Menggugat Demokrasi - Nasehat: Jangan Berkata Tanpa Ilmu
3 Juni 08 oleh Abu Umar
Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam
Ketahuilah wahai orang Muslim bahwa di antara penyakit-penyakit dakwah Ilallah Azza wa Jalla adalah meyakini suatu pendapat sebelum mengetahui dalilnya. Ini merupakan salah satu bentuk perbuatan “berkata atas Allah tanpa ilmu”.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al Isra’ : 36)
Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, “ini halal dan ini haram” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit dan bagi mereka azab yang pedih. (QS. An Nahl : 116-117)
Allah mengkategorikan perbuatan berkata atas nama Allah tanpa ilmu termasuk dosa yang paling besar. Allah Azza wa Jalla berfirman :
Katakanlah : “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada- adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al A’raf : 33)
Perhatikanlah kerasnya ancaman kepada orang yang berkata “ini halal ini haram” tanpa merujuk kepada dalil-dalil syar’i. Larangan ini tertuju kepada kita semuanya, kepada orang yang bodoh dan yang berilmu, kepada hakim dan yang dihakimi.
Bila seorang berijtihad dalam suatu masalah yang belum sampai kepadanya hukum syar’i maka tidak layak baginya untuk mengatakan ini “hukum Allah” bahkan hendaknya dia mengatakan “ini hukumku, hasil ijtihadku”.
Imam Muslim, Imam Ahli Hadits yang empat (Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah) serta Darimi telah meriwayatkan dari hadits Buraidah bin Al Hashib radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda kepada salah seorang pemimpin saat memberi wasiat :
“ … jika kalian mengepung suatu benteng lantas mereka menginginkan untuk diterapkan kepada mereka hukum Allah maka janganlah kalian menerapkan hukum Allah kepada mereka namun terapkanlah pada mereka hukummu, sesungguhnya kamu tidak mengetahui apakah kamu sesuai dengan hukum Allah atau tidak dalam perkara mereka?”
Alangkah indahnya kalau mereka –saudara-saudara kita yang berfatwa dalam masalah pemilu– mengatakan : “Sebagian ulama telah berijtihad … .” Atau ulama mereka sendiri mengatakan : “Kami berijtihad … mungkin kami sesuai dengan kebenaran dan mungkin juga kami keliru dan mungkin juga ada yang menyelisihi kami sedangkan mereka orang yang memiliki kedudukan ilmiah yang lebih tinggi … .” Dan seterusnya.
Namun mereka mengeluarkan berbagai fatwa hukum dengan mengatakan : “Barangsiapa yang tidak memilih maka dia munafik, sesungguhnya pemilu wajib, orang yang tidak memilih berarti telah berbuat dosa … .”
Dan semua hukum ini keluar dari jalan hawa nafsu. Bagaimana tidak? Dia memaksa manusia untuk menerima hukum, sistem dan proses legislasi ala musuh-musuh Allah yang telah diketahui oleh semua akan bahaya dan kerusakannya? Sedangkan mereka tidak mampu mendatangkan satu dalil pun yang menunjukkan dengan jelas bolehnya pemilu tersebut.
Sementara dalil-dalil yang berbicara tentang pengharaman pemilu ada jelas-jelas. Mereka hanya bersandar kepada ayat-ayat yang sangat jauh maknanya dari apa yang mereka dakwakan. Mereka juga memakai kaidah-kaidah fiqhiyyah bukan pada tempatnya.
(Dinukil dari buku: Menggugat Demokrasi dan Pemilu. Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: www.assunnah.cjb.net)
Rabu, 01 April 2009
Menggugat Demokrasi - Nasehat: Jangan Berkata Tanpa Ilmu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar