يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ﴾ [الحشر:18

Jumat, 31 Juli 2009

Bom Syahid Atau Bom Bunuh Diri

Minggu, 27 Nopember 2005 08:22:39 WIB

BOM SYAHID ATAU BOM BUNUH DIRI


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pengantar
Sebagian orang menganggap aksi bom bunuh diri termasuk jihad fi sabilillah, dan pelakunya dikatakan sebagai orang yang syahid, bahkan banyak jama’ah dakwah yang menyeru anggotanya untuk berpartisipasi dan mendukungnya. Akan tetapi... di pihak lain, sebagian besar kaum muslimin bertanya-tanya : Benarkah aksi ini dikatakan sebagai bentuk jihad ? Apakah Islam membolehkan segala cara dalam semua ibadah termasuk cara-cara berjihad yang merupakan bagian dari ibadah?

Realita menunjukkan bahwa cara-cara aksi bom bunuh diri tidak membuat jera orang-orang kafir, bahkan orang kafir semakin membabi buta untuk mengintimidasi dan membantai kaum muslimin dimana-mana. Jika dari kalangan mereka mati satu atau sepuluh orang, maka mereka membalasnya dengan membantai lebih dari itu dengan cara-cara yang biadab. Lantas ... apa manfaat dan keuntungan dari aksi-aksi bom bunuh diri itu bagi kaum muslimin ?

Untuk lebih memperjelas masalah ini, kami nukilkan fatwa ulama salafiyyin robbaniyyin tentang aksi bom bunuh diri.
_________________________________________________________________________


Di dalam Syarah Riyadush Shalihin 1/165-166 setelah menyebutkan syarah hadits kisah Ashabul Ukhdud beliau menyebutkan faidah-faidh yang dapat diambil dari kisah ini diantaranya.

Sesungguhnya seseorang boleh mengorbankan dirinya untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum, pemuda ini menunjukkan kepada raja yang menuhankan dirinya suatu hal yang bisa membunuhnya, yaitu dengan mengambil sebuah anak panah dari tempat panahnya …

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Karena ini adalah jihad fi sabilillah, seluruh umat beriman semuanya dalam keadaan pemuda ini tidak kehilangan apa-apa, karena dia mati, dan pasti dia akan mati cepat atau lambat”

Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian orang dengan bunuh diri, yaitu dengan membawa alat peledak dibawa ke tempat orang kafir, kemudian dia ledakkan ketika dia di antara orang-orang kafir, maka dia tergolong perbuatan bunuh diri –Semoga kita dilindungi Allah Jalla Jallaluhu darinya-. Barangsiapa yang bunuh diri maka dia kekal di neraka Jahannam selama-lamanya, sebagaimana datang dalam hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan besi tajam maka besi itu diletakkan di tangannya, ditusukkan ke perutnya di neraka jahannam dia kekal di dalamnya.” [Shahih Bukhari 5778 dan Shahih Muslim 109]

Karena orang ini membunuh dirinya bukan untuk maslahat Islam ; karena jika dia membunuh dirinya dengan membunuh sepuluh, atau seratus, atau dua ratus orang kafir, maka Islam tidak mendapatkan manfaat sama sekali dari perbuatannya, manusia tidak akan beriman. Berbeda dengan kisah pemuda ashabul ukhdud di atas. Dengan bom bunuh diri ini bisa jadi membuat musuh lebih congkak, sehingga mereka memberikan balasan kepada kaum muslimin yang lebih kejam dari itu.

Sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap penduduk Palestina, jika ada seorang penduduk Palestina yang mati dengan bom bunuh diri, dan menewaskan 6 atau 7 orang Yahudi, maka orang-orang Yahudi membalas dengan menewaskan 60 orang Palestina atau lebih dari itu, maka bom bunuh diri ini tidak memberikan manfaat bagi kaum muslimin, dan tidak juga bagi orang-orang yang diledakkan bom ini di barisan mereka.

Karena inilah kami memandang bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian orang dari bunuh diri ini, kami memandang bahwa dia telah membunuh jiwa dengan tidak haq, dan perbuatannya ini membawa dia ke neraka –Semoga kita dilindungi Allah Jalla Jalaluhu darinya-, dan pelakunya tidaklah syahid, tetapi jika ada seseorang yang melakukan perbuatan ini karena mentakwil dengan menyangka bahwa perbuatan ini dibolehkan syari’at, maka kami mengharap semoga dia selamat dari dosa. Adapun dia tertulis sebagai orang yang syahid maka tidak, karena dia tidak menempuh jalan syahid yang benar, dan barangsiapa yang berijtihad dan keliru maka dia mendapat satu pahala”.

