يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ﴾ [الحشر:18

Jumat, 01 Mei 2009

DEBAT HIZBUT TAHRIR VS SALAFIYYAH (2)

MUAMALAH DENGAN PENGUASA



Ana yakin antum juga masih mengingat salah satu hadist Rasullullah SAW "Sesungguhnya pemimpin yang paling jahat

adalah pemimpin yang lalai, maka jangan sampai kamu termasuk golongan mereka" (Bukhari Muslim). Imam Abu Dawud dan At Tirmidzi juga meriwayatkan sebuah hadist "A'dhamul jihaad kalimata adlin 'inda sulthooni Jaairin". Sebagai tambahan, menurut Imam An-Nasa'i, hadist diatas berkaitan dengan mengatakan kebenaran pada penguasa yang menyeleweng dari Islam. Dengan kata lain aktivitas yang disyaratkan berkaitan dengan menda'wahkan islam dan aktivitas pengoreksian termasuk kepada penguasa(insyaAllah dalam kitab Muqaddimah Dustur, hal ini juga dijelaskan, antum bisa mengeceknya lebih lanjut).

Imam Bukhori, Muslim, Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadist,

"Al-imaamu raa'in wahuwa masyuulun 'an roiiyyatihi". Ri'ayah/pengaturan

adalah wewenang negara, pengaturan urusan umat inilah yang disebut

politik (Mohon dilihat di kamus Al-Muhith).

Pengertian ini juga dapat diambil dari sekian banyak dalil syara' yang berkaitan dengannya. Definisi ini sebenarnya menggambarkan fakta politik yang sesungguhnya dari perspektif politik itu sendiri. Akan tetapi, pada kenyataannya, banyak kalangan berbeda-beda dalam memformulasikan politik.

Dalam pandangan syariat, pengaturan urusan rakyat, secara praktis dan

langsung, merupakan kewenangan penguasa(Khalifah). Rasullullah bersabda: "Siapa saja yang membenci sesuatu dari pemimpinnya, hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya tidak ada seorangpun yang keluar dari kekuasaan Islam sejengkal saja, kemudian ia mati, kecuali

matinya adalah mati jahiliyah." (HR. Muslim dari Ibnu 'Abbas), begitu juga Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abu Hurayrah, "Bani Israil senantiasa diatur urusannya oleh para Nabi. Ketika seorang nabi wafat, ia akan digantumkan oleh Nabi yang lain, Akan tetapi, tidak ada Nabi setelahku. Yang ada adalah para Khalifah".

o> Pernyataan antum di atas tidak relevan dengan pernyataan sebelumnya. Kami katakan demikian karena antum ‘memaksa’ dalil dalam beristidlal supaya bisa diseret ke dalam pemahaman hizb, dimana penyeretan ini merupakan aktivitas muhdats yakni membawa dalil ‘am kepada takshish yang tak memiliki nash khosh. Membawa dalil mutlaq kepada taqyid yang tak memiliki nash muqoyad. Karena pembahasan tentang mu’amalatul hukkam adalah juz’un (bagian) dari aktivitas Du’atun ilal haqqi wa Amiirina bil Ma’ruf wa Naahina ‘anil Munkar. Pembahasan tentang nashihatul umara’ adalah bagian dari nashihatul ‘aam. Pertanyaan kami adalah kewajiban siapakah menasehati umara’ itu? Apakah kewajiban setiap orang? Hizbut tahrir saja? Atau kewajiban ahlul ‘ilmi wat ta’lim? Jika dikatakan setiap orang, maka yang berpendapat seperti ini adalah manusia jahil mufrith yang layak didera atas pendapatnya yang bid’ah, jika dikatakan tanggung jawab hizb maka jawabannya serupa karena a’dha (anggota)

hizb banyak yang jahil terhadap syariat islam sendiri, apalagi aqidah!!! bagaimana mungkin mereka bisa dikatakan sebagai penasehat terhadap hukkam???

Yang benar adalah menasehati hukkam adalah fardhu kifayah tugas ahlul ‘ilmi wa ta’lim, ulama’ yang ‘alim mujtahid, bukan awwamun naas!!! Kewajiban awwamun naas adalah ta’lim, ‘amal, da’wah dan sabar.

Adapun apa yang dilakukan hizb adalah bukan menasehati penguasa, dalam Manhaj Hizbit Tahrir fit Taghyir hal 42, hizb mengatakan : “Aktivitas hizb adalah menentang para penguasa di negara-negara Arab maupun negeri-negeri Islam lainnya. Mengungkapkan makar-makar jahat mereka, mengoreksi dan mengkritik mereka…”.

