DIALOG DENGAN SYABAB HIZBUT TAHRIR
Berikut ini adalah dialog via email kami dengan salah seorang aktivis Hizbut Tahrir di kampus kami, ITS beberapa
waktu silam. Sengaja kami kirimkan ke milis dalam rangka saling menasehati dan memberikan maklumat terhadap pemikiran Hizbut Tahrir dan syubuhat-syubuhatnya serta bagaimana membantahnya. Mungkin, dalam risalah ini ada kekurangan dan kesalahan, kami harapkan peran serta pembaca sekalian untuk meluruskan dan membenahi kesalahan-kesalahan tersebut. Di risalah ini, kami mengganti identitas kami dan identitas aktivis Hizbut Tahrir tersebut, untuk lebih menggeneralisir, walaupun tidak bisa merepresentasikan pemikiran HT 100% beserta bantahannya secara benar-benar ilmiah. Namun, bisa sedikit mewakili pemikiran HT secara global dan bantahannya.
Keterangan :
Statement Syabab HT : Biru
Statement Kami : Merah
Bismi Rabbi alladzi kholaqo kulla sya’in bidliddihi liya’rifa kulla minhuma bishoohibihi, ala innan nuuro yu’rofu bidhdhulmi wal ‘ilmu yu’rafu bil jahli, wal khoiro yu’rafu bisy syarri wan naf’a yu’rafu budhdhurri wal halwa yu’rafu bilmurri…
Bismillahi abda`u haadzihir risalah…
(Artinya : Dengan nama Rabb yang menciptakan segala sesuatunya dengan lawannya agar masing-masing diketahui dari pasangannya, ingatlah sesungguhnya cahaya diketahui dengan adanya kegelapan, ilmu diketahui dengan adanya kebodohan, kebaikan diketahui dengan adanya keburukan, kemanfaatan diketahui dengan adanya kemudharatan dan manis diketahui dengan adanya pahit… dengan nama Allah aku memulai risalah ini…)
DALIL PENDIRIAN PARTAI DAN KELOMPOK ADALAH MASYRU’???
Sebelumnya, perkenankan Kami menjelaskan terlebih dahulu tentang Hizbut Tahrir- tidak lebih dan tidak kurang- untuk menghindari salah persepsi yang justru akan memicu keretakan kita sebagai sesama kaum muslimin.
Kami min Hizbit Tahrir,
insyaAllah Kami akan berusaha untuk menjawab
sesuai dengan apa yang Kami pahami tentang Hizbut Tahrir sebagai partai politik.
0> Telah jelas bahwa antum dari Hizbit Tahrir baik antum sebutkan atau tidak, penegasan antum mengindikasikan kebanggaan antum terhadap hizbit tahrir, hal ini serupa dengan apa yang difirmankan Allah Ta’ala :
Kullu hizbin bimaa ladaihim farihuun “Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)”.(QS. Al-Mu’minun (23) : 53 dan Ar-Rum (30) : 32)
padahal dalam al-Qashash (28) : 76, Laa Tafraah, innaLlaha laa yuhibbul farihiin “"Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri."
Padahal penamaan kami min hizbit tahrir adalah ghoirul masyru’, tidak memiliki dasar pijakan dan termasuk tafriqul ummah. Karena tak ada ummat islam terdahulu yang shalihin ketika ditanya mereka akan menjawab, kami Syafii’yah, kami Malikiyah…!!! Melainkan mereka-2 yang muta’ashshib dengan madzhab dan kelompok-2 sempalan… kami Mu’tazily, kami syi’iy atau semacamnya… namun mereka akan menyatakan kami Sunni, kami ahlus sunnah, kami ahlul hadits atau kami salafy (pengikut salaful ummah)… (Penyebutan istilah ini –i.e. ahlus sunnah, ahlul hadits, salafiyun, dls- bukan penamaan muhdats (bid’ah), namun berdasar dari istinbat para ulama sunni terhadap dalil kitabain, dan penamaan ini mu’tabar (diakui) dalam kitab-2 salaf, seperti aqidah salaf ashhabul hadits karya ash-Shabuny, I’tiqod Ahlus Sunnah karya al-lalika`i, Kitabus Sunnah karya Imam Barbahari dll; adapun penamaan Hizb at-Tahrir, telah jelas akan kemuhdatsannya, karena tak warid (datang dalilnya) sedikitpun dari kitabain, atsarus sahabah maupun aqwalus salaf, bahkan qorinah (indikasinya) nya tidak ada sedikitpun. Penamaan ini adalah penamaan kholafy (kontemporer) oleh muassis hizb (pendiri partai), yakni Taqiyuddin an-Nabhany ghofarollahu lahu)
Aktivitas Hizbut Tahrir adalah aktivitas politik, bahkan Antum boleh
mengatakan tidak ada aktivitas Hizbut Tahrir yang bukan politik, semua ini tidak lepas dari pemahaman atas penggalian dalil-dalil syara'.
Kami katakan : ad-Da`aawiy maa lam tuqiimu ‘alaihaa bayyinatin abnaauha ad’iyaa’ (Pengaku-ngaku tanpa disertai bayyinah/argumentasi hanyalah sekedar pengaku-ngaku saja)…
Antum katakan semua ini tidak lepas dari pemahaman atas penggalian dalil-dalil syara', maka sesungguhnya ini hanyalah klaim/pengakuan semata tanpa dalil… ataupun jika dikatakan beristinbat, maka istinbat yg digunakan adalah istinbat metode kholafiyah… karena tidak ma’tsur dan warid dari salaf metode da’wah yang hanya memfokuskan aktivitas politik semata. Sesungguhnya, inilah letak penyelewengan hizb dari manhaj salaf tatkala prioritas dan fokus hanya diarahkan kepada siyasah. Jika antum mengatakan istinbat (penggalian dalil) hizb dari dalil syara’ yufiidu manhaj siyasi (membuahkan manhaj siyasi), maka tunjukkan ke kami dalil dari kitabain yang qoth’I ad-Dilalah (Pasti penunjukannya) ttg manhaj ini??? Bahkan jika kita mau mengembalikan segala perselisihan ini kepada kitabain, maka kita akan
mendapatkan dalil-dalil yang menyelisihi manhaj siyasi hizb. (kami dapat menunjukkan berpuluh-2 dalil yg qoth’i ad-dilalah bahwa manhaj da’wah anbiya’ dan para salaful ummah yg shalihin adalah tauhid dan pembenahan aqidah, memerangi syirik dan bid’ah fid din, namun tidak ada satupun da’wah anbiya’ dan salafus shalih memiliki ghoyah memperoleh kekuasaan atau siyasiyah)…
Antum mungkin ingat Imam Jalaluddin(dalam tafsir
Jalalain), menjelaskan lafadz AL-Khair dalam surat Al-Imran 104 bima'na Al-Islam, adapun dalam tafsir Imam Ibnu Katsier(tafsirul Qur'anil 'Azhim), beliau menafsirkan lafadz tersebut dengan Ittiba' Al-Qur'an dan As-sunnah.
Allah Ta’a berfirman :
Wal takun minkum ummatun yad’uuna ila al-Khair ya’muruuna bil ma’ruf wa yanhawna ‘anil munkar, wa uulaaika humul muflihun
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran (3) : 104
Kami nukilkan di sini tafsir dari ulama’ mufassirin yang kami rujuk pada kutubut tafasir
· Tafsir Ibnu Katsir (Tafsir al-Qur’an al-Adhim)
Ad-Dhahak mengatakan : “Mereka itu khusus para sahabat, khusus para Mujahidin dan para Ulama’.
Dari Abi Ja’far al-Baqir, Rasulullah membaca ayat ini, kemudian beliau bersabda : al-Khair maksudnya ittiba’il Qur’an was Sunnah (mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah).
Ibnu Katsir berkata : Maksud ayat ini, hendaklah ada segolongan dari ummat yang siap memegang peran ini, meskipun hal itu merupakan kewajiban bagi setiap individu ummat sesuai dengan kapasitasnya.
· Tafsir Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Aayil Qur’aan (Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thobary)
Maknanya adalah : Waltakun minkum ayyuhal mu’minun, ummatun yaquulu jamaa’atun ya’duunan Naasa ilal Khoiri ya’ni ilal Islam wa syara’ihillati syara’ahaaLlahu li’ibaadihi.
Artinya : Hendaklah ada diantara kalian wahai kaum mukminin, ummat yaitu jama’ah yang menyeru manusia kepada al-Khair yaitu islam dan syariat-2nya yang telah disyariatkan Allah kepada hamba2-Nya.
Ya’muruuna bil Ma’ruf yaitu menyeru manusia supaya ittiba’ kepada Muhammad SAW dan diennya yang berasal dari sisi Allah
Wa Yanhauna ‘anil Munkar yaitu melarang dari mengkufuri Allah dan mendustakan Muhammad dan apa-2 yg berasal dari Allah dengan berjihad dengan kedua tangan dan jawarih, hingga mereka semua tunduk dalam ketaatan.
Mengabarkan kepadaku Yahya bin Abi Thalib, ia berkata, mengabarkan kami Yazid, ia berkata, memberitakan kami Juwaibir, dari adh-Dhahak : wal takun minkum ummatun yad’uuna ila al-Khair ya’muruuna bil Ma’ruf wa yanhauna ‘anil Munkar. Beliau berkata : mereka adalah khusus sahabat Rasulullah dan mereka khusus para ruwat.
· Tafsir al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an (Abu Abdillah Muhammad Ahmad al-Anshary al-Qurthuby)
Kata min pada firman Allah minkum bermakna litab’iidh (menunjukkan sebagian), dan maknanya adalah al-Aamiruun (orang yang memerintahkan) diwajibkan adalah orang yang berilmu (ulama’) dan tidaklah setiap manusia itu ulama’. Juga dikatakan, bermakna libayanil jinsi (menerangkan keseluruhan jenis), maknanya adalah latakuunu kullukum kadzalika (jadilah kalian semua orang yang demikan, i.e. yang menyeru kepada al-Khair, beramar ma’ruf dan nahi munkar). Penafsiran ini juga benar, wallahu a’lam, sebagaimana dalam sabda nabi, Ballighuw ‘anniy walau aayah.
Al-Qurthubi berkata, Aku berkata : pendapat awal lebih benar, karena pendapat ini menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar fardhu kifayah, sebagaimana Allah telah menta’yinnya dalam firman-Nya : Alladzinna in makkannaahum fil ardhi aqoomush sholaah (mereka yang jika Allah meneguhkan kedudukan mereka di muka bumi, mereka mendirikan sholat) sedangkan tidak setiap manusia diteguhkan kedudukannya.
· Tafsir al-Khazin/Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil (Alauddin Ali Muhammad Ibrahim al-Baghdady)
Huruf lam dalam firman Allah waltakun adalah Lam al-Amru yaitu maknanya adalah Latakun minkum ummatun du’atun ilal Khoiri (Jadilah kalian sebuah ummat yang menyeru kepada al-Khair). Dan kalimat min dalam firman-Nya minkum adalah litabyin bukan litab’iidh. Hal ini disebabkan, Allah Azza wa Jalla mewajibkan Amar ma’ruf Nahi munkar kepada setiap ummat dalam firmannya, Kuntum khoiru ummatin ukhrijat linnasi ta’muruuna bil ma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar (Kalian adalah ummat terbaik yang dikeluarkan kepada manusia menyeru yang ma’ruf dan mencegah yang munkar), maka merupakan suatu kewajiban bagi setiap mukallaf untuk beramar ma’ruf nahi munkar baik dengan tangannya, lisannya, maupun hatinya sebagaimana dalam hadits Abi Said al-Khudri. Dari sinilah makna ayat ini menjadi Kuunuw ummatan du’atan ilal Khoiri Aamiriina bil Ma’ruf wa Naahiina bil Munkar (Jadilah kalian semua suatu ummat yang menyeru kepada al-Khair dan beramar ma’ruf nahi munkar.)
· Tafsir al-Baidhawy lil Imam Baidhawy
Wal takun minkum ummatun maksudnya waltakunuu ummatan (jadilah kalian semua satu ummat), min bermakna shillatun (penghubung) bukan littab’iidh (menunjukkan sebagian), sebagaimana dalam firman Allah ta’ala : fajtanibur Rijsa minal awtsaani (jauhilah oleh kalian berhala-berhala yang najis itu), bukanlah dimaksudkan menjauhi sebagian berhala namun yang dimaksudkan jauhilah semua berhala. Kata lam pada waltakun adalah lam al-Amru (lam yang membuahkan perintah). Yad’uuna ilal Khoir maksudnya ilal Islam.
· Tafsir al-Maraghy (Ahmad Mustafa al-Maraghy)
Maksudnya : waltakun minkum thooifatun mutamayyizah taquumu bid da’wati wal amru bil ma’rufi wan nahy ‘anil munkari.
Dan yang dikenai khitab dalam ayat ini adalah mereka kaum mukminin seluruhnya yang mukallaf menurut kemampuannya .
Beliau (Syaikh al-Maraghy) memberikan persyaratan bagi ummat da’wah ini sebagai berikut :
1) haruslah ‘alim tentang al-Qur’an dan as-Sunnah serta sirah nabi beserta para khulafaur rasyidinnya.
2) haruslah mengetahui tentang keadaan obyek yang akan didakwahi/dinasehati, keadaannya, kesiapannya, tabiat dan akhlaknya, yaitu dengan kata lain mengetahui keadaan (sikon) masyarakat.
3) haruslah faham dengan bahasa ummat yang hendak didakwahinya.
4) mengenal milal wan nihal wa madzahibil umam (agama-agama dan sekte-sekte serta madzhab-madzhab ummat), agar mempermudahnya dalam mengenal kebathilan.
· Taisirul Karimir Rahman min Tafsiril Kalamil Mannan (Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di)
Yad’uuna ila Khoir maksudnya adalah kepada ad-Dien, ushul dan furu’nya dan segala syariatnya.
Ya’muruna bil Ma’ruf maksudnya adalah menyeru kepada apa-apa yang diketahui akan kebaikannya oleh syara’ dan akal.
Yanhauna ‘anil Munkar maksudnya melarang dari apa-apa yang diketahui keburukannya oleh syara’ dan akal.
Beliau berkata lagi, yang termasuk di dalam thoifah ini adalah Ahlul Ilmi wat Ta’lim, yang senantiasa menyeru dan menasehati manusia baik secara umum maupun khusus dan senantiasa berihtisab dalam menegakkan kewajiban manusia untuk menegakkan sholat, menunaikan zakat dan menegakkan seluruh syariat-2 agama serta melarang dari perkara-perkara munkar.
Maka setiap orang yang menyeru manusia kepada al-Khair, baik secara umum maupun khusus, ataupun menegakkan nasihat secara umum maupun khusus, maka sesungguhnya ia termasuk ke dalam ayat yang mulia ini.
Al-Khulashoh (Kesimpulan)
Dari keterangan para ulama tafsir di atas, tampak bahwa :
Waltakun minkum ummatun di sini, ummatun bermakna jama’ah. Dan jama’ah di sini tidak dimaksudkan jama’ah-2 yang sebenarnya lebih tepat dkatakan firqoh, sebagaimana yang berkembang dewasa ini seperti Hizbut Tahrir yang menggunakan dalil ini dalam melegalkan takattul hizbi. Namun jama’ah adalah bermakna ar-Rajulu al-Wahidu ad-Daa’iy ila al-Haqqi (seseorang yang menyeru kepada hak walau seorang diri) sebagaimana diterangkan Imam al-Qodhi Ibnul ‘Araby al-Maliki dalam Ahkamul Qur’an (I/292)
Adapun min di sini, ulama berbeda pendapat, dan kedua-duanya sama-sama benar, yakni:
1) bermakna littabyin atau libayani jinsi (menerangkan jenis) dan ia berfungsi sebagai shillah (penghubung). Maknanya, Kuunuu kullukum kadzaalika walaisa ahadin duna ahadin sebagaimana dikuatkan oleh Imam al-Baghdady dan al-Baidhawy. Imam an-Nahas dalam I’rabul Qur’an (III/25) juga memperkuat hal ini, demikian pula pendapat shahibul kitab Khozkamitul Adab (V/26).
2) bermakna littab’idh (menunjukkan sebagian). Maknanya adalah annal Aamiriina yajibu an yakuunuu ulamaa’ walaysa kullun naasi ulama’ (Orang yang memerintah wajiblah dia berilmu (ulama) dan tidaklah tiap manusia itu ulama’) sebagaimana dikuatkan oleh Imam al-Qurthuby dalam tafsirnya di atas (IV/165)
Kedua makna di atas tidak membenarkan membentuk hizb sebagaimana apa yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir dan hizb-hizb lainnya, karena makna pertama menunjukkan bahwa seluruh kaum mukminin terkena keumuman lafadh ayat ini. Adapun makna kedua, yakni littab’idh tidak menunjukkan kewajiban membentuk hizb/partai, apalagi yang membatasi aktivitasnya hanya pada aktivitas politik, karena persyaratannya adalah amirin haruslah alim dan memiliki syarat-syarat, padahal tidaklah persyaratan ini dipenuhi oleh hizbut tahrir dan ahzab lainnya, karena hizbut tahrir dan kebanyakan ahzab lainnya memiliki manhaj yang berbeda-beda, manhaj talaqqi yang berbeda-beda dan kullu hizbin bimaa ladaihim farihuun (Tiap golongan bangga dengan apa yang ada pada mereka).
Syaikh Abdurrahman ad-Dimasyqi mengatakan dalam Hizbut Tahrir Munaqosyah Ilmiyah, ayat ini tidak bisa dijadikan dalil bertahazzub, jika sekiranya demikian maka para salaf terdahulu akan dengan segera mendirikan ahzab dan jama’at da’wah, karena mereka adalah orang yang paling bersegera dalam kebaikan dan paling memahami ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah-sunnah Rasulullah SAW.
Jika kita perhatikan juga ayat sebelum ayat ini (i.e. Ali Imran 103) mengabarkan tentang wajibnya berpegang teguh dengan tali Allah, Allah berfirman : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” Ini menunjukkan kewajiban bagi ummat untuk bersatu dan tidak berpecah belah, sedangkan tahazzub (berpartai) termasuk aktivitas bertafarruq. Bahkan ayat setelah ayat 104 ini, menjelaskan tentang larangan Allah berpecah belah, Allah berfirman, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (Ali Imran 105)
Imam al-Baghdadi dalam Tafsir al-Khazin mengatakan, tafaraqu wakhtalafu (bercerai-berai dan berselisih) bermakna satu dan disebutkan kedua-duanya dengan maksud lita’kid (menekankan), dan dikatakan mereka berselisih dikarenakan permusuhan, mengikuti hawa nafsu dan berselisih di dalam agama Allah maka mereka menjadi firqoh-firqoh yang saling berselisih.
Imam al-Baidhawi meriwayatkan dalam tafsirnya, berkata mayoritas mufasirin, “mereka yang dimaksud di sini adalah yahudi dan nashrani”. Berkata sebagian mufasirin, “mereka adalah ahlul bid’ah ummat ini”, berkata Abu Umamah Ra, “mereka adalah kaum haruriyah di syam (khowarij)”, berkata Abdullah bin Syaddad, “Abu Umamah berpendapat demikian dan aku sependapat dengannya”, lantas ia berkata, “Mereka (haruriyah) adalah anjingnya neraka, mereka dulu adalah orang-orang yang beriman kemudian mereka kafir setelah keimanan mereka”.
Maka, apakah pantas ayat yang mulia ini (i.e. Ali Imran 104) dijadikan sebagai ayat yang menganjurkan untuk bertahazzub dan bertafarruq?? Sungguh, hizb bukanlah Du’atun ilal Khoir wa Aamirina bil Ma’ruf wan Naahiina ‘anil Munkar, namun hizb adalah salah satu dari milal wa nihal yang ada pada ummat ini, yang mengadopsi pemikiran dan pemahaman firqoh-firqoh mutaqoddimah munharifiina ‘anis salaf.
Bantahan lebih lengkap tentang syubuhat ini bisa dibaca dalam kitab ad-Da’watu ilaLlahi bainat Tajammu’il Hizby wat Ta’awunisy Syar’i karya Syaikhuna al-Fadhil Ali bin Hasan al-Halaby al-Atsary pada al-mabhatsu ats-Tsalitsa ‘asyaro (Bahasan ke-13) Syubuhat wal Jawabu ‘anha halaman 113-122).
Berkaitan dengan hal tersebut sebenarnya, ada sebuah perintah wajib adanya
kelompok (bisa dibaca di Syarhu Al Asnawi, Qowaidul Hukmi fil Islam, dan Tafsir Imam Ibnu Katsier untuk lebih lanjutnya) dikalangan kaum muslimin yang melakukan aktivitas menyeru kepada Al-khair, amar ma'ruf nahi mungkar.
o> Penjelasannya telah kami terangkan di atas… bahwa ayat di atas adalah bukan perintah untuk mendirikan kelompok atau hizb… kami tantang antum untuk menunjukkan bayan tentang hal ini dalam maroji’ yang antum sebutkan, terutama Tafsir Ibnu Katsir, dan Syarh al-Asnawi, pada halaman berapa letaknya klaim antum ini…
Lebih lanjut Imam Al Baidhawi dalam Minhajul Wushul fi 'Ilmi Ushul menyatakan bahwa lafadz (Al) dalam kalimat Al-Ma'ruf memiliki ma'na umum, yaitu ditujukan kepada rakyat biasa dan penguasa,
o> Memang dalam Kaidah Ushul Fiqh dikatakan al-’aam adalah al-Lafdhu al-mustaghrak lijamii’ afradihi bila hashr (Lafadh yang mencakup seluruh hal tanpa pembatasan), diantara shiyagh (bentuk kata) al-‘Aam adalah alif lam ta’rif (Al), sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala : az-Zaani la yankihu illa zaaniyatan wa musyrikatan wa az-zaaniyatu laa yankihuhaa illa zaanin aw musyrikun (an-Nur (24) : 3), shighat az-zaani dan az-zaaniyah di sini bersifat ‘aam untuk semua penzina lelaki dan perempuan, tidak khusus untuk suatu kaum atau individu tertentu. Menurut ulama’ ushul terutama Hanafiyah, al-‘aam yang tidak ditakhshish adalah pasti dalam keumumannya. Namun, keganjilannya adalah tatkala al-Ma’ruf maknanya dilebarkan dari siyaqnya dalam pernyataan antum di atas. Seharusnya keumuman makna al-ma’ruf adalah sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh as-Sa’di dalam at-Taisir dan mufassirin lainnya, yakni : ad-Dien, ushul dan furu’nya dan segala syariatnya. Inilah makna keumuman tersebut. Adapun pernyataan antum di atas bukan berbicara tentang keumuman lafadh al-Ma’ruf dari segi makna, namun dari sisi khithab, jika yang dimaksud khithabnya maka dikembalikan ke lafadh sebelumnya yakni ya’muruna, dan yang dimaksud telah terang dalam tafsir yang telah kami nukilkan di atas…
Mengenai ilmu ushul fiqh ini, kami tidak heran jika hizb sering mengemukakan dalih-2 ushuliyah, dan mustholah-2nya. Bahkan dengan mustholah ini hizb menolak khobarul ahad dalam masalah aqidah. Padahal kewajiban atas setiap muslim hendaklah ia memahami dulu aqidahnya dan fiqh-2 praktis prioritas dhoruri yang wajib diketahui, karena tidak wajib ‘ain memahami ilmu ushul fiqh. Bahkan JIL (Jaringan Iblis Laknatullah) dalam pembahasan-2nya sering mempluntir ayat-2 al-Qur’an dengan kaidah-2 ushul fiqh. Bahkan, Ulil ‘Aqshor’ (bukan Abshar) Abdalla adalah orang yang juga hapal dan faham tentang qowaid ushul fiqh namun diarahkan menurut akal dan hawa nafsunya. Demikan pula firqoh-2 mu’tazilah terdahulu, mereka sering mendahulukan mustholah ushuliyah daripada nushush sharih (nash yang jelas) dari kitabain.
Imam Muhammad bin Idris adalah orang yang pertama kali menghimpun dan membukukan kaidah-kaidah ilmu Ushul Fiqh secara sistematis dalam kitabnya ar-Risalah. Kemudian menyusul para ulama’ setelahnya dengan kitab-kitab ushul fiqh, seperti al-Mustasyfa karya Abu Hamid al-Ghozali, al-Ahkam oleh Abu Hasan al-‘Amidi, Minhajul Wushul ila ‘Ilmil Ushul oleh al-Baidhawy dan lain lain. Kemudian ulama setelahnya menyusun kitab-2 ushul fiqh muyassar (yang mudah dipelajari dan difahami) seperti Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haqqi min ‘Ilmil Ushul karya asy-Syaukani, Tahhsilul Wushul ila Ilmil Ushul karya Muhammad Abdurrahman Ied al-Mihlawy, Ushul al-Fiqh dalam Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatis Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, kitab ini adalah kitab termudah untuk difahami. Ilmu ushul fiqh ini digunakan untuk mempermudah dalam beristinbat dalam memahami nushush secara rasional dan logis dimana kaidah dasar haruslah difahami dulu sebelum masuk ke pembahasan ilmu ushul fiqh ini.
Jumat, 01 Mei 2009
DEBAT HIZBUT TAHRIR VS SALAFIYYAH (1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Wah.....ini perdebatan apa mencari pembenaran pribadi nih........
BalasHapusterserah... situs gue ini... heeheheehe...
BalasHapuswwwkk surga ini miliknya orang mengaku salafi... tunjuk sana sini kafir...dia tau orang kafir atau engga.. cape hakimi umat islam yang gak sejalan dengan harakahnya...
BalasHapusCoba wahai antum yang mengaku salafi, gelarlah diskusi publik, tantang saudara kita yang antum sebut hizbiyyun, anjing2 neraka, muktazillah gaya baru. jangan menghakimi di ruang sempit sendiri, ini namanya tidak adil dan pengecut.
BalasHapustulisan ilmiah?? ilmiah apanya, wong judulya dialog isinya kok ngomong sendiri....hmmm
BalasHapusyg penting sekarang adalah bukan berdebat sesama kita yg iman dg Allah dan rasulnya dan mencelah yg berbedah faham, tapi yg penting adalah mewujudkan solusi dari kesensaraan umat islam dalam segalah aspek.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus