يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ﴾ [الحشر:18

Senin, 01 Februari 2010

sudah saatnya Meniti Manhaj SALAF

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly (www.almanhaj.or.id)



Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala telah memilihkan agama Islam bagi kita, meridhai dan menyempurnakan serta melengkapinya. Allah berfirman:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu” [Al-Maidah :3]

Allah Ta'ala telah menjelaskannya secara gamblang dan menguraikannya dengan keterangan sangat rinci. Allah menerangkan melalui utusan dan bayan (penjelasan) Nabi kita Muhammad. Allah berfirman :

“Dan Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr (al Qur'an), agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.”[An-Nahl : 44]

Di antara penjelasan yang beliau sampaikan, yaitu mengenai wajah Islam yang shahih (asli) yang masih utuh, dalam situasi perpecahan umat dan silang pendapat yang menerpa mereka, seperti yang dialami umat sebelumnya. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


"Bangsa Yahudi telah terpecah-belah menjadi 71 golongan. Dan umat Nashara telah tercerai-berai menjadi 72 golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya berada di neraka, kecuali satu (golongan)," kemudian ada yang bertanya: “Siapakah mereka, wahai Rasulullah,” beliau menjawab: "(Yaitu golongan) yang berada di atas jalanku sekarang ini dan para sahabatku".[1]

Agama Islam saat permulaan penyebarannya sampai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan hingga kedatangan masa para khulafaur-rasyidin adalah Islam yang satu; Islam (berdasarkan) al Kitab dan as-Sunnah dan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Selanjutnya, muncullah golongan-golongan, aliran-aliran pemikiran dan kelompok-kelompok. Masing-masing menggagas metode tersendiri untuk memahami agama. Silang pendapat ini kebanyakan bersifat ikhtilaf tadhadd (kontradiktif). Golongan-golongan yang banyak dan bermacam-macam ini, masing-masing mengklaim diri berada di atas Islam yang shahih, berada di atas kebenaran; sekalipun mereka adalah ahli bid'ah, saat melangsungkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan bid'ah-bid'ah (ibadah ciptaan mereka), (dan) mereka menyangka sedang menjalankan sebuah kebajikan. Atas dasar ini, bid'ah lebih berbahaya daripada maksiat. Pasalnya, orang yang bermaksiat tidak berpikir sedang beribadah dengan kemaksiatan-kemaksiatan yang dilakukannya. Sedangkan ahli bid'ah, maka setan menghias amalan bid'ah pada pandangan ahli bid'ah, sehingga ia memandangnya sebagai kebaikan. Karena itu, Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata:

“Bid'ah lebih disukai oleh iblis ketimbang maksiat-maksiat. Karena maksiat masih disesali dengan taubat. Sedangkan bid'ah tidak disesali dengan bertaubat” [2]

Dari sini, mungkin ada yang bertanya atau diam sejenak untuk melontarkan pertanyaan: "Atas dasar pemahaman apa, Islam yang shahih itu dibangun? Apakah merujuk pemahaman kaum Khawarij, pemahaman golongan Mu'tazilah, kerangka berpikir kelompok Murji`ah? Ataukah berdasarkan pemahaman golongan-golongan yang termuat di dalam kitab-kitab tentang firoq (golongan-golongan yang sesat)?

Oleh sebab itu, perlu disampaikan penjelasan mengenai Islam yang shahih sebagaimana telah disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan diridhai oleh-Nya bagi kita, serta yang sudah disampaikan penjelasannya oleh Rasulullah dan memerintahkan kita untuk konsisten di atasnya pada masa munculnya ikhtilaf (perbedaan) dan perpecahan.

Saya ingin mengetengahkan satu masalah penting, yakni, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan para sahabat di masa terjadinya perpecahan umat dalam dua kesempatan (dua hadits), dan (beliau shallallahu 'alaihi wa sallam ) memerintahkan untuk memegangi manhaj para sahabat beliau.

Hadits Pertama. Hadits al 'Irbadh bin Sariyah :

“Sesungguhnya orang yang hidup (panjang) di antara kalian akan menyaksikan perbedaan yang banyak. Maka, kewajiban kalian ialah memegangi Sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin sepeninggalku. Pegangilah dengan geraham-geraham kalian . .” [3]

Di sini, beliau memberitahukan adanya ikhtilaf (perbedaan pandangan), dan disertai penyebutan jalan keluar dari perpecahan itu. Yaitu, (memegangi) Sunnah Rasulullah sebagaimana telah diamalkan oleh para sahabat beliau. Yang dimaksud khulafaur-rasyidin (para pengganti yang mendapatkan petunjuk), yaitu para sahabat Nabi. Makna yang dinginkan di sini (dalam hadits di atas, Red.), adalah iradatu fahmin (pengalihan wewenang pemahaman), bukan iradatu hukmin (pengalihan wewenang kekuasaan). Setiap sahabat Nabi merupakan penerus Nabi dalam aspek pemahaman, manhaj dan agamanya.

Hadits Kedua : Hadits 'Amr bin al 'Ash yang diriwayatkan at-Tirmidzi dengan isnad yang hasan.

Umatku akan berpecah-belah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu. Kata beliau: "(Yaitu golongan yang berpegang teguh dengan jalan yang) aku dan para sahabatku berada di atasnya sekarang ini".

Tatkala menyebutkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan manhaj (metode) yang masih eksis berada di atas jalan dan Sunnah beliau. Yakni, jalan yang telah dipegangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat. Dengan ini, maka memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah yang berlandaskan pemahaman para sahabat, itulah agama Islam yang diridhai.

Allah berfirman : “Dan Kuridhai Islam menjadi agama kalian”. Maksudnya, yaitu agama yang dijalankan oleh Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat Muhammad radhiallahu'anhum ajma'in. Dan lagi, tugas para sahabat di tengah umat ini ibarat tugas Nabi Muhammad di hadapan para sahabat. Tanggung jawab Nabi di tengah umat ini dan di hadapan para sahabat ialah menjadi saksi atas mereka. Dan keberadaan sahabat di hadapan umat menjadi saksi atas umat ini.

Allah Ta'ala berfirman :

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” [Al-Baqarah :143]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah saksi atas umat ini. Setelah beliau wafat, tinggallah sahabat Rasulullah menjadi saksi atas umat. Karena itu, terdapat riwayat dalam Shahih Muslim, dari hadits Abu Musa al Asy'ari, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Bintang-bintang merupakan amanah bagi langit. Apabila bintang-bintang lenyap, maka tibalah perkara yang sudah ditetapkan bagi langit. Dan aku penjaga amanah di tengah sahabatku. Bila aku telah pergi, maka datanglah kepada para sahabatku apa yang dijanjikan kepada mereka. Dan sahabatku penjaga amanah di tengah umatku. Apabila para sahabatku telah pergi, maka datanglah kepada umatku perkara yang dijanjikan kepada mereka” [4]

Maknanya, bila bintang-bintang itu telah pergi, tidak kembali lagi. Dan bila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah pergi, maka datanglah pada para sahabat masalah yang telah dikabarkan kepada mereka. Dan jika para sahabat telah pergi, maka muncullah kejadian yang sudah dijanjikan kepada umatku.

Melalui pemaparan hadits-hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Islam yang benar ialah yang berlandaskan pada jalan Rasulullah dan para sahabat Rasulullah radhiallahu'anhum ajma'in .

Masalah yang sudah kami kemukakan dan manhaj yang telah kami menepatinya ini, didukung oleh al Qur`an dan dikuatkan oleh as-Sunnah, para sahabat dan generasi Tabi'in, serta para ulama umat Islam. Satu per satu hendak saya sampaikan bukti-buktinya:

Sebagian Dalil Dari Al Qur`an.
Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan seorang muslim untuk mengikuti al Kitab dan as-Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali” [An Nisa : 115]

Sabilul-mukminin adalah jalan para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam . Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Jamrah: Para ulama berkata, bahwa sabilul-mukminin adalah jalan para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah . . “[At-Taubah :100]

(Dalam ayat ini), Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan dua thabaqat (tingkatan) manusia.
Tingkatan Pertama : Yaitu orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Tingkatan Kedua : Yaitu tingkatan orang-orang yang mengikuti mereka, mengikuti Muhajirin dan Anshar.

Tingkatan Muhajirin dan Anshar adalah para sahabat Rasulullah. Karena yang dimaksud dengan "dahulu" di sini adalah generasinya. Sehingga setiap sahabat, (mereka) mendahului para generasi Tabi'in.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyanjung para generasi Sabiqunal-Awwalun dan orang-orang yang mengikuti mereka. Mengapa Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji orang-orang yang mengikuti Sabiqunal-Awwalun? Karena mereka mengikuti jalan kaum Muhajirin dan Anshar.

Dalam ayat ini tersirat sebuah pelajaran manhaj, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menyebutkan mengenai ittiba’ur-Rasul (mengikuti Rasulullah). Tujuannya, untuk menjelaskan kepada kita semua, bahwa ittiba'ur-Rasul tidak akan terwujud, kecuali dengan perantara, yang mengambil manhaj, istidlal dan talaqqi. Yakni para sahabat radhiallahu'anhum ajma'in . Maka, seorang muslim belum menempuh jalan ittiba’ur-Rasullah sebelum memahami manhaj beliau berdasarkan pemahaman para sahabat Rasulullah.

Sebagian Dalil Dari Hadits.
Sedangkan hadits-hadits yang menyatakan kewajiban mengikuti al Kitab dan as-Sunnah dengan merujuk pemahaman para sahabat yang mulia sangat banyak. Sebagian sudah dipaparkan. Di antaranya, hadits al ‘Irbadh bin Sariyah:

“Sesungguhnya orang yang hidup (panjang) di antara kalian akan menyaksikan perbedaan yang banyak. Maka, kewajiban kalian ialah memegangi Sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin sepeninggalku. Pegangilah dengan geraham-geraham kalian . . .’

Maksudnya, pegangi sunnah para sahabatku. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan 'adhdhu 'alaihima (pegangi keduanya), akan tetapi beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan 'adhdhu alaiha, pegangi dia, dijadikan satu kesatuan dalam satu kata ganti, Red.). Artinya, sunnah para sahabat merupakan sunnah beliau juga. Merekalah yang menyampaikan sunnah beliau. Orang-orang yang menyampaikan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah; mereka adalah para sahabat Nabi.

Oleh karena itu, para ulama menetapkan, siapa saja yang menikam kehormatan para sahabat, ia adalah zindiq. Maksudnya, dengan mencela atau berkomentar miring terhadap sahabat atau mengkafirkan mereka, (maka) orang-orang tersebut (adalah) zindiq. Abu Zur'ah rahimahullah pernah ditanya tentang orang-orang yang menikam kehormatan para sahabat. Beliau rahimahullah menjawab:

Mereka itu ingin menciderai reputasi merusak kehormatan para saksi kita untuk menggugurkan al Kitab dan as-Sunnah. Padahal mereka itulah (yang) lebih pantas ditikam kehormatannya. Mereka itu kaum zindiq.[5]

Mereka itu ingin menghancurkan kedudukan orang-orang yang telah menyampaikan al- Qur`an dan as-Sunnah kepada kita. (Padahal), justru mereka itulah yang lebih pantas untuk dijatuhkan kehormatannya.

Hadits yang lainnya masih banyak. Misalnya, hadits:

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku. Kemudian generasi selanjutnya, dan kemudian generasi selanjutnya” [6]

Aspek puncak kebaikan pada hadits ini, ialah ditinjau dari aspek ilmu dan pemahaman, bukan (dari aspek) kebaikan fisik, nasab (keturunan) atau lainnya. Kemudian datang generasi sahabat. Yang menjadikan manhaj dan pemahaman mereka sebagai hujjah di hadapan umat setelahnya. Terutama, saat mereka beradu argumentasi dengan golongan-golongan sesat.

Sebut saja 'Abdullah bin Mas'ud. Suatu hari, beliau memasuki masjid Kufah. Di dalamnya, beliau menyaksikan sekumpulan orang-orang duduk melingkar sambil mengucapkan tasbih, takbir dan tahmid dengan hitungan kerikil-kerikil. (Berikut dialog antara sahabat 'Abdullah bin Mas’ud dengan mereka).

“Beliau ('Abdullah bin Mas'ud) bertanya (kepada mereka),"Perbuatan apakah yang sedang aku lihat kalian mengerjakannya?”
Mereka menjawab,"Wahai Abu Abdir-Rahman! Ini adalah kerikil-kerikil. Kami membaca takbir, tahlil dan tasbih dengannya."
Maka beliau menimpali: "Hitung saja kesalahan-kesalahan kalian. Sesungguhnya aku menjamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepatnya kalian terseret kepada kebinasaan. Para sahabat Nabi kalian pun masih banyak. Lihatlah, baju-baju Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam belum rusak. Periuk-periuk beliau belum pecah”.
Mereka berdalih,"Kami hanya ingin berbuat baik saja."
Beliau pun berkata: "Berapa banyak orang menginginkan kebaikan, akan tetapi tidak meraihnya atau tidak sampai kepadanya".

Syahid (bukti yang bisa dipegangi) dari pernyataan itu ialah, "sedangkan para sahabat masih banyak". Seandainya kalian berada di atas jalan kebenaran, sudah pasti ada sahabat yang bersama dengan kalian. Ketika tidak ada seorang pun dari mereka yang bersama kalian, berarti kalian berada dalam pintu kesesatan.

Lihatlah, logika berikut yang dipakai 'Abdullah bin Mas'ud dalam membungkam mereka. Beliau mengatakan selanjutnya :

"Demi Allah, wahai orang-orang, kalian itu berada di atas ajaran, kalau tidak lebih baik dari ajaran Muhammad (dan ini merupakan bentuk kekufuran) atau kalian sedang membuka pintu kesesatan. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kami ada kaum yang membaca al Qur`an tapi tidak menembus kerongkongan mereka. Demi Allah, aku tidak tahu, mungkin kebanyakan dari kalian termasuk mereka ".

Perawi hadits ini, 'Amr bin Salimah berkata: "Kami menyaksikan kebanyakan orang-orang itu mememerangi kami di perang Nahrawan bersama Khawarij".[7]

Jadi, ketika mereka keluar dari pemahaman para sahabat Rasulullah, hal itu menyebabkan mereka khuruj (melepaskan diri) dari umat Rasulullah.

Juga cara yang ditempuh oleh Ibnu 'Abbas radhiallahu'anhu saat Khalifah Ali radhiallahu'anhu mengutusnya menghadapi orang-orang Khawarij.

Mereka bertanya,"Darimana engkau?"

Beliau (Ibnu 'Abbas radhiallahu'anhu ) menjawab,"Aku datang dari saudara sepupu Rasulullah dan menantu beliau dan dari para sahabat. Kepada merekalah al Qur`an turun. Mereka adalah orang-orang yang lebih berilmu daripada kalian. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang menyertai kalian".

Lihatlah, 'Abdullah bin Mas'ud dan Ibnu 'Abbas mendesak pionir-pionir kaum Khawarij dengan manhaj para sahabat Rasulullah, dan menjadikan pemahaman para sahabat sebagai sumber argumentasi di hadapan mereka.

Setelah itu, melalui pergantian generasi demi generasi, ternyata kita menjumpai para ulama di setiap generasi dan abad itu, mereka bersepakat satu kata dalam masalah ini. Yaitu, keharusan memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah dengan merujuk (kepada) pemahaman para sahabat, hingga pada masa kita sekarang ini.

Kita melihat ulama-ulama besar pada zaman sekarang, seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Syaikh Bin Baz, Syaikh Ibnu 'Utsaimin; mereka semua sepakat, bahwa seorang muslim seharusnya memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah berdasarkan pemahaman para sahabat Nabi. Inilah yang disebut manhaj Salaf. Pasalnya, bila menyaksikan keadaan golongan-golongan yang ada, baik pada zaman dahulu atau firqoh pada masa sekarang ini, sangat bertentangan dengan manhaj para sahabat.
Ambil contoh, Khawarij. Perkara prinsip (yang ada) pada mereka, (yaitu) mengkafirkan para sahabat dan bahkan memeranginya. Mereka telah melakukan pemberontakan terhadap 'Utsman, dan akhirnya membunuh beliau. Mereka juga melancarkan pemberontakan kepada 'Ali, dan akhirnya membunuh beliau. Mereka memerangi para sahabat dan membunuhi dan mengkafirkannya. Bagaimana bisa dikatakan, mereka berada di atas manhaj yang sesuai dengan manhaj para sahabat Nabi yang sudah mereka perangi dan mereka bunuh?

Begitu pula, kaum Syi'ah, yang telah mengkafirkan para sahabat Nabi, kecuali tiga atau tujuh orang sahabat saja yang selamat dari vonis mereka. Salah seorang ulama Syi'ah melontarkan perkataan: "Telah binasa para sahabat Nabi, kecuali tiga atau tujuh orang saja". Mereka selalu melaknat Abu Bakr dan 'Umar. Mereka juga memiliki bacaan sholawat yang berbunyi: "Ya Allah, laknatlah dua berhala Quraisy, jibt dan thaghut mereka (Abu Bakr dan Umar), yang telah melakukan tahrif (perubahan) terhadap kitab-Mu". Bagaimana mungkin Syi'ah berada di atas pemahaman para sahabat Rasulullah?!

Atau lihat saja Mu'tazilah. Tokoh besarnya, Washil bin 'Atha` berkomentar miring terhadap sahabat 'Ali, az-Zubair dan Thalhah yang telah menerima kabar gembira dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa masuk syurga.

Ia (Washil bin 'Atha`) berkata,"Seandainya Thalhah, az-Zubair dan 'Ali bersaksi mengenai setumpuk sayuran di depanku, aku tidak akan menerima persaksiannya."

Bagaimana mungkin mereka berada di atas manhaj para sahabat, sebab mereka saja menolak persaksian sahabat?!

Lihat juga pentolan Mu'tazilah lainnya, (yaitu) ‘Amr bin 'Ubaid. (Dia) berkomentar tentang sahabat dengan berkata: "(Mereka itu) amwatun ghairu ahya` (orang-orang mati, tidak hidup)".

Menikam dan menghina para sahabat Rasulullah! Jadi, golongan-golongan itu, banyak yang melancarkan penghinaan kepada sebagian sahabat.

Demikian pula, bila kita perhatikan kelompok-kelompok pergerakan pada zaman sekarang ini; akan kita jumpai sebagian pendiri dan tokoh-tokohnya menjatuhkan kehormatan sebagian sahabat. Ada yang menyatakannya dengan sindiran. Contoh-contohnya sangat banyak.

Coba lihat, penulis kitab adh-Dhilal (Dhilalul-Qur`an). Penulis kitab itu (telah) menghina sahabat 'Amr bin al 'Ash dan Mu'awiyyah. Bahkan menganggap kekhilafahan (kekuasaan) Khalifah 'Utsman sebagai pengisi kekosongan belaka antara 'Umar dan 'Ali. Artinya, orang ini mengesampingkan kekhilafahan 'Utsman.

Sebagian lagi melontarkan celaan kepada sahabat Mu'awiyyah. Sejumlah orang begitu meremehkan masalah penghinaan yang dialamatkan kepada beliau. Sebagian ulama Salaf berkata: "Mu'awiyyah adalah sitr (kain pelindung) para sahabat. Bila penutup ini sudah tersibak, maka pintu itu akan termasuki". Maksudnya, bila orang sudah berani mencaci-maki Mu'awiyyah, maka pada gilirannya, ia akan terjerumus dalam cacian yang dilontarkan kepada Abu Musa al Asy'ari, 'Utsman, 'Ali dan sahabat lainnya.

Kita tidak akan mendapati golongan yang menghormati para sahabat dan mengagungkan serta menilai mereka sebagai orang-orang 'udul (adil, bersih), kecuali Ahli Sunnah wal Jama'ah. Mereka itulah yang berjalan di atas pemahaman Salafush-Shalih, manhaj ahli hadits.

Apakah berarti golongan-golongan itu telah keluar dari agama Islam? Tidak demikian adanya.

Ibnul-Qayyim telah mengeluarkan pernyataan yang layak menjadi kaidah emas dalam masalah ini. Beliau mengatakan, syariat ada tiga macam: aturan syari'at yang munazzal (diturunkan), aturan syari'at yang muawwal (hasil takwil), dan syari'at mubaddal (yang telah dirubah). Golongan yang menjalankan syari'at yang munazzal (yang diturunkan) oleh Allah kepada Rasulullah adalah Ahli Sunnah wal Jama'ah. Mereka itulah yang mengamalkan al Qur`an dan as-Sunnah dengan dasar pemahaman Salaful-Ummah. Sedangkan manhaj-manhaj atau golongan lainnya, kalau tidak bertumpu pada syari'at yang sudah ditakwilkan, maka berlandaskan syari'at yang sudah mengalami perubahan. Setiap golongan itu, hukumnya tergantung dengan kondisinya.

Meskipun sudah sangat jelas kebenaran manhaj Salaf ini, masih saja ada orang yang melontarkan tuduhan-tuduhan, syubuhat, keraguan. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada umat Muhammad dan meneguhkan kita di atas manhaj yang benar ini.

Washallallahu ‘ala Nabiyyi Muhammad wa ‘ala alihi wa Shahbihi wa sallam.

[Ceramah umum yang beliau disampaikan Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali di Masjid Jakarta Islamic Centre, pada hari Ahad, 23 Muharram 1427 H bertepatan dengan 11 Februari 2007. Diterjemahkan secara bebas oleh Ustadz Abul Minhal]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016, copy dari www.bukhari.or.id]
__________
Foote Note

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
__________
Foote Note
[1]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh sejumlah sahabat. Lafazh di atas riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al Ash. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (2641), al Hakim (1/129-128), Ibnu Wadhdhah dalam al Bida' (hlm. 15-16), al Ajurri dalam asy-Syari'ah (16), al Lalikai dalam Syarhu Ushulil-I'tiqad (147) dll. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani di dalam ash-Shahihah. Menjadi shahih karena keberadaan beberapa syahid (penguat). Al Hakim mengatakan tentang hadits ini: "Ini adalah hadits penting dalam masalah ushul". Syaikh al Albani di kitab yang sama, mengutip tash-hih dari para ulama sebelumnya. Misalnya Ibnu Hajr, Ibnu Taimiyah, asy-Syathibi, al 'Iraqi rahimahullah .
[2]. Syarhul-Ushulil-I'tiqad, al Lalikai (1185). Syaikhul-Islam menerangkan maksud pernyataan di atas dengan berkata: "Sesungguhnya ahli bid'ah mengikuti ajaran yang tidak disyari'atkan Allah dan Rasul-Nya. Setan telah memperindah amalan buruknya itu, hingga ia memandangnya baik. Ia tidak bertaubat selama menilai amalannya baik. Sebab, permulaan taubat dimulai dengan ilmu, bahwa tindakannya buruk untuk disesali. Atau lantaran ia meninggalkan suatu yang baik, yang wajib maupun sunnah. Dia bertaubat dan berjanji melaksanakannya. Selama orang itu melihat tindakannya merupakan amalan baik, padahal amalannya buruk, karenanya, ia tidak bertaubat". Lihat Majmu' al Fatawa (10/9). Dinukil dari Ilmu Ushulil-Bida' karya Ali bin Hasan al Halabi, hlm. 218.
[3]. Hadits ini, sebagaimana keterangan Syaikh Syu'ab al Arnauth diriwayatkan oleh Abu Dawud (4607), at-Tirmidzi (2676), Ahmad (4/126-127), ad-Darimi (1/144), Ibnu Majah (43), Ibnu Abi Ashim di dalam as-Sunnah (27), ath-Thahawi dalam Syarhu Musykili Atsar (2/69), al Baghawi (102), al Ajurri dalam asy-Syari'ah (46), al Baihaqi (6/541), al Lalikai dalam Syarhul-Ushulil-I'tiqad (81), al Marwazi dalam as-Sunnah (69), (72), Abu Nu'aim dalam al Hilyah (5/220) (10/115), al Hakim (1/95-97) dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban (5). Hadits ini, dikatakan oleh Syaikh Abdul Muhsin al 'Abbad, ulama hadits di kota Madinah sebagai hadits yang shahih dalam pandangan Ahli Sunnah. At-Tirmidzi berkata: "Hadits hasan shahih". Al Hakim berkata: "Hadis shahih tidak ada cacatnya," dan adz-Dzahabi menyepakatinya. Abu Nu'aim berkata: "Ia adalah hadits jayyid, termasuk hadits shahih dari orang-orang Syam." Lihat Jami'ul-Ulum wal-Hikam (2/109). Dihasankan oleh al Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (102) dan al Albani di dalam ta'liq kitab as-Sunnah karya Ibnu Abi Ashim (1/18-19). Keterangan ini dikutip dari al Intishar li Ahlis-Sunnah wal-Hadits karya Syaikh Abdul Muhsin al Abbad. Sengaja penterjemah mengutip secara lengkap, disebabkan ada yang meragukan keabsahan hadits ini sebagai hujjah.
[4]. HR Muslim (2531). Maksudnya, seperti diungkapkan oleh al Imam an-Nawawi dalam Syarhu Shahih Muslim, (secara ringkas) selama bintang-bintang itu tetap ada, maka langit pun juga demikian. Jika bintang-bintang sudah berjatuhan pada hari Kiamat, maka langit pun terpecah dan lenyap. Hal-hal yang dijanjikan kepada para sahabat, yaitu peristiwa-peristiwa fitnah, peperangan, timbulnya gejala keluar dari agama (murtad) dari kalangan orang-orang Badui, perpecahan hati dan peristiwa lainnya yang sudah diperingatkan Nabi dengan terang-terangan. Sedangkan kejadian yang dijanjikan kepada umatnya, yaitu munculnya bid’ah (perkara-perkara baru dalam agama) dan fitnah. Lihat Syarhu Shahih Muslim.
[5]. Diriwayatkan oleh al Khathib al Baghdadi dalam al Kifayah fi ‘Ilmir-Riwayah, hlm. 49. Dikutip dari al Intishar lish-Shahbi wal al . . ., karya Dr. Ibrahim ar-Ruhaili, hlm. 97.
[6]. HR al Bukhari (2652) dan Muslim (2533), (211).
[7]. Riwayat ad-Darimi (1/68-69). Dikutip dari Ilmu Ushulil-Bida’, hlm. 92


Tidak ada komentar:

Posting Komentar