas manhaj salafus shalih ?

Jawabnya, sesungguhnya kita mendatangkannya dari kitabullah, sunnah Rasulullah dan dari apa yang ditempuh oleh para imam salaf, baik dari kalangan sahabat, tabi'in maupun pengikutnya yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan Ahlu Sunnah Wal Jama'ah seperti halnya yang mereka katakan sekarang. Yang paling pertama adalah firman Allah :

"Artinya : Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin kami biarkan dia leluasa dalam kesesatan yang telah menguasainya itu lalu Kami masukkan ia kedalam jahannam. dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali" [An-Nisaa :115]

Firman Allah (pada ayat diatas) : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, dihubungkan dengan firman Allah : Dan barangsiapa yang menentang Rasul, maka seandainya ayat ini berbunyi ; (Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, Kami biarkan dia leluasa dalam kesesatan yang telah menguasainya itu lalu Kami masukkan ia kedalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali) tanpa firman Allah (dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin) tentu ayat ini menunjukkan benarnya firqah-firqah yang dahulu maupun yang sekarang. Sebab mereka semua mengatakan: "Kami berjalan pada rel al-Kitab dan Sunnah"! sekalipun secara pengalaman mereka (sebenarnya) tidak berpegang teguh kepada al-Qur'an dan as-Sunnah. Karena mereka tidak mengembalikan masalah-masalah yang mereka selisihkan kepada Al-Kitab dan Sunnah. Sebagaimana yang Allah ta'ala firmankan:

"Artinya : Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih baik dan lebih utama akibatnya" [An-Nisaa:59]

Jika anda mengajak salah seorang dari kebanyakan ulama dan dai-dai mereka (supaya kembali) kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya ia akan berkata : "aku hanyalah mengikuti madzhabku" Dimana orang ini mengatakan :"Madzhabku Hanafi", sedangkan yang satu itu mengatakan "Madzhabku Syafi'i..." dan begitulah seterusnya. Mereka mendudukkan taqlid (sikap mengekor) mereka kepada imam-imamnya sama dengan kedudukan ittiba' terhadap kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. dengan demikian apakah mereka berarti telah merealisasikan ayat ini ? tidak, sama sekali tidak.Berdasarkan kenyataan ini, lalu apakah gunanya pengakuan mereka bahwasanya mereka berada diatasa al-kitab dan as-sunnah selama secara amaliyah (pengamalan) mereka tidak merealisasikannya ?

Ini adalah contoh yang tidak saya maksudkan untuk orang-orang taqlid (awam). Tetapi yang saya maksudkan adalah para dai islam yang seharusnya tidak menjadi orang-orang taqlid yang lebih mendahulukan pendapat para imam yang tidak maksum daripada firman Allah dan sabda Rasul-Nya yang maksum. Dengan demikian tidaklah Allah menyebut kalimat itu ditengah-tengah ayat secara sia-sia, tetapi kalimat itu disebut untuk menanamkan suatu asas dan membuat suatu kaidah. Yaitu bahwa kita tidak boleh menyerahkan pemahaman Al-Kitab dan As- Sunnah kepada akal kita yang serba ketinggalan zaman dan (serba) terbelakang dalam pemahaman.

Kaum muslimain hanyalah benar-benar dikatakan mengerti mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah secara mendasar dan sesuai dengan kaidah, bila disamping berpegang pada Al-Kitab dan as-Sunnah juga berpegang pada apa yang ditempuh oleh salafus shalih. Sebab ayat ini mengandung nash bahwa kita wajib untuk tidak menyelisihi dan tidak menetang rasul. Sebagaimana juga mengandung ketentuan agar kita tidak menyelisishi jalannya kaum mukminin. Artinya kita wajib mengikuti (ittiba' kepada) Rasul dan tidak menentangnya. Begitupula kita wajib mengikuti jalannya kaum mukminin dan tidak menyelisihinya. dari sinilah pertama-tama kami katakan, bahwa setiap kelompok atau setiap jama'ah islamiyah wajib melakukan pembetulan asas geraknya. yaitu dengan cara berpegang teguh kepada Al-Kitab dan Sunnah serta pemahaman Shalafus Shalih.

Tetapi sayang sekali ikatan syarat (yang terakhir) ini yakni (pemahaman salafus shalih) tidak diambil oleh hizbut tahrir, tidak pula oleh ikhwanul muslimin dan tidak pula oleh kelompok-kelompok Islam semisal mereka. Adapun kelompok-kelompok yang terang-terangan mengumumkan perang terhadap Islam seperti Partai Ba'ats dan Partai Komunis maka bukan disini sekarang pembicaraannya.

Jika demikian halnya, maka sepatutnya setiap muslim laki-laki dan perempuan mengetahui bahwa suatu garis jika sudah bengkok sejak dari pangkalnya maka garis bengkok itu akan semakin menjauh dari garis yang lurus. Setiap kali telapak kaki melangkah pasti langkahnya semakin bertambah menyimpang. Garis lurus itu adalah (garis) yang dikatakan oleh Allah Rabbul' Alamin dalam Al-Qur'anul Karim :

"Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan ) ini adlah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya" [Al-An'am :153]

Ayat mulia ini jelas dan qathi' dalalah (pasti penunjukannya)sebagimana yang menjadi kesukaan serta ciri khas Hizbut Tahrir diantara kelompok-kelompok yang ada dalam dakwahnya, risalah-risalahnya dan ceramah-ceramahnya. Dikatakan qathi' dalalah, karena ayat itu menyatakan bahwa jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah itu hanya satu. Sedangkan jalan-jalan lain adalah jalan-jalan yang akan menjauhkan kaum muslimin dari jalan Allah.

[Diterjemahkan dari Hizbut Tahrir Mu'tazilatul Judud, edisi Indonesia Hizbut Tahrir Neo Mu'tazilah, Dimuat di Majalah As-Sunnah edisi 3/Th. III/1418-1997. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo] Selengkapnya...

SIAPAKAH JAMA’AH TAKFIR WAL HIJRAH ?

Siapakah Jama'ah Takfir Wal Hijrah?
Rabu, 4 Juli 2007 15:57:42 WIB

SIAPAKAH JAMA’AH TAKFIR WAL HIJRAH ?


Oleh
Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql



Jama’ah takfir wal hijrah merupakan bukti keberadaan Khawarij pada abad ini. Mereka menamakan diri Jama’atul Muslimin. Muncul di Mesir dan diprakarsai Syukri Musthafa, seroang mahasiswa fakultas pertanian di Asyuth (Universitas Asyuth).

Pemikiran-pemikiran Khawarij menghinggapi pikirannya setelah ia dihukum sekitar tahun 1385H. Dia banyak mendapatkan paham ini ketika berada di dalam penjara, hingga sekitar tahun 1391H. Akhirnya jama’ahnya bertambah besar dan pemikirannya kian berkembang. Sikap mereka sangat berlebih-lebihan, hingga tokoh-tokoh mereke terbunuh setelah mereka menculik Dr Muhamamd Hussain Adz-Dzahabi.

Saya tidak bermaksud menceritakan sejarah dan kejadiannya di sini. Hanya saja yang terpenting bagi kita perlu mengetahui dasar, ciri-ciri dan sikap mereka, serta sebab-sebab yang membuat mereka sebagai pengikut hawa nafsu (Khawarij). Kita memohon keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dasar pemikiran dan cirri-ciri Khawarij pada abad ini (jama’ah takfir wal hijrah) sebagai berikut.

Pertama : Mengkafirkan. Hal ini mencakup :
1. Mengkafirkan para pelaku dosa besar dan menganggap mereka keluar dari agama dan kekal selamanya di dalam neraka, sebagaimana pendapat Khawarij terdahulu.
2. Menganggap kafir siapa saja yang berbeda dengan mereka dari kalangan kaum muslimin (ulama atau lainnya), dan menjatuhkan vonis kafir ini secara mu’ayyan (terarah kepada person tertentu)
3. Mengkafirkan siapa saja yang keluar dari jama’ah mereka yang dahulu pernah bersama mereka, atau orang yang berbeda dengan dasar mereka.
4. Mengkafirkan masyarakat muslim (yang bukan dari mereka), dan menghukuminya sebagai masyarakat jahiliyah.
5. Menganggap kafir siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak dan tanpa perincian.
6. Mengkafirkan siapa saja yang tidak mau hijrah kepada mereka dan orang yang tidak mau memboikot masyarakat dan yayasan-yayasan (organisasi-organisasi).
7. Mengangap kafir secara mutlak orang yang tidak mengkafirkan orang kafir menurut mereka.

Kedua : Kewajiban Hijrah dan Uzlah (menyendiri). Hal ini mencakup.
1. Meninggalkan masjid kaum muslimin dan tidak boleh shalat di dalamnya, walaupun harus meninggalkan shalat jum’at.
2. Tidak bergaul dengan masyarakat muslim yang ada di sekitarnya secara mutlak.
3. Tidak ikut belajar dan mengajar, serta mengharamkan masuk ke universitas-universitas dan sekolah-sekolah.
4. Tidak membolehkan menjadi pegawai negeri dan tidak boleh bekerja pada yayasan-yayasan umum, serta mengharamkan bekerja di lingkungan yang mereka sebut sebagai masyarakat jahiliyah, yaitu siapa saja yang bukan dari golongan mereka.

Ketiga : Mengajak umat agar buta huruf dan memerangi pendidikan.
Hal ini mereka serukan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau merupakan orang-orang yang buta huruf, kecuali sebagian kecil saja. Mereka beranggapan, tidak mungkin seseorang menggabungkan antara mencari ilmu dunia dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti ; shalat, puasa, haji, do’a, dzikir, membaca Al-Qur’an, berjihad dan berdakwah. Menurut mereka, seorang muslim bisa mengetahui ilmu agama sekedar apa yang ia butuhkan, dengan hanya mendengarkan langsung tanpa harus belajar tulis baca terlebih dahulu, dan berbagai bentuk syubhat lainnya.

Keempat : Sikap diam dan klarifikasi (Kaidah Tabayyun)
Yang mereka maksudkan dalam hal ini, yakni sama dengan maskud pendahulu mereka, yaitu Khawarij terdahulu. Yaitu tawaqquf (tidak menilai) terhadap seseorang yang masih belum jelas statusnya, apakah dari kelompok mereka atau bukan. Mereka tidak menghukuminya kafir dan tidak mengatakan ia muslim, kecuali setelah jelas jika ia dari kelompok mereka dan telah memba’iat imam mereka. Setelah itu, barulah seseorang tesebut menjadi seorang muslim. Bila tidak, maka ia kafir.

Kelima : Mereka mengatakan, tokoh mereka (yaitu Syukri Musthafa) sebagai imam mahdi yang muncul pada akhir zaman, dan Allah akan memenangkan agama ini dengannya, dari agama lain di muka bumi.

Keenam : Mereka memiliki anggapan, jama’ah mereka merupakan jama’ah kaum muslimin, jama’ah akhir zaman yang akan membunuh Dajjal. Dan menurut mereka, waktu munculnya Dajjal serta turunnya Isa Alaihis Sallam sudah dekat.

Ketujuh : Mereka mengatakan, bahwa kewajiban syariat bisa saling berbenturan.
Maksud mereka dari anggapan ini, yaitu dibolehkan meninggalkan sebagian kewajiban kewajban ketika ada hal yang lebih besar yang tidak bisa kita lakukan, kecuali dengan meninggalkan syari’at tersebut. Mereka meninggalkan shalat Jum’at, karena menganggap mereka dalam masa lemah, padahal syarat Jum’at ialah bila telah adanya kekuasaan. Sebagian kalangan mereka membolehkan mencukur jenggot, dengan dalih jenggot akan mempersempit ruang gerak dan bahaya bagi mereka.

Kedelapan : Dasar-dasar dan cirri-ciri bid’ah lainnya, seperti :
1. Pendapat tentang adanya fase hukum. Yaitu ; mereka dibolehkan meninggalkan sebahagian syari’at (shalat Jum’at dan shalat Id), serta boleh melakukan sebahagian yang diharamkan, seperti ; menikah dengan wanita kafir, mencukur jenggot dan memakan sembelihan orang kafir, karena mereka berada dalam fase lemah, sebagaimana pada masa dakwah Nabi di Mekkah
2. membuat dasar syari’at baru yang berbeda dengan manhaj Salaf. Mereka menolak ijma, melarang taklid dan ittiba (mencontoh) secara mutlak, sehingga mereka mewajibkan semua manusia untuk berijtihad.
3. Mereka tidak berpedoman kepada pemahaman para sahabat, ulama dan para imam dalam memahami Al-Qur’an dan hadits.
4. Mereka tidak mengakui khilafah Islamiyah setelah abad keempat, dan menganggap kafir abad-abad sesudah itu.
5. Mereka bersikap keras dan kasar dalam bergaul
6. Mereka merasa berilmu, sombong dan merasa lebih istimewa dari kaum muslimin yang lain.
7. Mereka menghalalkan darah dan menculik orang yang berbeda dengan mereka, bagi yang pernah bersama dengan mereka, dan menyebutnya sebagai orang murtad atau sebutan lainnya dari kalangan kaum muslimin. Aksi yang pernah mereka lakukan, yaitu menculik dan membunuh Syaikh Dr. Muhammad Hussain Adz-Dzahabi, menculik sebagian orang yang telah keluar dari jama’ah mereka dan menghabisinya, persis seperti perbuatan kaum Khawarij. Kita memohon keafi’atan dan keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
8. Di kalangan mereka cepat terjadi perpecahan, permusuhan dan saling memakan di antara mereka sendiri.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007. (Bagian dari artikel Kafirkah Orang Yang Tidak Mengkafirkan Orang Kafir?). Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] Selengkapnya...

Kamis, 02 Oktober 2008

IKHWANUL MUSLIMIN

Sejarah Suram Ikhwanul Muslimin
Rabu, 04-Januari-2006, Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc

Pemikiran dan buku tokoh-tokoh mereka, semacam Hasan Al-Banna, Sayyid Quthub, Said Hawwa, Fathi Yakan, Yusuf Al-Qardhawi, At-Turabi tersebar luas dengan berbagai bahasa, sehingga sempat mewar-nai gerakan-gerakan dakwah di berbagai negara.
Ikhwanul Muslimin, gerakan ini tidak bisa lepas dari sosok pendirinya, Hasan Al-Banna. Dialah gerakan Ikhwanul Muslimin dan Ikhwanul Muslimin adalah dia. Karismanya benar-benar tertanam di hati pengikut dan simpatisannya, yang kemudian senantiasa mengabadikan gagasan dan pemikiran Al-Banna di medan dakwah sepeninggalnya.
Untuk mengetahui lebih dekat hakikat gerakan ini, mari kita simak sejarah singkat Hasan Al-Banna dan berdirinya gerakan Ikhwanul Muslimin.



Kelahirannya
Hasan Al-Banna dilahirkan pada tahun 1906 M, di sebuah desa bernama Al-Mahmudiyyah, yang masuk wilayah Al-Buhairah. Ayahnya seorang yang cukup terkenal dan memiliki sejumlah peninggalan ilmiah seperti Al-Fathurrabbani Fi Tartib Musnad Al-Imam Ahmad Asy-Syaibani, beliau adalah Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna yang lebih dikenal dengan As-Sa’ati.

Pendidikannya
Ia mulai pendidikannya di Madrasah Ar-Rasyad Ad-Diniyyah dengan menghafal Al-Qur`an dan sebagian hadits-hadits Nabi serta dasar-dasar ilmu bahasa Arab, di bawah bimbingan Asy-Syaikh Zahran seo-rang pengikut tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Al-Banna benar-benar terkesan dengan sifat-sifat gurunya yang mendidik, sehingga ketika Asy-Syaikh Zahran menyerahkan kepemim-pinan Madrasah itu kepada orang lain, Hasan Al-Banna pun ikut meninggalkan madrasah.

Selanjutnya ia masuk ke Madrasah I’dadiyyah di Mahmudiyyah, setelah berjanji kepada ayahnya untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur`an-nya di rumah. Tahun ketiga di madrasah ini adalah awal perke-nalannya dengan gerakan-gerakan dakwah melalui sebuah organisasi, Jum’iyyatul Akhlaq Al-Adabiyyah, yang dibentuk oleh guru matematika di madrasah tersebut. Bahkan Al-Banna sendiri terpilih sebagai ketuanya.
Aktivitasnya terus berlanjut hingga ia bergabung dengan organisasi Man’ul Muharramat.
Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Al-Mu’allimin Al-Ula di kota Damanhur. Di sinilah ia berkenalan dengan tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Ia terkagum-kagum dengan majelis-majelis dzikir dan lantunan nasyid yang didendangkan secara bersamaan oleh pengikut tarekat tersebut.
Lebih tercengang lagi ketika ia dapati bahwa di antara pengikut tarekat tersebut ada guru lamanya yang ia kagumi, Asy-Syaikh Zahran. Akhirnya Al-Banna bergabung dengan tarekat tersebut. Sehingga ia pun aktif dan rutin mengamalkan dzikir-dzikir Ar-Ruzuqiyyah pagi dan petang hari. Tak ketinggalan, acara maulud Nabipun rutin ia ikuti: “…Dan kami pergi bersama-sama di setiap malam ke masjid Sayyidah Zainab, lalu melakukan shalat ‘Isya di sana. Kemudian kami keluar dari masjid dan membuat barisan-barisan.
Pimpinan umum Al-Ustadz Hasan Al-Banna maju dan melantunkan sebuah nasyid dari nasyid-nasyid maulud Nabi, dan kamipun mengikutinya secara bersamaan dengan suara yang nyaring, membuat orang melihat kami,” ujar Mahmud Abdul Halim dalam bukunya. (Al-Ikhwanul Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/109)

Di antara aktivitas selama bergabung dengan tarekat ini ialah pergi bersama teman-teman se-tarekat ke kuburan, untuk meng-ingatkan mereka tentang kematian dan hisab (perhitungan amal). Mereka duduk di depan kuburan yang masih terbuka, bahkan salah seorang mereka terkadang masuk ke liang kubur tersebut dan berbaring di dalamnya agar lebih menghayati hakekat kematian nanti.

Al-Banna terus bergabung dengan tarekat tersebut sampai pada akhirnya ia berbai’at kepada syaikh tarekat saat itu yaitu Asy-Syaikh Basyuni Al-’Abd. Jabir Rizq mengatakan: “…(Hasan Al-Banna) sangat berkeinginan mengambil ajaran tarekat itu, sampai-sampai ia meningkat dari sekedar simpatisan ke pengikut yang berbai’at.” Sepeninggal Basyuni, Al-Banna berbai’at kepada Asy-Syaikh Abdul Wahhab Al-Hashafi, pengganti pendiri tarekat tersebut.
Ia diberi ijazah wirid-wirid tarekat tersebut. Dengan bangga Al-Banna mengungkapkan: “Dan saya berteman dengan saudara-saudara dari tarekat Al-Hashafiyyah di Damanhur. Saya rutin mengikuti acara al-hadhrah di Masjid Taubah setiap malam… Sayyid Abdul Wahhab-pun datang, dialah yang memberikan ijazah di kelompok tarekat Hashafiyyah Syadziliyyah, dan saya menda-pat ajaran tarekat ini darinya. Ia juga mem-beri saya wirid dan amalan tarekat itu.”
Karena faktor tertentu, akhirnya kelompok tarekat ini mendirikan sebuah organisasi, bernama Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah yang diketuai oleh teman lamanya, Ahmad As-Sukkari. Sementara Hasan Al-Banna menjadi sekretarisnya.

Al-Banna mengatakan: “Di saat-saat ini, nampak pada kami untuk mendirikan organisasi perbaikan yaitu Al-Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah, dan aku terpilih sebagai sekretarisnya… Lalu dalam perjuangan ini, aku menggantikannya dengan organisasi Ikhwanul Muslimin setelah itu.”

Al-Banna menghabiskan waktunya di madrasah Al-Mu’allimin dari tahun 1920-1923 M. Di sela-sela masa itu, ia juga banyak membaca majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha, salah seorang tokoh gerakan Ishlahiyyah yang banyak dipengaruhi pemikiran Mu’ta-zilah. Di sisi lain, iapun suka mendatangi Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib di perpustakaan salafinya.
Al-Banna, ketika ingin melanjutkan pendidikannya ke Darul Ulum, sempat bimbang antara melanjutkan atau menekuni dakwah dan amal. Ini dikarenakan interaksinya dengan buku Ihya‘ Ulumuddin. Namun bermodalkan nasehat dari salah seorang gurunya, ia mantap untuk melanjutkan pendidikan.
Ia akhirnya memutuskan melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum. Di sini, ia sangat giat membentuk jamaah-jamaah dakwah, sehingga di tengah-tengah aktivitasnya tercetus dalam benaknya, ide untuk menjalin hubungan dengan orang-orang yang duduk di warung-warung kopi dan di desa-desa terpencil untuk mendakwahi mereka. Pada akhirnya Al-Banna lulus dari Darul Ulum pada tahun 1927 M.
Usai pendidikannya di Darul Ulum, ia diangkat menjadi guru di daerah Al-Isma’iliyyah. Iapun mengajar di sekolah dasar selama 19 tahun. Sebelumnya, ia datang ke daerah itu pada tanggal 19 September 1927 dan tinggal di sana selama 40 hari untuk mempelajari seluk-beluk lingkungan tersebut. Ternyata, ia dapati banyak terjadi perselisihan di antara masyarakat, sementara ia berkehendak agar dapat berkomunikasi, bergaul dengan semua pihak, dan mempersatukannya. Usai berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan untuk menjauh dari semua kelompok yang ada dan berkonsentrasi mendakwahi mereka yang berada di warung-warung kopi. Lambat laun dakwahnya-pun tersebar dan semakin bertambah jumlah pengikutnya.

Pembentukan Gerakan Ikhwanul Muslimin
Pada bulan Dzulqa’dah 1347 H yang bertepatan dengan Maret 1928, enam orang dari pengikutnya mendatangi rumahnya, membai’atnya demi beramal untuk Islam dan sama-sama bersumpah untuk menjadikan hidup mereka untuk dakwah dan jihad. Dengan itu muncullah tunas pertama gerakan Ikhwanul Muslimin. Selang empat tahun, dakwahnya meluas, sehingga ia pindah ke ibukota Kairo, bersama markas besar Ikhwanul Muslimin. Dengan bergulirnya waktu, jangkauan dakwah semakin lebar. Kini saatnya bagi Al-Banna untuk mengajak anggotanya melakukan jihad amali. Dengan situasi yang ada saat itu, ia membentuk pasukan khusus untuk melindungi jamaahnya. Pada tahun 1942 M, Hasan Al-Banna menetapkan untuk mencalonkan dirinya dalam pemilihan umum, tapi ia mencabutnya setelah maju, karena ada ancaman dari Musthafa Al-Basya, yang waktu itu menjabat sebagai pimpinan Al-Wizarah (Perdana Menteri, ed.). Dua tahun kemudian, ia mencalonkan diri kembali, namun Inggris memanipulasi hasil pemilihan umum.

Wafatnya
Pada tahun 1949 M, Al-Banna mendapat undangan gelap untuk hadir di kantor pusat organisasi Jum’iyyatusy Syubban Al-Muslimin beberapa saat sebelum maghrib. Ketika ia hendak naik taksi bersama Abdul Karim Manshur, tiba-tiba lampu penerang jalan tersebut dipadamkan. Bersamaan dengan itu peluru-peluru beterbangan mengarah ke tubuhnya. Ia sempat dievakuasi dengan ambulans. Namun karena pendarahan yang hebat, ajal menjemputnya. Dengan itu, tertutuplah lembaran kehidupannya.
Demikian sejarah ringkas Hasan Al-Banna bersama gerakan dakwah yang ia dirikan. Pembaca mungkin berbeda-beda dalam menanggapi sejarah tersebut, sesuai dengan sudut pandang yang digunakan.
Namun bila kita melihatnya dengan kacamata syar’i, menimbangnya dengan timbangan Ahlus Sunnah, maka kita akan mendapatinya sebagai sejarah yang suram.
Mengapa? Karena kita melihat, ternyata gerakan tersebut lahir dari sebuah sosok yang berlatar belakang aliran shufi Hashafi dengan berbagai kegiatan bid’ahnya, seperti bai’at kepada syaikh tarekat dan kepada Al-Banna sendiri sebagai pimpinan gerakan, amalan wirid-wirid Ruzuqiyyah yang diada-adakan, dzikir berjamaah, maulud Nabi, ziarah-ziarah kubur dengan cara bid’ah sampai pada praktek politik praktis di atas asas demokrasi. Gurunyapun campur aduk, dari syaikh tarekat, seorang yang terpengaruh madzhab Mu’tazilah, dan seorang yang berakidah salafi.
Warna-warni sosok pendiri tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan corak gerakan tersebut, sehingga warnanyapun tidak jelas, buram. Tidak seperti Ash-Shirathul Mustaqim yang Nabi n katakan:

تَرَكْتُكُمْ عَلىَ مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا

“Aku tinggalkan kalian di atas yang putih bersih, malamnya seperti siangnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Hakim, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah no. 33)
Untuk melihat lebih dekat dan jelas buktinya mari kita simak pembahasan berikutnya.

Pandangan Umum terhadap Gerakan Ikhwanul Muslimin
Sekilas, dari sejarah singkat Hasan Al-Banna tampak jati diri gerakan yang didirikannya. Namun itu tidak cukup untuk mengungkap lebih gamblang. Untuk itu perlu kami nukilkan di sini beberapa kesimpulan yang didasari oleh komentar Al-Banna sendiri atau tokoh-tokoh gerakan ini atau simpatisannya.
Pertama: Menggabung Kelompok-kelompok Bid’ah
Tentu pembaca tahu, bahwa bid’ah tercela secara mutlak dalam agama:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Semua bid’ah itu sesat.” (HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002)
Kata-kata ini senantiasa Nabi n ucapkan dalam pembukaan khutbahnya. Bahkan Nabi n juga katakan:

لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثاً

“Allah melaknati orang yang melindungi bid’ah.” (HR. Muslim, Kitabul Adhahi, Bab Tahrim Adz-Dzabh Lighairillah, no. 5096)
Yakni ridha terhadapnya dan tidak mengingkarinya. Dan banyak lagi hadits yang lain. Tapi anehnya, Al-Banna justru menaungi kelompok-kelompok bid’ah sebagaimana dia sendiri ungkapkan: “Sesungguhnya dakwah Ikhwanul Muslimin adalah dakwah salafiyyah… tarekat sunniyah… hakekat shufiyyah…dan badan politik…” (Majmu’ah Rasa`il, hal. 122)
Ini menggambarkan usaha untuk mencampur antara al-haq dan al-bathil. Dan ini adalah cara yang batil. Jika memang dakwahnya adalah salafiyyah yang sesungguhnya –dan itulah kebenaran– tidak mungkin dipadukan dengan shufiyyah dengan berbagai bid’ahnya dan praktek politik praktis yang diimpor dari Barat.
Karena prinsip ini, maka realita membuktikan bahwa: “Ratusan ribu manusia telah bergabung dengan kelompok Ikhwanul Muslimin. Mereka dari kelompok yang bermacam-macam, paham yang berbeda-beda. Di antara mereka ada sekelompok Shufi yang menyangka bahwa kelompok ini adalah Shufi gaya baru…,” demikian ungkap Muhammad Quthub dalam bukunya Waqi’una Al-Mu’ashir (hal. 405).
Bahkan dengan kelompok Syi’ah-pun berpelukan. Itu terbukti dengan usaha Al-Banna untuk menyatukan antara Sunnah dengan Syi’ah, dan tak sedikit anggota gerakan yang beraliran Syi’ah. Umar At-Tilmisani, murid Al-Banna sekaligus pimpinan umum ketiga gerakan ini, mengungkapkan: “Pada tahun empat-puluhan seingat saya, As-Sayyid Al-Qummi, dan ia berpaham Syi’ah, singgah sebagai tamu Ikhwanul Muslimin di markas besarnya. Dan saat itu Al-Imam Asy-Syahid (Al-Banna) berusaha dengan serius untuk mendekatkan antar berbagai paham, sehing-ga musuh tidak menjadikan perpecahan paham sebagai celah, yang dari situ mereka robek-robek persatuan muslimin. Dan kami suatu hari bertanya kepadanya, sejauh mana perbedaan antara Ahlus Sunnah dengan Syi’ah, maka ia pun melarang untuk masuk dalam permasalahan semacam ini… Kemudian mengatakan: ‘Ketahuilah bahwa Sunnah dan Syi’ah adalah muslimin, kalimat La ilaha illallah Muhammad Rasulullah menyatukan mereka, dan inilah pokok aqidah. Sunnah dan Syi’ah dalam hal itu sama dan sama-sama bersih. Adapun perbedaan antara keduanya adalah pada perkara-perkara yang mungkin bisa didekatkan.” (Dzikrayat la Mudzakkirat, karya At-Tilmisani, hal. 249-250)
Benarkah dua kelompok itu sama dan bersih dalam dua kalimat syahadat? Tidakkah Al-Banna tahu, bahwa di antara kelompok Syi’ah ada yang menuhankan ‘Ali bin Abi Thalib? Tidakkah dia tahu bahwa Syi’ah menuhankan imam-imam mereka, dengan menganggap mereka mengetahui perkara-perkara ghaib? Tidakkah dia tahu bahwa di antara Syi’ah ada yang meyakini bahwa Malaikat Jibril keliru menyampaikan risalah –mestinya kepada Ali, bukan kepada Nabi n–? Seandainya hanya ini saja (penyimpangan) yang dimiliki Syi’ah, mungkinkah didekatkan antara keduanya? Lebih-lebih dengan segudang kekafiran dan bid’ah Syi’ah.
Kedua: Lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`
Pembaca, tentu anda tahu bahwa Al-Wala` (loyalitas kepada kebenaran) dan Al-Bara` (antipati terhadap kebatilan) merupakan prinsip penting dalam agama kita, Islam.
Abu ‘Utsman Ash-Shabuni (wafat 449 H) mengatakan: “Dengan itu, (Ahlus Sunnah) seluruhnya bersepakat untuk merendahkan dan menghinakan ahli bid’ah, dan menjauhkan serta menjauhi mereka, dan tidak berteman dan bergaul dengan mereka, serta mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhi mereka.” (‘Aqidatussalaf Ashabil Hadits, hal. 123, no. 175)
Tapi prinsip ini menjadi luntur dan benar-benar luntur dalam manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Itu terbukti dari penjelasan di atas. Juga sambutan hangatnya terhadap pimpinan aliran Al-Marghiniyyah, sebuah aliran wihdatul wujud yang menganggap Allah menjadi satu dengan makhluk (lihat Qafilatul Ikhwan Al-Muslimin, 1/259, karya As-Sisi). Lebih dari itu –dan anda boleh kaget– Al-Banna mengatakan: “Maka saya tetapkan bahwa permusuhan kita dengan Yahudi bukan permusuhan karena agama. Karena Al-Qur`an menganjurkan untuk bersahabat dengan mereka. Dan Islam adalah syariat kemanusiaan sebelum syariat kesukuan. Allah-pun telah memuji mereka dan menjadikan kesepakatan antara kita dengan mereka… dan ketika Allah ingin menyinggung masalah Yahudi, Allah menyinggung mereka dari sisi ekonomi, firman-Nya….” (Al-Ikhwanul Al-Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/409 dinukil dari Al-Maurid, hal. 163-164)
Apa yang pantas kita katakan wahai pembaca? Barangkali tepat kita katakan di sini:

أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ

“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?” (Al-Baqarah: 85)
Ke mana hafalan Al-Qur`an-nya? Siapapun yang membaca pasti tahu bahwa Allah telah mengkafirkan Yahudi, mereka membunuh para nabi, mencela Allah, tidak mau beriman kepada Nabi Muhammad n, dan beberapa kali berusaha membunuh Nabi n. Apakah ini semua tidak pantas menimbulkan permusuhan antara muslimin dengan Yahudi dalam pandangannya?
Bukti lain tentang lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`, bahwa sebagian penasehatnya adalah Nashrani. Menurut pengakuan Yusuf Al-Qardhawi, katanya: “Saya tumbuh di sebuah lingkungan yang berkorban untuk Islam. Madrasah ini, yang memimpinnya adalah seorang yang mempunyai ciri khas keseimbangan dalam pemikiran, gerakan, dan hubungannya. Itulah dia Hasan Al-Banna. Orang ini sendiri adalah umat dari sisi ini, di mana dia bisa bergaul dengan semua manusia, sampai-sampai sebagian penasehatnya adalah orang-orang Qibthi –yakni suku bangsa di Mesir yang beragama Nashrani– dan ia masukkan mereka ke dalam departemen politiknya…” (Al-Islam wal Gharb, ma’a Yusuf Al-Qardhawi, hal. 72, dinukil dari Dhalalat Al-Qardhawi, hal. 4)
Padahal Allah k berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (Ali ‘Imran: 118)
Ketiga: Tidak Perhatian terhadap Aqidah
Pembaca, aqidah adalah hidup matinya seorang muslim. Bagi muslim sejati, yang berharga menjadi murah demi membela aqidah. Aqidah adalah segala-galanya, tidak bisa main-main, tidak bisa coba-coba. Tapi tidak demikian adanya dengan kelompok yang kita bicarakan ini. Itu terbukti dari keterangan di atas, ditambah keadaan Al-Banna sendiri yang tidak beraqidah salaf dalam mengimani Asma`ul Husna dan sifat-sifat Allah. Salah jalan, ia terangkan aqidah salaf tapi ternyata itu aqidah khalaf (yang datang belakangan dan menyelisihi salaf). Ungkapnya: “Adapun Salaf, mereka mengatakan: Kami beriman dengan ayat-ayat dan hadits-hadits sebagaimana datangnya, dan kami serahkan keterangan tentang maksudnya kepada Allah tabaraka wa ta’ala, sehingga mereka menetapkan sifat Al-Yad (tangan) dan Al-’Ain (mata)… Semua itu dengan makna yang tidak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya…” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 292, 324)
Tauhid Al-Asma` dan Sifat, adalah salah satu dari tiga unsur penting dalam ilmu-ilmu tentang Allah k. Intinya adalah mengimani nama-nama Allah k dan sifat-sifat-Nya sebagaimana Allah k sebutkan dalam Al-Qur`an atau Nabi n sebutkan dalam hadits yang shahih.
Aqidah Ahlussunnah dalam hal ini tergambar dalam jawaban Imam kota Madinah saat itu, Al-Imam Malik bin Anas Al-Ashbuhi t, ketika ditanya oleh seseorang: “Allah naik di atas ‘Arsy-Nya, bagaimana di atas itu?” Dengan bercucuran keringat karena kaget, beliau menjawab: “Naik di atas itu diketahui maknanya. Caranya tidak diketahui. Iman dengannya adalah wajib. Dan bertanya tentang itu adalah bid’ah!”
Ucapan Al-Imam Malik ini minimalnya mengandung empat hal:

1. Naik di atas itu diketahui maknanya: Demikian pula nama, sifat dan perbuatan Allah yang lain seperti, murka, cinta, melihat, dan sebagainya. Semuanya diketahui maknanya, dan semua itu dengan bahasa Arab yang bisa dimengerti.

2. Tapi caranya tidak diketahui: yakni kaifiyyah, cara dan seperti apa tidaklah diketahui, karena Allah k tidak memberi-tahukan perincian tentang hal ini. Demikian pula sifat-sifat yang lain.

3. Iman dengannya adalah wajib: karena Allah memberitakannya dalam Al-Qur`an dan Nabi n mengabarkan dalam haditsnya yang shahih.

4. Dan bertanya tentang itu adalah bid’ah:
yakni bertanya tentang tata caranya dan seperti apa sifat-sifat tersebut adalah bid’ah, tidak pernah dilakukan oleh generasi awal. Mereka beriman apa adanya, karena Allah k tidak pernah memberitakan perincian tata caranya. Berbeda dengan ahli bid’ah yang melakukan takyif yakni mereka-reka kaifiyyah sifat tersebut, atau bertanya untuk mencari tahu dengan pertanyaan: Bagaimana?
Dengan penjelasan di atas, maka ucapan Hasan Al-Banna: …”Semua itu dengan makna yang tidak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya”, adalah ucapan yang menyelisihi kebenaran. Dan ini tentu bukan manhaj salaf. Bahkan ini adalah manhaj Ahluttafwidh atau Al-Mufawwidhah, yang menganggap ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah itu bagaikan huruf muqaththa’ah, yakni huruf-huruf di awal surat seperti alif lam mim, yang tidak diketahui maknanya.
Madzhab ini sangat berbahaya, yang konsekuensinya adalah menganggap Nabi n dan para shahabatnya bodoh, karena mereka tidak mengetahui makna ayat-ayat itu. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyyah t mengatakan bahwa: “Al-Mufawwidhah termasuk sejahat-jahat ahli bid’ah.” (lihat Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql karya Ibnu Taimiyyah, 1/201-205, dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 71)

Bukti lain, ia hadir di salah satu sarang kesyirikan terbesar di Mesir yaitu kuburan Sayyidah Zainab, lalu memberikan wejangan di sana, tetapi sama sekali tidak menyinggung kesyirikan-kesyirikan di sekitar kuburan itu (lihat buku Qafilatul Ikhwan, 1/192). Jika anda heran, maka akan lebih heran lagi ketika dia mengatakan: “Dan berdoa apabila diiringi dengan tawassul kepada Allah k dengan perantara seseorang dari makhluk-Nya, adalah perbedaan pendapat yang sifatnya furu’ (cabang) dalam hal tata cara berdoa dan bukan termasuk perkara aqidah.” (Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270)

Pembaca, jika anda mengikuti kajian-kajian majalah kesayangan ini, pada dua edisi sebelumnya dalam Rubrik Aqidah akan anda dapati pembahasan tentang tawassul. Tawassul (menjadikan sesuatu sebagai perantara untuk menyampaikan doa kepada Allah) telah dibahas panjang lebar oleh ulama dan sangat erat kaitannya dengan aqidah. Di antara tawassul itu ada yang sampai kepada derajat syirik akbar, adapula yang bid’ah. Dari sisi ini, bisa pembaca bandingkan antara nilai aqidah menurut para ulama dan menurut Hasan Al-Banna.
Keempat: Menganggap Sepele Bid’ah dalam Agama
Sekilas telah anda ketahui tentang bahaya bid’ah yang Nabi n katakan:

شَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا

“Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan.” (HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002)
Oleh karenanya, Nabi n berpesan:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ ...

“Dan jauhi oleh kalian perkara-perkara baru (yakni dalam agama) karena semua bid’ah itu sesat, dan semua kesesatan di neraka.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Namun berbeda keadaannya dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, sebagaimana anda baca dalam sejarah ringkas Al-Banna. Berbagai macam bid’ah ia kumpulkan, kelompok-kelompok bid’ah ia rangkul, acara bid’ah ia datangi seperti maulud Nabi dan dzikir bersama dengan satu suara, bahkan sebagian bacaannya mengandung aqidah wihdatul wujud. Tentu itu bukan secara kebetulan, terbukti dengan penegasannya: “Dan bid’ah idhafiyyah, tarkiyyah, dan iltizam pada ibadah-ibadah yang bersifat mutlak adalah perbedaan fiqih, yang masing-masing punya pendapat dalam masalah itu…” (Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270)
Ia hanya anggap bid’ah-bid’ah itu layaknya perbedaan fiqih biasa. Coba bandingkan dengan wasiat Nabi n di atas. Oleh karenanya, muncul kaidah mereka yang sangat populer: “Kita saling membantu pada perkara yang kita sepakati, dan saling mamaklumi pada apa yang kita perselisihkan.” Pada prakteknya, mereka saling memaklumi dengan Syi’ah, Shufi yang ekstrim, bahkan Yahudi dan Nashrani, apalagi ahli bid’ah yang belum sederajat dengan mereka.
Sedikit penjelasan terhadap ucapan Al-Banna, bid’ah idhafiyyah adalah sebuah amalan yang pada asalnya disyariatkan, tapi dalam pelaksanaannya ditambah-tambah dengan sesuatu yang bid’ah. Termasuk di dalamnya yaitu sebuah ibadah yang mutlak, artinya tidak terkait dengan waktu, jumlah, tata cara, atau tempat tertentu. Tetapi dalam pelaksanaannya, seseorang mengaitkan dengan tata cara tertentu dan iltizam (terus-menerus) dengannya. Contoh dzikir dengan ucapan La ilaha Illallah, dalam sebuah hadits dianjurkan secara mutlak, tapi ada orang yang membatasi dengan jumlah tertentu (500 kali, misalnya) dan beriltizam dengannya.
Bid’ah tarkiyyah, adalah mening-galkan sesuatu yang Allah halalkan atau mubahkan dengan niat ber-taqarrub, mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah dengan itu. Contohnya adalah orang yang tidak mau menikah dengan tujuan semacam itu, seperti yang dilakukan pendeta Nashrani dan sebagian muslimin yang mencontoh mereka. (lihat Mukhtashar Al-I’tsham, hal. 11 dan 72)

Kelima: Bai’at Bid’ah
Bai’at adalah sebuah ibadah. Layaknya ibadah yang lain, tidak bisa dibenarkan kecuali dengan dua syarat: ikhlas dan sesuai dengan ajaran Nabi n. Dalam sejarah Nabi dan para shahabatnya, bahkan para imam Ahlus Sunnah setelah mereka, mereka tidak pernah memberikan bai’at kepada selain khalifah, imam, atau penguasa muslim. Maka, sebagaimana dikatakan Sa’id bin Jubair –seorang tabi’in–: “Sesuatu yang tidak diketahui oleh para Ahli Badr (shahabat yang ikut Perang Badr), maka hal itu bukan bagian dari agama.” (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal. 165). Al-Imam Malik mengatakan: “Sesuatu yang di masa shahabat bukan sebagai agama, maka hari ini juga bukan sebagai agama.” (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal. 165)
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya tentang bai’at, beliau menjawab: “Bai’at tidak diberikan kecuali kepada waliyyul amr (penguasa) kaum muslimin. Adapun bai’at-bai’at yang ada ini adalah bid’ah, dan merupakan akibat dari adanya ikhtilaf (perselisihan). Yang wajib dilakukan oleh kaum muslimin yang berada di satu negara atau satu kerajaan, hendaknya bai’at mereka hanya satu dan untuk satu pimpinan…” (Fiqh As-Siyasah As-Syar’iyyah hal. 281 dan lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 214). Lebih rinci tentang hukum bai’at, silakan anda buka-buka kembali Asy-Syariah edisi-edisi sebelumnya.
Sementara, Hasan Al-Banna sendiri berbai’at kepada syaikh tarekat shufi. Dan ketika mendirikan gerakan ini, ia dibai’at oleh enam tunas gerakan ini, bahkan Al-Banna menjadikan bai’at sebagai unsur penting manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Dia katakan: “Wahai saudara-saudara yang jujur, rukun bai’at kita ada sepuluh, hafalkanlah: 1. Paham, 2. Ikhlas, 3. Amal, 4. Jihad, 5. Pengorbanan, 6. Taat, 7. Kokoh, 8. Konsentrasi, 9. Persaudaraan, 10. Percaya.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 268)
Untuk mengkaji kritis secara tuntas point-point itu tentu butuh berlembar-lembar kertas. Namun cukup untuk mengetahui batilnya, bahwa rukun-rukun bai’at ini berdiri di atas asas bai’at yang salah. Sebagai tambahan, tahukah anda apa yang dimaksud ketaatan pada point keenam? Silahkan anda simak penuturan Al-Banna: “…Dan pada periode kedua yaitu periode takwin (menyusun kekuatan), aturan dakwah dalam periode ini adalah keshufian yang murni dari sisi rohani dan militer murni dari sisi amal. Dan selalu, motto dua sisi ini adalah ‘komando’ dan ‘taat’ tanpa ragu, bimbang, bertanya, segan.” (Risalah Ta’lim, karya Al-Banna, hal. 274)
Yakni taat komando secara mutlak, bagaikan mayat di hadapan yang memandikan. Sedangkan Nabi n saja, dalam bai’at yang sah mensyaratkan ketaatan dengan dua syarat:
1. Pada perkara yang sesuai syariat.
2. Sebatas kemampuan.
(lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 217)
Tahukah pula anda, apa yang dimaksud dengan paham pada point pertama? Mari kita simak penuturan sang imam ini: “Hanyalah yang saya maukan dengan ‘paham’ ini, adalah engkau harus yakin bahwa pemikiran kami adalah Islami dan benar, dan agar engkau memahami Islam sebagaimana kami memahaminya dalam batas 20 prinsip yang kami ringkas seringkas-ringkasnya.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 356)
Pembaca, haruskah seseorang berbai’at untuk membenarkan pemikiran Al-Banna yang sedemikian rupa, seperti anda baca? Haruskah kita memahami Islam seperti dia pahami, hanya berkutat pada 20 prinsip yang ia buat, itu pun bila prinsip-prinsip itu benar?
Anehnya juga, ketika menyebutkan 38 kewajiban muslim berkaitan dengan bai’at tersebut, salah satunya adalah: “Jangan berlebih-lebihan minum kopi, teh dan minuman-minuman sejenis yang membuat susah tidur.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 277, dinukil dari Haqiqatud Da’wah, karya Al-Hushayyin, hal. 80), namun dia tidak menyinggung masalah pembenahan aqidah.
Pembaca yang saya muliakan, dari penjelasan di atas tentu anda merasakan, bagaimana sosok Hasan Al-Banna begitu mewarnai corak gerakan yang ia dirikan. Sekaligus anda dapat mengetahui betapa jauhnya gerakan ini dari Ash-Shirathul Mustaqim, jalan yang digariskan Nabi n dan kita diperintahkan menelusurinya serta berhati-hati dari selainnya. Lebih-lebih, gerakan ini juga, tidak kurang-kurangnya memuji musuh-musuh Allah seperti, Al-Khomeini, dan tokoh-tokoh Syi’ah yang lain, Al-Marghini tokoh wihdatul wujud, memusuhi Muwahhidin, melakukan pembunuhan-pembunuhan kepada aparatur negara yang dianggap merugikan dengan cara yang tidak syar’i, berdemo, melakukan kudeta tanpa melalui prosedur syar’i, nasyid ala shufi dan sandiwara. Dan betapa pengikutnya berlebihan dalam menyanjung Al-Banna sampai menjulukinya Asy-Syahid (yang mati syahid), dan dengan yakin salah satu di antara mereka mengatakan: “Bahwa ia (yakni Hasan Al-Banna) hidup di sisi Rabbnya dan mendapat rizki di sana.” (lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 206, 165, 208, 226, 229, 117, 228)
Padahal, Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan sebuah bab dalam bukunya Shahih Al-Bukhari berjudul: “Tidak boleh dikatakan bahwa fulan adalah syahid”, lalu beliau sebutkan dalilnya. Beliau juga menyebutkan hadits dalam bab lain: “…Bahwa Ummul ‘Ala berkata: ‘Utsman bin Mazh’un dapat bagian di rumah kami (setelah diundi), maka ketika ia sakit kami mera-watnya. Tatkala wafat, aku katakan: ‘Persaksianku atas dirimu wahai Abu Sa`ib ('Utsman bin Mazh’un) bahwa Allah telah memuliakanmu’. Maka Nabi n mengatakan: ‘Darimana engkau tahu bahwa Allah telah memuliakannya?’ Saya katakan: ‘Ayah dan ibuku tebusanmu, wahai Rasulullah. Demi Allah, saya tidak tahu.’ Maka Nabi n mengatakan: ‘Sesungguhnya aku, demi Allah, dan aku ini adalah utusan Allah, aku tidak tahu apa yang akan Allah perlakukan kepadaku dan kepada kalian’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)

Wahai saudaraku, sadarlah dan ambillah pelajaran....

( http://asysyariah.com/print.php?id_online=303 ) Selengkapnya...