Di dalam kaset Liqo’ Syarhy : 20 ada sebuah pertanyaan yang dilontarkan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

Pertanyaan.
Fadhilatusy Syaikh ! Engkau telah mengetahui –semoga Allah Jalla Jalaluhu menjagamu- apa yang terjadi pada hari Rabu kemarin dari suatu peristiwa yang menewaskan dari 20 orang Yahudi di tangan salah seorang mujahidin Palestina, dia juga melukai sekitar 50 orang Yahudi. Seorang mujahidin ini meletekkan alat peledak di dalam tubuhnya, kemudian masuk di sebuah rombongan kendaraan mereka dan dia ledakkan, dia melakkan itu dengan sebab.

Pertama : Dia tahu bahwa kalau dia tidak terbunuh sekarang hari itu maka besoknya akan dibunuh, karena orang-orang Yahudi membunuh para pemuda muslim di sana dengan berencana.

Kedua : Para mujahidin ini melakukan hal itu karena membalas dendam terhadap orang-orang Yahudi yang telah membunuh orang-orang yang sholat di masjid Ibrahimy.

Ketiga : Mereka mengetahui bahwa orang-orang Yahudi dan Nahsara membuat rancangan untuk menghilangkan ruh jihad yang ada di Palestina.

Pertanyaan : Apakah perbuatan dia ini dianggap bunuh diri atau dianggap jihad? Apa nasihatmu dalam keadaan seperti ini, karena jika kami telah mengetahui bahwa perbuatan ini adalah perbuatan yang diharamkan maka semoga kami bisa menyampaikannya kepada saudara-saudara kami di sana, -Semoga Allah Jalla Jalaluhu memberikan taufiq kepadamu-?”

Jawaban.
Pemuda ini yang meletakkan bahan peledak di tubuhnya, pertama kali yang dia bunuh adalah dirinya. Tidak diragukan lagi bahwa dialah yang menyebabkan pembunuhan dirinya. Hal seperti ini tidak dibolehkan kecuali jika dapat mendatangkan maslahat yang besar dan manfaat yang agung kepada Islam, maka hal itu dibolehkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- telah memberikan nash pada masalah ini, membuat permisalan untuk hal ini dengan kisah seorang pemuda, seorang pemuda mukmin yang berada di suatu umat yang dipimpin oleh seorang raja yang musyrik dan kafir. Raja yang kafir dan musyrik ini membunuh pemuda yang beriman ini, dia berupaya berulang kali, dia lemparkan pemuda itu dari atas gunung, dia lemparkan pemuda itu ke lautan, tetapi setiap upaya pembunuhan -itu gagal karena Allah Jalla Jalaluhu selalu menyelamatkan pemuda itu, maka heranlah raja musyrik itu.

Suatu hari pemuda itu berkata kepada raja musyrik itu : “Apakah kamu ingin membunuhku ?” raja itu berkata : “Ya, tidaklah aku melakukan semua ini melainkan untuk membunuhmu”. Pemuda itu berkata : “Kumpulkan orang-orang di tanah lapang, kemudian ambillah satu panah dari tempat panahku, letakkanlah dia di busurnya, kemudian lepaskanlah kepadaku dan katakanlah: ”Dengan nama Allah Rabb pemuda ini”. Adalah penduduk raja ini jika menyebut mereka mengucapkan : Dengan nama raja, akan tetapi pemuda ini berkata kepada raja ini : Katakanlah : Dengan nama Allah Rabb pemuda ini.

Maka raja ini mengumpulkan orang-orang di satu tempat yang luas, kemudian dia mengambil sebuah anak panah dari tempat panah pemuda itu, dia letakkan di busurnya seraya mengatakan : Dengan nama Allah Jalla Jalaluhu Rabb pemuda ini. Dia lepaskan anak panah itu sampai mengenai pemuda itu dan matilah dia. Melihat kejadian itu berteriaklah semua orang : “Tuhan adalah Tuhan pemuda ini, Tuhan adalah Tuhan pemuda ini”. Dan mereka ingkari penuhanan raja yang musyrik ini. Mereka berkata : “Raja ini telah melakukan segala cara yang memungkinkan untuk membunuh pemuda ini, ternyata dia tidak mampu membunuhnya. Ketika dia mengucapkan satu kalimat : Dengan menyebut Allah Jalla Jalaluhu Rabb pemuda ini, dia bisa mati. Kalau demikian pengatur semua kejadian adalah Allah Jalla Jalaluhu, maka berimanlah semua manusia.

Syaikhul Islam berkata : Perbuatan pemuda ini mendatangkan manfaat yang besar bagi Islam.

Merupakan hal yang dimaklumi bahwa yang menyebabkan kematian terbunuhnya pemuda ini adalah dia sendiri, tetapi dengan kematiannya didapatkan manfaat yang besar ; suatu umat beriman semuanya. Jika bisa didapatkan manfaat seperti ini maka dibolehkan bagi seseorang menebus agamanya dengan jiwanya. Adapun sekedar membunuh sepuluh atau dua puluh tanpa ada faidah, dan tanpa mengubah apapun maka perbuatan ini perlu dilihat lagi, bahkan hukumnya adalah haram, bisa jadi orang-orang Yahudi membalasnya dengan membunuh ratusan kaum muslimin.

Kesimpulannya bahwa perkara-perkara seperti ini membutuhkan fiqih dan tadabbur, dan melihat akibatnya, membutuhkan tarjih (penguatan) maslahat yang lebih tinggi dan menangkal mafsadah yang lebih besar, kemudian sesudah itu dipertimbangkan setiap keadaan dengan kadarnya"

[Koran Al-Furqon Kuwait, 28 Shafar, edisi 145, hal. 20-21]

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum syar’i bagi orang meletakkan bahan peledak di tubuhnya, kemudian dia ledakkan di antara komunitas orang-orang kafir untuk menewaskan mereka ? Apakah benar jika dia berdalil dengan kisah seorang pemuda yang hendak dibunuh oleh raja yang musyrik ?”

Jawaban
Orang yang meletakkan bahan peledak dalam tubuhnya dengan tujuan untuk meledakkannya bersama dirinya di komunitas musuh, adalah orang yang membunuh dirinya. Dia akan diadzab karena membunuh dirinya di neraka Jahannam kekal di dalamnya, sebagaimana telah tsabit hal itu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ancaman orang bunuh diri dengan sesuatu maka dia diadzab dengan sesuatu yang membunuhnya di neraka Jahannam”.

Alangkah aneh mereka yang melakukan perbuatan-perbuatan seperti ini, padahal mereka membaca firman Allah Jalla Jalaluhu.

“Artinya : Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu …”[An-Nisa : 29]

Kemudian mereka melakukan perbuatan itu, apakah mereka memetik sesuatu ? apakah musuh kalah?! Ataukah musuh semakin keras kepada mereka yang melakukan bom bunuh diri ini, sebagaimana hal ini terlihat di negeri Yahudi, dimana perbuatan seperti ini tidak menambah mereka kecuali mereka semakin gigih dengan kebrutalan mereka, bahkan kami dapati pooling terakhir dimenangkan oleh kelompok kanan yang ingin menghabiskan orang-orang Arab.

Akan tetapi barangsiapa yang melakukan hal ini dengan ijtihadnya menyangka bahwa ini adalah sarana pendekatan diri kepada Allah Jalla Jalaluhu maka kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar tidak menghukumnya ; karena dia seorang jahil yang mentakwil….

Adapun pendalilan dengan kisah pemuda ashabul ukhdud, maka kisah pemuda ini didapatkan darinya umat yang masuk Islam, tanpa menewaskan musuh, karena itu ketika raja mengumpulkan orang-orang, dan mengambil sebuah panah dari tempat panah pemuda seraya mengatakan : Dengan nama Allah Jalla Jalaluhu Tuhan pemuda ini, (hingga terbunuhlah pemuda itu) maka orang-orang semuanya berteriak : Tuhan yang benar adalah Tuhan pemuda ini. Maka dengan kematian pemuda ini didapatkan keislaman sebuah umat yang besar.

Seandainya hal seperti ini terjadi maka sungguh kami akan mengatakan bahwasanya di sana ada tempat untuk berdalil dengan kisah ini, dan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan kisah ini agar kita mengambil ibrah darinya. Tetapi orang yang meledakkan diri-diri mereka jika membunuh sepuluh atau seratus musuh, maka hal itu tidak menambah musuh kecuali semakin marah kepada kaum muslimin dan semakin gigih dengan apa keyakinan mereka.

[Majalah Al-Furqon Kuwait, edisi 79, hal.18-19 dan Koran Al-Furqon Kuwait, 28 Shafar, edisi 145, hal. 20]

[Disunting dari majalan Al-Furqon, edisi 3 Tahun IV, hal. 23-28, Judul BOM Syahid Atau Bunuh Diri, Penyusun Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jawa Timur]

APA HUKUM PERKATAAN FULAN SYAHID ?

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Apa hukum perkataan, 'Fulan Syahid ?'.

Jawaban.
Jawaban atas hal itu adalah bahwa seseorang dikatakan syahid itu dengan dua sisi yaitu :

Pertama.
Hendaknya terikat dengan suatu sifat, seperti : Dikatakan bahwa setiap orang yang dibunuh fisabillah adalah syahid, orang yang dibunuh karena membela hartanya adalah syahid, orang yang mati karena penyakit thaun adalah syahid dan yang semacamnya. Ini adalah boleh sebagai mana yang terdapat dalam nash, dan karena kamu menyaksikan dengan apa yang dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang kami maksud boleh adalah tidak dilarang. Jika menyaksikan hal itu, maka wajiblah membenarkan khabar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kedua.
Menentukan syahid bagi seseorang, seperti kamu mengatakan kepada seseorang, dengan menta'yin bahwa dia syahid. Ini tidak boleh kecuali yang disaksikan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau umat sepakat atas kesyahidannya. Al-Bukhari dalam menerangkan hal ini ia berkata : Bab. Tidak Boleh Mengatakan Si Fulan Syahid. Ia berkata dalam Al-Fath Juz 6 halaman. 90, yaitu : Tidak Memvonis Syahid Kecuali Ada Wahyu. Seakan dia mengisyaratkan hadits Umar, bahwa beliau berkhutbah. "Dalam peperangan, kalian mengatakan bahwa si Fulan Syahid, dan si Fulan telah mati syahid. Mudah-mudahan perjalanannya tenang. Ketahuilah, janganlah kalian berkata demikian, akan tetapi katakanlah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : Barangsiapa mati di jalan Allah atau terbunuh maka ia syahid". Ini adalah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Sa'id bin Manshur dan lainnya dari jalur Muhammad bin Sirrin dan Abi Al-A'jafa' dari Umar.

Karena persaksian terhadap suatu hal yang tidak bisa kecuali dengan ilmu, sedang syarat orang menjadi mati syahid adalah karena ia berperang untuk meninggikan kalimat Allah yang tinggi. Ini adalah niat batin yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda sebagai isyarat akan hal itu.

"Artinya : Perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah, dan Allah lebih tahu siapa yang berjihad di jalan-Nya...." [Hadits Riwayat Bukhari : 2787]

Dan sabda beliau.

"Artinya : Demi Dzat diriku berada ditangan-Nya tidaklah seseorang terluka di jalan Allah kecuali datang dihari kiamat sedang lukanya mengalir darah, warnanya warna darah dan baunya bau Misk" [Hadits Riwayat Bukhari : 2803]

Akan tetapi orang yang secara dhahirnya baik, maka kami berharap dia syahid. Kami tidak bersaksi atas syahidnya dia dan juga tidak berburuk sangka kepadanya. Raja' (berharap) itu satu posisi di antara dua posisi (bersaksi dan buruk sangka), akan tetapi kita memperlakukannya di dunia dengan hukum-hukum syahid, jika ia terbunuh dalam jihad fi sabilillah. Ia dikubur dengan darah di bajunya tanpa menshalatinya. Dan untuk syuhada' yang lain, dimandikan, dikafani dan dishalati.

Karena, kalau kita bersaksi atas orang tertentu bahwa ia mati syahid konsekwensinya adalah kita bersaksi bahwa ia masuk surga. Mereka tidak bersaksi atas seseorang dengan surga kecuali dengan sifat atau seseorang yang disaksikan oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa boleh kita bersaksi atas syahidnya seseorang yang umat sepakat memujinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah termasuk yang berpendapat seperti ini.

Dengan ini, maka menjadi jelas bahwa kita tidak boleh bersaksi atas orang tertentu bahwa ia mati syahid kecuali dengan nash atau kesepakatan. Akan tetapi bila dhahirnya baik maka kita berharap demikian sebagaimana keterangan diatas, dan cukuplah nasihat tentang ini, sedangkan ilmunya ada di sisi Sang Pencipta.

[Disalin dari buku Majmu' Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Bab Aqidah, hal. 208-210 Pustaka Arafah]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar