يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ﴾ [الحشر:18

Selasa, 31 Maret 2009

Menggugat Demokrasi (ADOPSI KUFAR)

Menggugat Demokrasi - Mendekatkan Ajaran Islam Dengan Demokrasi
3 Juni 08 oleh Abu Umar

Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Persoalan lainnya adalah mungkinkah mendekatkan ajaran Islam dan demokrasi?
Jawabnya : Tidak! Sebabnya adalah beberapa hal berikut :

1. Bahwa yang berhak membikin syariat (peraturan) dalam Islam hanyalah Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (QS. Al Kahfi : 26)

“Sesungguhnya hukum hanya milik Allah saja.” (QS. Yusuf : 40)

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah Rabb semesta alam.” (QS. Al A’raf : 54)
Yang dimaksud dengan al amru adalah al hukmu.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Bahkan milik Allah-lah al amru seluruhnya.” (QS. Ar Ra’d : 31)

Dan Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membuat syariat atas dasar perintah Allah bukan karena kemauan beliau sendiri.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” (QS. Al Haqqah : 44-46)

Allah memberitakan tentang perihal beliau dalam surat Al An’am (ayat ke-60) dan Al Ahqaf (ayat ke-9) :
“Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.”

Allah berfirman kepada beliau :
Katakanlah : “Aku hanya memperingatkan kalian dengan wahyu.” (QS. Al Anbiya : 45)

Allah juga berfirman membersihkan Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat yang mempunyai akal yang cerdas.” (QS. An Najm : 3-6)

Allah berfirman kepada Nabi-Nya :
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl : 44)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya.” (QS. An Nisa’ : 59)

Dan Dia Azza wa Jalla menjadikan taat kepada Rasul-Nya sebagai bentuk taat kepada-Nya. Allah berfirman :
“Barangsiapa yang menaati Rasul sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An Nisa’ : 80)

Bahkan Allah menjadikan seorang Muslim tidak mendapatkan petunjuk sampai dia taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dia berfirman :
“Jika kalian taat kepadanya maka kalian akan mendapatkan petunjuk.” (QS. An Nur : 54)

Dan Allah menjelaskan bahwa kerugian yang paling besar yang menimpa seorang hamba pada hari kiamat adalah ketidaktaatannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya seraya berkata : “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku.” (QS. Al Furqan : 27-29)

Adapun di dalam demokrasi yang membikin peraturan adalah makhluk yang bodoh - -setinggi apapun tingkatan ilmunya–. Karena seandainya dia mengetahui sesuatu tentu masih banyak hal lain yang tidak dia ketahui.

2. Tidak boleh mengadakan pendekatan antara Islam dan demokrasi walau pada sebagian unsurnya saja. Sebab Islam adalah ajaran yang universal dan sempurna bagi segala problem kehidupan.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa’ : 65)

Apabila keimanan kita tidak sempurna kecuali dengan menjadikan Rasul kita Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebagai hakim maka hal ini menunjukkan bahwa setiap Muslim dituntut untuk menerima kebenaran pada setiap permasalahan.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman :
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. An Nisa’ : 59)

Firman Allah Azza wa Jalla mencakup segala masalah yang terjadi perselisihan di dalamnya. Karena kata tersebut adalah nakirah dalam konteks kalimat syarat. Dan firman Allah Azza wa Jalla :
“ … jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Adalah dalil bahwa barangsiapa tidak mengembalikan perkara dan perselisihannya kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam maka pengakuan keimanannya adalah dusta.

3. Seandainya kita mengadakan pendekatan dengan mereka maka kita tidak akan selamat dari azab Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang- orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikit pun dari (siksa) Allah.” (QS. Al Jatsiyah : 18-19)

Mereka tidak bisa menghindarkan kita dari kemurkaan Allah, kehinaan di hadapan- Nya dan azab yang jelek di dunia dan akhirat.
Apabila kita ditimpa kemurkaan Allah karena taat kepada mereka maka keselamatan dan kebaikan yang sebenarnya adalah dengan mencari keridhaan Rabb kita. Sebab, taat kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Allah hanya akan membuahkan kehinaan dan kerendahan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain Allah kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS. Hud : 113)
Kalau cenderung saja kepada mereka menyebabkan disentuh api neraka lalu bagaimana pendapat Anda dengan orang yang menerima sesuatu dari hukum- hukum mereka?

4. Apabila kita menaati mereka dalam sebagian perkara dan menolak untuk menaati mereka secara total niscaya mereka tidak akan ridha kepada kita. Mereka tidak akan berhenti melancarkan gangguan-gangguan terhadap kita selamanya sampai kita mau menerima agama mereka secara total dan meninggalkan agama kita secara total pula. Allah berfirman :
Orang-orang yahudi dan nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS. Al Baqarah : 120)

Dan inilah yang menjadikan sebagian kaum Muslimin –terutama para penguasa– menerima aturan-aturan yahudi dan nashara. Mereka berkata : “Kami akan menaati mereka pada sebagian perkara saja.”

Padahal Allah telah berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia :
Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang yahudi) : “Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan.” Sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridhaan-Nya, sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka. (QS. Muhammad : 25-28)

5. Sebagaimana tidak dibolehkan menerima kekufuran dan kesyirikan demikian pula tidak diizinkan menerima demokrasi. Karena ia adalah kufur, syirik, dan jahat! Bagaimana bisa seorang Muslim melahirkan satu sikap yang kontradiktif?
Karena inilah Imam Syafi’i rahimahullah berkata :
“Jika kalian melihat aku menolak hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam maka persaksikanlah bahwa akalku telah hilang!”
Orang yang menerima kampanye taqrib (pendekatan) antara Islam dan demokrasi tidaklah memiliki akal yang sehat.

6. Kita sangat berbeda dengan penganut demokrasi dari kalangan yahudi dan nashara serta agama-agama kafir lainnya. Karena mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Berbeda dengan kaum Muslimin. Mereka hidup di negeri Islam. Di hadapan mereka ada Al Quran dan As Sunnah serta para ulama dan da’i-da’i ilallah yang ikhlas dan selalu memberi nasihat. Tidak ada alasan bagi mereka untuk berjalan di belakang demokrasi.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Katakanlah : “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.” (QS. Al Isra : 107)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir padahal ayat- ayat Allah dibacakan kepada kamu dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran : 100-101)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang yang kafir itu niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran) lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. Tetapi (ikutilah Allah), Allahlah Pelindungmu dan Dia- lah sebaik-baik Penolong.” (QS. Ali Imran : 149-150)

Yang menjadi dalil dari ayat ini adalah :
“Bahkan Allahlah Pelindungmu dan Dia-lah sebaik-baik Penolong.” (QS. Ali Imran : 150)

7. Sebaliknya, kita juga harus konsisten di atas Islam sebagaimana mereka juga konsisten di atas kekufuran dan kebatilan.

Apabila mereka terus-menerus di atas kekufuran dan kebatilan, mengapa kita tidak mau terus-menerus berada di atas kebenaran padahal kebenaran tersebut ada pada kita?

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Jika kamu menderita kesakitan maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula) sebagaimana kamu menderitanya sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (QS. An Nisa’ : 104)

Allah bersama kita, menjaga, menolong, membela, melindungi dan memuliakan kita di dunia dan akhirat. Surga adalah balasan bagi orang Mukmin dan neraka adalah balasan bagi orang kafir. Kalau tidak ada yang diperoleh dari Islam kecuali keselamatan dari azab kubur, azab hari kiamat, azab neraka dan masuk ke dalam Surga-Nya apakah akan ridha seorang Muslim dengan “jual beli” yang merugikan? Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan.

Seorang Mukmin apabila seluruh penduduk bumi kufur niscaya tetap tidak akan ragu terhadap kebenaran selamanya apalagi meninggalkannya.

8. Kita diperintah untuk menyeru seluruh manusia termasuk di dalamnya orang- orang yahudi dan nasrani agar masuk ke dalam agama Islam.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
Katakanlah : “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Ali Imran : 64)

Apabila kita dituntut untuk mengajak mereka kepada Islam supaya mereka meninggalkan kesyirikan dan kekufuran, bagaimana bisa diperbolehkan bagi seorang Muslim –baik penguasa ataupun rakyat, pimpinan ataupun bawahan– beralih dari kedudukannya sebagai “pengajak” menjadi “orang yang diajak” dan menerima kejelekan serta kebatilan yang mereka bawa? Ini adalah kekeliruan yang keji dan kesesatan yang nyata.

9. Apabila kita meyakini keabsahan demokrasi niscaya tidak akan tertanam keimanan kita kepada Allah. Karena tidak sah keimanan kita sampai kita kufur terhadapnya (sistem demokrasi).

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS. Al Baqarah : 256)

Allah menjadikan kufur kepada thaghut sebagai syarat sah keimanan.
Di sini ada persoalan penting yaitu mengapa Allah mendahulukan perintah kufur kepada thaghut?
Jawabnya :
Bahwa adanya “syarat” tidak mengharuskan adanya “masyruth” (sesuatu yang disyaratkan) dalam kondisi apapun. Kalau “syarat” tidak ada maka hal itu menunjukkan tidak adanya masyruth. Rabb kita Azza wa Jalla telah menjadikan kufur terhadap thaghut sebagai syarat sahnya iman. Apabila syarat ini hilang maka batallah manfaat keimanan. Syarat di sini adalah sesuatu yang mengharuskan adanya sesuatu yang disyaratkan. Maka keduanya –yakni mengkufuri thaghut dan iman kepada Allah– adalah sesuatu yang mengharuskan dan yang diharuskan.

Allah Azza wa Jalla berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia :
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) : “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.” (QS. An Nahl : 36)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu.” (QS. An Nisa’ : 60)

Tidak diragukan lagi bahwa demokrasi adalah thaghut terbesar. Tukang sihir adalah thaghut. Orang yang menyelisihi hukum Allah yang qath’i (pasti ketentuan hukumnya, ed.) dalam satu atau dua masalah adalah thaghut. Lalu apa pendapat Anda terhadap demokrasi yang pada hakikatnya dianggap oleh para pengikutnya sebagai “sesembahan” ? Demokrasi itulah yang dipandang berhak menetapkan segala peraturan dan melawan hukum-hukum Allah Azza wa Jalla ?

Andai mengeraskan suara di sisi perkataan Allah dan Rasul-Nya bisa menyebabkan terhapusnya amal shalih dari diri seorang Muslim sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
“Janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. Al Hujurat : 2)

Maka bagaimana pendapat Anda terhadap orang yang di samping mengeraskan suara juga menolak hukum Allah dan Rasul-Nya? Bagaimana pendapat Anda terhadap orang yang berpaling, melecehkan hukum Allah dan Rasul, bersikap sombong bahkan memusuhi dengan segala harta dan jabatan yang ia miliki? Bukankah orang ini lebih pantas untuk dihapus iman dan amal shalihya?

10. Anggap saja kaum Muslimin –karena terpesona retorika para propagandis demokrasi– menerima paham dan ajaran demokrasi tersebut. Lantas siapa yang akan menjamin keberadaan dan keberlangsungan paham ini?

Sebagaimana paham-paham lain yang muncul lebih dulu dari masa ke masa, paham demokrasi pun telah tersebar dan tersiar. Orang menyangka paham ini tidak mungkin digoyahkan. Namun ternyata kerusakannya begitu cepat dan nyata di hadapan manusia sehingga dengan serta merta mereka pun meninggalkan paham tersebut.

Tidak usah jauh-jauh! Ambil contoh kasus paham sosialisme yang memiliki hakikat kekufuran yang sama dengan demokrasi. Adakah kaum sosialis era ‘60-an dan ‘70- an yang mengira bahwa pada akhirnya paham ini akan hancur lebur dan musnah?

Dahulu sebagian orang ada yang berkata : “Umat manusia hanya bisa diselamatkan oleh sosialisme!”
Saksikanlah! Sosialisme kini telah lenyap! Dan orang yang pertama kali mengingkarinya adalah para penggagasnya sendiri!
Kenapa ajaran tersebut gagal?
Jawaban yang paling gampang adalah karena sosialisme itu buatan manusia! Demikian pula demokrasi juga buatan manusia yang tidak memiliki hak memerintah sedikitpun. Karena sesungguhnya yang mengatur kehidupan adalah Allah sebagaimana yang Dia kehendaki.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al Buruj : 16)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
Katakanlah : “Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran : 26)

Bolehkah bagi kita menolak apa yang datang dari Allah untuk menerima pendapat ahli filsafat dan penyembah berhala?

Bolehkah kita menolak syariat Allah padahal syariat-Nya adalah syariat yang sempurna dan universal dari masa ke masa serta senantiasa relevan untuk setiap waktu dan tempat?

Sesungguhnya sejak diutusnya Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam lebih dari 1400 tahun yang lalu, syariat ini tidak pernah berkurang satu huruf pun dan akan terus terjaga. Syariat Allah akan kekal dengan izin-Nya sampai hari kiamat!

Dapatkah dibenarkan kita berjalan beriringan bersama mereka padahal para pemikir mereka mengatakan : “Sesungguhnya tidak ada cara untuk mengatasi krisis ini kecuali dengan berpegang teguh kepada Islam.”

Doktor Imaduddin Khalil di dalam bukunya, Qalu anil Islam menyebutkan lebih dari dua puluh pemikir barat yang mengatakan : “Tidak ada agama yang mampu mengatasi seluruh problematika manusia di dunia sekarang ini selain Islam. Inilah keistimewaan Islam.” Seluruh perkataan mereka berkisar pada makna ini.
Di dalam buku tersebut dia juga menyebutkan banyak perkataan yang menjelaskan tentang keagungan Al Quran dan keagungan Nabi Dan kebenaran adalah sebagaimana dipersaksikan oleh musuh.

Islam adalah kebenaran tidak diragukan lagi, baik musuh-musuh mengakuinya atau tidak. Namun kebenaran tersebut akan semakin kokoh tertanam di relung hati kebanyakan manusia ketika musuh mereka ikut mengakuinya.

Allah telah berfirman :
“Kebanyakan orang-orang ahli kitab menghendaki seandainya mereka dapat mengembalikan kalian (wahai orang-orang beriman) kepada kekufuran disebabkan kedengkian yang ada pada diri-diri mereka setelah jelas kebenaran itu bagi mereka.” (QS. Al Baqarah : 109)

Apakah yang menghalangi mereka untuk beriman?
Jawabnya adalah :
Kedengkian yang tersembunyi di dalam jiwa-jiwa mereka. Allah telah memberi keutamaan kepada umat ini dengan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan dengan sesuatu yang tidak diberikan kepada umat yang lain. Karena itulah mereka dengki kepada kita.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Rabbmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian) dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Baqarah : 105)

Dengan sebab kebaikan yang dikhususkan Allah kepada kita maka pecahlah hati orang-orang yahudi dan nashara karena dengki. Kedengkian tersebut mendorong mereka untuk merencanakan makar demi makar kepada kita. Pikiran mereka tidak akan tenang kecuali apabila mereka bernafas dengan sesuatu dari kedengkian ini. Ia adalah penyakit kronis yang muncul ketika semakin besar kenikmatan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang dipilih untuk menaati-Nya dan membela agama-Nya.
Yahudi, nasrani dan lainnya akan terus menggembar-gemborkan demokrasi dan pemilu. Bagi mereka hal itu sudah merupakan suatu keharusan sebagai bagian dari “agama” mereka. Barangsiapa yang menganut kekufuran niscaya dia akan menyebarkannya. Inilah firman Allah tentang para pengusung demokrasi dari kalangan yahudi, nashara dan yang semisal dengan mereka.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu sedang kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 42)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Hai ahli kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahui?” (QS. Ali Imran : 71)

Allah Azza wa Jalla berfirman :
Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan : “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah.” Padahal ia bukan dan sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui. (QS. Ali Imran : 78)
Inilah karakter yahudi! Mereka sangat lihai menelusupkan kerancuan dan keresahan di barisan kaum Muslimin. Lihatlah apa yang terjadi akibat kerancuan-kerancuan ini di tubuh umat Islam sekarang!

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya yahudi dan nasranilah yang merupakan biang kerok dari segala fitnah yang merusak barisan kaum Muslimin. Akan tetapi anehnya, justru ada sebagian kaum Muslimin sendiri yang turut serta menanamkan kerancuan kepada sesamanya. Mereka menjadikan demokrasi dan pemilu sebagai masalah yang harus ditanggapi secara positif atau minimalnya disikapi secara netral.

Bahwa demokrasi merupakan salah satu dari kemajuan zaman dan bahwa ia mengajak kepada kebebasan, persaudaraan, dan persamaan telah kami jelaskan sedikit dari kata-kata ini pada pasal yang lalu.

Tidak boleh bagi seorang Muslim untuk menyerupai orang-orang yahudi dan nasrani dalam mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil. Tidaklah Allah mencabut kenikmatan syariat dari ahlul kitab kecuali dengan sebab disembunyikannya Al Haq oleh mereka dan dicampur aduk dengan al bathil. Padahal Allah telah menjamin terjaganya agama ini hingga hari kiamat.

(Dinukil dari buku: Menggugat Demokrasi dan Pemilu. Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: www.assunnah.cjb.net)

1 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus