يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ﴾ [الحشر:18

Rabu, 25 Februari 2009

KETIKA UKHUWAH YANG TERKOYAK

Oleh :
Ustâdz Firanda Ibn ‘Âbidîn as-Soronjî

Tidak diragukan lagi bahwa kita tengah berada di suatu zaman di mana nilai-nilai ukhuwwah (persaudaraan) yang dibangun karena Allôh mulai pudar. Orang-orang tidak saling berhubungan melainkan karena pertimbangan materi belaka. Mereka saling mencintai dan membenci karena dunia. Tidaklah salah seorang dari mereka mendekati yang lain dengan wajah yang manis kecuali karena ada maunya. Tatkala kepentingan itu tidak tercapai, maka senyuman pun berubah menjadi raut masam.
Hal ini bukanlah termasuk gaya hidup as-Salafus Shalih. Mereka sungguh jauh dari model hidup seperti ini. Tidaklah mereka mencintai dan bersahabat dengan seseorang melainkan karena Allôh.
Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
لاَتَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوْا
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman dan tidaklah kalian beriman sampai kalian saling mencintai…” [HR Muslim (54), Abu Dawud (5193), dan at-Tirmidzi (2689)]
Kita sama-sama mengetahui bahwa defininsi ibadah adalah sebuah nama yang mencakup semua perkara yang yang dicintai dan diridhai oleh Allôh, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang zhahir maupun batin. Diantara perkataan dan perbuatan yang dicintai dan diridhai oleh Allôh adalah menunaikan hak-hak ukhuwwah. Hak seorang muslim atas saudaranya yang lain. Terlebih lagi jika keduanya adalah sahabat karib. Bukan hanya sekedar saudara sesama muslim. Mereka bertemu dan berpisah karena Allôh, sama-sama berjalan di atas ketaatan kepada Allôh, saling tolong menolong dalam kebaikan, sehingga semakin kuatlah hak-hak ukhuwwah yang ada diantara keduanya. Hak-hak ini hendaknya tetap diperhatikan oleh setiap muslim, baik tua, muda, lelaki, maupun wanita.
Sungguh, Allôh benar-benar telah memberi kenikmatan kepada kaum muslimin dengan menjadikan mereka bersaudara. Allôh berfirman:
﴿فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتٌمْ عَلَى شَفَى حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا﴾
“Lalu menjadilah kalian karena nikmat Allôh orang-orang yang bersaudara, dan kalian dahulu berada di tepi jurang neraka lalu Allôh menyelamatkan kalian darinya.” (Âli ‘Imrân: 103)
Dalam ayat tersebut Allôh menyebutkan nikmat yang telah Ia berikan kepada hamba-hamba-Nya, yaitu menyatukan hati-hati mereka dan menjadikan mereka bersaudara. Hal ini menunjukkan bahwa nikmat yang sangat agung ini, yaitu ukhuwwah, semestinya hanya dilandasi karena Allôh semata.
Seorang muslim harus menyadari bahwa persaudaraan dan rasa cinta diantara sesama kaum mukminin yang dilandasi karena Allôh merupakan suatu nimat yang sangat agung dari Allôh. Maka hendaknya senantiasa dijaga dan dipelihara.
Dalam menafsirkan firman Allôh: بِنِعْمَتِهِ (karena nikmat-Nya), sebagian ulama berkata, “Ini adalah peringatan bahwasanya terjalinnya tali persaudaraan dan terjalinnya cinta kasih diantara kaum mukminin hanyalah disebabkan karunia Allôh semata, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang lain:
﴿لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ﴾
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allôh-lah yang telah mempersatukan hati mereka” (Al-Anfal: 63)
Maka yang menjadikan hati-hati manusia bersatu dalam ibadah kepada Allôh, sekaligus saling mencintai, padahal mereka berasal dari berbagai penjuru dunia, dari ras yang beraneka ragam, serta dari martabat yang bertingkat-tingkat, hanyalah Allôh semata, dengan nikmat-Nya yang tiada bandingnya. Ini adalah nikmat yang selayaknya seorang muslim bergembira dengannya. Allôh berfirman:
﴿قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ﴾
“Katakanlah: ‘Dengan karunia Allôh dan rahmat-Nya’, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allôh itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan” (Yunus: 58)
‘Abdah bin Abî Lubâbah berkata: “Aku bertemu dengan Mujâhid. Lalu dia menjabat tanganku, seraya berkata: ‘Jika dua orang yang saling mencintai karena Allôh bertemu, lalu salah satunya mengambil tangan kawannya sambil tersenyum kepadanya, maka gugurlah dosa-dosa mereka sebagaimana gugurnya dedaunan.”
‘Abdah melanjutkan: “Aku pun berkata: ‘Ini adalah perkara yang mudah.’ Mujahid lantas menegurku, seraya berkata: “Janganlah kau berkata demikian, karena Allôh berfirman:
﴿لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ﴾
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allôhlah yang telah mempersatukan hati mereka” (Al-Anfal: 63)
Akhirnya ‘Abdah berkata: “Maka aku pun mengakui bahwa dia memiliki pemahaman yang lebih dibandingkan aku” [Tafsir Ath-Thabari (X/36) dan Hilyatul Auliyâ` (III/297). Diriwayatkan juga dari Abu Lubâbah, dari Mujâhid, dari Ibnu 'Abbas, dari Rasūlullâh Shallâllâhuu ‘alaihi wa Sallam dengan sanad yang marfū’, dalam Târîkh Wâsith, pada biografi 'Abdullâh bin Sufyân Al-Wâsithi (I/178), dengan kisah yang sama, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albânî karena syawâhid-nya. Lihat: as-Shahîhah (V/10) hadits (2004).]

Landasan Seorang Muslim Tatkala Bermu’âmalah dengan Saudaranya
Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik, dari Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya segala (kebaikan) yang dia sukai bagi dirinya sendiri” [HR Al-Bukhari (13) dan Muslim (45)]
Keinginan agar saudara kita juga mendapatkan apa yang kita sukai bagi diri kita merupakan suatu kewajiban setiap orang yang beriman. Hukumnya bukan hanya sekedar mustahab (sunnah), sebagaimana persangkaan sebagian orang. Barangsiapa yang dalam hatinya tidak terdapat perasaan demikian maka dia telah berdosa. Hal ini telah dijelaskan secara panjang lebar oleh Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah. [Lihat Majmuu’ Fataawa (VII/14-19)]
Tidaklah Allôh dan Rasul-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam menafikan sesuatu perkara yang diperintahkan, kecuali karena ditinggalkannya sebagian kewajiban dalam perkara tersebut. Tentang shalat misalnya, Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidak ada shalat bagi orang yang menahan dua hadats (buang air dan buang angin).”
Beliau juga bersabda:
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah.”
Tatkala melihat orang yang rusak shalatnya karena tergesa-gesa, tidak thuma`ninah (tenang), Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam berkata:
“Kembalilah shalat karena sesungguhnya engkau belum shalat.”
Ini menunjukkan bahwa hukum tidak menahan buang air ketika shalat adalah wajib. Begitu juga dengan hukum membaca al-Fâtihah dan thuma’nihah dalam shalat.
Kembali ke masalah keimanan, dengan menganalogikan contoh-contoh di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa jika meninggalkan suatu perbuatan menyebabkan iman ternafikan, maka perbuatan tersebut hukumnya adalah wajib.
Misalnya sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam :
“Tidaklah beriman orang yang tidak amanah”
Begitu juga sabda beliau :
”Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga akulah yang lebih dia cintai dari pada orang tuanya, dari pada anaknya, dan dari seluruh manusia.”
Serta sabda beliau:
“Tidaklah beriman orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.”
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa menjaga amanah, mendahulukan kecintaan kepada Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam di atas manusia yang lain, dan tidak mengganggu tetangga hukumnya adalah wajib.
Di dalam nash-nash syar’i, iman dan shalat tidak mungkin dinafikan jika yang ditinggalkan adalah perkara yang sunnah. Maka tidaklah kita katakan pada orang yang shalat dengan tidak membaca do’a iftitah, “Tidak ada shalat untukmu.” Sebab, do’a iftitah hukumnya adalah sunnah. Sekiranya kita boleh menafikan iman dikarenakan ada perkara mustahab yang ditinggalkan, maka tentulah kita boleh berkata, “Abu Bakr tidak beriman.” Sebab, tidak ada yang melakukan seluruh perkara mustahab secara sempurna kecuali Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Pasti ada sebagian perkara mustahab yang ditinggalkan oleh Abu Bakr. Namun, tentunya tidak seorang pun dari Ahlus Sunnah berkata, “Abu Bakr tidak beriman.” Ini merupakan perkataan yang jelas-jelas batil.
Ibnu Taimiyyah berkata: “Barangsiapa yang tidak menginginkan untuk saudaranya seiman apa yang dia sukai bagi dirinya, maka dalam dirinya tidak ada keimanan yang wajibkan Allôh kepadanya. Tatkala Allôh menafikan keimanan dari seseorang, maka tidaklah ini terjadi melainkan karena adanya kekurangan pada keimanan yang wajib, sehingga pelakunya termasuk orang-orang yang terkena ancaman Allôh dan bukan termasuk orang-orang yang berhak memperoleh janji baik dari Allôh.” [Majmuu' Fataawa (VII/41)]
Berkata Ibnu Rajab: “Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam memberikan balasan surga bagi sifat berikut ini.” [Jâmi' al-'Ulūm wal Hikam (I/304)]
Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ
“Barang siapa yang ingin diselamatkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka hendaklah ketika ajal menemuinya dia dalam keadaan beriman kepada Allôh dan hari akhir, dan hendaklah dia memberi orang lain apa yang dia suka untuk diberikan kepadanya.” [HR Muslim (1844)]
Lafazh “Mâ” dalam hadits: “Mâ yuhibbu linafsihi” adalah isim maushul. Dalam disiplin ilmu ushul fiqh disebutkan bahwa isim maushul memberikan makna yang umum (universal).
Syaikh Shalih Alu Syaikh berkata: “Hadits di atas mencakup ‘aqidah, perkataan dan perbuatan, yaitu mencakup seluruh bentuk amal shalih, baik keyakinan, perkataan, maupun perbuatan… Hendaknya seorang mukmin menginginkan agar saudaranya memiliki ‘aqidah yang benar seperti ‘aqidah yang ia yakini. Sikap seperti ini hukumnya wajib. Hendaklah ia juga menginginkan agar saudaranya shalat sebagaimana ia shalat. Sekiranya ia senang jika saudaranya tidak berada di atas petunjuk yang benar, maka ia telah berdosa, dan telah hilang darinya keimanan sempurna yang wajib. Jika ia senang bila ada saudaranya yang berada di atas ‘aqidah yang batil dan tidak sesuai dengan sunnah, yaitu ‘aqidah bid’ah, maka telah ternafikan darinya kesempurnaan iman yang wajib. Demikian pula halnya dengan seluruh peribadatan dan seluruh jenis-jenis sikap menjauhi perkara-perkara yang diharamkan. Jika ia senang bila dirinya terbebas dari praktek suap, tetapi ia senang jika ada saudaranya yang terjatuh dalam praktek suap, hingga dia merasa unggul –lebih shalih dari saudaranya tersebut-, maka telah ternafikan kesempurnaan iman yang wajib dari dirinya (dia telah berdosa). [Dalam Syarh al-Arbaîin an-Nawawiyyah, oleh Syaikh Shâlih Âlu Syaikh]
Ibnu Rajab berkata: “Hadits Anas yang sedang kita bicarakan ini menunjukkan bahwa wajib bagi seorang mukmin untuk bergembira jika ada saudaranya yang seiman gembira. Hendaklah ia menginginkan agar saudaranya mendapatkan kebaikan, sebagaimana ia juga menginginkan kebaikan. Semua ini tidak bisa terwujud kecuali dari hati yang bersih dari sifat dendam, hasad (dengki), dan curang. Sesungguhnya sifat hasad menjadikan pemiliknya benci jika ada orang lain yang mengunggulinya atau menyamainya dalam kebaikan. Sebab, ia ingin menjadi spesial dan istimewa di tengah-tengah manusia dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Tetapi konsekuensi dari iman adalah sebaliknya, yaitu ia ingin agar seluruh kaum mukminin menyamainya dalam kebaikan yang Allôh berikan kepadanya, tanpa mengurangi kebaikan dirinya sedikit pun.” [Jâmi' al-'Ulūm wal Hikam (I/306)]
Bahkan derajat yang lebih tinggi dari ini –meskipun tidak wajib- adalah seorang mukmin ingin agar kaum mukminin yang lain melebihi dia dalam kebaikan. Karena yang wajib dalam syari’at adalah ia menginginkan agar orang-orang seperti dirinya dalam kebaikan
al-Fudhail berkata: “Jika engkau ingin manusia seperti engkau, maka engkau belum menunaikan nasehat pada Rabbmu.…”
Karena itu seorang mukmin hendaknya selalu memandang dirinya penuh dengan kekurangan, sehingga ia selalu berusaha untuk meraih keutamaan dan kebaikan untuk memperbaiki dirinya. Hal ini akan menimbulkan dalam hatinya agar kaum mukminin lebih baik dari dirinya. Ia tidak rela jika kaum mukminin seperti dirinya yang penuh kekurangan.
Muhammad bin Wâsi’ pernah berkata kepada putranya:
أَمَّا أَبُوْكَ فَلاَ كَثَّرَ اللهُ فِي الْمُسْلِمِيْنَ مِثْلَهُ
“Adapun ayahmu, maka semoga Allôh tidak memperbanyak yang semisalnya di tengah kaum muslimin.” [Disarikan dari Jaami' al-'Ulum wal Hikam (I/309-310)]
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh berkata: “Jika ada yang mengatakan bahwa sifat ini terkadang sangat sulit dipraktekkan, yaitu engkau menghendaki bagi saudaramu apa yang kau inginkan bagi dirimu. Engkau menghendaki saudaramu menjadi seorang ‘alim, kaya, memiliki harta dan anak-anak, serta menjadi orang yang istiqâmah. Bukankah hal ini sulit dipraktekkan? Maka jawabnya, hal tersebut tidaklah sulit jika engkau melatih dan membiasakan diri. Latihlah dan biasakan dirimu, niscaya kelak akan ringan rasanya. Namun, jika engkau menuruti hawa nafsumu maka hal ini benar-benar akan sangat sulit untuk dilakukan.” [Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, hal. 164]
Faidah lain dari hadits ini adalah penjelasan tentang makna akhlak yang mulia. Syaikh ‘Abdurrazzâq bin ‘Abdil Muhsin al-’Abbâd –hafizhahumallôh- pernah berkata: “Banyak pendapat dalam menjelaskan definisi akhlak mulia. Namun definisi terbaik dari akhlak mulia adalah perkataan Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam:
وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْه
“Hendaknya ia memberi kepada orang lain apa yang ia suka untuk diberikan padanya.” [HR Muslim (1844)]
Praktek dari hadits ini, jika engkau ingin bermu’amalah dengan kedua orangtuamu maka bayangkan bahwa dirimu adalah orang tua. Anggaplah engkau adalah seorang ibu, apa yang kau kehendaki dari anakmu untuk bermu’amalah kepadamu (maka seperti itulah yang kau lakukan terhadap ibumu). Qiyaskanlah hal ini tatkala engkau ingin bermu’amalah dengan tetangga dan sahabatmu. Jika ada sahabatmu yang bersalah kepadamu maka apa sikapmu kepadanya? Bayangkan seandainya engkau adalah sahabatmu yang bersalah itu, maka apakah yang kau harapkan? Tentunya engkau mengharapkan untuk dimaafkan. Jika demikian maka maafkanlah sahabatmu itu.” [Faidah yang kami dapatkan guru kami, Syaikh 'Abdurrazzâq –hafizhahullâh-, tatkala menjelaskan hadits ke-18 dari al-Arbaîin an-Nawawiyyah]
Demikianlah, sangat penting bagi kita untuk selalu mengingat faidah hadits ini, tatkala bergaul dan bermu’amalah dengan siapa pun, terutama tatkala bermu’amalah dengan saudara seiman.
Apakah makna ukhuwwah yang disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam? .
Jika dua orang berjalan di sebuah jalan yang lebar dan aman, maka keduanya bisa berjalan bersama dengan tentram. Masing-masing saling bergandengan tangan karena rasa cinta yang ada di antara mereka. Namun lihatlah, ternyata jalan yang ditempuh semakin sempit dan akhirnya tidak cukup kecuali untuk salah seorang saja diantara keduanya? Salah seorang dari mereka bergumam, “Manakah yang aku dahulukan? Diriku ataukah saudaraku?” .
Lalu lihatlah, ternyata jalannya semakin bertambah sempit, sehingga tidak mungkin dilalui kecuali untuk satu orang saja. Ia pun bergumam kembali, “Ini adalah kesempatan emas. Hanya sekali. Kalau bukan untuk diriku tentulah untuk saudaraku. Maka siapakah yang aku dahulukan? Apakah aku ambil kesempatan ini dan membiarkan saudaraku mencari jalan lain, ataukah aku berikan kesempatan ini kepadanya dan aku berusaha lagi?”.
Kondisi seperti inilah yang menjadi ajang pembuktian persahabatan sejati..
Sungguh, persahabatan dalam kondisi aman dan tentram sama sekali tidak berat dan tidak bertentangan dengan keinginan-keinginan hati. Bahkan ukhuwwah dalam kondisi ini merupakan perkara yang diinginkan oleh hati, dimana setiap orang berusaha untuk mewujudkannya dalam rangka meraih ketenangan jiwa. Namun pada saat kondisi genting atau ingin mendapatkan sesuatu yang sangat berharga, maka saat itulah teruji ukhuwwah yang sejati. Ujian inilah yang membedakan antara sikap itsar (mengutamakan orang lain) dan egoisme yang kadang tersembunyi dalam diri pemiliknya ketika kondisi aman dan tentram, sampai-sampai ia menyangka bahwa ia adalah sahabat sejati yang merealisasikan segala konsekuensi ukhuwwah. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. [Lihat muqaddimah tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman terhadap risalah Âdabul ‘Isyrah wa Dzikrus Shuhbah wal Ukhuwwah, hal 5-6]

1 komentar:

  1. Antum bagus, cuma kalau bisa cobalah antum tampilkan artikel yang mempresentasikan bagaimana muatan dakwah salaf... jadi di samping tulisan yang bernuansa tashfiyah antum juga mengiringya dengan tarbiyah berupa detil ulasan manhaj salaf... ibarat dokter pasca diagnosa penyakit tentu memberikan resep obatnya

    BalasHapus