Kita bandingkan dengan apa yang dinyatakan para ulama salaf terhadap hukkam fajir dan suu’, Imam Hasan bin Ali Barbahari berkata dalam as-Sunnah : “idza ro`aita ar-rajula yad’uw ‘alas sulthooni fa’lam annahu shoohibu hawaa” (artinya : Apabila kamu melihat seorang memprovokasi (kebencian atau penentangan) terhadap sultan, maka ketahuilah bahwa dia adalah budak hawa nafsu) juga dalam Mu’amalatul Hukkam hal 9-10, diriwayatkan ketika kekuasaan dipegang oleh al-Watsiq Billah, para Fuqoha’ Baghdad berkumpul menghadap Abu Abdullah (yakni Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullahu) dan mereka berkata kepada Imam : “para penguasa sudah melampaui batas yakni dengan memaksa ummat meyakini al-Qur’an makhluk. Kami tidak ridha dengan model kepemimpinannya dan kesulthonannya.” Imam Ahmad berdiskusi dengan mereka ttg perkara ini dan berkata : “Alaikum bil inkaari fii qulubikum, wa laa takhla’u yadan min thoo’atin, ta tasyuqqu ‘ashol muslimiina, wa laa tasfiku dimaa`akum wa dimaa’al muslimin ma’akum, wandhuruw fii ‘aaqibati amrikum, washbiruw hatta yastariiha barrun wayastarooha min faajirin” (artinya : wajib atasmu mengingkari dengan hatimu! Dan janganlah kau lepaskan ketaatan! Jangan kau buka kemaksiatan sesama muslim dan jangan menumpahkan darahmu dan darah-2 kaum muslimin yang besertamu! Lihatlah akibat perbuatanmu, dan bersabarlah hingga bumi ini tentram dan terbebas dari para pelaku kemaksiatan yg mendatangkan bencanai!) [al-Adabus Syari’ah lil Ibni Muflih I/195-196]

Manakah relevansi hadits-2 yang dikemukakan hizb dengan aktivitas penentangannya terhadap penguasa, membuka aib-2nya, mengungkapkan kejelekan-2nya, dengan dalil-2 yang antum sebutkan di atas (i.e. a’dhamul jihaada kalimatul haqq ‘inda sulthoon atau riwayat yang semakna), jika antum faham bahasa arab, maka ketahuilah shighat hadits tersebut, apakah ‘inda sulthan bermakna mengungkapkan kejahatan dan keburukannya serta aib-2nya di mimbar-2 dan khalayak?? Apakah ‘inda sulthan bermakna mengkafirkan mereka, menolak berwala’ dengan mereka dan menolak taat dalam hal yang ma’ruf?? Ketahuilah, bahwa sesungguhnya ‘inda sulthan adalah di sisi penguasa, sebagaimana perkataan Imam Ibnu Nakhas dalam Tanbihul Ghafilin wa Tabdziru Salikin min Af’alil Halikin hal 64, “dalam menasehati penguasa, carilah tempat yang sepi tidak di keramaian, dengan suara yang lemah lembut, nasehat yang sembunyi-2 dan tidak ada orang ketiga.”

Al-Imam Ibnul Jauzi dalam al-Adab (I/195-197) berkata : “Hal yang dibolehkan dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar terhadap pihak penguasa adalah sebatas peringatan dan nasehat. Adapun dengan cercaan seperti, “Kamu Dhalim!!! Wahai manusia yang tidak takut kepada Allah”, yang akhirnya akan berdampak pada lahirnya fitnah yang merembet dan meluas.” Lebih luas tentang perkara ini bisa merujuk ke dalam kitab Mu’amalatul Hukkam karya Syaikh Abdus Salam Barjas Alu Abdul Karim Rahimahullah.

Hizbut tahrir mengikuti manhaj khowarij dalam mengkafirkan semua hukkam yang ada saat ini dan menyatakan semua negeri kaum muslimin adalah darul kufur sebagaimana eksplisit dalam manhaj hizbit tahrir fi taghyir, dikarenakan mereka (i.e. para hukkam skrg) tidak berhukum dengan hukum Allah, mereka berdalil, wa man lam yahkum bima anzalaLlah faulaika humul kafirun. Padahal jika kita lihat tafsir para mufassirin, diriwiyatkan dari Ibnu Mas’ud RA, beliau berkata, kufrun duna kufrin, yakni kufur yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari millah. Takfir terhadap penguasa kaum muslimin secara sporadis inilah yang menyebabkan hizb menghalalkan mencerca, menghujat dan menentang para hukkam yang ada saat ini. Bantahan fitnah takfiri dan khoriji ini bisa dibaca secara mendetail dalam kitab Qurrotul ‘Uyun fi tashhih tafsir Ibni Abbas karya Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly dan al-Hukmu bighoiri ma anzalaLlah karya Syaikh DR. Khalid al-Anbary.

1 komentar: