Nasihat untuk pemuja Demokrasi dan Pemilu (1)
Penulis: Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam
Manhaj, 20 Maret 2004, 21:32:12
NASIHAT
Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam
NASIHAT PERTAMA
JANGAN MEMBELA KEBATILAN!
Setelah jelas bagi kita bahwa pemilu itu diharamkan dengan pengharaman yang sangat keras maka kerusakan yang tersisa adalah kukuhnya pembelaan seorang Muslim maupun Muslimah, partai ataupun jamaah terhadap keberadaan pemilu. Khususnya pada diri mereka-mereka yang mengetahui atau mendengar pengharamannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’ : 105-106)
Rabb kita Azza wa Jalla mengingatkan Nabi-Nya bahwa beliau adalah orang yang berada di atas kebenaran dan tidak memiliki satu kepentingan pun untuk membela pengkhianat. Allah Azza wa Jalla juga menyeru beliau agar memohon ampun dari sesuatu yang mungkin telah terjadi pada diri beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Kemudian untuk kedua kalinya Allah memperingatkan Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan firman-Nya :
“Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa.” (QS. An Nisa’ : 107)
Dan janganlah lalai dari akibat berikut. Allah Azza wa Jalla berfirman dalam hal ini :
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa.”
Banyak sekali ayat-ayat Al Quran yang membongkar kebejatan orang-orang yang tidak takut kepada Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Mereka bersembunyi dari manusia tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah padahal Allah beserta mereka ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An Nisa’ : 108)
Kemana hendak lari, hendak pergi ke mana lagi, kepada siapa berlindung ketika seorang hamba telah dikelilingi oleh ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, Ia Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat? Dia berada di bawah pengawasan Allah, di bawah genggaman Allah dan di bawah kekuasaan dan keperkasaan-Nya. Namun ia takut kepada manusia dan tidak takut kepada Allah bagaimanapun ia tetap berusaha membela kebatilan dan para pelakunya. Yang seperti ini tidak akan membawa manfaat sedikitpun baginya di hari kiamat kelak.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang jadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah)?” (QS. An Nisa’ : 109)
Bukankah kebaikan yang sesungguhnya itu ada pada hari kiamat? Bukankah keburukan yang sesungguhnya itu ada pada hari kiamat? Suatu hari yang tidak ada wali, penolong, pemberi syafaat, pelindung, penyokong dan pembela kecuali hanya Allah.
Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
“Dan tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada Tuhan Yang Hidup Kekal lagi senantiasa mengurus (makhluk-Nya). Dan sesungguhnya telah merugilah orang yang melakukan kezaliman.” (QS. Thaha : 111)
Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah dari hadits Ibnu Umar radliyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Barangsiapa yang menolong permusuhan secara zalim maka dia senantiasa berada di dalam kemurkaan Allah hingga ia mencabutnya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya seorang hamba pasti akan berbicara dengan satu kalimat yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka Jahannam, lebih jauh dari jarak antara timur dan barat.” (Muttafaq ‘alaih dari hadits shahabat Abu Hurairah radliyallahu 'anhu)
Bila satu kalimat yang buruk dapat menghempas pelakunya ke dalam neraka Jahannam dengan jarak yang begini jauh maka bagaimana pula dengan orang-orang yang membela kebatilan siang dan malam?
Wahai saudaraku kaum Muslimin, janganlah merasa aman dari siksa yang abadi selagi di atas kesalahan. Sesungguhnya demi Allah kamu tidak mengetahui ternyata musuhmu yang paling keras adalah saudaramu juga yang Muslim yang tidak terimbas penyakit-penyakit ini. Kamu mengetahui hak-hak seorang Muslim dan alangkah bahayanya jika sampai terjerumus ke dalam pelanggaran terhadapnya.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Mencela orang Muslim adalah kefasikan, membunuhnya adalah kekufuran.” (Muttafaq ‘alaih dari hadits Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam juga bersabda :
“Cukuplah bagi seseorang (dikatakan) berbuat keburukan dengan menghina saudaranya yang Muslim.” (Riwayat Muslim dari hadits Abu Hurairah radliyallahu 'anhu)
Keburukan yang membuat seseorang melecehkan seorang Muslim jauh melebihi keburukan-keburukan lainnya. Cukuplah baginya musibah perbuatan ini, ia telah membebankan dirinya dengan menanggung sesuatu yang ia tidak mampu menanggungnya. Hati-hatilah dari bermain-main dengan hal kaum Muslimin, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah bersabda :
“Barangsiapa yang makan hak seorang Muslim satu kali maka Allah Azza wa Jalla akan memberinya makan dengan yang semisalnya dari neraka Jahannam, barangsiapa yang merampas pakaian seorang Muslim maka Allah akan pakaikan padanya pakaian yang semisalnya pada hari kiamat dari neraka Jahannam.” (Riwayat Hakim, Abu Dawud dan Imam Ahmad dari Al Mustaurid bin Syaddad)
Perhatikanlah, alangkah mengerikan siksa bagi orang yang memperalat orang Muslim sebagai sarana untuk memperoleh tujuan dan angan-angannya. Cukuplah kamu menjadi penasihat bagi kaum Muslimin dan jagalah dirimu, hanya Allah tempat meminta pertolongan.
NASIHAT KEDUA
JANGAN BERKATA TANPA ILMU
Ketahuilah wahai orang Muslim bahwa di antara penyakit-penyakit dakwah Ilallah Azza wa Jalla adalah meyakini suatu pendapat sebelum mengetahui dalilnya. Ini merupakan salah satu bentuk perbuatan “berkata atas Allah tanpa ilmu”.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al Isra’ : 36)
Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, “ini halal dan ini haram” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit dan bagi mereka azab yang pedih. (QS. An Nahl : 116-117)
Allah mengkategorikan perbuatan berkata atas nama Allah tanpa ilmu termasuk dosa yang paling besar. Allah Azza wa Jalla berfirman :
Katakanlah : “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al A’raf : 33)
Perhatikanlah kerasnya ancaman kepada orang yang berkata “ini halal ini haram” tanpa merujuk kepada dalil-dalil syar’i. Larangan ini tertuju kepada kita semuanya, kepada orang yang bodoh dan yang berilmu, kepada hakim dan yang dihakimi.
Bila seorang berijtihad dalam suatu masalah yang belum sampai kepadanya hukum syar’i maka tidak layak baginya untuk mengatakan ini “hukum Allah” bahkan hendaknya dia mengatakan “ini hukumku, hasil ijtihadku”.
Imam Muslim, Imam Ahli Hadits yang empat (Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah) serta Darimi telah meriwayatkan dari hadits Buraidah bin Al Hashib radliyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda kepada salah seorang pemimpin saat memberi wasiat :
“ … jika kalian mengepung suatu benteng lantas mereka menginginkan untuk diterapkan kepada mereka hukum Allah maka janganlah kalian menerapkan hukum Allah kepada mereka namun terapkanlah pada mereka hukummu, sesungguhnya kamu tidak mengetahui apakah kamu sesuai dengan hukum Allah atau tidak dalam perkara mereka?”
Alangkah indahnya kalau mereka --saudara-saudara kita yang berfatwa dalam masalah pemilu-- mengatakan : “Sebagian ulama telah berijtihad … .” Atau ulama mereka sendiri mengatakan : “Kami berijtihad … mungkin kami sesuai dengan kebenaran dan mungkin juga kami keliru dan mungkin juga ada yang menyelisihi kami sedangkan mereka orang yang memiliki kedudukan ilmiah yang lebih tinggi … .” Dan seterusnya.
Namun mereka mengeluarkan berbagai fatwa hukum dengan mengatakan : “Barangsiapa yang tidak memilih maka dia munafik, sesungguhnya pemilu wajib, orang yang tidak memilih berarti telah berbuat dosa … .”
Dan semua hukum ini keluar dari jalan hawa nafsu. Bagaimana tidak? Dia memaksa manusia untuk menerima hukum, sistem dan proses legislasi ala musuh-musuh Allah yang telah diketahui oleh semua akan bahaya dan kerusakannya? Sedangkan mereka tidak mampu mendatangkan satu dalil pun yang menunjukkan dengan jelas bolehnya pemilu tersebut.
Sementara dalil-dalil yang berbicara tentang pengharaman pemilu ada jelas-jelas. Mereka hanya bersandar kepada ayat-ayat yang sangat jauh maknanya dari apa yang mereka dakwakan. Mereka juga memakai kaidah-kaidah fiqhiyyah bukan pada tempatnya.
NASIHAT KETIGA
AMBILLAH ILMU DARI AHLINYA!
Ketahuilah wahai saudaraku Muslim --semoga Allah menjagamu-- sesungguhnya agamamu tidak akan lurus kecuali dengan mengambil ilmu syar’i dari ahlinya yakni ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah sangat bersungguh-sungguh berpegang teguh dengan Al Quran dan As Sunnah sesuai pemahaman Salafus Shalih dalam perkara akidah, politik, manhaj, dakwah Ilallah, menyikapi musuh dari kalangan yahudi, nashara dan para cecunguk mereka. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah bersabda :
“Keberkahan ada bersama para orang-orang besar kamu.” (Riwayat Ibnu Hibban, Abu Nu’aim, Hakim dan Baihaqi dari hadits Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu juga ada dari hadits yang semisalnya)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu bahwa dia pernah berkata :
“Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka mengambil (ilmu) dari orang-orang besar mereka. Bila mereka mengambil ilmu dari kroco-kroco dan orang-orang jahatnya niscaya mereka binasa.”
Banyak sekali perkataan para ulama yang menganjurkan pentingnya mengambil ilmu dari pakarnya. Imam Muslim telah menyebutkan dalam Kitab Shahih-nya dengan sanad yang shahih dari Muhammad bin Sirin bahwa dia pernah berkata :
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Juga diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia mengatakan :
“Agamamu agamamu, darahmu dan dagingmu maka ambillah dari orang-orang istiqamah dan jangan mengambil dari orang-orang yang menyimpang.”
Imam Malik rahimahullah mengatakan :
“Apakah tiap kali datang kepada kami seseorang yang lebih pandai bersilat lidah, kami tinggalkan apa yang telah kami ketahui dari Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.”
Sebagian ulama berkata : “Sesungguhnya saya pernah mendengar suatu perkara yang cukup mendalam maka saya tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi yang adil yakni Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.”
Imam Ahmad rahimahullah berkata :
“Janganlah kalian membeo kepadaku, jangan pula kepada Al Auza’i dan Ats Tsauri, ambillah (ilmu) dari sumber yang mereka mengambil darinya.”
Imam Syafi’i mengatakan :
“Kaum Muslimin telah sepakat bahwa orang yang telah mengetahui dengan jelas tentang Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam maka dia tidak boleh meninggalkannya dengan alasan mengikuti pendapat salah seorang manusia.”
Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Abdul Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadllihi.
Ibnu Abdil Barr juga menyebutkan dalam kitab yang sama :
“Kaum Muslimin telah sepakat bahwa orang yang membeo (bertaqlid) tidak dikategorikan sebagai ulama. Sesungguhnya ilmu adalah mengetahui kebenaran dengan dalil.”
Ibnul Qayyim mengatakan :
“Dan perkara ini memang seperti yang dikatakan oleh Abu Amr rahimahullah yakni Ibnu Abdil Barr.”
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah diberitahu oleh Allah Azza wa Jalla tentang perselisihan-perselisihan yang terjadi di kalangan umat ini dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memberikan arahan kepada kita bahwa solusinya adalah berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan Sunnah para shahabatnya. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Barangsiapa dari kalian yang hidup (setelah masaku) akan banyak melihat perselisihan yang banyak maka kalian wajib berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Khulafaur Rasyidin, gigitlah dengan kuat dan jauhilah perkara-perkara baru.” (Riwayat Abu Dawud dan lainnya dari hadits Irbadl bin Sariyah)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak pernah sama sekali mengarahkan seorang Muslim untuk masuk ke dalam partai-partai yang bid’ah. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam hanya mengarahkan kita untuk rujuk kepada petunjuk beliau dan petunjuk para shahabatnya. Ini semua tidak mungkin kita lakukan kecuali melalui ulama-ulama yang berpegang teguh dengan petunjuk beliau dan para shahabatnya. Mereka mengetahui hal itu dengan baik dan menitinya dengan cara yang benar. Bukan hanya sekadar pengakuan belaka seperti yang terjadi pada sebagian orang yang mengaku sebagai “salafiyah modern-kontemporer”.
NASIHAT KEEMPAT
KEPADA PARA PENUNTUT ILMU
Kami nasihatkan kepada para penuntut ilmu syar’i agar beristifadah (mengambil faidah) dari Al Quran dan As Sunnah dengan manhaj Salatul Ummah serta orang-orang yang mengikuti mereka. Dan juga memperbanyak bekal dengan ilmu yang bermanfaat ini. Sesungguhnya kesiapan dan kemauan (untuk mengambil ilmu dari Al Quran dan As Sunnah) dengan izin Allah akan menjadikan mereka mampu mengambil manfaat dari ilmu ini dan menyebabkan mereka termasuk sebagai orang-orang yang mengikuti Salafus Shalih dan berjalan di atas manhaj mereka dan menggapai keuntungan yang besar ini. Sedangkan di akhirat diharapkan akan dikumpulkan bersama dengan orang-orang yang telah Allah katakan :
“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu para Nabi, shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An Nisa’ : 69)
Saya nasihatkan mereka juga agar tidak memperbanyak debat dan berbantah-bantahan bersama orang-orang yang menyimpang karena hal itu akan mengeraskan hati, merusak tabiat dan menghilangkan kehormatan yang telah Allah tetapkan terhadap orang-orang yang beriman. Kami nasihatkan mereka juga agar berakhlak mulia terhadap orang-orang yang menyelisihinya. Kita tidak menerima kesalahan-kesalahan mereka dari zaman dahulu sampai sekarang namun kami tetap menerapkan keadilan.
“Janganlah kebencianmu pada suatu kaum menyebabkan kalian tidak berbuat adil, berbuat adillah karena itu lebih dekat kepada takwa.”
Dan firman Allah Azza wa Jalla :
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An Nisa’ : 135)
Sikap yang kami terapkan kepada orang-orang yang menyimpang adalah dalam rangka menaati Allah dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Kami terapkan hukum Allah kepadanya dan tidak melampaui batas-batas syar’i dalam menyikapi orang-orang yang menyimpang dan ahlul bid’ah. Tidak boleh bagi kaum Muslimin apalagi para ulama dan penuntut ilmunya untuk keluar dari batas-batas ini. Karena hal itu akan memadharatkan kami dan dengan demikian berarti kami bermaksiat kepada Allah dan memperturutkan orang-orang yang menyimpang tersebut dalam penyimpangannya. Karena kondisi semacam ini dapat dimanfaatkan mereka untuk menyebarkan syubhat-syubhat yang mereka miliki. Sehingga terbuanglah waktu dengan sia-sia, pikiran pun terbebani dan ibadah pun terlantar.
Bahkan siapapun yang tidak berpegang dengan aturan ini yaitu mengembalikan setiap masalah kepada ahlinya maka ia akan dikatakan menyimpang dan saya khawatir ia akan gagal.
Saya memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Rabbnya ‘Arsy yang agung pula agar memberi manfaat kepadaku dan kepada saudara-saudaraku kaum Muslimin seluruhnya dengan nasihat ini. Allah-lah tempat memohon pertolongan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terakhir saya haturkan rasa terima kasih semoga Allah membalas dengan kebaikan kepada beberapa ikhwah yang telah membantuku. Di antara mereka adalah Al Akh Al Fadhil Abu Sulaiman Muhammad bin Shalih An Nuhami, semoga Allah tambahkan karunia dan memperbaiki keturunannya dan menambahkan bashirah dan keteguhannya. Semoga Allah memperbesar balasan dan pahala baginya sebagai balasan atas pembelaannya terhadap dakwah ini.
Demikian pula kepada Al Akh Al Fadhil Muhammad Ash Shaghir bin Ghaid bin Ahmad Al Abdali Al Maqthari dan ikhwan yang lain yang turut membantuku. Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa menjaga mereka semua dan membalas jerih payah mereka serta meluruskan langkah-langkah kami.
Wa akhiru da’wana ‘anil hamdulillahi Rabbil ‘Alamin.
(Dikutip dari buku, judul Indonesia :" Menggugat Demokrasi dan Pemilu, Menyingkap Borok-borok Pemilu dan Membantah Syubhat Para Pemujanya". Karya Ulama dari Yaman, Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam, pengantar Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi'i Rahimahullah, Ulama Yaman. Judul asli Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat. Penerbit : Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber http://www.assunnah.cjb.net.)
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=567
Selasa, 31 Maret 2009
Nasihat untuk pemuja Demokrasi dan Pemilu (1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar