tag:blogger.com,1999:blog-55378421082866797472024-03-07T23:54:15.247-08:00الحث على المودة والتآلف والتحذير من الفرقة والإختلBersatu dan Berkasih Sayanglah Wahai Ahlus Sunnah dan Janganlah Berpecah dan BerselisihAbu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.comBlogger323125tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-19720538508674631792010-03-01T00:25:00.000-08:002010-03-01T00:25:00.326-08:00HABAIB MELARANG MAULID NABIPembaca, semoga dirahmati oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Artikel di bawah ini ditulis tahun 2009. Tetapi, isinya kami memandang sangat perlu diketahui oleh kita. Telah ada keterangan dari para ulama mengenai pelarangan merayakan Maulid Nabi Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam dan tidak sedikit pula yang mengagungkannya. Sebagai bentuk saling menasehati sesama muslim kami memosting artikel ini, agar kitapun mengetahui bagaimana sikap habaib terhadap perkara ini. Banyak sekali yang mengaku diri mereka habaib [bahkan ada yang mengaku-aku] tetapi cara beragama dan aqidah mereka jauh dari leluhur mereka sendiri. <br />Jajaran Ulama dari kalangan Habaib menyerukan Ahlul Bait Rasulullah untuk tidak memperturuti hawa nafsu mereka. Karena Perayaan yang mereka sebut dengan “Maulid Nabi” dengan dalih “Cinta Rasul”, dan berbagai acara yang menyelisih syari’at, yang secara khusus dimeriahkan/ diperingati oleh sebagian anak keturunan Nabi yang mulia ini jelas merupakan sebuah penyimpangan, dan tidak sesuai dengan “Maqasidu asy-Syar’I al-Muthahhar” (tujuan-tujuan syariat yang suci) untuk menjadikan ittiba’ (mengikuti) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai standar utama yang dijadikan rujukan oleh seluruh manusia dalam segala sikap dan perbuatan (ibadah) mereka.<br /><br />Dalam sebuah pernyataan yang dilansir “Islam Today,” para Habaib berkata, “Bahwa Kewajiban Ahlul Bait (Keturunan Rasulullah) adalah hendaklah mereka menjadi orang yang paling yang mulia dalam mengikuti Sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, mengikuti petunjuknya, dan wajib atas mereka untuk merealisasikan cinta yang sebenarnya (terhadap beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, red.), serta menjadi manusia yang paling menjauhi hawa nafsu. Karena Syari’at Islam datang untuk menyelisihi penyeru hawa nafsu, sedangkan cinta yang hakiki pasti akan menyeru “Ittiba’ yang benar”.<br /><span class="fullpost"><br /><br /> <br /> <br />Mereka (Para Habaib) menambahkan, “Di antara fenomena yang menyakitkan adalah terlibatnya sebagian anak-cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia (Ahlul Bait) dalam berbagai macam penyimpangan syari’at, dan pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar yang tidak pernah dibawa oleh al-Habib al-Mushtafa Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan di antara syi’ar-syi’ar tersebut adalah bid’ah peringatan Maulid Nabi dengan dalih cinta.<br /><br />Para Habaib menekankan dalam pernyataannya, bahwa yang membuat perayaan tersebut sangat jauh dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah karena hal itu dapat menyebabkan pengkultusan terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau sendiri tidak membolehkannya, bahkan tidak ridho dengan hal itu. Dan lainnya adalah bahwa peringatan tersebut dibangun di atas Hadits-hadits yang bathil dan aqidah-aqidah yang rusak. Telah valid dari Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wasallam akan pengingkaran terhadap sikap-sikap yang berlebihin seperti ini, dengan sabdanya,<br /><br />لَا ُتطْرُونِي كَمَا َأطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ (رواه البخاري)<br /><br />“Janganlah kalian mengkultuskan aku seperti pengkultusan orang-orang nasrani terhadap putra maryam.” (HR. al-Bukhari)<br /><br />Sedangkan seputar adanya preseden untuk perayaan-perayaan seperti itu pada as-Salafu ash-Shalih, Para Habaib tersebut mengatakan, “Bahwa perayaan Maulid Nabi merupakan ibadah/ amalan yang tidak pernah dilakukan dan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak pernah pula dilakukan oleh seorangpun dari kalangan Ahlul Bait yang mulia, seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husein, Ali Zainal Abidin, Ja’far ash-Shadiq, serta tidak pernah pula diamalkan oleh para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam –Radhiyallahu ‘anhum ‘ajma’in- begitu pula tidak pernah diamalkan oleh seorang pun dari para tabi’in.<br /><br />Para Habaib tersebut mengatakan kepada Ahlul Bait, “Wahai Tuan-tuanYang terhormat! Wahai sebaik-baiknya keturunan di muka bumi, sesungguhnya kemulian Asal usul (Nasab) merupakan kemulian yang diikuti dengan taklif (pembebanan), yakni melaksanakan sunnah Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan berusaha untuk menyempurnakan amanahnya setelah sepeninggalnya dengan menjaga agama dan menyebarkan dakwah yang dibawanya. Dan karena mengikuti apa yang tidak dibolehkan oleh syari’at tidak mendatangkangkan kebenaran sedikitpun, bahkan merupakan amalan yang ditolak oleh Allah swt, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,<br /><br />مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري ومسلم)<br /><br />“Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan termasuk di dalamnya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)<br /><br />Berikut ini adalah teks pernyataannya:<br />Risalah untuk Ahlul Bait (Anak-Cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) tentang Peringatan/ perayaan Maulid Nabi.<br /><br />الحمد لله رب العالمين، الهادي من شاء من عباده إلى صراطه المستقيم، والصلاة والسلام على أزكى البشرية، المبعوث رحمة للعالمين، وعلى آله وصحبه أجمعين .. أما بعد:<br /><br />Di antara Prinsip-prinsip yang agung yang berpadu di atasnya hati-hati para ulama dan kaum Mukminin adalah meyakini (mengimani) bahwa petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah petunjuk yang paling sempurna, dan syariat yang beliau bawa adalah syariat yang paling sempurna, Allah Ta’ala berfirman,<br /><br />الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ دِينًا (المائدة:3)<br /><br />“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.” (QS. 5:3)<br /><br />Dan meyakini (mengimani) bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan keyakinan atau tanda kesempurnaan iman seorang Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,<br /><br />لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ، وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين (رواه البخاري ومسلم)<br /><br />“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sehingga aku lebih dia cintai dari ayahnya, anaknya, dan semua manusia.” (HR. al-Bukhari & Muslim)<br /><br />Beliau adalah penutup para nabi, Imam orang-orang yang bertaqwa, Raja anak-cucu Adam, Imam Para Nabi jika mereka dikumpulkan, dan Khatib mereka jika mereka diutus, si empu Tempat yang Mulia, Telaga yang akan dikerumuni (oleh manusia), si empu bendera pujian, pemberi syafa’at manusia pada hari kiamat, dan orang yang telah menjadikan umatnya menjadi umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, Allah Ta’ala berfirman,<br /><br />لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا [الأحزاب:21]<br /><br />“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. al-Ahzab: 21)<br /><br />Dan di antara kecintaan kepada beliau adalah mencintai keluarga beliau (Ahlul Bait/ Habaib), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,<br /><br />أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي (رواه مسلم)<br /><br />“Aku mengingatkan kalian kepada Allah pada Ahlu Bait (keluarga)ku.” (HR. Muslim).<br /><br />Maka Kewajiban keluarga Rasulullah (Ahlul Bait/ Habaib) adalah hendaklah mereka menjadi orang yang paling yang mulia dalam mengikuti Sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, mengikuti petunjuknya, dan wajib atas mereka untuk merealisasikan cinta yang sebenarnya (terhadap beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, red.), serta menjadi manusia yang paling menjauhi hawa nafsu. Karena Syari’at datang untuk menyelisihi penyeru hawa nafsu, Allah Ta’ala berfirman,<br /><br />فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا [النساء:65]<br /><br />“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65)<br /><br />Sedangkan cinta yang hakiki pastilah akan menyeru “Ittiba’ yang benar”. Allah Ta’ala berfirman,<br /><br />قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ.. [آل عمران:31]<br /><br />“Katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)<br /><br />Tidak cukup hanya sekedar berafiliasi kepada beliau secara nasab, tetapi keluarga beliau (Ahlul bait) haruslah sesuai dengan al-haq (kebenaran yang beliau bawa) dalam segala hal, dan tidak menyalahi atau menyelisinya.<br /><br />Dan di antara fenomena menyakitkan adalah orang yang diterangi oleh Allah Ta’alA pandangannya dengan cahaya ilmu, dan mengisi hatinya dengan cinta dan kasih sayang kepada keluarga NabiNya (ahlul bait), khususya jika dia termasuk keluarga beliau pula dari keturunan beliau yang mulia adalah terlibatnya sebagian anak-cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia (Ahlul Bait/ Habaib) dalam berbagai macam penyimpangan syari’at, dan pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar yang tidak pernah dibawa oleh al-Habib al-Mushtafa Shallallahu ‘alaihi wasallam.<br /><br />Dan di antara syi’ar-syi’ar yang diagungkan yang tidak berdasarkan petunjuk moyang kami Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut adalah bid’ah peringatan Mahulid Nabi dengan dalih cinta. Dan ini jelas merupakan sebuah penyimpangan terhadap prinsip yang agung, dan tidak sesuai dengan “Maqasidu asy-Syar’I al-Muthahhar” (tujuan-tujuan syariat yang suci) untuk menjadikan ittiba’ (mengikuti) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai standar utama yang dijadikan rujukan oleh seluruh manusia dalam segala sikap dan perbuatan (ibadah) mereka.<br /><br />Karena kecintaan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengharuskan ittiba’ (mengikuti) beliau Shallalllahu ‘alaihi wasallam secara lahir dan batin. Dan tidak ada pertentangan antara mencintai beliau dengan mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan mengikuti (ittiba) kepada beliau merupakan inti/ puncak kecintaan kepadanya. Dan orang yang mengikuti beliau secara benar (Ahlul ittiba’) adalah komitmen dengan sunnahnya, mengikuti petunjuknya, membaca sirah (perjalanan hidup)nya, mengharumi majlis-majlis mereka dengan pujian-pujian terhadapnya tanpa membatasi hari, berlebihan dalam menyifatinya serta menentukan tata cara yang tidak berdasar dalam syariat Islam.<br /><br />Dan di antara yang membuat perayaan tersebut sangat jauh dari petunjuk Nabi adalah karena dapat menyebabkan pengkultusan terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau sendiri tidak membolehkannya, bahkan beliau tidak ridho dengan hal itu. Dan hal lainnya adalah bahwa peringatan tersebut dibangun di atas Hadits-hadits yang bathil dan aqidah-aqidah yang rusak. Telah valid dari Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wasallam pengingkaran terhadap sikap-sikap yang berlebihin seperti ini, dengan sabdanya,<br /><br />لَا ُتطْرُونِي كَمَا َأطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ (رواه البخاري)<br /><br />“Janganlah kalian mengkultuskan aku seperti pengkultusan orang-orang nasrani terhadap putra maryam.” (HR. al-Bukhari)<br /><br />Maka bagaimana dengan faktanya, sebagian majlis dan puji-pujian dipenuhi dengan lafazh-lafazh bid’ah, dan istighatsah-istighatsah syirik.<br /><br />Dan perayaan Maulid Nabi merupakan ibadah/ amalan yang tidak pernah dilakukan dan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak pernah pula dilakukan oleh seorangpun dari kalangan Ahlul Bait yang mulia, seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husein, Ali Zainal Abidin, Ja’far ash-Shadiq, serta tidak pernah pula diamalkan oleh para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam –Radhiyallahu ‘anhum ‘ajma’in- begitu tidak pernah diamalkan oleh seorang pun dari para tabi’in, dan tidak pula Imam Madzhab yang empat, serta tidak seorangpun dari kaum muslimin pada periode-periode pertama yang diutamakan.<br /><br />Jika ini tidak dikatakan bid’ah, lalu apa bid’ah itu sebenarnya? Dan Bagaimana pula apabila mereka bersenandung dengan memainkan rebana?, dan terkadang dilakukan di dalam masjid-masjid? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hal ini secara gamblang dan tanpa pengecualian di dalamnya,<br /><br />كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه مسلم)<br /><br />“Semua bid’ah itu sesat.” (HR. Muslim).<br /><br />“Wahai Tuan-tuanYang terhormat! Wahai sebaik-baiknya keturunan di muka bumi, sesungguhnya kemulian Asal usul/ nasab merupakan kemulian yang diikuti dengan taklif (pembebanan), yakni melaksanakan sunnah Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan berusaha untuk menyempurnakan amanahnya setelah sepeninggalnya, dengan menjaga agama, menyebarkan dakwah yang dibawanya. Dan karena mengikuti apa yang tidak dibolehkan oleh syari’at tidak mendatangkangkan kebenaran sedikitpun, dan merupakan amalan yang ditolak oleh Allah swt, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,<br /><br />مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري ومسلم)<br /><br />“Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan termasuk di dalamnya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)<br /><br />Demi Allah, demi Allah, wahai para habaib (Ahlu bait Nabi)! Jangan kalian diperdayakan oleh kesalahan orang yang melakukan kesalahan, dan kesesatan orang yang sesat, dan menjadi pemimpin- pemimpin yang tidak mengajarkan petunjuk beliau! Demi Allah, tidak seorangpun di muka bumi ini lebih kami cintai petunjuknya dari kalian, semata-mata karena kedekatan kalian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.<br /><br />Ini merupakan seruan dari hati-hati yang mencintai dan menginginkan kebaikan bagi kalian, dan menyeru kalian untuk selalu mengikuti sunnah lelulur kalian dengan meninggalkan bid’ah dan seluruh yang tidak diketahui oleh seseorang dengan yakin bahwa itu merupakan sunnah dan agama yang dibawanya, maka bersegeralah, Beliau bersabda,<br /><br />مَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ (رواه مسلم)<br /><br />“Barang siapa yang lambat dalam amalnya, niscaya nasabnya tidak mempercepat amalnya tersebut.” (HR. Muslim).<br /><br />والحمد لله رب العالمين،،<br /><br />Yang menanda tangan risalah di atas:<br />1. Habib Syaikh Abu Bakar bin Haddar al-Haddar (Ketua Yayasan Sosial “Adhdhamir al-Khairiyah” di Traim)<br />2. Habib Syaikh Aiman bin Salim al-Aththos (Guru Ilmu Syari’ah di SMP dan Khatib di Abu ‘Uraisy)<br />3. Habib Syaikh Hasan bin Ali al-Bar (Dosen Kebudayaan Islam Fakultas Teknologi di Damam dan Imam serta khatib di Zhahran.<br />4. Habib Syaikh Husain bin Alawi al-Habsyi (Bendahara Umum “Muntada al-Ghail ats-Tsaqafi al-Ijtima’I di Ghail Bawazir)<br />5. Habib Syaikh Shalih bin Bukhait Maula ad-Duwailah (Pembimbing al-Maktab at-Ta’awuni Li ad-Da’wah wal Irsyad wa Taujih al-Jaliyat, dan Imam serta Khatib di Kharj).<br />6. Habib Syaikh Abdullah bin Faishal al-Ahdal (Ketua Yayasan ar-Rahmah al-Khairiyah, dan Imam serta Khatib Jami’ ar-Rahmah di Syahr).<br />7. Habib Syaikh DR. ‘Ishom bin Hasyim al-Jufri (Act. Profesor Fakultas Syari’ah Jurusan Ekonomi Islam di Universitas Ummu al-Qurra’, Imam dan Khotib di Mekkah).<br />8. Habib Syaikh ‘Alawi bin Abdul Qadir as-Segaf (Pembina Umum Mauqi’ ad-Durar as-Saniyah)<br />9. Habib Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Maqdi (Pembina Umum Mauqi’ ash-Shufiyah, Imam dan Khotib di Damam).<br />10. Habib Syaikh Muhammad bin Muhsi al-Baiti (Ketua Yayasan al-Fajri al-Khoiriyah, Imam dan Khotib Jami’ ar-Rahman di al-Mukala<br />11. Habib Syaikh Muhammad Sami bin Abdullah Syihab (Dosen di LIPIA Jakarta)<br />12. Habib Syaikh DR. Hasyim bin ‘Ali al-Ahdal (Prof di Universitas Ummul Qurra’ di Mekkah al-Mukarramah Pondok Ta’limu al-Lughah al-‘Arabiyah Li Ghairi an-Nathiqin Biha). (Istod/Rydh/AN)<br /><br />Sumber: alsofwa.or.id<br /><br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-69243915453963881682010-03-01T00:20:00.001-08:002010-03-01T00:20:00.550-08:00IBNU TAIMIYYAH MAULIDAN ??Setelah mengemukakan dalil hingga dua puluh satu, Maliki menguatkan praduganya dengan menyitir pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang Maulid. Maliki menyitir pendapat Ibnu Taimiyah secara curang seperti perilaku orang yang membaca ayat dan berhenti pada al-mushallin dalam firman-Nya, “Celakalah orang-orang shalat, yaitu orang-orang yang lalai di shalat mereka.” (Al-Ma’un: 4-5).<br /><br />Atau berhenti pada kata laa yastahyii dalam ayat, “Sesungguhnya Allah tidak malu untuk membuat perumpamaan sebagaimana seekor nyamuk atau lebih hina lagi.” (Al-Baqarah: 26).<br /><br />Seandainya Maliki punya kejujuran ilmiah dan rasa takut kepada Allah, ia tidak berani menisbatkan pendapat itu kepada ulama besar, hamba Allah yang paling keras penolakannya terhadap bid’ah, dan orang terdepan dalam merealisasikan Sunnah. Maliki berani menisbatkan pendapat dibolehkannya perayaan Maulid pada Ibnu Taimiyah. Maliki berkata, “Pendapat Syaikh Ibnu Taimiyah tentang Maulid ialah: Bisa jadi seseorang mendapatkan pahala karena mengadakan perayaan Maulid dan seterusnya.”<br /><br />Kami telah menyebutkan pendapat Ibnu Taimiyah rahimahullah di Majmu’atul Fatawa jilid dua puluh tiga. Ada baiknya kita ulang kembali pernyataan Ibnu Taimiyah, karena ada kaitan erat dengan tema ini. Ibnu Taimiyah berkata,<br /><br />“Jika sekelompok kaum Muslimin berkumpul pada malam tertentu untuk mengerjakan shalat Sunnah, tanpa menjadikannya kebiasaan rutin seperti Sunnah, maka tidak makruh. Tapi, menjadikannya kebiasaan secara rutin pada waktu tertentu itu makruh, karena merubah syariat dan menyejajarkan sesuatu yang tidak disyariatkan dengan sesuatu yang disyariatkan. Jika itu dibenarkan, tentu mereka mengerjakan shalat lain pada waktu Dhuha, atau di antara waktu Dhuhur dengan Ashar, atau shalat Tarawih di bulan Sya’ban, atau mengumandangkan adzan di Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, atau berhaji ke batu di Baitul Makdis. Itu semua merubah agama Allah. Begitu juga mengadakan perayaan Maulid dan lain-lain.”<br /><span class="fullpost"><br />Kami terpaksa menukil perkataan Syaikhul Islam rahimahullah di buku Iqtidha’us Shirathil Mustaqim tentang bid’ah berikut kritik beliau terhadap pembagian bid’ah serta pendapatnya tentang Maulid. Kami mohon maaf kepada pembaca budiman, jika kami memaparkannya panjang lebar. Kami terpaksa menukilnya, karena dua hal:<br /><br /> * 1. Bid’ah merupakan persoalan riskan dan pintu masuk setan untuk merusak akidah kaum Muslimin. Melalui pintu itu, setan melancarkan bisikan, rayuan, godaan, dan bujukan. Setan memecah belah kaum Muslimin menjadi beberapa kelompok seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani. Seandainya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkenan bicara kepada kita tentang tema tertentu, tentu yang ia bicarakan merupakan mutiara ilmu. Ia melihat dengan cahaya Allah, memberi segala sesuatu sesuai dengan haknya, dan memberikan hak kepada lawannya. Ia bersedia membahas bid’ah, mengkritik pembagiannya, dan menyebutkan contoh-contoh kasus, dengan metodologi ilmiah dan langsung ke akar masalah. Cara itu membuat lawannya yang moderat tidak punya pilihan lain selain menerima pendapatnya.<br /> * 2. Maliki, semoga Allah memperlakukannya dengan adil, membuat kebohongan terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dengan mengatakan Ibnu Taimiyah membolehkan perayaan Maulid dan menyatakan pelakunya memperoleh pahala. Kami sitir ucapan Ibnu Taimiyah, kendati panjang, namun ia membeberkan pendapatnya tentang tema ini, memperlihatkan sisi kebohongan Maliki terhadapnya, menyanggah syubhat Maliki, dan para tokoh praktek bid’ah.<br /><br />Ibnu Taimiyah berkata, Di antara sisi kemungkaran di semua hari raya bid’ah, ialah semua hari raya bid’ah mengandung berbagai kemungkaran makruh, baik kemakruhannya sampai pada tingkatan haram atau tidak. Hari raya ahli kitab dan orang-orang asing dilarang karena dua hal:<br />1. Mirip dengan perilaku orang-orang kafir.<br />2. Termasuk bid’ah.<br /><br />Jadi, semua hari raya bid’ah itu mungkar, walaupun tidak mirip dengan hari raya ahli kitab, karena dua alasan:<br />1. Hari raya tersebut termasuk dalam kategori bid’ah dan hal-hal baru. Jadi, masuk di kandungan hadits yang diriwayatkan Muslim di Shahih-nya dari Jabir yang berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah, mata beliau memerah, suara beliau tinggi, dan emosi beliau meledak seakan-akan beliau pemberi peringatan bagi tentara; ‘musuh siap menghancurkan di pagi dan sore hari’, dan bersabda, ‘Jarak aku diutus dengan hari kiamat bagaikan ini.’ Beliau bersabda seperti itu sambil merapatkan kedua jari beliau: jari telunjuk dan jari tengah. Beliau bersabda lagi,<br /><br />أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخْيَرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.<br /><br />‘Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Al-Qur’an, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru, dan setiap bid’ah itu sesat’.”<br /><br />Di riwayat An-Nasai disebutkan, “Dan setiap kesesatan itu masuk neraka.” Juga masuk di cakupan hadits yang diriwayatkan Muslim di Shahihnya dari Aisyah radhiallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda,<br /><br />مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.<br /><br />“Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka tertolak.”<br /><br />Di redaksi lain di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) disebutkan,<br /><br />مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.<br /><br />“Barangsiapa membuat hal-hal baru di urusan (agama) kami, padahal tidak termasuk bagiannya, maka tertolak.”<br /><br />Di hadits shahih yang diriwayatkan para penulis Sunan dari Al-Irbadh bin Sariyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,<br /><br />فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.<br /><br />“Siapa saja di antara kalian yang diberi umur panjang, ia akan melihat banyak sekali pertentangan. Karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk sepeninggalku. Pegang Sunnah tersebut kuat-kuat. Tinggalkan hal-hal baru yang diada-adakan, karena bid’ah itu sesat.”<br /><br />Kaidah ini didasari Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’. Allah Ta’ala berfirman, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (As-Syura: 21).<br /><br />Barangsiapa menganjurkan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah atau mewajibkan sesuatu di luar yang disyariatkan Allah, berarti ia membuat syariat dalam agama tanpa ada izin dari Allah. Barangsiapa mengikuti orang tersebut, berarti ia menjadikannya sekutu Allah, karena ia mensyariatkan agama yang tidak dizinkan Allah.<br /><br />Bisa jadi, seseorang punya interpretasi sendiri tentang syariat, lalu ia diampuni karena interpretasinya. Itu dengan syarat ia mujtahid, yang kesalahannya diampuni dan diberi pahala karena ijtihadnya. Namun, ia tidak boleh diikuti dalam hal ini, seperti halnya orang yang mengatakan atau melakukan sesuatu, sedang ia tahu kebenaran ada di selain pendapatnya, itu tidak boleh diikuti, kendati ia diberi pahala atau dimaafkan. Allah Subahanu wa Ta’ala berfiman, “Mereka menjadikan orang-orang alim mereka dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka seku-tukan.” (At-taubah: 31).<br /><br />Adi bin Hatim berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,<br /><br />يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا عَبَدُوْهُمْ. قَالَ: مَا عَبَدُوْهُمْ، وَلَكِنْ أَحَلُّوْا لَهُمُ الْحَرَامَ فَأَطَاعُوْهُمْ، وَحَرَّمُوْا عَلَيْهِمُ الْحَلاَلَ فَأَطَاعُوْهُمْ.<br /><br />“Wahai Rasulullah, mereka tidak menyembah orang-orang alim dan rahib-rahib mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Memang mereka tidak menyembah orang-orang alim dan rahib-rahib mereka, namun orang-orang alim dan rahib-rahib mereka menghalalkan hal haram, lalu mereka mentaatinya dan mengharamkan hal halal untuk mereka, lalu mereka mentaatinya.”<br /><br />Barangsiapa mentaati seseorang dalam urusan agama yang tidak diberi izin oleh Allah, baik dalam hal penghalalan, pengharaman, menganggap sunnah, atau wajib, maka ia mendapat bagian kecaman. Orang yang memerintah dan melarang juga mendapatkan jatah kecaman.<br /><br />Masing-masing dari keduanya (mujtahid dan pengikutnya) bisa jadi mendapat ampunan dan pahala karena ijtihadnya. Kecaman itu tidak terealisasi karena syarat-syaratnya tidak terpenuhi atau ada penghalang, meskipun faktor untuk kecaman itu tetap ada. Kecaman juga diterima orang yang tahu kebenaran tapi ia mengabaikannya, atau orang yang tidak serius mencari kebenaran hingga kebenaran tidak terlihat jelas baginya, atau orang yang sengaja tidak mau mencari kebenaran karena hawa nafsu, kemalasan, atau sebab lain.<br /><br />Allah mengecam dua hal pada orang-orang musyrik:<br />1. Mereka menyekutukan Allah, dengan membuat hal-hal yang tidak pernah ditetapkan Allah.<br />2. Mereka mengharamkan hal-hal yang tidak diharamkan Allah.<br /><br />Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan hal itu di hadits yang diriwayatkan Muslim dari Iyadh bin Himar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda,<br /><br />قَالَ اللهُ تَعَالَى: إِنِّيْ جَعَلْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ، فَاجْتَالَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ، وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ، وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوْا بِيْ مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا.<br /><br />“Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku jadikan hamba-hamba-Ku sebagai orang-orang hanif. Lalu, mereka dikuasai setan-setan, setan-setan mengharamkan apa yang Aku halalkan pada mereka dan memerintahkan mereka menyekutukan-Ku dengan hal-hal yang tidak pernah Aku tetapkan’.”<br /><br />Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang yang menyekutukan Tuhan akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak menyekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun’.” (Al-An’am: 148).<br /><br />Mereka melakukan dua sekaligus: syirik dan mengharamkan hal-hal yang tidak diharamkan Allah. Termasuk dalam kategori syirik ialah semua ibadah yang tidak disyariatkan Allah. Orang-orang musyrik mengklaim ibadah mereka ada yang berbentuk wajib dan ada yang berbentuk sunnah. Di antara mereka ada yang menyembah selain Allah dengan bertujuan mendekat kepada Allah dengan tuhan selain Allah tersebut. Di antara mereka ada yang menciptakan agama lalu menyembah Allah dengannya, seperti diperbuat orang-orang Yahudi dan Nashrani. Sumber kesesatan pada manusia di dunia ini berasal dari dua hal: menciptakan agama yang tidak disyariatkan Allah dan mengharamkan hal-hal yang tidak diharamkan Allah. Itu pula prinsip madzhab Imam Ahmad dan lain-lain. Menurut mereka, perbuatan ada yang merupakan ibadah yang mereka jadikan sebagai agama lalu mereka mendapatkan manfaatnya di akhirat atau di dunia dan akhirat. Dan, ada yang merupakan kebiasaan yang manfaatnya mereka rasakan di dunia. Segala bentuk ibadah tidak boleh dikerjakan, kecuali yang disyariatkan Allah. Dan, pada dasarnya kebiasaan itu diperbolehkan, kecuali yang dilarang Allah.<br /><br />Acara-acara peringatan yang diselenggarakan sekarang ini dilarang agama, karena termasuk bid’ah yang dijadikan sebagai sarana taqarrub kepada Allah, seperti akan saya jelaskan, insya Allah.<br /><br />Ketahuilah, kaidah ini, konklusi dengan menjadikan sesuatu sebagai bid’ah kendati makruh, merupakan kaidah agung dan semakin lebih sempurna dengan mengcounter orang yang menentangnya. Ada orang yang mengatakan bid’ah terbagi menjadi dua: baik dan buruk, berdasarkan ucapan Umar radhiallahu ‘anhu tentang shalat Tarawih, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Juga berdasarkan dalil ucapan dan perbuatan, yang muncul sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Perkataan dan perbuatan tersebut tidak makruh atau baik, berdasarkan dalil-dalil ijma’ dan qiyas.<br /><br />Barangkali termasuk pada kategori ini orang yang tidak tahu banyak apa yang terjadi di masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan lain sebagainya. Ia jadikan kebiasaan sebagai dalil sebagian bid’ah itu baik, dengan cara menjadikan apa yang biasa dilakukannya dan orang yang ia kenal sebagai ijma’, padahal ia belum tahu pendapat orang Islam selain mereka tentang masalah itu. Atau ia menolak meninggalkan kebiasaan yang telah dilakukannya. Ini sama dengan firman Allah, “Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul’. Mereka menjawab, ‘Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya’.” (Al-Maidah: 104).<br /><br />Betapa banyak orang yang memiliki ilmu atau tekun beribadah dijadikan hujjah, bukan berdasarkan dasar-dasar ilmu yang menjadi rujukan dalam agama.<br /><br />Nash-nash yang mencaci bid’ah memang berseberangan dengan dalil-dalil yang mendukung adanya sebagian bid’ah yang baik. Hal ini bisa jadi berasal dari dalil-dalil syar’i yang shahih atau berdasarkan hujjah orang-orang yang dijadikan sebagai rujukan dalam hal agama oleh sebagian orang-orang bodoh. Atau mereka orang-orang yang menggunakan ta’wil sendiri atas dalil-dalil syar’i.<br /><br />Orang-orang yang menentang pendapat ini mempunyai dua sudut padang:<br /><br />Pertama, mereka mengatakan, jika terbukti bahwa di antara bid’ah ada yang baik dan ada yang jelek. Yang baik itu berarti apa yang dilarang oleh Syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Sedangkan bid’ah yang didiamkannya bukan termasuk yang jelek, bahkan bisa jadi termasuk yang baik (hasan). Inilah yang dikatakan sebagian mereka.<br /><br />Kedua, dikatakan bahwa yang bid’ah jelek (sayyi’ah) itu sebenarnya bid’ah yang bagus (hasanah) karena adanya kemashlahatan demikian dan demikian…Para penentang itu menegaskan bahwa tidak semua bid’ah sesat.<br /><br />Pernyataan ini bisa dijawab dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Bahwa seburuk-buruk urusan (dalam agama) adalah hal-hal baru, bahwa setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat di dalam neraka.” Atau dengan peringatan untuk menjauhi hal-hal baru (dalam agama). Inilah nash dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak boleh bagi seseorang menolak esensinya dalam mencaci perbuatan bid’ah. Barangsiapa mencabut esensi nash syar’i, ia orang ceroboh.<br /><br />Untuk menghadapi alasan-alasan mereka paling tidak dengan salah satu dari dua jawaban:<br /><br />Bisa dikatakan bahwa jika terbukti sisi kebaikannya hal itu bukan termasuk bid’ah. Maka nash umum tetap harus dianggap umum dan tidak ada yang spesifik dalam nash itu.<br /><br />Bisa juga dikatakan apabila sisi kebaikan pada nash itu terbukti berarti ia menjadi sesuatu yang dikhususkan dari yang semula umum ini, maka semestinya yang umum itu dijaga dan tidak ada yang dikhususkan di situ. Atau jika ada sisi kebenarannya berarti itu sesuatu yang dikhususkan dari yang umum, berarti pula, nash umum yang dikhususkan itu menjadi dalil selain pengkhususan. Barangsiapa meyakini bahwa sebagian bid’ah terjadi akibat pengkhususan dari yang umum, ia membutuhkan dalil yang layak bagi pengkhususan itu. Jika tidak ada dalil, maka nash yang umum secara redaksional dan esensial itu tetap berkonsekuensi larangan.<br /><br />Yang mengkhususkan itu semestinya berupa dalil syar’i dari Kitab, Sunnah, atau Ijma’, baik secara tekstual atau kesimpulan atas suatu dalil (istinbath). Jika ia hanya berupa kebiasaan suatu atau banyak negeri, atau kata-kata sekian banyak ulama dan orang banyak, atau semisal itu, maka ia tidak layak dijadikan dalil yang berlawanan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.<br /><br />Barangsiapa berkeyakinan bahwa kebanyakan kebiasaan itu hasil kesepakatan para ulama, dengan alasan karena umat mengukuhkannya dan tidak mengingkarinya. Orang tersebut jelas salah dengan keyakinannya itu. Sebab ia pada setiap saat tetap saja menjadi orang yang dilarang melakukan kebiasaan-kebiasaan baru (dalam agama) yang bertentangan dengan Sunnah. Tidak diperkenankan muncul klaim adanya sebuah kesepakatan karena praktek yang dilakukan sebuah negeri atau beberapa negeri kaum muslimin. Bagaimana halnya dengan beberapa kelompok yang ada di antara mereka? Jika mayoritas ahli ilmu tidak menjadikan praktek amal para ulama penduduk Madinah serta kesepakatan mereka di jaman Imam Malik sebagai rujukan, akan tetapi mereka tetap melihat Sunnah sebagai hujjah untuk mereka dan penduduk lain selain mereka, meskipun mereka semua memiliki ilmu dan keimanan. Bagaimana dengan seorang Mukmin berilmu merujuk kepada kebiasaan orang-orang awam, atau orang yang terikat dengan orang kebanyakan, atau suatu kaum yang didominasi kebodohan, yang tidak kokoh basis keilmuan mereka dan tidak termasuk para pemegang kekuasaan (ulil amri), tidak layak terlibat dalam syura, atau barangkali belum genap keimanan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, atau mereka telah diintervensi oleh adat kebiasaan kaum lain yang lebih bermartabat tanpa sepengetahuan mereka, atau, karena adanya syubuhat pada mereka yang keadaan terbaiknya adalah bahwa mereka semua menempati kedudukan yang setara dengan para mujtahidin, para ulama, dan shiddiqin?<br /><br />Berdalil dengan hujjah semacam ini tentu saja gampang disanggah, ini bukan metodologi orang-orang berilmu. Namun karena kebodohan yang dijadikan sandaran bagi banyak orang, bahkan oleh orang-orang yang berafiliasi kepada ilmu dan agama. Bisa jadi ada landasan lain dari dalil syar’i yang bisa diketahui oleh para ulama. Allahlah yang lebih tahu firman dan ilmu-Nya memang untuk dalil itu, dan jelas ia bukan termasuk dalil syar’i kendatipun ada syubuhat padanya. Sebenarnya hal itu disandarkan kepada sesuatu yang bukan bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, yakni sandaran lain yang dilakukan orang yang tidak berilmu dan beriman. Hujjah yang disebutkan itu justru berpihak kepada orang lain dan menjadi penguat bagi lawannya.<br /><br />Sedang perdebatan yang terpuji itu dilakukan dengan modal pemahaman dan pemaparan argumentasi yang memang menjadi rujukan setiap ucapan dan perbuatan. Adapun mengemukakan argumentasi yang semestinya tidak layak dijadikan rujukan bagi ucapan dan perbuatan. Jelas ini jenis kemunafikan ilmu, perdebatan, ucapan, dan perbuatan.<br /><br />Juga tidak boleh memahami sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Setiap bid’ah sesat,” bahwa yang dilarang adalah bid’ah yang dikhususkan nash ini, sebab jika demikian berarti pemahaman tersebut mengebiri esensi hadits ini. Setiap yang dilarang itu merupakan kekufuran dan kefasikan serta macam-macam kemaksitan. Dimana melalui pelarangan itu dapat diketahui kadar keharamannya, baik itu bid’ah atau selain bid’ah. Jika tidak ada sisi kemungkaran dalam agama selain pada apa yang dilarang secara khusus, baik hal itu pernah dilakukan di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau tidak. Sebenarnya setiap yang dilarang itu sendiri merupakan kemungkaran, baik termasuk kategori bid’ah atau tidak. Ya, jika tidak sisi kemungkarannya, maka pelebelan bid’ah menjadi tidak ada pengaruh apa-apa, keberadaannya tidak menunjukkan keburukan dan ketidakadanya tidak menunjukkan kebaikan. Jadinya sabda beliau, “Setiap bid’ah sesat,” setara dengan ungkapan, “Setiap adat kebiasaan itu sesat,” atau setara dengan ucapan, “Setiap apa yang dilakukan orang Arab atau orang asing itu sesat.” Maksudnya, setiap yang dilarang itu sesat.<br /><br />Hal ini (pemahaman mereka) merupakan pengebirian terhadap nash-nash karena penyimpangan dan pengingkaran, bukan sekedar masalah interpretasi (ta’wil). Ada beberapa dampak negatif yang ditimbulkannya yang diantaranya:<br /><br />Pertama, runtuhnya pamor hadits ini sebagai sesuatu yang diandalkan, sebab jika sesuatu itu diketahui terlarang karena pengkhususan nash, barulah hukumnya diketahui dengan larangan itu. Jika tidak diketahui (dengan pengkhususan nash itu), maka larangan itu tidak ada pada hadits ini. Dan jika demikian, maka hadits tidak ada manfaatnya sama sekali. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan hadits ini dalam khutbah beliau, dan hadits ini termasuk Jawami’ul Kalim (hadits ringkas namun mengandung makna penting dan luas).<br /><br />Kedua, bahwa lafadz Bid’ah berikut maknanya hanya sekedar nama yang tidak punya pengaruh apa-apa, maka keterikatan suatu hukum dengan lafadz atau makna seperti ini juga tidak punya pengaruh apa-apa sebagaimana sifat-sifat lain yang memang tidak punya pengaruh apapun.<br /><br />Ketiga, ungkapan semacam ini jika yang dimaksudkan adalah sifat (makna) lain, bahwa hal itu dilarang, merupakan penyembunyian ilmu yang semestinya dijelaskan, atau penjelasan yang tidak dimaksudkan oleh redaksi zhahirnya. Sebab bid’ah dan larangan khusus dijelaskan oleh nash umum dan khusus. Karena tidak semua bid’ah datang melalui larangan khusus dan tidak semua larangan khusus itu bid’ah. Maka membicarakan sesuatu dengan maksud lain merupakan penipuan dan tidak layak dilakukan seorang pembicara, kecuali jika memang ia seorang penipu. Sebagaimana jika seseorang mengatakan, “Hitam,” namun ternyata yang dimaksudkan, “Kuda.” Atau mengatakan, “Kuda,” namun yang dimaksudkan, “Hitam.”<br /><br />Keempat, pada sabda beliau, “Setiap bid’ah sesat. Hati-hatilah kalian terhadap hal-hal baru (dalam agama)!” Jika yang dilarang itu sesuatu yang khusus, berarti mereka (umat) telah terhalangi untuk mengetahui maksud hadits tersebut karena tidak ada orang yang mempunyai ilmu untuk mengetahuinya, dan me-mang tidak ada yang mengetahuinya selain orang-orang spesial dari umat ini. Hal ini jelas tidak lazim.<br /><br />Kelima, jika memang yang dimaksudkannya itu larangan khusus, sebenarnya larangan khusus terhadap bid’ah itu sangat sedikit. Jika Anda merenungkan bid’ah-bid’ah yang terlarang dengan sendirinya atau bukan, maka yang bukan terlarang dengan sendirinya itu ternyata lebih banyak. Sedangkan lafadz umum tidak boleh diartikan secara jauh dan aneh.<br /><br />Berbagai argumentasi ini kemudian mengharuskan kita untuk memastikan bahwa interpretasi semacam ini sungguh rancu. Tidak boleh memahami hadits dengan interpretasi semacam ini. Baik orang yang menginterpretasikan itu hendak menguatkannya dengan dalil lain atau tidak. Hendaknya orang tersebut menjelaskan bolehnya memahami hadits sebagaimana mestinya, kemudian ia juga menjelaskan dalil lain yang digunakannya.<br /><br />Semua argumentasi ini juga melarang memahami makna hadits dengan pemahaman seperti itu. Inilah jawaban untuk sudut pandang pertama mereka.<br /><br />Sedangkan sudut pandang mereka yang kedua, bolehlah dikatakan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua; bid’ah yang baik dan yang jelek. Meski demikian pemahaman semacam ini tidak menjadi penghalang untuk memahami bahwa hadits tersebut menjadi dalil bagi semua bid’ah yang jelek. Akan tetapi yang sering dikatakan adalah, jika terbukti yang dimaksudkannya adalah bid’ah yang baik, berarti ia merupakan bentuk pengecualian dari hadits umum. Jika tidak, pada dasarnya semua bid’ah sesat.<br /><br />Sebenarnya jawabannya jelas bagi orang yang berlawanan dengan pendapat adanya bid’ah yang baik, bisa jadi karena ia bukan bid’ah atau karena ada pengkhususan nash. Padahal maksud hadits tersebut jelas. Jawaban ini dikemukakan jika memang benar ada bid’ah yang baik.<br /><br />Perkara-perkara lain bisa saja dianggap bid’ah hasanah padahal ia bukan bid’ah hasanah, maka tidak layak melawan hadits Rasul dengan anggapan semacam ini. Bahkan hal ini juga bisa dijawab dengan jawaban bertingkat; jika memang ada kebaikan maka ia bukan bid’ah atau hadits itu dikhususkan. Jika memang tidak terbukti ia bid’ah hasanah maka ia tetap berada pada keumumannya.<br /><br />Jika Anda tahu tentang jawaban bagi penentangan ini terdiri dari salah satu dari dua jawaban di atas, berikutnya terdapat dua kemungkinan;<br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-11248033603341458982010-03-01T00:15:00.001-08:002010-03-01T00:15:01.766-08:00Hakikat Tasawuf dan SUFIBashrah, sebuah kota di negeri Irak, merupakan tempat kelahiran pertama bagi Tasawuf dan Sufi. Yang mana (di masa tabi’in) sebagian dari ahli ibadah Bashrah mulai berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia (dengan cara yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam), hingga akhirnya mereka memilih untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf/صُوْف). Meski kelompok ini tidak mewajibkan tarekatnya dengan pakaian semacam itu, namun atas dasar inilah mereka disebut dengan “Sufi”, sebagai nisbat kepada Shuuf (صُوْف).<br /><br />Oleh karena itu, lafazh Sufi ini bukanlah nisbat kepada Ahlush Shuffah yang ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, karena nisbat kepadanya dinamakan Shuffi (صُفِّيٌ), bukan pula nisbat kepada shaf terdepan di hadapan Allah Ta’ala, karena nisbat kepadanya dinamakan Shaffi (صَفِّيٌ), bukan pula nisbat kepada makhluk pilihan Allah (الصَّفْوَةُ مِنْ خَلْقِ اللهِ) karena nisbat kepadanya adalah Shafawi (صَفَوِيٌّ) dan bukan pula nisbat kepada Shufah bin Bisyr (salah satu suku Arab), walaupun secara lafazh bisa dibenarkan, namun secara makna sangatlah lemah, karena antara suku tersebut dengan kelompok Sufi tidak berkaitan sama sekali.<br /><br />Para ulama Bashrah yang mendapati masa kemunculan mereka, tidaklah tinggal diam. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Asy Syaikh - Al Ashbahani rahimahullah dengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin rahimahullah bahwasanya telah sampai kepadanya berita tentang orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba, maka beliau pun berkata: “Sesungguhnya ada orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba dengan alasan untuk meneladani Al Masih bin Maryam ! Maka sesungguhnya petunjuk Nabi kita lebih kita cintai (dari/dibanding petunjuk Al Masih), beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam biasa mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan katun dan yang selainnya.” (Diringkas dari Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Juz 11, hal. 6,16 ).<span class="fullpost"><br /><br />Siapakah Peletak/Pendiri Tasawuf ?<br /><br />Ibnu ‘Ajibah seorang Sufi Fathimi, mengklaim bahwasanya peletak Tasawuf adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sendiri. Yang mana beliau –menurut Ibnu ‘Ajibah - mendapatkannya dari Allah Ta’ala melalui wahyu dan ilham. Kemudian Ibnu ‘Ajibah berbicara panjang lebar tentang permasalahan tersebut dengan disertai bumbu-bumbu keanehan dan kedustaan. Ia berkata: “Jibril pertama kali turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dengan membawa ilmu syariat, dan ketika ilmu itu telah mantap, maka turunlah ia untuk kedua kalinya dengan membawa ilmu hakikat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam pun mengajarkan ilmu hakikat ini pada orang-orang khususnya saja. Dan yang pertama kali menyampaikan Tasawuf adalah Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu, kemudian Al Hasan Al Bashri rahimahullah menimba darinya.” (Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal.5 dinukil dari At Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyah, hal. 8).<br /><br />Asy Syaikh Muhammad Aman Al Jami rahimahullah berkata: “Perkataan Ibnu ‘Ajibah ini merupakan tuduhan keji lagi lancang terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, ia menuduh dengan kedustaan bahwa beliau menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah seseorang menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang keluar dari Islam dan berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia mampu, karena Allah Ta’ala telah perintahkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk menyampaikan kebenaran tersebut dalam firman-Nya (artinya): “Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Rabbmu, dan jika engkau tidak melakukannya, maka (pada hakikatnya) engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.” (Al Maidah : 67)<br /><br />Beliau juga berkata: “Adapun pengkhususan Ahlul Bait dengan sesuatu dari ilmu dan agama, maka ini merupakan pemikiran yang diwarisi oleh orang-orang Sufi dari pemimpin-pemimpin mereka (Syi’ah). Dan benar-benar Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu sendiri yang membantahnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim rahimahullah dari hadits Abu Thufail Amir bin Watsilah Radiyallahu ‘anhu ia berkata: “Suatu saat aku pernah berada di sisi Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu, maka datanglah seorang laki-laki seraya berkata: “Apa yang pernah dirahasiakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam kepadamu?” Maka Ali pun marah lalu mengatakan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam belum pernah merahasiakan sesuatu kepadaku yang tidak disampaikan kepada manusia ! Hanya saja beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam pernah memberitahukan kepadaku tentang empat perkara. Abu Thufail Radiyallahu ‘anhu berkata: “Apa empat perkara itu wahai Amirul Mukminin ?” Beliau menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “(Artinya) Allah melaknat seorang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat seorang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat seorang yang melindungi pelaku kejahatan, dan Allah melaknat seorang yang mengubah tanda batas tanah.” (At Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 7-8).<br /><br />Hakikat Tasawuf<br /><br />Bila kita telah mengetahui bahwasanya Tasawuf ini bukanlah ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu, maka dari manakah ajaran Tasawuf ini ?<br /><br />Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam , dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha. (At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28). [1]<br /><br />Asy Syaikh Abdurrahman Al Wakil rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya syaithan yang paling tercela lagi hina, untuk menggiring hamba-hamba Allah Ta’ala di dalam memerangi Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam. Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya ! niscaya engkau akan mendapati padanya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tashawwuf, hal. 19). [2]<br /><br />Beberapa Bukti Kesesatan Ajaran Tasawuf<br /><br />1. Al Hallaj seorang dedengkot sufi, berkata : “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin Ali Iwaji, juz 2 hal.600).<br />Padahal Allah Ta’ala telah berfirman :<br /><br />لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ<br />“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy Syuura : 11)<br /><br />رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي<br />“Berkatalah Musa : “Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.” Allah berfirman : “Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku (yakni di dunia-pen)………” (Al A’raaf : 143).<br /><br />2. Ibnu ‘Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata : “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah !” (Fushushul Hikam).[3] Betapa kufurnya kata-kata ini …, tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini ?!<br /><br />3. Ibnu ‘Arabi juga berkata : “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya, dan Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al Futuhat Al Makkiyyah).[4]<br /><br />Padahal Allah Ta’ala telah berfirman :<br /><br />وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ<br />“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat : 56).<br /><br />إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ إِلاَّ ءَاتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا<br />“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah dalam keadaan sebagai hamba.” (Maryam : 93).<br /><br />4. Jalaluddin Ar Rumi, seorang tokoh sufi yang kondang berkata : “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti, bagiku tempat ibadah sama … masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.” [5]<br /><br />Padahal Allah Ta’ala berfirman :<br /><br />يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ<br />“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran : 85)<br /><br />5. Pembagian ilmu menjadi Syari’at dan Hakikat, yang mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah Ta’ala, oleh karena itu gugurlah baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.<br /><br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani, karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian dari isi Al Kitab dan kafir dengan sebagiannya, sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat hakikat, tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen).” (Majmu’ Fatawa, juz 11 hal. 401).<br /><br />6. Dzikirnya orang-orang awam adalah لا إله إلا الله , sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus “الله / Allah”, “هو / Huu”, dan “آه / Aah” saja.<br /><br />Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :<br /><br />أَفْضَلُ الذِّكْرَ لاَ إِلهِ إِلاَّ الله<br />“Sebaik-baik dzikir adalah لا إله إلا الله .” (H.R. Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin Abdullah Radiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’, no. 1104).[6]<br /><br />Syaikhul Islam rahimahullah berkata : “Dan barangsiapa yang beranggapan bahwa لا إله إلا الله dzikirnya orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah “هو / Huu”, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.” (Risalah Al Ubudiyah, hal. 117-118, dinukil dari Haqiqatut Tashawwuf, hal. 13)<br /><br />7. Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu Kasyaf (dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib. Allah Ta’ala dustakan mereka dalam firman-Nya:<br /><br />قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ<br />“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (An Naml : 65)<br /><br />8. Keyakinan bahwa Allah Ta’ala menciptakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam dari nuur / cahaya-Nya, dan Allah Ta’ala ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam. Padahal Allah Ta’ala berfirman :<br /><br />قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ<br />“Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku …” (Al Kahfi : 110).<br /><br />إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ<br />“(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.” (Shaad : 71)<br /><br /><br /><br /><br />Wallahu A’lam Bish Shawab<br /><br /><br /><br />Hadits-hadits palsu atau lemah yang tersebar di kalangan umat<br /><br /><br /><br />Hadits Abu Umamah<br /><br />عَلَيْكُمْ بِلِبَاسِ الصُّوفِ، تَجِدُوْا حَلاَوَةَ الإيْمَانِ فِيْ قُلُوْبِكُمْ<br /><br />“Pakailah pakaian yang terbuat dari bulu domba, niscaya akan kalian rasakan manisnya keimanan di hati kalian”(HR Al Baihaqi dlm Syu’abul Iman).<br /><br />Keterangan : Hadits ini palsu karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Muhammad bin Yunus Al Kadimy. Dia seorang pemalsu hadits, Al Imam Ibnu Hibban berkata : “Dia telah memalsukan kira-kira lebih dari dua ribu hadits”. (Lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dhoifah Wal Maudhu’ah, no:90)<br /><br /><br /><br />Footnote :<br /><br />[1][2] Dinukil dari kitab Haqiqatut Tashawwuf karya Asy Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan, hal.7<br /><br />[3][4][5] Dinukil dari kitab Ash Shufiyyah Fii Mizanil Kitabi Was Sunnah karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hal. 24-25.<br /><br />[6] Lihat kitab Fiqhul Ad ‘Iyati Wal Adzkar, karya Asy Syaikh Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Badr, hal. 173.<br /><br /><br /><br />(Sumber : Buletin Islam Al Ilmu Edisi 46/III/I2/1425, Jember.<br />Dikirim via email oleh al Al Akh Hardi Ibn Harun.)<br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-37163634924451222702010-03-01T00:14:00.001-08:002010-03-01T00:14:00.277-08:00Kesesatan Ihya UlumuddinTak banyak yang tahu, Ihya` ‘Ulumiddin, kitab yang banyak dipuja orang ini, merupakan salah satu gudangnya kemungkaran. Kajian berikut memang tidak memaparkannya secara keseluruhan. Namun cukuplah menjadi peringatan bagi kita semua agar tidak lagi menggeluti buku ini terlebih mengagungkannya.<br />Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupa-kan suatu umat yang senantiasa berupaya untuk komitmen di atas kemurnian agama, serta bersikap tegas terhadap segala bentuk penyimpangan atau upaya segolongan orang yang akan mengaburkan As-Sunnah.<br />Rasulullah n bersabda:<br /><br />وَإِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي اْلأَئِمَّةَ الْمُضِلِّيْنَ<br /><br />“Yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah imam-imam yang menyesat-kan.” (HR. Abu Dawud, 4/4252 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, jilid 4 no. 1586)<br />Abdurrahman bin Abu Hatim Ar-Razi berkata: “Aku mendengar bapakku dan Abu Zur’ah, keduanya memerintahkan untuk memboikot ahlul bid’ah. Keduanya sangat keras terhadap mereka, dan mengingkari pemahaman kitab (Al-Qur`an, red.) dengan akal semata tanpa bersandar dengan atsar (hadits, red.), melarang duduk bersama ahlul kalam (kaum filsafat), dan melihat kitab-kitab ahlul kalam.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 322)<br />Ibnu Mas’ud z berkata: “Kalian akan mendapati segolongan kaum yang menyangka bahwa mereka menyeru kepada Kitabullah, namun hakekatnya mereka telah melemparkannya ke belakang punggung-punggung mereka.” (Al-Ibanah, 1/322)<br />Mengingat hal ini, akan kami paparkan secara ringkas tentang kitab Ihya` ‘Ulumiddin yang selalu dibanggakan segolongan orang. Bahkan dianggap sebagai literatur yang sarat akan bimbingan aqidah dan akhlak!<br />Berikut beberapa kesalahan yang terdapat dalam kitab Ihya` ‘Ulumiddin dan bantahannya secara global.<span class="fullpost"><br /><br />1. Dalam pembahasan sifat-sifat Allah k, Al-Ghazali terkadang melakukan penakwilan ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah k.<br />Ahlus Sunnah Wal Jamaah selalu meyakini bahwa sifat-sifat Allah k tidak boleh disamakan dengan sifat makhluk, tidak boleh ditanyakan tentang bagaimana keadaannya, tidak boleh menakwilkan dengan sesuatu yang keluar dari makna zhahir sebagaimana yang telah diyakini salafus shalih, dan tidak boleh pula mengingkarinya. (lihat Fathur Rabbil Bariyyah bi Talkhisil Hamawiyyah, hal. 27-28)<br />Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab Al-Wushabi hafizhahullah berkata: “Tauhid asma wash shifat adalah mengesakan Allah k pada apa yang telah Dia namakan diri-Nya sendiri dengannya atau dengan apa yang telah dinamakan Rasulullah n, dan mengesakan Allah kpada apa yang Dia sifatkan terhadap diri-Nya atau yang telah Rasulullah n sifatkan untuk-Nya, tanpa mempertanyakan bagaimananya (kaifiyah), atau menyerupakannya dengan makhluk, memalingkan maknanya, dan mengingkarinya. (Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, hal. 81)<br />Sebagai contoh, Al-Ghazali telah menakwilkan makna istiwa` (artinya naik di atas ‘Arsy) dengan istaula (menguasai). (lihat Ihya` ‘Ulumiddin, jilid 1 sub pemba-hasan Aqidah)<br />Hal ini telah menyelisihi Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ para salafush shalih.<br />Allah k berfirman:<br /><br />سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى<br /><br />“Sucikan Rabbmu yang Maha Tinggi.” (Al-A’la: 1)<br /><br />إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا<br /><br />“Sesungguhnya Allah itu Maha Tinggi dan Maha Besar.” (An-Nisa`: 34)<br /><br />الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى<br /><br />“Ar-Rahman ber-istiwa` di atas ‘Arsy-Nya.” (Thaha: 5)<br />Rasulullah n bersabda:<br /><br />لَمَّا قَضَى اللهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِيْ كِتَابِهِ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ<br /><br />“Ketika Allah menentukan ketentuan makhluk, maka Dia tulis dalam Kitab-Nya yang ada di sisi-Nya, di atas ‘Arsy...” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)<br />Al-Imam Al-Qurthubi v berkata: “Tidak ada satupun salafush shalih yang mengingkari bahwa Allah k benar-benar ber-istiwa` di atas Arsy-Nya. Yang tidak mereka ketahui adalah bagaimana cara ber-istiwa`. Dan sungguh hal itu tidaklah diketahui hakekatnya.” (Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah wa Kitabuhu Al-’Arsy, hal. 187)<br /><br />2. Al-Ghazali berkata tentang ilmu kalam: “Dia merupakan penjaga aqidah masyarakat awam dan yang melindungi dari berbagai kerancuan para ahli bid’ah. Dan perumpamaan ahli ilmu kalam adalah seperti penjaga jalan bagi para jamaah haji.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/22)<br />Aqidah yang bersih akan selalu terbangun di atas pondasi yang benar berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Adapun ilmu kalam adalah belenggu yang menjadikan orang terlena dengan akal, sehingga akan menjauh dari hakekat kemurnian aqidah.<br />Allah k berfirman:<br /><br />لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوُلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا<br /><br />“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, bagi mereka yang mengharap Allah dan hari kiamat, dan dia banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)<br />Asy-Syaikh As-Sa’di v: “Contoh yang baik adalah Rasulullah n. Orang yang mengambil suri teladan darinya berarti telah menempuh suatu jalan yang akan menyampaikan kepada kemuliaan Allah k. Inilah jalan yang lurus.”<br />Al-Imam Al-Barbahari v: “Ketahuilah –semoga Allah k merahmatimu–, sungguh tidaklah muncul kezindiqan, kekufuran, keraguan, bid’ah, kesesatan, dan kebingungan dalam agama kecuali akibat ilmu kalam, ahli ilmu kalam, debat, berbantahan, dan perselisihan.” (Syarhus Sunnah, hal. 93)<br />Ibnu Rajab v berkata: “Mengikuti ocehan ahli ilmu kalam dan filsafat merupakan kerusakan yang nyata. Tak sedikit orang yang mencoba menyelami perkara itu akhirnya berlumuran dengan berbagai kotorannya, sebagaimana ucapan Al-Imam Ahmad: ‘Tidaklah orang yang melihat ilmu kalam kecuali akan terpengaruh dengan Jahmiyyah’. Beliau dan para ulama salaf lainnya selalu memperingatkan dari ahli ilmu kalam walaupun (ahli ilmu kalam itu) berniat membela As-Sunnah.” (Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal Khalaf, hal. 43)<br />Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah berkata: “Ilmu kalam –yang telah disepakati Al-Imam Malik, Abu Hani-fah, Ahmad, dan Asy-Syafi’i sebagai suatu yang bid’ah– tidak akan mungkin menjadi penjaga aqidah dari berbagai bid’ah. Karena ilmu kalam itu sendiri adalah bid’ah.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-uhu wa Tashawwufuhu hal. 9)<br />Sungguh malang nasib pengagum ilmu kalam. Na’udzubillahi min dzalika (Kita berlindung kepada Allah k dari hal itu).<br /><br />3. Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bagian:<br />a. Ilmu zhahir: ilmu muamalah.<br />b. Ilmu batin: ilmu kasyaf. (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/19-21)<br />Keyakinan bahwa ilmu kasyaf merupa-kan puncak ilmu merupakan hal yang umum di kalangan para Shufi! Kasyaf menurut keyakinan Shufi adalah tersingkapnya hijab di hadapan para wali Shufi, sehingga dia bisa melihat dan mengetahui sesuatu yang ghaib tanpa melalui indera perasa. Namun ilmu kasyaf adalah ilmu yang terilhamkan dalam hati. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsu-ruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114)<br />Sungguh menakutkan keadaan mereka. Bukankah Allah k telah berfirman:<br /><br />قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ<br /><br />“Katakanlah: 'Tidak ada siapapun yang ada di langit dan di bumi yang mengetahui suatu yang ghaib selain Allah.'” (An-Naml: 65)<br /><br />عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا<br /><br />“(Dialah) Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan tidak menampakkannya kepada siapapun, kecuali kepada utusan-Nya yang telah Dia ridhai. Sesungguhnya Dia memberikan penjagaan (dengan para malaikat) dari depan dan belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)<br />Ibnu Katsir v berkata: “Sesungguhnya Dia mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dan sungguh tidak ada makhluk-Nya yang bisa mengetahui ilmu-Nya kecuali yang Allah k beritahukan kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/462)<br />Rasulullah n bersabda:<br /><br />خَمْسٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ تَعَالَى<br /><br />“Ada lima perkara yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.”<br />Kemudian beliau membaca ayat:<br /><br />إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي اْلأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ<br /><br />“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34) [HR. Ahmad, 5/353. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil v dalam Shahihul Jami’, 6/361]<br />Ibnu Hajar v berkata: “Ilmu ghaib merupakan sifat khusus bagi Allah k. Dan segala perkara ghaib yang Nabi n kabarkan merupakan sesuatu yang dikabarkan Allah k kepadanya. Dan tidaklah beliau mengetahui dari dirinya sendiri.” (Fathul Bari, 9/203)<br />Adanya keyakinan kasyaf merupakan upaya penghinaan kepada Allah k.<br /><br />4. Penafsiran ayat secara ilmu batin dan keluar dari kaedah-kaedah salaf. Sebagai contoh Al-Ghazali menafsirkan firman Allah k:<br /><br />وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ<br /><br />“Dan jauhkan aku serta keturunanku dari penyembahan terhadap berhala.” (Ibrahim: 35)<br />Al-Ghazali menyatakan bahwa yang dimaksud berhala adalah dua batu, yaitu emas dan perak! (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/235)<br />Cara seperti ini merupakan tipudaya setan, karena hanya akan menjadikan seseorang keluar dan menyeleweng dari pemahaman salafush shalih.<br />Allah k berfirman:<br /><br />قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ<br /><br />“Katakanlah, jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)<br /><br />وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا<br /><br />“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami jadikan ia di Jahannam. Dan Jahannam adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)<br />Ilmu batin menurut Shufiyyah adalah rahasia-rahasia ilmu yang ganjil, dan hanya diketahui oleh orang-orang Shufi yang berbicara dengan lisan yang abadi. (Majmu’ Fatawa, 13/231)<br />Keadaan ini menyerupai orang-orang bathiniyyah Qaramithah yang menafsirkan Al-Qur`an secara ilmu batin, seperti shalat berarti doa, puasa berarti menahan rahasia, haji bermakna safar dan berkunjung kepada guru serta para syaikh. (Majmu’ Fatawa, 13/236)<br /><br />5. Al-Ghazali terpengaruh dengan suluk orang-orang Cina dan kependetaan dalam Nasrani. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/334)<br />Ia berkata: “Upaya para wali dalam penyucian, pencerahan, kebersihan, dan keindahan jiwa sehingga suatu kebenaran menjadi gemerlap, nampak dan bersinar sebagaimana dilakukan orang-orang Cina. Dan demikianlah upaya kaum cendekiawan dan ulama untuk meraih dan menghiasi ilmu, sehingga terpatri indah dalam hati sebagaimana yang dilakukan orang-orang Romawi.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/24)<br />Bahkan hubungan manis antara Shufiyyah dengan Nasrani dinyatakan Ibrahim bin Adham. Ia berkata: “Aku mempelajari ma’rifat dari seorang pendeta bernama Sam’an dan aku pernah masuk ke dalam tempat ibadahnya.” (Talbis Iblis, hal. 137)<br />Abdurrahman Al-Badawi berkata: “Sungguh, kalangan Shufiyyah dari kaum Muslimin menganggap tidak mengapa untuk mendengarkan pelajaran-pelajaran para pendeta dan perihal olah batin mereka karena terdapatnya faedah, walaupun hal itu datang dari Nasrani. (Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 64)<br />Anggapan seperti ini sangatlah naif, dan hanya akan melumpuhkan serta menelanjangi seseorang dari al-wala` wal-bara`. Allah k berfirman:<br /><br />وَلاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ<br /><br />“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)<br /><br />ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ<br /><br />“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 18)<br />Rasulullah n bersabda:<br /><br />لَتَتْبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ...<br /><br />“Benar-benar kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang sebelum kalian…” (HR. Al-Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669)<br /><br />مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ<br /><br />“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka.” (HR. Abu Dawud, 2/74. Dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adabuz Zifaf hal. 116)<br />Bahkan Rasulullah n dengan jelas menyatakan:<br /><br />لاَ رَهْبَانِيَّةَ فَي اْلإِسْلاَمِ<br /><br />“Tidak ada kependetaan dalam Islam.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/7)<br />Sungguh perilaku Shufiyyah merupakan virus pluralisme yang akan selalu bergulir seperti bola liar dengan kemerdekaan berfikir tanpa batas (freedom of thinking is every-thing).<br /><br />6. Menurut Al-Ghazali, martabat kenabian bisa diraih seorang Shufi dari sisi turunnya ilham Ilahi di dalam hatinya. (Ihya`, 3/18-19)<br />Menurut para Shufi, ilham adalah pancaran ilmu kepada para syaikh dan wali dari Allah k, yang tercurahkan dalam hati, yang bisa didapatkan baik saat terjaga ataupun tidur, sehingga terbukalah rahasia ilmu yang ada di Lauhul Mahfuzh. Hal ini terkadang mereka namakan ilmu laduni, yang tidak akan berakhir seperti berhentinya wahyu kepada para nabi. (Ash-Shufiyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114-115)<br />Bahkan Al-Ghazali berkata: “Sesung-guhnya hati, di hadapannya siap tergelar hakekat sesuatu yang haq dalam semua urusan. Bahkan tercurahkan segala bentuk yang rahasia dan tersingkap dengan mata hati, menjadikan apa yang tertulis di Lauhul Mahfuzh terpampang, sehingga bisa mengetahui apa yang akan terjadi.”<br />Kemudian beliau menambahkan: “Berbagai urusan tersingkap bagi para nabi dan wali. Dan suatu cahaya tertuang dalam hati mereka yang didapatkan tanpa belajar, mengkaji, menulis, dan buku-buku, yang diraih dengan zuhud di dunia. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/18-19)<br />Beliau juga berkata: “Sesungguhnya ilmu-ilmu yang didapatkan para nabi dan wali itu melalui pintu batin atau melalui hati, dan melalui pintu yang terbuka dari alam malakut/ Lauhul Mahfuzh.” (Ihya` ‘Ulu-middin, 3/20)<br />Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah berkata: “Perkataan Al-Gha-zali tentang kenabian merupakan kepanjangan tangan Ibnu Sina yang menganggap bahwa para nabi memiliki tiga kekuatan: kekuatan kesucian, kekuatan khayalan, kekuatan perasaan dan batin.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashaw-wufuhu hal. 35)<br />Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah menukilkan ucapan Al-Ghazali dalam kitab Al-Jawahirul Ghali: “Tidak ada perbedaan sedikitpun antara wahyu dan ilham, bahkan dalam kehadiran malaikat yang memberikan faedah ilmu. Sesungguhnya ilmu didapatkan dalam hati kita dengan perantara para malaikat.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 38)<br />Ibnu Taimiyyah v berkata: “Sesung-guhnya yang terkandung dalam ucapan mereka adalah bahwa berita-berita dari Rasulullah n tidaklah berfaedah sedikitpun dalam sisi ilmiah. Bahkan hal yang seperti itu bisa diraih oleh setiap orang dengan musyahadah1, nur, dan kasyaf.” (Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql, 5/347)<br />Al-Ghazali bahkan menghina para fuqaha dengan ucapannya: “Para fuqaha hanyalah sekedar ulama dunia dan tugas mereka tidak lebih dari itu.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/18)<br />Ibnul Jauzi v berkata: “Kebenciannya kepada para fuqaha merupakan kezindiqan terbesar. Karena para fuqaha selalu menghadirkan fatwa-fatwa tentang kesesatan dan kefasikan mereka. Dan sungguh al-haq itu berat sebagaimana beratnya zakat.” (Talbis Iblis hal. 374)<br />Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyyah berkata: “Fiqih merupakan suatu upaya untuk membenahi sesuatu yang zhahir dan yang batin. Allah k berfirman:<br /><br />وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَ يَفْقَهُوْنَ<br /><br />“Akan tetapi orang-orang munafiq tidaklah memahami.” (Al-Munafiqun: 7)<br />Jikalau hati-hati mereka bersih dan tercermin dalam zhahir-zhahirnya, sungguh mereka adalah orang yang memahami. Ingatlah pemimpin para fuqaha, Ibnu ‘Abbas c yang didoakan oleh Nabi n: ‘Ya Allah, fahamkanlah dia dalam urusan agama’.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-tuhu wa Tashawwufuhu hal. 45)<br />Perilaku Shufiyyah merupakan pintu kesombongan, kecongkakan dan sikap ekstrim dalam memposisikan diri mereka. Mereka telah melupakan Rasulullah n sebagai seorang nabi yang membawa kesempurnaan syariat dan akhlak yang mulia. Allah k berfirman:<br /><br />الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا<br /><br />“Hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian dan telah Aku sempurnakan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)<br /><br />لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ إِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ<br /><br />“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.” (Ali ‘Imran: 164)<br /><br />7. Tentang ajaran wihdatul wujud, Al-Ghazali berkata menyebutkan tingkatan orang-orang shiddiqin: “Mereka adalah segolongan kaum yang melihat Allah jk dalam keesaan-Nya. Dengan-Nya, mereka melihat segala sesuatu. Dan tidaklah mereka melihat dalam dua tempat selain dari-Nya, dan tidaklah mereka memperhatikan alam wujud selain Dia. Inilah memperhatikan de-ngan pandangan tauhid. Hal ini mengajarkan kepadamu bahwa yang bersyukur adalah yang disyukuri. Dan dia adalah yang mencintai dan yang dicintai2. Inilah pandangan seseorang yang mengetahui bahwa tidaklah ada di alam yang wujud ini melainkan Dia.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/86)<br />Bahkan terdapat keterikatan yang kuat antara Al-Ghazali dan Al-Hallaj yang meyakini aqidah wihdatul wujud, bahkan sebagai puncak dari tauhid. (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/247)<br />Ibnu Taimiyyah v berkata membantah keyakinan yang bejat ini: “Para salaf mengkafirkan Jahmiyah karena perkataan mereka bahwa Allah k berada di semua tempat. Di antara bentuk pengingkaran para salaf adalah: Bagaimana mungkin Allah k berada di perut, di tempat-tempat kotor, di tempat-tempat sunyi? Maha Tinggi Allah dari perkara tersebut! Lalu bagaimanakah dengan mereka yang menjadikan perut, tempat-tempat kotor, tempat-tempat sunyi, barang-barang najis, dan kotoran-kotoran sebagai bagian dari Dzat-Nya?” (Majmu’ Fatawa, 2/126)<br />Ahlus Sunnah meyakini bahwa Allah k ber-istiwa` di atas ‘Arsy dan Allah k tidak membutuhkan ‘Arsy. Dan Allah k tidaklah serupa dengan makhluk dalam segala sifat-Nya.<br />Allah k berfirman:<br /><br />الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى<br /><br />“Ar-Rahman ber-istiwa` di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)<br /><br />إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِيْ سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ<br /><br />“Sesungguhnya Rabb kalian telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari kemudian ber-istiwa` di atas Arsy.” (Yunus: 3)<br /><br />لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ<br /><br />“Tidaklah Allah serupa dengan apapun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)<br /><br />8. Ajaran khalwat atau menyendiri dan menyepi, dan kesalahan dalam memahami ‘uzlah. Al-Ghazali berkata: “Dalam ‘uzlah (menyingkir dan menjauhi umat), ada jalan keluar (kedamaian). Adapun dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar akan meninggalkan perselisihan dan membangkitkan kedengkian hati. Dan siapapun yang mencoba beramar ma’ruf niscaya kebanyakannya akan menyesal.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 2/228)<br />Bahkan dengan khalwat akan tersingkap kehadiran Rabb dan nampak baginya Al-Haq. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/78)<br />Syarat-syarat khalwat menurut kaum Shufi:<br /> Meminta bantuan dengan ruh para syaikh, dengan perantara gurunya.<br /> Menyibukkan diri dengan dzikir sehingga nampak Allah k baginya.<br /> Bertempat di ruangan yang gelap dan jauh dari suara serta gerakan manusia.<br /> Tidak berbicara.<br /> Tidak memikirkan kandungan makna Al-Qur`an dan hadits, karena akan menyibukkan dari dzikir yang sebenarnya.<br /> Tidak boleh masuk dan keluar dari tempat khalwat kecuali dengan izin dari syaikhnya.<br /> Selalu mengikat hati dengan mengingat syaikh. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 186)<br />Ini merupakan amalan-amalan yang akan menguburkan nilai-nilai agama yang suci, akibat salah memahami ‘uzlah dan upaya meniru gaya kependetaan.<br />Makna ‘uzlah bukanlah khalwat ala Shufiyyah yang rancu. Maknanya adalah menjauhi suatu fitnah agar tidak menimpanya, baik itu di dalam rumah ataupun di suatu tempat, yang apabila telah hilang fitnah tersebut maka dia kembali melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, berdakwah, dan berjihad di jalan-Nya. (lihat Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 188)<br />Suatu fitnah harus dihadapi dengan ilmu dan bimbingan yang benar, bukan dengan sikap emosional atau mengekor pola-pola orang kafir. (baca kitab Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan)<br /><br />9. Al-Ghazali lebih mengutamakan as-sama’ (mendengarkan nasyid dan dendang kerohanian) daripada membaca Al-Qur`an. Setelah menceritakan keutamaan as-sama’, beliau berkata: “Dan apabila hati telah terbakar (mabuk) dalam kecintaan kepada Allah k, maka untaian bait syair yang aneh akan lebih membangkitkan sesuatu yang tidak bisa dibangkitkan dengan membaca Al-Qur`an.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 2/301)<br />Keganjilan kaum Shufi ini merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat. Ibnu Taimiyyah v berkata: “Berkumpul untuk mendengarkan dendangan-dendangan rohani baik yang diiringi tepuk tangan, dawai, ataupun rebana, merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat, baik Ahlush Shuffah atau yang lainnya. Demikian pula para tabi’in (tidak pernah melakukannya).” (Majmu’ Fatawa, 11/57)<br />Al-Imam Asy-Syafi’i v berkata: “Tidaklah aku tinggalkan Baghdad kecuali telah muncul at-taghbir (dendang kerohanian) yang dibuat orang-orang zindiq, yang hanya menghalangi manusia dari Al-Qur`an. Dan Yazid bin Harun berkata: “Tidaklah melakukan at-taghbir kecuali orang fasiq.” (Majmu’ Fatawa, 11/569)<br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v berkata: “Orang yang membiasakan mencari semangat dengan as-sama’ niscaya tidak akan lembut dan senang hatinya dengan Al-Qur`an. Dan dia tidak akan mendapatkan apapun saat mendengarkan Al-Qur`an sebagaimana ketika mendengarkan bait-bait syair. Bahkan apabila mendengarkan Al-Qur`an, dia akan mendengarkan dengan hati dan lisan yang lalai.” (Majmu’ Fatawa, 11/568)<br />Orang-orang Shufi telah melupakan firman Allah k:<br /><br />إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ<br /><br />“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah apabila diingatkan tentang Allah maka hati-hati mereka bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)<br /><br />أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ<br /><br />“Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah hati akan tenang.” (Ar-Ra’d: 28)<br /><br />10. Kesalahan yang fatal dalam memahami makna tawakkal, sehingga menghilangkan sebab yang harus ditempuh. Al-Ghazali berkata: “Telah diceritakan dari Banan Al-Hammal: ‘Suatu hari saya dalam perjalanan pulang dari Mesir, dan saya membawa bekal keperluanku. Datanglah kepadaku seorang wanita dan menasehatiku: ‘Wahai Banan, engkau adalah tukang pembawa yang selalu membawa bekal di punggungmu dan engkau menyangka bahwa Dia tidak memberimu rizki?’ Banan berkata: ‘Maka aku buang bekalku’.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/271)<br />Hal ini sangatlah berseberangan dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah k berfirman:<br /><br />وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى<br /><br />“Hendaknya kalian mengambil bekal, dan sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197)<br />Asy-Syaikh As-Sa’di v berkata: “Allah n memerintahkan untuk membawa bekal bagi safar yang mubarak (diberkahi) ini (yakni haji). Sesungguhnya persiapan bekal akan mencukupinya dan bisa mencegah dari harta orang lain, tidak mengemis dan meminta bantuan. Bahkan dengan memperbanyak bekal akan bisa menolong para musafir.” Kemudian beliau berkata: “Adapun bekal yang hakiki yang akan terus bermanfaat di dunia dan di akhirat adalah bekal takwa, inilah bekal untuk menuju rumah abadi.” (Taisirul Karimirrahman hal. 74)<br />Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa menyimpan persediaan makanan untuk 40 hari atau kurang dari itu, maka akan terharamkan dari al-maqam al-mahmud (kedudukan terpuji) yang dijanjikan kepada orang yang bertawakkal di akhirat kelak.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/276)<br />Al-’Iraqi berkata setelah menyebutkan hadits bahwa Rasulullah n mempersiapkan makanan untuk keluarganya selama satu tahun yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari: “Apakah Rasulullah n telah keluar dari tingkatan orang-orang yang bertawakkal, sebagaimana yang diterangkan Al-Ghazali dalam manhajnya yang rusak dalam masalah tawakkal?” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 79)<br />Bahkan ketika orang-orang Nasrani menyerbu negeri Baghdad, ia lebih memilih untuk ber-khalwat daripada berjihad. (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 89)<br /><br />11. Menjauhi suatu yang fitrah, bahkan yang diperintahkan Rasulullah n, seperti nikah.<br />Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa menikah maka sungguh dia telah cenderung kepada dunia.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/101)<br />Hal ini sangat menyelisihi sabda Rasulullah n:<br /><br />تَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلاَ تَكُوْنُوا كَرَهْبَانِيَّةِ النَّصَارَى<br /><br />“Menikahlah kalian, sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umat dari kalian, dan janganlah kalian meniru kependetaan Nasrani.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 4/385, hadits no. 1782. Beliau mengatakan hadits ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 7/78)<br /><br />Peringatan Ulama Salaf terhadap Kitab Ihya` ‘Ulumiddin3<br />Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdur-rahman Alusy Syaikh berkata: “Di dalam kitab Ihya`, beliau (yakni Al-Ghazali) menu-lis dengan metode filsafat dan ilmu kalam dalam banyak pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan ketuhanan dan teologi, serta membingkai filsafat dengan syariat. Ibnu Taimiyyah berkata: ‘Namun Abu Hamid telah memasuki ruang lingkup ilmu filsafat dalam banyak hal, yang Ibnu ‘Aqil menyatakan ilmu filsafat sebagai bagian dari zindiq’.<br />Ibnul ‘Arabi, murid Al-Ghazali mengatakan: “Guru kami Abu Hamid telah masuk dalam cengkeraman ilmu filsafat, dan beliau ingin melepaskannya namun tidak berhasil.”4<br />Abu ‘Ali Ash-Shadafi berkata: “Syaikh Abu Hamid terkenal dengan berbagai berita buruk dan memiliki karya yang besar. Beliau sangat ekstrim dalam tarekat Shufiyyah dan mencurahkan waktunya untuk membela madzhabnya, bahkan menjadi penyeru dalam Shufiyyah. Beliau mengarang berba-gai tulisan yang terkenal dalam hal ini dan membahasnya dalam berbagai tempat, sehingga mengakibatkan umat berburuk sangka kepadanya. Sungguh Allah Yang Maha Tahu rahasianya. Dan penguasa di tempat kami di negeri Maghrib –berdasarkan fatwa para ulama– telah memerintahkan untuk membakar dan menjauhi karyanya.”<br />Adz-Dzahabi berkata: “Karyanya ini penuh dengan musibah yang sungguh sangat tidak menyenangkan.”<br />Ahmad bin Shalih Al-Jaili: “(Al-Ghazali adalah) seorang yang fatwa-fatwanya terbangun dari sesuatu yang tidak jelas. Di dalamnya banyak riwayat-riwayat yang dicampuradukkan antara sesuatu yang tsabit/jelas dengan yang tidak tsabit. Demikian pula apa yang dia nisbatkan kepada para ulama salaf, tidak mungkin untuk dibenarkan semuanya. Ia juga menyebutkan berbagai kejadian-kejadian para wali dan renungan-renungan para wali sehingga mengagungkan posisi mereka. Ia mencampurkan sesuatu yang manfaat dan yang berbahaya.”<br />Abu Bakr Ath-Thurthusi berkata: “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya` dengan berbagai kedustaan atas nama Rasulullah n. Dan tidaklah ada di atas bumi yang lebih banyak kedustaan darinya, sangat kuat keterikatannya dengan filsafat dan risalah Ikhwanush Shafa, yaitu segolongan orang yang menganggap bahwa kenabian adalah sesuatu yang bisa diraih manusia biasa dan mu’jizat hanyalah halusinasi dan khayalan.”<br />Semoga Allah k selalu menjaga kita dari tipu daya, kesesatan dan makar setan.<br />Wallahu a’lam.<br /><br />1 Musyahadah menurut kalangan Shufi adalah melihat kehadiran Allah k yang kemudian memberikan/membuka rahasia-rahasia-Nya kepada hamba-Nya.<br />2 Maksudnya dia telah bersatu dengan Allah, sehingga tidak lagi terpisah antara dia dengan Allah.<br />3 Diambil dari kitab At-Tahdzirul Mubin min Kitab Ihya` ‘Ulumiddin karya Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman Alusy Syaikh<br />4 Tentang akhir kehidupan Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah v mengatakan: “...Oleh karena itu, menjadi jelas baginya (Al-Ghazali, ed) di akhir hayatnya bahwa jalan tasawuf tidaklah menyampaikan kepada tujuannya. Kemudian ia mencari petunjuk melalui hadits-hadits Nabi n. Mulailah ia menyibukkan diri dengan Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan ia meninggal di tengah kesibukannya itu, dalam keadaannya yang paling baik. Beliau juga membenci apa yang terdapat dalam bukunya berupa perkara-perkara semacam itu, yaitu perkara yang diingkari oleh orang-orang.” (‘Aqidah Asfahaniyyah, hal. 108, ed)<br /><br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-85411701244101465262010-03-01T00:10:00.000-08:002010-03-01T00:10:00.812-08:00Tasawuf dan Pengkultusan NabiRasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam adalah sebaik-baik manusia, tidak ada yang melebihi beliau dalam hal kemuliaan dan kehormatan. Oleh karena itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan beliau sebagai suri tauladan terbaik bagi umat manusia. Allah berfirman (artinya): “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam itu suri tauladan bagi kalian.” (Al Ahzab: 21)<br /><br />Beliaulah yang harus kita cintai melebihi kecintaan terhadap diri kita sendiri, orang tua, anak, istri dan seluruh umat manusia. Namun Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam melarang umatnya dari sikap berlebihan, terkhusus sikap pengkultusan terhadap diri beliau Shalallahu’alaihi Wassallam. Sebagaimana beliau bersabda:<br />لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مِرْيَمَ ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ ، فَقُوْلُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ<br />“Janganlah kalian mengkultuskan diriku, sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Hanyalah aku ini seorang hamba, maka katakanlah: “(Aku adalah) hamba Allah dan Rasul-Nya.” (H.R Al Bukhari)<span class="fullpost"><br />Sangatlah disayangkan ternyata kaum Sufi merupakan kaum yang paling gencar melanggar perintah Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam tersebut. Sekian banyak bukti pengkultusan mereka terhadap Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam<br />terdapat dalam karya tulis tokoh-tokoh tersohor mereka. Sampai-sampai pengkultusan tersebut menjerumuskan mereka ke dalam jurang kesyirikan, baik dalam hal rububiyah, uluhiyah, ataupun asma’ wa sifat.<br /><br />DIANTARA BUKTI PENGKULTUSAN KAUM SUFI TERHADAP RASUL Shalallahu’alaihi Wassallam<br /><br />Gambaran pengkultusan kaum Sufi terhadap Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam sangatlah beraneka ragam, yang kesemuanya bermuara dari kedustaan, khayalan atau kebodohan. Dapatlah kita simak gambaran-gambaran tersebut melalui bukti-bukti berikut ini :<br />1. Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam Diciptakan Dari Nur (Cahaya) Allah Subhanahu Wa Ta’ala<br /><br />Diantara tokoh Sufi yang berpendapat demikian adalah Ibnu Arabi di dalam Al Futuhat Al Makkiyyah 1/119, Abdul Karim Al Jaili di dalam Al Insaanul Kaamil 2/46 dan beberapa yang lainnya.<br />Demi memudahkan penyebaran aqidah sesat ini, mereka memunculkan hadits yang tidak diketahui asal usulnya yang didustakan atas nama Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam yaitu:<br />أَنَّ اللهَ تَعَالى خَلَقَ نُوْرِ نَبِيِّهِ مِنْ نُوْرِهِ<br />“Bahwasanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan cahaya nabi-Nya dari cahaya-Nya”<br />Allah Subhanahu Wa Ta’ala membantah keyakinan keji ini dengan menyatakan bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam adalah seorang manusia sedangkan manusia itu diciptakan dari tanah bukan dari cahaya. Allah berfirman (artinya):<br />“Katakanlah (wahai Muhammad) :” Maha Suci Tuhanku, aku tidak lain adalah seorang manusia dan rasul.” (Al Israa’: 93)<br /><br />Dia juga berfirman (artinya): “Dan Allah menciptakan kalian (manusia) dari tanah, kemudian nuthfah lalu menjadikan kalian berpasang-pasangan.” (Faathir: 11)<br /><br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam diciptakan dari unsur tanah dan tidak ada satupun manusia yang diciptakan dari cahaya. Disamping itu, keutamaan sebagian makhluk dibanding makhluk lainnya bukanlah karena unsur diciptakannya. Bahkan Nabi Adam beserta anak keturunannya yang shalih itu lebih utama dari malaikat walaupun malaikat tersebut diciptakan dari cahaya. (Disarikan dari Majmu’ Fatawa 11/94-95)<br /><br />2. Seluruh Alam Semesta Diciptakan Dari Nur (cahaya) Muhammad (Aqidah Nur Muhammadi)<br />Abdul Karim Al Jaili berkata: “Dan tatkala Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan seluruh alam semesta ini dari nur Muhammad, maka hati Muhammad Shalallahu’alaihi Wassallam itu merupakan bagian yang malaikat Israfil diciptakan darinya –lalu dia mengatakan– sesungguhnya Al Aqlu Al Awwal yaitu Muhammad Shalallahu’alaihi Wassallam, Allah ciptakan darinya Jibril sehingga Muhammad Shalallahu’alaihi Wassallam adalah ayah Jibril dan asal usul dari seluruh alam.” (Al Insaanul Kaamil 2/26-27).<br />Dari dua jenis keyakinan kufur ini, dapat disimpulkan bahwa Allah menciptakan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam dari cahaya-Nya, kemudian dari cahaya tersebut terciptalah seluruh alam semesta. Sehingga tidaklah yang ada di alam semesta ini melainkan bagian dari Dzat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Muncullah dari sini keterkaitan kedua keyakinan itu dengan aqidah Manunggaling Kawula Gusti. Sebuah skenario yang benar-benar keji. Wallahul Musta’an!!<br /><br />3. Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam Memiliki Beberapa Sifat Ketuhanan (Rububiyyah) Sehingga Berhak Diibadahi<br />Keyakinan kufur ini tidaklah terlepas dari konsekuensi yang diraih ketika mereka menyatakan tentang aqidah Manunggaling Kawula Gusti. Dan inilah yang ditegaskan sendiri oleh pujangga-pujangga syair tersohor mereka.<br />Al Bushiri berkata di dalam syairnya yang terkenal:<br />Maka sesungguhnya diantara kedermawananmu (Muhammad) adalah adanya dunia dan akhirat<br />Dan diantara ilmumu adalah ilmu tentang Lauhul Mahfudh dan Al Qalam (yaitu ilmu tentang segala takdir di alam semesta ini)<br />(Burdatul Madiih hal. 35 yang terkenal dengan Qasidah Burdah).<br />Yusuf An Nabhani menukil perkataan Syamsuddin At Tuwaji Al Mishri:<br />Wahai utusan Allah, sesungguhnya aku ini lemah<br />Maka sembuhkanlah aku karena sesungguhnya engkau adalah pangkal kesembuhan<br />Wahai utusan Allah, bila engkau tidak menolongku<br />Maka pada siapa lagi menurutmu aku akan bersandar<br />(Syawaahidul Haq hal. 352)<br />Betapa jauhnya penyimpangan mereka dari aqidah yang benar?!!, padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya):<br />“Katakanlah (wahai Muhammad): “Aku tidaklah memiliki manfaat atau dapat mencegah bahaya dari diriku sendiri kecuali yang Allah kehendaki. Kalau seandainya aku mengetahui yang ghaib maka tentunya aku dapat memperbanyak kebaikan untukku dan tidak ada satupun bahaya yang menimpaku”. (Al A’raaf:188)<br /><br />“Dan bila Allah menimpakan kepadamu suatu kejelekan maka tidak akan ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia saja. Dan apabila Dia mendatangkan kebaikan kepadamu maka Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Al An’aam:17)<br /><br />4. Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam Dapat Dilihat Di Dunia Dalam Keadaan Terjaga (Setelah Beliau Meninggal Dunia)<br />Keyakinan ini mereka ambil berdasarkan hikayat-hikayat dusta yang berasal dari tokoh-tokoh tarekat mereka.<br />Asy Sya’rani menyatakan bahwa Abul Mawaahib Asy Syadzali berkata: “Aku pernah melihat Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam lalu berkata kepadaku tentang diri beliau: “Aku sebenarnya tidaklah mati. Hanyalah kematianku (sekarang ini) sebagai persembunyianku dari orang-orang yang tidak mengerti tentang Allah.” Maka akupun melihat beliau dan beliaupun melihat aku.” (Thabaqatul Kubra 2/69 karya Asy Sya’rani).<br />Bahkan dengan tegas Abul Mawaahib membawakan sabda Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam<br />dengan dusta bahwa barangsiapa yang tidak percaya dengan pertemuan dirinya dengan beliau, kemudian dia mati, maka dia mati dalam keadaan sebagai seorang Yahudi, Nashrani atau Majusi!! (Thabaqatul Kubra 2/67)<br />Sebagian murid Khaujili bin Abdirrahman (seorang tokoh Sufi jaman ini) menceritakan bahwa gurunya ini pernah melihat Rasulullah sebanyak 24 kali dalam sehari sedangkan dia dalam keadaan sadar. (Thabaqat Ibni Dhaifillah hal. 190)<br />Hikayat-hikayat yang mereka ceritakan ini sebenarnya mengandung beberapa perkara yang batil, diantaranya:<br />a. Jasad Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam yang ada di kubur dapat kembali ke alam dunia. Padahal Allah Subhanahu Wa Taala berfirman (artinya): “Dan di belakang mereka terdapat dinding (pemisah antara alam kubur dengan alam dunia) sampai hari mereka dibangkitkan (hari kiamat)”. (Al Mu’minuun: 100)<br />b. Rasulullah sekarang ini tidak meninggal dunia. Allah Subhanahu Wa Taala membantah hal ini dengan firman-Nya (artinya): “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan merekapun akan mati (pula).” (Az Zumar: 30)<br />Kedua kandungan ini cukuplah sebagai bukti tentang sikap berlebihan (pengkultusan) mereka terhadap pribadi Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam.<br /><br />Ketika aqidah rusak mereka ini mulai terkuak, maka muncullah beragam pendapat lagi di dalam mengkaburkan maksud kalimat “melihat Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam dalam keadaan terjaga”. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam bisa dilihat dengan menjelma sebagai seorang syaikh terekat mereka, bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam bisa dilihat dengan mata hati bukan mata kepala, Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam bisa dilihat dalam keadaan antara tidur dan terjaga ataupun yang dilihat itu adalah ruh beliau bukan jasadnya. Pendapat terakhir ini diucapkan oleh tokoh Sufi jaman sekarang yaitu Muhammad Alwi Al Maliki dalam kitab Adz Dzakhaa’ir Al Muhammadiyah hal. 259 (Khasha’ishul Musthafa hal. 217-218).<br /><br />Ternyata keyakinan ini –yang sebenarnya telah terkuak kebatilannya– dijadikan kaum Sufi sebagai salah satu jembatan untuk memunculkan ajaran-ajaran baru (bid’ah) yang belum pernah diajarkan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam di masa beliau masih bersama para sahabatnya dahulu. Satu lagi skenario jahat untuk menodai ajaran agama suci ini.<br /><br />Demikian pula pernyataan sesat yang dilontarkan Umar Al Fuuti bahwa Ahmad At Tijani (pendiri tarekat At Tijaniyah) pernah diijinkan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam untuk mengajari manusia setelah bersemedi, kemudian beliau menetapkan sebuah wirid tertentu kepada dirinya, yang sebelumnya beliau mengabarkan tentang kedudukan Ahmad At Tijani yang tinggi, keutamaan wirid tersebut dan janji Allah kepada siapa saja yang mencintai Ahmad At Tijani dari kalangan pengikutnya (Rimaahu Hizbirrahiim 1/191).<br /><br />Muhammad As Sayyid At Tijani mengungkapkan bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam bersama para Al Khulafaur Rasyidin pernah menghadiri majelis wirid Ahmad At Tijani. Lalu beliau Shalallahu’alaihi Wassallam memberikan syafa’at kepada hadirin ketika itu. (Al Hidayah Ar Rabbaniyah hal. 12)<br /><br /><br />WIRID-WIRID BID’AH KAUM SUFI<br />Mereka tidak hanya menuangkan pengkultusan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam melalui pendapat ataupun untaian-untaian syair saja, tetapi juga melalui wirid dalam bentuk shalawat nabi. Bahkan, dengan shalawat inilah banyak sekali kaum muslimin –walaupun tidak terikat dengan ajaran mereka– terjatuh ke dalam jeratan mereka. Hal ini disebabkan beberapa perkara, diantaranya:<br /><br />a. Mereka tidak jarang membawakan ayat-ayat ataupun hadits-hadits shahih yang masih bersifat umum yang menganjurkan seorang muslim untuk bershalawat atau berdzikir.<br />b. Hikayat-hikayat dusta yang menceritakan tentang keutamaan-keutamaan membaca shalawat tertentu.<br /><br />Di antara shalawat yang sangat terkenal di tengah kaum muslimin adalah shalawat Al Faatih yang apabila membacanya mendapatkan keutamaan seperti membaca Al Qur’an sebanyak 6000 kali, shalawat Nariyah yang apabila membacanya sebanyak 4444 kali maka hajatnya akan terpenuhi atau terlepas dari kesulitan, dan juga beberapa shalawat lainnya yang kental dengan nuansa kesyirikan di dalam kitab Dalaailul Khairaat karya Muhammad bin Sulaiman Al Jazuli yang sering dibaca sebagian kaum muslimin terutama pada hari Jum’at.<br />(Untuk lebih rincinya, insya Allah akan diangkat topik “Sufi dan Shalawat-shalawat Bid’ah Mereka”)<br /><br />HADITS-HADITS LEMAH DAN PALSU YANG TERSEBAR DI KALANGAN UMAT<br />Hadits Ibnu Umar :<br />مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ<br />“Barangsiapa yang menziarahi kuburku maka berhak baginya syafa’atku”<br />Keterangan:<br />Hadits ini mungkar karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Musa bin Hilal Al ‘Abdi. Beberapa ulama ahli hadits seperti Abu Hatim, Al Bukhari, An Nasai, Al Hakim, Ibnu Abdil Hadi, Ibnu Hajar dan Al Baihaqi sendiri (yang meriwayatkan hadits tersebut) mengkritik perawi tersebut. Asy Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits tersebut mungkar. (Irwa’ul Ghalil no. 1128)<br /><br />Hadits-hadits yang semakna dengan hadits di atas kerapkali dibawakan para tokoh Sufi didalam mengajak kaum muslimin untuk meyakini adanya keutamaan tertentu di dalam menziarahi makam beliau, sampai akhirnya mengkultuskan beliau seperti bertawasul atau berdoa kepada beliau dan mengkeramatkan makam beliau.<br />Adapun ziarah ke kubur beliau dan juga selain beliau maka hal ini diperbolehkan selama dengan tujuan dan cara yang diajarkan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam.<br /><br />(Sumber : Buletin Islam Al Ilmu Edisi 49/II/III/ 1426, Jember.<br />Dikirim via email oleh al Al Akh Hardi Ibn Harun.)<br /><br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-84494184169123378802010-03-01T00:08:00.000-08:002010-03-01T00:08:00.160-08:00TASAWUF DAN CINTA NABI ?Terlebih bagi seorang muslim yang merindukan syafa’atnya, ia pun selalu melantunkan shalawat dan salam tersebut setiap kali disebutkan nama beliau Shallallahu 'alaihi wassalam. Karena memang shalawat kepada beliau Shallallahu 'alaihi wassalam merupakan ibadah mulia yang diperintahkan oleh Allah Ta'ala.<br /><br />Allah Ta'ala berfirman :<br /><br />إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا<br /><br />(artinya): “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian kepada Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya”. (Al Ahzab: 56)<br /><br />Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda (artinya): “Barangsiapa bershalawat kepadaku sekali saja, niscaya Allah akan membalasnya dengan shalawat sepuluh kali lipat.” (H.R. Al Hakim dan Ibnu Sunni, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’)<br /><br />Demikianlah kedudukan shalawat Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam dalam agama Islam. Sehingga di dalam mengamalkannya pun haruslah dengan petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassalam.<br /><br />Sebaik-baik shalawat, tentunya yang sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam dan sejelek-jelek shalawat adalah yang menyelisihi petunjuknya Shallallahu 'alaihi wassallam. Karena beliau Shallallahu 'alaihi wassalam lebih mengerti shalawat manakah yang paling sesuai untuk diri beliau Shallallahu 'alaihi wassallam.<br /><br />Diantara shalawat-shalawat yang telah dituntunkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam kepada umatnya, yaitu:<br /><br />اللّهُمَّ صّلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ، اللهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ<br /><br />“Ya, Allah curahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah curahkan shalawat kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, curahkanlah barakah kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah curahkan barakah kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)<br /><br />Dan masih banyak lagi shalawat yang dituntunkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam . Adapun shalawat-shalawat yang menyelisihi tuntunan Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam maka cukup banyak juga, diantaranya beberapa shalawat yang biasa dilantunkan oleh orang-orang Sufi ataupun orang-orang yang tanpa disadari terpengaruh dengan mereka.<br /><br />Beberapa Shalawat ala Sufi<br /><br />1. Shalawat Nariyah<br /><br />Shalawat jenis ini banyak tersebar dan diamalkan di kalangan kaum muslimin. Dengan suatu keyakinan, siapa yang membacanya 4444 kali, hajatnya akan terpenuhi atau akan dihilangkan kesulitan yang dialaminya. Berikut nash shalawatnya:<br /><br />اللهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تآمًا عَلَى سَيِّدِنَا مًحَمَّدٍ الَّذِي تُنْحَلُ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَ تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِيْمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ عَدَدَ كَلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ<br /><br />“Ya Allah , berikanlah shalawat dan salam yang sempurna kepada Baginda kami Nabi Muhammad, yang dengannya terlepas semua ikatan kesusahan dan dibebaskan semua kesulitan. Dan dengannya pula terpenuhi semua kebutuhan, diraih segala keinginan dan kematian yang baik, dan dengan wajahnya yang mulia tercurahkan siraman kebahagiaan kepada orang yang bersedih. Semoga shalawat ini pun tercurahkan kepada keluarganya dan para sahabatnya sejumlah seluruh ilmu yang Engkau miliki.”<span class="fullpost"><br /><br />Para pembaca, bila kita merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah, maka kandungan shalawat tersebut sangat bertentangan dengan keduanya. Bukankah hanya Allah semata yang mempunyai kemampuan untuk melepaskan semua ikatan kesusahan dan kesulitan, yang mampu memenuhi segala kebutuhan dan memberikan siraman kebahagiaan kepada orang yang bersedih?!<br /><br />Allah Ta'ala berfirman :<br /><br />قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ<br /><br />(artinya): “Katakanlah (wahai Muhammad): Aku tidak kuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula mampu menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentunya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan tertimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa khabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al A’raf: 188)<br /><br />Dan juga firman-Nya :<br /><br />قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً<br /><br />(artinya): "Katakanlah (wahai Muhammad): Panggillah mereka yang kalian anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya." (Al-Isra: 56)<br /><br />Para ahli tafsir menjelaskan, ayat ini turun berkenaan dengan kaum yang berdo’a kepada Al Masih, atau malaikat, atau sosok orang shalih dari kalangan jin. (Tafsir Ibnu Katsir 3/47-48)<br /><br />Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam , lalu mengatakan: مَا شَاءَ اللهَُ وَ شِئْتَ<br /><br />"Berdasarkan kehendak Allah dan kehendakmu”. Maka beliau bersabda:<br /><br />أَجَعَلْتَنِيْ لِلَّهِ نِدًّا ؟!<br /><br />“Apakah engkau hendak menjadikanku sebagai tandingan bagi Allah? Ucapkanlah: مَا شَاءَ اللهَُ وَحْدَهُ “Berdasarkan kehendak Allah semata”. (HR. An-Nasa’i dengan sanad yang hasan) (Lihat Minhaj Al-Firqatin Najiyah hal. 227-228, Muhammad Jamil Zainu)<br /><br />Maka dari itu, jelaslah dari beberapa dalil diatas bahwasanya Shalawat Nariyah terkandung padanya unsur pengkultusan yang berlebihan terhadap diri Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam hingga menyejajarkannya dengan Allah Ta'ala. Tentunya yang demikian ini merupakan salah satu bentuk kesyirikan yang dimurkai oleh Allah dan Nabi-Nya.<br /><br />2. Shalawat Al Faatih (Pembuka)<br /><br />Nash shalawat tersebut adalah:<br /><br />اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ الفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ …<br /><br />"Ya Allah! berikanlah shalawat kepada Baginda kami Muhammad yang membuka segala yang tertutup ….”<br /><br />Berkata At-Tijani pendiri tarekat Sufi Tijaniyah - secara dusta - : “….Kemudian beliau (Nabi Shallahu 'alaihi wassalam) mengabarkan kepadaku untuk kedua kalinya, bahwa satu kali membacanya menyamai setiap tasbih yang terdapat di alam ini dari setiap dzikir, menyamai dari setiap do’a yang kecil maupun besar, dan menyamai membaca Al Qur’an 6.000 kali, karena ini termasuk dzikir.” (Mahabbatur Rasul 285, Abdur Rauf Muhammad Utsman)<br /><br />Para pembaca, demikianlah kedustaan, kebodohan dan kekafiran yang nyata dari seorang yang mengaku berjumpa dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam , karena ia berkeyakinan bahwa perkataan manusia lebih mulia 6.000 kali lipat daripada firman Allah Ta'ala.<br /><br />Bukankah Allah telah menegaskan dalam firman-Nya :<br /><br />وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلاً<br /><br />(artinya): “Dan siapakah yang perkatannya lebih benar dari pada Allah? (An Nisaa’:122)<br /><br />وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ<br /><br />“Dan sungguh telah sempurna kalimat Tuhanmu(Al Qur’an),sebagai kalimat yang benar dan adil.”(Al An’am:115)<br /><br />Demikian pula Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam telah menegaskan dalam sabdanya (artinya): “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah perkataan Allah “. (HR. Muslim)<br /><br />“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al Qur’an , maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan menjadi sepuluh kali semisal (kebaikan) itu. Aku tidak mengatakan: alif laam miim itu satu huruf, namun alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf.” (HR.Tirmidzi dan yang lainnya dari Abdullah bin Mas’ud yang dishahihkan oleh Asy Syaikh Al-Albani)<br /><br />Wahai saudaraku, dari beberapa dalil di atas cukuplah bagi kita sebagai bukti atas kebatilan shalawat Al Faatih, terlebih lagi bila kita telusuri kandungannya yang kental dengan nuansa pengkultusan terhadap Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam yang dilarang dalam agama yang sempurna ini.<br /><br />3. Shalawat Sa'adah (Kebahagiaan)<br /><br />Nash adalah sebagai berikut:<br /><br />اللهُمَّ صَلِّ عَلَ مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا فِيْ عِلْمِ اللهِ صَلاَةً دَائِمَةً بِدَوَامِ مُلْكِ اللهِ …<br /><br />“Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Baginda kami Muhammad sejumlah apa yang ada dalam ilmu Allah, shalawat yang kekal seperti kekalnya kerajaan Allah …”.<br /><br />Berkata An-Nabhani As-Sufi setelah menukilkannya dari Asy-Syaikh Ahmad Dahlan: ”Bahwa pahalanya seperti 600.000 kali shalat. Dan siapa yang rutin membacanya setiap hari Jum’at 1.000 kali, maka dia termasuk orang yang berbahagia dunia akhirat.” (Lihat Mahabbatur Rasul 287-288)<br /><br />Wahai saudaraku, mana mungkin shalat yang merupakan tiang agama dan sekaligus rukun Islam kedua pahalanya 600. 000 di bawah shalawat sa’adah ini?! Cukuplah yang demikian itu sebagai bukti atas kepalsuan dan kebatilan shalawat tersebut.<br /><br />4. Shalawat Burdatul Bushiri<br /><br />Nashnya adalah sebagai berikut:<br /><br />يَا رَبِّ بِالْمُصْطَفَى بَلِّغْ مَقَاصِدَنَا وَاغْفِرْ لَنَا مَا مَضَى يَا وَاسِعَ الْكَرَمِ<br /><br />“Wahai Rabbku! Dengan perantara Musthafa (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassallam ) penuhilah segala keinginan kami dan ampunilah dosa-dosa kami yang telah lalu, wahai Dzat Yang Maha Luas Kedermawanannya.”<br /><br />Shalawat ini mempunyai beberapa (kemungkinan) makna. Bila maknanya seperti yang terkandung di atas, maka termasuk tawasul kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam yang beliau telah meninggal dunia.<br /><br />Hal ini termasuk jenis tawasul yang dilarang, karena tidak ada seorang pun dari sahabat yang melakukannya disaat ditimpa musibah dan yang sejenisnya. Bahkan Umar bin Al Khathab ketika shalat istisqa’ (minta hujan) tidaklah bertawasul dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam karena beliau telah meninggal dunia, dan justru Umar meminta Abbas paman Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam (yang masih hidup ketika itu) untuk berdo’a. Kalaulah tawasul kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam ketika beliau telah meninggal dunia merupakan perbuatan yang disyari’atkan niscaya Umar melakukannya.<br /><br />Adapun bila mengandung makna tawasul dengan jaah (kedudukan) Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam maka termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama, karena hadits: تَوَسَّلُوا بِجَاهِي “Bertawasullah dengan kedudukanku”, merupakan hadits yang tidak ada asalnya (palsu). Bahkan bisa mengantarkan kepada kesyirikan disaat ada keyakinan bahwa Allah Ta'ala butuh terhadap perantara sebagaimana butuhnya seorang pemimpin terhadap perantara antara dia dengan rakyatnya, karena ada unsur menyamakan Allah dengan makhluk-Nya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. (Lihat Al Firqatun Najiyah hal. 85)<br /><br />Sedangkan bila maknanya mengandung unsur (Demi Nabi Muhammad) maka termasuk syirik, karena tergolong sumpah dengan selain Allah Ta'ala.<br /><br />Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda (artinya): “Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah berbuat kafir atau syirik.” ( HR At Tirmidzi, Ahmad dan yang lainnya dengan sanad yang shahih)<br /><br />Para pembaca, dari sekian makna di atas maka jelaslah bagi kita kebatilan yang terkandung di dalam shalawat tersebut. Terlebih lagi Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam dan para sahabatnya tidak pernah mengamalkannya, apalagi mengajarkannya. Seperti itu pula hukum yang dikandung oleh bagian akhir dari Shalawat Badar (bertawasul kepada Nabi Muhammad, para mujahidin dan ahli Badar).<br /><br />5. Nash shalawat seorang sufi Libanon:<br /><br />اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ حَتَّى تَجْعَلَ مِنْهُ الأَحَدِيَّةَ الْقَيُّوْمِيَّةَ<br /><br />"Ya Allah berikanlah shalawat kepada Muhammad sehingga Engkau menjadikan darinya keesaan dan qoyyumiyyah (maha berdiri sendiri dan yang mengurusi makhluknya)." Padahal Allah Ta'ala berfirman (artinya): ”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syura: 11)<br /><br />Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam sendiri pernah bersabda: “Janganlah kalian mengkultuskan diriku, sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Hanyalah aku ini seorang hamba, maka katakanlah: “(Aku adalah) hamba Allah dan Rasul-Nya.” (H.R Al Bukhari).<br /><br />Wallahu A’lam Bish Shawab<br /><br />Hadits-Hadits Palsu Dan Dha’if Yang Tersebar Di Kalangan Umat<br /><br />Hadits Anas bin Malik Radiyallahu 'anhu:<br /><br />مَنْ صَلَّى عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ثَمَانِيْنَ مَرَّةً غَفَرَ اللهُ لَهُ ذُنُوْبَ ثَمَانِيْنَ عَامًا<br /><br />“Barangsiapa bershalawat kepadaku pada malam Jum’at 80 kali, niscaya Allah akan mengampuni segala dosanya selama 80 tahun.”<br /><br />Keterangan:<br /><br />Hadits ini palsu, karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Wahb bin Dawud bin Sulaiman Adh Dharir. Al Khathib Al Baghdadi berkata: “Dia seorang yang tidak bisa dipercaya.” Asy Syaikh Al Albani berkata: “Sesungguhnya ciri-ciri kepalsuan hadits ini sangatlah jelas.” (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no. 215)<br /><br />(Sumber: Buletin Islam Al Ilmu, Jember Edisi 50/II/IV/1426. Dikirim oleh Al Akh Hardi Ibnu Harun via Email)<br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-48498206854159094022010-03-01T00:07:00.001-08:002010-03-01T00:07:00.659-08:00MANA BUKTIMU CINTA KPD NABI?Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi akhir zaman, kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.<br />Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan usahanya untuk membuktikan cintanya pada kekasihnya. Begitu pula kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun punya berbagai cara untuk membuktikannya. Namun tidak semua cara tersebut benar, ada di sana cara-cara yang keliru. Itulah yang nanti diangkat pada tulisan kali ini. Semoga Allah memudahkan dan memberikan kepahaman.<br />Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam<br />Allah Ta’ala berfirman,<br />قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ<br />“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24). Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.”[1] Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib.<span class="fullpost"><br />Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya. Allah Ta’ala berfirman,<br />النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ<br />“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al Ahzab: 6). Syihabuddin Al Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan sesuatu dan tidak ridho pada umatnya kecuali jika ada maslahat dan mendatangkan keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa mereka sendiri. Jiwa tersebut selalu mengajak pada keburukan.”[2] Oleh karena itu, kecintaan pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan pada diri sendiri.<br />‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu. Lalu Umar berkata, ”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata,<br />لاَ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ<br />”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).”[3]<br />Mengapa Kita Harus Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?<br />Mencintai seseorang dapat kembali kepada 2 alasan :<br />Alasan pertama: berkaitan dengan sosok yang dicintai<br />Semakin sempurna orang yang dicintai, maka di situlah tempat tumbuhnya kecintaan. Sedangkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam adalah manusia yang paling luar biasa dan sempurna dalam akhlaq, kepribadian, sifat dan dzatnya. Di antara sifat beliau adalah begitu perhatian pada umatnya, begitu lembut dan kasih sayang pada umatnya. Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati beliau dalam firman-Nya,<br />لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ<br />”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)<br />Alasan kedua: berkaitan dengan faedah yang akan diperoleh jika seseorang mencintai nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara faedah tersebut adalah:<br />[1] Mendapatkan manisnya iman<br />Dari Anas radhiyallahu ’anhu , Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:<br />ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ<br />“Tiga perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan manisnya iman yaitu: Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya; mencintai saudaranya hanya karena Allah; dan benci kembali pada kekufuran sebagaimana benci dilemparkan dalam api.”[4]<br />[2] Akan menjadikan seseorang bersama beliau di akhirat<br />Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,<br />أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ<br />“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.”[5]<br />Dalam riwayat lain, Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).” Anas pun mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”[6]<br />[3] Akan memperoleh kesempurnaan iman<br />Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ<br />“Seseorang tidaklah beriman (dengan sempurna) hingga aku lebih dicintainya dari anak dan orang tuanya serta manusia seluruhnya.”[7]<br />Dengan dua alasan inilah tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.[8]<br />Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam<br />Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa pun<br />Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk pilihan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِى هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِى مِنْ بَنِى هَاشِمٍ<br />“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah yang terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu Allah pilih Quraisy yang terbaik dari Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik dari Quraisy. Lalu Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani Hasyim.”[9]<br />Di antara bentuk mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari siapa pun yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi rujukannya bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang didahulukan adalah pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”[10]<br />Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam<br />Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman,<br />وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى (1) مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (2) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)<br />”Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)<br />Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam<br />Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau dengan pujian yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama adalah shalawat dan salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ<br />“Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.”[11]<br />Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang pada petunjuknya.<br />Allah Ta’ala berfirman,<br />قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ<br />“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31)<br />Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,<br />اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ<br />“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah) adalah sesat .”[12]<br />Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam<br />Sesungguhnya berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah salah satu prinsip mahabbah (cinta) dan ittiba’ (mengikuti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam). Tidak ada iman bagi orang yang tidak berhukum dan menerima dengan sepenuhnya syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman,<br />فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا<br />“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)<br />Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang keluar dari ajaran dan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah telah bersumpah dengan diri-Nya yang disucikan, bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala yang diperselisihkan di antara mereka dari perkara-perkara agama dan dunia serta tidak ada dalam hati mereka rasa keberatan terhadap hukumnya.”[13]<br />Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam<br />Membela dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu tanda kecintaan dan pengagungan. Allah Ta’ala berfirman,<br />لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ<br />“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr: 8)<br />Di antara contoh pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti diceritakan dalam kisah berikut. Ketika umat Islam mengalami kekalahan, Anas bin Nadhr pada perang Uhud mengatakan, ”Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu terhadap perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu dari perbuatan kaum musyrik.” Kemudian ia maju lalu Sa’ad menemuinya. Anas lalu berkata, ”Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium bau surga dari Uhud.” ”Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sebagaimana yang diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin Malik berkata, ”Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan pedang, tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah gugur dan kaum musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak ada seorang pun yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang mengenalinya dari jari telunjuknya.”[14]<br />Bentuk membela Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di antaranya:<br />[1] Membela para sahabat Nabi –radhiyallahu ’anhum-<br />Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda,<br />لَا تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ<br />”Janganlah mencaci maki salah seorang sahabatku. Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud (yang diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula separuhnya.”[15]<br />Di antara hak-hak para sahabat adalah mencintai dan meridhoi mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,<br />وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ<br />“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)<br />Sungguh aneh jika ada yang mencela sahabat sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah (Syi’ah). Mereka sama saja mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik dan selainnya rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya Rafidhah hanyalah ingin mencela Rasul. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu jelek, maka berarti sahabat-sahabatnya juga jelek. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu sholih, maka sahabatnya juga demikian.”[16] Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun Rafidhah, maka merekalah orang-orang yang sering mencela sahabat Nabi dan perkataan mereka. Hakikatnya, apa yang ada di batin mereka adalah mencela risalah Muhammad.”[17]<br />[2] Membela para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –radhiyallahu ’anhunna-<br />Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka ia pantas dihukum cambuk. Siapa saja yang mencela Aisyah, maka ia pantas untuk dibunuh.” Ada yang menanyakan pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka, maka ia telah mencela Al Qur’an karena Allah Ta’ala berfirman (agar tidak lagi menyebarkan berita bohong mengenai Aisyah, pen),<br />يَعِظُكُمَ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ<br />“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 17)”[18]<br />Ketujuh: Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam<br />Termasuk membela ajaran beliau shallallahu ’alaihi wa sallam ialah memelihara dan menyebarkannya, menjaganya dari ulah kaum batil, penyimpangan kaum yang berlebih-lebihan dan ta’wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu pula dengan membantah syubhat kaum zindiq dan pengecam sunnahnya, serta menjelaskan kedustaan-kedustaan mereka. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah mendo’akan keceriaan wajah bagi siapa yang membela panji sunnah ini dengan sabdanya,<br />نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ<br />“Semoga Allah memberikan kenikmatan pada seseorang yang mendengar sabda kami lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang yang diberi berita lebih paham daripada orang yang mendengar.”[19]<br />Kedelapan: Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam<br />Di antara kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ialah berkeinginan kuat untuk menyebarkan ajaran (sunnah)nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً<br />“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.”[20] Yang disampaikan pada umat adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.<br />Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah dengan Berbuat Bid’ah<br />Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan menyebarkan sunnah (ajaran) beliau. Oleh karenanya, konsekuensi dari hal ini adalah dengan mematikan bid’ah, kesesatan dan berbagai ajaran menyimpang lainnya. Karena sesungguhnya melakukan bid’ah (ajaran yang tanpa tuntunan) dalam agama berarti bukan melakukan kecintaan yang sebenarnya, walaupun mereka menyebutnya cinta.[21] Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ<br />“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[22]<br />Kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan tunduk pada ajaran beliau, mengikuti jejak beliau, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan serta bersemangat tidak melakukan penambahan dan pengurangan dalam ajarannya.[23]<br />Contoh cinta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah dengan melakukan bid’ah maulid nabi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.”[24]<br />Pandangan Ulama Ahlus Sunnah Tentang Maulid Nabi<br />[Pertama] Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy membawakan pasal “Di bulan Rabi’ul Awwal dan Bid’ah Maulid”. Dalam pasal tersebut, beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan Rabi’ul Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikr, ‘ibadah, nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang di dalamnya terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘ied sebagaimana digariskan oleh syari’at. … Bulan ini memang adalah hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya beliau. Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran beliau sekaligus juga kematiannya[?] Jika hari kelahiran beliau dijadikan perayaan, maka itu termasuk perayaan yang bid’ah yang mungkar. Tidak ada dalam syari’at maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.<br />Jika dalam maulid terdapat kebaikan,lalu mengapa perayaan ini dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan sahabat lainnya, juga tabi’in dan yang mengikuti mereka [?] Tidak disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan orang-orang sufi, orang yang serakah pada makanan, orang yang gemar menyiakan waktu dengan permainan sia-sia dan pengagung bid’ah. …”<br />Lalu beliau melanjutkan dengan perkataan yang menghujam, “Lantas faedah apa yang bisa diperoleh, pahala apa yang bisa diraih dari penghamburan harta yang memberatkan [?]”[25]<br />[Kedua] Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan Maulid)”.<br />Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah (teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau mau dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), maka yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’ (kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah). Karena yang namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau haram.”[26]<br />Penutup<br />Cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah dengan merayakan Maulid. Hakikat cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan mentaatinya. Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia juga akan semakin mentaatinya. Dari sinilah sebagian salaf mengatakan:<br />لهذا لما كَثُرَ الأدعياء طُولبوا بالبرهان ,قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ<br />Tatkala banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk mendatangkan bukti. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron: 31).[27] Orang yang cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu hanya mau mengikuti ajaran yang beliau syariatkan dan bukan mengada-ada dengan melakukan amalan yang tidak ada tuntunan, alias membuat bid’ah.<br />Insya Allah, pada kesempatan selanjutnya kita akan membahas kerancuan yang dikemukakan oleh orang-orang yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung acara Maulid Nabi. Semoga Allah mudahkan.<br />Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.<br />Diselesaikan pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal 1431 H, di Pangukan-Sleman.<br />***<br />Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal<br />Artikel: http://muslim.or.id/manhaj/mana-bukti-cintamu-pada-nabi.html <br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-75297169578511089182010-03-01T00:07:00.000-08:002010-03-01T00:07:00.895-08:00Kewajiban Mencintai NABISegala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi akhir zaman, kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.<br />Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan usahanya untuk membuktikan cintanya pada kekasihnya. Begitu pula kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun punya berbagai cara untuk membuktikannya. Namun tidak semua cara tersebut benar, ada di sana cara-cara yang keliru. Itulah yang nanti diangkat pada tulisan kali ini. Semoga Allah memudahkan dan memberikan kepahaman.<br />Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam<br />Allah Ta’ala berfirman,<br />قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ<br />“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24). Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.”[1] Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib.<span class="fullpost"><br />Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya. Allah Ta’ala berfirman,<br />النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ<br />“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al Ahzab: 6). Syihabuddin Al Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan sesuatu dan tidak ridho pada umatnya kecuali jika ada maslahat dan mendatangkan keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa mereka sendiri. Jiwa tersebut selalu mengajak pada keburukan.”[2] Oleh karena itu, kecintaan pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan pada diri sendiri.<br />‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu. Lalu Umar berkata, ”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata,<br />لاَ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ<br />”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).”[3]<br />Mengapa Kita Harus Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?<br />Mencintai seseorang dapat kembali kepada 2 alasan :<br />Alasan pertama: berkaitan dengan sosok yang dicintai<br />Semakin sempurna orang yang dicintai, maka di situlah tempat tumbuhnya kecintaan. Sedangkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam adalah manusia yang paling luar biasa dan sempurna dalam akhlaq, kepribadian, sifat dan dzatnya. Di antara sifat beliau adalah begitu perhatian pada umatnya, begitu lembut dan kasih sayang pada umatnya. Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati beliau dalam firman-Nya,<br />لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ<br />”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)<br />Alasan kedua: berkaitan dengan faedah yang akan diperoleh jika seseorang mencintai nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara faedah tersebut adalah:<br />[1] Mendapatkan manisnya iman<br />Dari Anas radhiyallahu ’anhu , Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:<br />ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ<br />“Tiga perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan manisnya iman yaitu: Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya; mencintai saudaranya hanya karena Allah; dan benci kembali pada kekufuran sebagaimana benci dilemparkan dalam api.”[4]<br />[2] Akan menjadikan seseorang bersama beliau di akhirat<br />Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,<br />أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ<br />“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.”[5]<br />Dalam riwayat lain, Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).” Anas pun mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”[6]<br />[3] Akan memperoleh kesempurnaan iman<br />Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ<br />“Seseorang tidaklah beriman (dengan sempurna) hingga aku lebih dicintainya dari anak dan orang tuanya serta manusia seluruhnya.”[7]<br />Dengan dua alasan inilah tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.[8]<br />Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam<br />Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa pun<br />Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk pilihan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِى هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِى مِنْ بَنِى هَاشِمٍ<br />“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah yang terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu Allah pilih Quraisy yang terbaik dari Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik dari Quraisy. Lalu Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani Hasyim.”[9]<br />Di antara bentuk mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari siapa pun yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi rujukannya bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang didahulukan adalah pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”[10]<br />Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam<br />Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman,<br />وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى (1) مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (2) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)<br />”Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)<br />Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam<br />Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau dengan pujian yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama adalah shalawat dan salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ<br />“Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.”[11]<br />Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang pada petunjuknya.<br />Allah Ta’ala berfirman,<br />قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ<br />“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31)<br />Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,<br />اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ<br />“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah) adalah sesat .”[12]<br />Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam<br />Sesungguhnya berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah salah satu prinsip mahabbah (cinta) dan ittiba’ (mengikuti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam). Tidak ada iman bagi orang yang tidak berhukum dan menerima dengan sepenuhnya syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman,<br />فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا<br />“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)<br />Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang keluar dari ajaran dan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah telah bersumpah dengan diri-Nya yang disucikan, bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala yang diperselisihkan di antara mereka dari perkara-perkara agama dan dunia serta tidak ada dalam hati mereka rasa keberatan terhadap hukumnya.”[13]<br />Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam<br />Membela dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu tanda kecintaan dan pengagungan. Allah Ta’ala berfirman,<br />لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ<br />“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr: 8)<br />Di antara contoh pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti diceritakan dalam kisah berikut. Ketika umat Islam mengalami kekalahan, Anas bin Nadhr pada perang Uhud mengatakan, ”Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu terhadap perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu dari perbuatan kaum musyrik.” Kemudian ia maju lalu Sa’ad menemuinya. Anas lalu berkata, ”Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium bau surga dari Uhud.” ”Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sebagaimana yang diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin Malik berkata, ”Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan pedang, tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah gugur dan kaum musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak ada seorang pun yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang mengenalinya dari jari telunjuknya.”[14]<br />Bentuk membela Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di antaranya:<br />[1] Membela para sahabat Nabi –radhiyallahu ’anhum-<br />Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda,<br />لَا تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ<br />”Janganlah mencaci maki salah seorang sahabatku. Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud (yang diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula separuhnya.”[15]<br />Di antara hak-hak para sahabat adalah mencintai dan meridhoi mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,<br />وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ<br />“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)<br />Sungguh aneh jika ada yang mencela sahabat sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah (Syi’ah). Mereka sama saja mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik dan selainnya rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya Rafidhah hanyalah ingin mencela Rasul. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu jelek, maka berarti sahabat-sahabatnya juga jelek. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu sholih, maka sahabatnya juga demikian.”[16] Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun Rafidhah, maka merekalah orang-orang yang sering mencela sahabat Nabi dan perkataan mereka. Hakikatnya, apa yang ada di batin mereka adalah mencela risalah Muhammad.”[17]<br />[2] Membela para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –radhiyallahu ’anhunna-<br />Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka ia pantas dihukum cambuk. Siapa saja yang mencela Aisyah, maka ia pantas untuk dibunuh.” Ada yang menanyakan pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka, maka ia telah mencela Al Qur’an karena Allah Ta’ala berfirman (agar tidak lagi menyebarkan berita bohong mengenai Aisyah, pen),<br />يَعِظُكُمَ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ<br />“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 17)”[18]<br />Ketujuh: Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam<br />Termasuk membela ajaran beliau shallallahu ’alaihi wa sallam ialah memelihara dan menyebarkannya, menjaganya dari ulah kaum batil, penyimpangan kaum yang berlebih-lebihan dan ta’wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu pula dengan membantah syubhat kaum zindiq dan pengecam sunnahnya, serta menjelaskan kedustaan-kedustaan mereka. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah mendo’akan keceriaan wajah bagi siapa yang membela panji sunnah ini dengan sabdanya,<br />نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ<br />“Semoga Allah memberikan kenikmatan pada seseorang yang mendengar sabda kami lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang yang diberi berita lebih paham daripada orang yang mendengar.”[19]<br />Kedelapan: Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam<br />Di antara kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ialah berkeinginan kuat untuk menyebarkan ajaran (sunnah)nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً<br />“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.”[20] Yang disampaikan pada umat adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.<br />Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah dengan Berbuat Bid’ah<br />Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan menyebarkan sunnah (ajaran) beliau. Oleh karenanya, konsekuensi dari hal ini adalah dengan mematikan bid’ah, kesesatan dan berbagai ajaran menyimpang lainnya. Karena sesungguhnya melakukan bid’ah (ajaran yang tanpa tuntunan) dalam agama berarti bukan melakukan kecintaan yang sebenarnya, walaupun mereka menyebutnya cinta.[21] Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ<br />“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[22]<br />Kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan tunduk pada ajaran beliau, mengikuti jejak beliau, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan serta bersemangat tidak melakukan penambahan dan pengurangan dalam ajarannya.[23]<br />Contoh cinta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah dengan melakukan bid’ah maulid nabi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.”[24]<br />Pandangan Ulama Ahlus Sunnah Tentang Maulid Nabi<br />[Pertama] Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy membawakan pasal “Di bulan Rabi’ul Awwal dan Bid’ah Maulid”. Dalam pasal tersebut, beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan Rabi’ul Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikr, ‘ibadah, nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang di dalamnya terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘ied sebagaimana digariskan oleh syari’at. … Bulan ini memang adalah hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya beliau. Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran beliau sekaligus juga kematiannya[?] Jika hari kelahiran beliau dijadikan perayaan, maka itu termasuk perayaan yang bid’ah yang mungkar. Tidak ada dalam syari’at maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.<br />Jika dalam maulid terdapat kebaikan,lalu mengapa perayaan ini dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan sahabat lainnya, juga tabi’in dan yang mengikuti mereka [?] Tidak disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan orang-orang sufi, orang yang serakah pada makanan, orang yang gemar menyiakan waktu dengan permainan sia-sia dan pengagung bid’ah. …”<br />Lalu beliau melanjutkan dengan perkataan yang menghujam, “Lantas faedah apa yang bisa diperoleh, pahala apa yang bisa diraih dari penghamburan harta yang memberatkan [?]”[25]<br />[Kedua] Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan Maulid)”.<br />Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah (teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau mau dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), maka yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’ (kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah). Karena yang namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau haram.”[26]<br />Penutup<br />Cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah dengan merayakan Maulid. Hakikat cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan mentaatinya. Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia juga akan semakin mentaatinya. Dari sinilah sebagian salaf mengatakan:<br />لهذا لما كَثُرَ الأدعياء طُولبوا بالبرهان ,قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ<br />Tatkala banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk mendatangkan bukti. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron: 31).[27] Orang yang cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu hanya mau mengikuti ajaran yang beliau syariatkan dan bukan mengada-ada dengan melakukan amalan yang tidak ada tuntunan, alias membuat bid’ah.<br />Insya Allah, pada kesempatan selanjutnya kita akan membahas kerancuan yang dikemukakan oleh orang-orang yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung acara Maulid Nabi. Semoga Allah mudahkan.<br />Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.<br />Diselesaikan pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal 1431 H, di Pangukan-Sleman.<br />***<br />Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal<br />Artikel: http://muslim.or.id/manhaj/mana-bukti-cintamu-pada-nabi.html <br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-30076535791209884142010-03-01T00:06:00.001-08:002010-03-01T00:06:00.365-08:00Wajibnya CINTA NABIAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas<br /><br /><br /><br /><br />Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat tentang wajibnya mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kecintaan dan pengagungan terhadap seluruh makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi dalam mencintai dan mengagungkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh melebihi apa yang telah ditentukan syari’at, karena bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam seluruh perkara agama akan menye-babkan kebinasaan.<br /><br />[A]. Wajibnya Mencintai Dan Mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.<br /><br />Pertama-tama, wajib bagi setiap hamba mencintai Allah dan ini merupakan bentuk ibadah yang paling agung. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br /><br />“Dan orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” [Al-Baqarah:165]<br /><br />Ahlus Sunnah mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengagungkannya sebagaimana para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum mencintai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari kecintaan mereka kepada diri dan anak-anak mereka, sebagai-mana yang terdapat dalam kisah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, yaitu sebuah hadits dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:<br /><br />“Kami mengiringi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menggandeng tangan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu. Kemudian ‘Umar berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau sangat aku cintai melebihi apa pun selain diriku.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku sangat engkau cintai melebihi dirimu.’ Lalu ‘Umar berkata kepada beliau: ‘Sungguh sekaranglah saatnya, demi Allah, engkau sangat aku cintai melebihi diriku.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sekarang (engkau benar), wahai ‘Umar.’” [2]<br /><br />Berdasarkan hadits di atas, maka mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib dan harus didahulukan daripada kecintaan kepada segala sesuatu selain kecintaan kepada Allah, sebab mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengikuti sekaligus keharusan dalam men-cintai Allah. Mencintai Rasulullah adalah cinta karena Allah. Ia bertambah dengan bertambahnya kecintaan kepada Allah dalam hati seorang mukmin, dan berkurang dengan berkurangnya kecintaan kepada Allah.<br />Orang yang beriman akan merasakan manisnya iman apabila hanya Allah dan Rasul-Nya yang paling ia cintai.<br /><span class="fullpost">Oleh<br /><br />Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya. (2) Apabila ia mencintai seseorang, ia hanya men-cintainya karena Allah. (3) Ia tidak suka untuk kembali ke-pada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagai-mana ia tidak mau untuk dilemparkan ke dalam api.” [3]<br /><br />Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan adanya penghormatan, ketundukan dan keteladanan kepada beliau serta mendahulukan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas segala ucapan makhluk, serta mengagungkan Sunnah-sunnahnya.<br /><br />Al-‘Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata: “Setiap kecintaan dan pengagungan kepada manusia hanya dibolehkan dalam rangka mengikuti kecintaan dan pengagungan kepada Allah. Seperti mencintai dan mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya ia adalah penyempurna kecintaan dan pengagungan kepada Rabb yang mengutusnya. Ummatnya mencintai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena Allah telah memuliakannya. Maka kecintaan ini adalah karena Allah sebagai konsekuensi dalam mencintai Allah.” [4]<br /><br />Maksudnya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan kewibawaan dan kecintaan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itu tidak ada seorang manusia pun yang lebih dicintai dan disegani dalam hati para Sahabat ke-cuali Rasulullah. [5]<br /><br />‘Amr bin al-‘Ash -sebelum ia masuk Islam- berkata: “Sesungguhnya tidak ada seorang manusia pun yang lebih aku benci daripada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ” Namun setelah ia masuk Islam, tidak ada seorang manusia pun yang lebih ia cintai dan lebih ia agungkan daripada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengatakan: “Seandainya aku diminta untuk menggambarkan pribadi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalian tentu aku tidak mampu melakukannya sebab aku tidak pernah menajamkan pandanganku kepada beliau sebagai pengagunganku kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”<br /><br />‘Urwah bin Mas’ud berkata kepada kaum Quraisy: “Wahai kaumku, demi Allah, aku telah diutus ke Kisra, kaisar dan raja-raja, namun aku tidak pernah melihat seorang raja pun yang diagungkan oleh segenap rakyatnya melebihi pengagungan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah, mereka tidak memandang dengan tajam kepada beliau sebagai bentuk pengagungan mereka kepadanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta tidaklah beliau berdahak kecuali ditadah dengan telapak tangan salah seorang dari mereka, kemudian dilumurkan pada wajah dan dadanya. Lalu tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallamj berwudhu’, maka hampir saja mereka saling membunuh karena berebut sisa air bekas wudhu’ beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [6]<br /><br />[B]. Konsekuensi Dan Tanda-Tanda Cinta Kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.<br /><br />1. Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan adanya pengagungan, memuliakan, meneladani beliau dan mendahulukan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas segala ucapan makhluk serta mengagungkan Sunnah-sunnahnya.<br /><br />Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br /><br />“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesung-guhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Hujuraat: 1]<br /><br />2. Mentaati apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan.<br />Allah memerintahkan setiap Muslim dan Muslimah untuk taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena dengan taat kepada beliau menjadi sebab seseorang masuk Surga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br /><br />“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” [An-Nisaa': 13]<br /><br />3. Membenarkan apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan.<br />Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata menurut hawa nafsunya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br /><br />“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]<br /><br />4. Menahan diri dari apa yang dilarang dan dicegah oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.<br /><br />Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br /><br />“...Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” [Al-Hasyr: 7]<br /><br />5. Beribadah sesuai dengan apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam syari’atkan, atau dengan kata lain ittiba’ kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam<br />.<br />Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengajarkan ummat Islam tentang bagaimana cara yang benar dalam beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan semuanya. Oleh karena itu, ummat Islam wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mereka mendapatkan kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kejayaan dan dimasukkan ke dalam Surga-Nya.<br /><br />Ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hukumnya adalah wajib, dan ittiba’ menunjukkan kecintaan seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla<br /><br />Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br /><br />“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” [Ali ‘Imran: 31]<br /><br />Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahulah (wafat th. 774 H): “Ayat ini adalah pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh jalan Rasululla Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang itu dusta dalam pengakuannya tersebut hingga ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya.” [7]<br /><br />Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat. [8]<br /><br />Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan menjelaskan dalam kitabnya: “Termasuk mengagungkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengagungkan Sunnahnya dan berkeyakinan tentang wajibnya mengamalkan Sunnah tersebut, dan meyakini bahwa Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menduduki kedudukan kedua setelah Al-Qur'anul Karim dalam hal kewajiban mengagungkan dan mengamalkan-nya, sebab As-Sunnah merupakan wahyu dari Allah.<br /><br />Karena itu tidak boleh membuat keragu-raguan di dalamnya, apalagi melecehkannya. Dan tidak boleh membicarakan keshahihan dan kedha’ifannya, baik dari segi jalan, sanad atau penjelasan makna-maknanya kecuali berdasarkan ilmu dan kehati-hatian. Pada zaman ini banyak orang-orang bodoh yang melecehkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, terutama dari kalangan anak-anak muda yang baru dalam tahap awal belajar. Mereka dengan mudahnya menshahihkan atau mendha’ifkan hadits-hadits, dan menilai cacat para perawi tanpa ilmu kecuali dari membaca beberapa buku. Sungguh hal tersebut berbahaya bagi mereka dan ummat. Karena itu hendaknya mereka bertaqwa kepada Allah dan menahan diri pada batasannya. [9]<br /><br />[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]<br />_________<br />Footnotes<br />[1]. Lihat ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 148-151) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan, Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, Syarah Ushuul ats-Tsalaatsah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, al-‘Urwatul Wutsqa fii Dhauil Kitaab was Sunnah oleh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, dan kitab-kitab lainnya.<br />[2]. HR. Al-Bukhari (no. 6632), dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu 'anhu.<br />[3]. HR. Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43 (67)), at-Tirmidzi (no. 2624), an-Nasa-i (VIII/96) dan Ibnu Majah (no. 4033), dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu.<br />[4].Jalaa’ul Afhaam fii Fadhlish Shalaati was Salaam ‘alaa Muhammad Khairil Anaam (hal. 297-298), tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman.<br />[5]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 149), oleh Dr. Shalih al-Fauzan<br />[6]. Perkataan ‘Urwah bin Mas’ud z ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahiihnya (no. 2731, 2732), Kitaabusy Syuruut bab Syuruuth fil Jihaad.<br />[7]. Tafsiir Ibni Katsiir (I/384), cet. Daarus Salam.<br />[8]. Sebagian contoh-contoh bid’ah yang masih dilakukan kaum Muslimin seperti: Perayaan dan peringatan Maulid Nabi j, perayaan Isra’ Mi’raj, tawassul dengan orang mati, membangun kubur, dan yang lainnya. Semua ini tidak pernah di-lakukan oleh Nabi j dan para Sahabatnya.<br />[9]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 154). <br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-56761545018996674662010-03-01T00:05:00.001-08:002010-03-01T00:05:00.203-08:00cinta NabiOleh<br />Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas<br /><br /><br /><br /><br />Konsekuensi Dan Tanda-Tanda Cinta Kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam<br /><br />[A]. Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan adanya peng-agungan, memuliakan, meneladani beliau dan men-dahulukan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas segala ucapan makhluk serta mengagungkan Sunnah-Sunnahnya.<br /><br />[B]. Mentaati apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan Allah memerintahkan setiap Muslim dan Muslimah untuk taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena dengan taat kepada beliau menjadi sebab seseorang masuk Surga.<br /><br />Kita wajib mentaati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menjalankan apa yang diperintahkannya dan meninggalkan apa yang dilarangnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari syahadat (kesaksian) bahwa beliau adalah Rasul (utusan) Allah. Dalam banyak ayat Al-Qur'an, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mentaati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya ada yang diiringi dengan perintah taat kepada Allah, sebagaimana firman-Nya<br /><br />"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya...” [An-Nisaa': 59]<br /><br />Tekadang pula Allah mengancam orang yang mendur-hakai Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:<br /><br />"Maka hendaklah orang-orang yang melanggar perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa adzab yang pedih” [An-Nuur: 63]<br /><br />Artinya hendaknya mereka takut jika hatinya ditimpa fitnah kekufuran, nifaq, bid’ah atau siksa pedih di dunia, baik berupa pembunuhan, had, pemenjaraan atau siksa-siksa lain yang disegerakan. Allah telah menjadikan ketaatan dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebab hamba mendapatkan kecintaan Allah dan ampunan atas dosa-dosanya.<span class="fullpost"><br /><br /><br />Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan ketaatan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai petunjuk dan mendurhakainya sebagai suatu kesesatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.<br /><br />"Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk” [An-Nuur : 54]<br /><br />Allah mengabarkan bahwa pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat teladan yang baik bagi segenap ummatnya. Allah berfirman:<br /><br />"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang meng-harap (rahmat) Allah dan kedatangan hari Kiamat dan dia banyak menyebut Nama Allah” [Al-Ahzaab: 21]<br /><br />Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat yang mulia ini adalah pokok yang agung tentang meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai perkataan, perbuatan dan perilakunya. Untuk itu, Allah ÊóÈóÇÑóßó æóÊóÚóÇáóì memerintahkan manusia untuk meneladani sifat sabar, keteguhan, kepahlawanan, perjuangan dan kesabaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menanti pertolongan dari Rabb-nya Azza wa Jalla ketika perang Ahzaab. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat dan salam kepada beliau hingga hari Kiamat.”[1]<br /><br />[C]. Membenarkan apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata menurut hawa nafsunya.<br /><br />[D]. Menahan diri dari apa yang dilarang dan dicegah oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam<br /><br />Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br /><br />"...Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkan-lah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” [Al-Hasyr: 7]<br /><br />[E]. Beribadah sesuai dengan apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam syari’atkan, atau dengan kata lain ittiba’ kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam<br /><br />Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengajarkan ummat Islam tentang bagaimana cara yang benar dalam beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan semuanya. Oleh karena itu, ummat Islam wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mereka mendapatkan kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kejayaan dan dimasukkan ke dalam Surga-Nya.<br /><br />Ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hukumnya adalah wajib, dan ittiba’ menunjukkan kecintaan seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla.<br />Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br /><br />"Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"[Ali ‘Imran: 31]<br /><br />Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H): “Ayat ini adalah pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh jalan Ra-sulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang itu dusta dalam pengakuannya tersebut hingga ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya”[2]<br /><br />Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.[3]<br /><br />[F]. Anjuran Bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[4]<br /><br />Di antara hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas ummatnya adalah agar mereka mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para Malaikat-Nya telah bershalawat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada para hamba-Nya agar mengucapkan shalawat dan salam kepada beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br /><br />"Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya ber-shalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [Al-Ahzaab: 56]<br /><br />Diriwayatkan bahwa makna shalawat Allah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pujian Allah atas beliau di hadapan para Malaikat-Nya, sedang shalawat Malaikat berarti mendo’akan beliau, dan shalawat ummatnya berarti permohonan ampun bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam”<br /><br />Dalam ayat di atas, Allah telah menyebutkan tentang kedudukan hamba dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tempat yang tertinggi, bahwasanya Dia memujinya di hadapan para Malaikat yang terdekat, dan bahwa para Malaikat pun mendo’akan untuknya, lalu Allah memerintah-kan segenap penghuni alam ini untuk mengucapkan shalawat dan salam atasnya, sehingga bersatulah pujian untuk beliau di alam yang tertinggi dengan alam terendah (bumi).<br /><br />Adapun makna: “Ucapkanlah salam untuknya” adalah berilah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam penghormatan dengan penghormatan Islam. Dan jika bershalawat kepada Nabi Muhammad hendaklah seseorang menghimpunnya dengan salam untuk beliau. Karena itu hendaknya tidak membatasi dengan salah satunya saja. Misalnya dengan mengucapkan: “Shallallaahu ‘alaih (semoga shalawat dilimpahkan untuknya)” atau hanya mengucapkan: “‘alaihis salaam (semoga dilimpahkan baginya keselamatan).” Hal itu karena Allah memerintahkan untuk mengucapkan keduanya.<br /><br />Mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh syari’at pada waktu-waktu yang dipentingkan, baik yang hukumnya wajib atau sunnah mu-akkadah. Dalam kitab Jalaa'ul Afhaam, Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan 41 waktu (tempat). Beliau rahimahullah memulai dengan sesuatu yang paling penting yakni ketika shalat di akhir tasyahhud. Di waktu tersebut para ulama sepakat tentang disyari’atkan-nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara waktu lain yang beliau sebutkan adalah di akhir Qunut, kemudian saat khutbah, seperti khutbah Jum’at, hari raya dan istisqa’, kemudian setelah menjawab adzan, ketika berdo’a, ketika masuk dan keluar dari masjid, juga ketika menyebut nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .<br /><br />Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kaum Muslimin tentang tatacara mengucapkan shalawat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memperbanyak membaca shalawat kepadanya pada hari Jum’at.<br /><br />Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />ÃóßúËöÑõæÇ ÇáÕøóáÇóÉó Úóáóíøó íóæúãó ÇáúÌõãõÚóÉö æóáóíúáóÉó ÇáúÌõãõÚóÉö¡ Ýóãóäú Õóáøóì Úóáóíøó ÕóáÇóÉð Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö ÚóÔúÑðÇ.<br /><br />"Perbanyaklah kalian membaca shalawat kepadaku pada hari dan malam Jum’at. Barangsiapa yang ber-shalawat kepadaku sekali niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali”[5]<br /><br />Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa manfaat dari mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau menyebutkan ada 40 manfaat. Di antara manfaat itu adalah<br /><br />1. Shalawat merupakan bentuk ketaatan kepada perintah Allah.<br />2. Mendapatkan 10 kali shalawat dari Allah bagi yang bershalawat sekali untuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .<br />3. Diharapkan dikabulkannya do’a apabila didahului dengan shalawat tersebut.<br />4. Shalawat merupakan sebab mendapatkan syafa’at dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika ketika mengucapkan shalawat diiringi dengan permohonan kepada Allah agar memberikan wasilah (kedudukan yang tinggi) kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Kiamat.<br />5. Shalawat merupakan sebab diampuninya dosa-dosa.<br />6. Shalawat merupakan sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab orang yang mengucapkan shalawat dan salam kepadanya.[6]<br /><br />Tetapi tidak dibenarkan mengkhususkan waktu dan cara tertentu dalam bershalawat dan memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali berdasarkan dalil shahih dari Al-Qur-an dan As-Sunnah. Para ulama Ahlus Sunnah telah banyak meriwayat-kan lafazh-lafazh shalawat yang shahih, sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya Radhiyallahu anhum<br /><br />Di antaranya adalah:<br /><br />Çóááøóåõãøó Õóáöø Úóáóì ãõÍóãøóÏò æóÚóáóì Âáö ãõÍóãøóÏò ßóãóÇ ÕóáøóíúÊó Úóáóì ÅöÈúÑóÇåöíúãó æóÚóáóì Âáö ÅöÈúÑóÇåöíúãó Åöäøóßó ÍóãöíúÏñ ãóÌöíúÏñ¡ Çóááøóåõãøó ÈóÇÑößú Úóáóì ãõÍóãøóÏò æóÚóáóì Âáö ãõÍóãøóÏò ßóãóÇ ÈóÇÑóßúÊó Úóáóì ÅöÈúÑóÇåöíúãó æóÚóáóì Âáö ÅöÈúÑóÇåöíúãó Åöäøóßó ÍóãöíúÏñ ãóÌöíúÏñ.<br /><br />“Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah mem-berikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia. Ya Allah, berikanlah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah mem-beri berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia.”[7]<br /><br />Di antara contoh shalawat-shalawat yang bid’ah adalah:<br />1. Shalawat thibbul qulub<br />2. Shalawat naariyah, serta adanya keyakinan bathil bahwa barangsiapa yang membacanya 4444 kali maka akan dilapangkan kesulitannya. Shalawat naariyah ini mengandung kesyirikan.<br />3. Shalawat al-faatih, serta adanya anggapan bahwa mem-baca shalawat ini lebih baik daripada membaca Al-Qur'an, dan lain-lainnya. Shalawat al-faatih ini adalah perbuatan bid’ah.<br />4. Shalawat basyisyiyah.[8]<br /><br />Setiap muslim harus menjauhkan semua bentuk shalawat bid’ah yang tidak ada asalnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wajib ber-pegang kepada hadits-hadits shahih yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena apa yang beliau ajarkan sudah cukup dan memadai, tidak boleh ditambah lagi.<br /><br />Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi yang mulia ini, juga bagi keluarga beliau, para Sahabat, dan orang-orang yang mengikuti jejak beliau hingga hari Kiamat.<br /><br />Larangan Ghuluw (Berlebih-lebihan) Dalam Memuji Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam .<br /><br />Ghuluw artinya melampaui batas.<br />Dikatakan: “ ÛóáÇó íóÛúáõæ ÛõáõæøðÇ ,” jika ia melampaui batas dalam ukuran. Allah berfirman:<br /><br />"Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” [An-Nisaa': 171]<br /><br />Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />ÅöíøóÇßõãú æóÇáúÛõáõæøó Ýöí ÇáÏöøíúäö¡ ÝóÅöäøóãóÇ Ãóåúáóßó ãóäú ßóÇäó ÞóÈúáóßõãú ÇóáúÛõáõæøõ Ýöí ÇáÏöøíúäö.<br /><br />"Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”[9]<br /><br />Salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap ghuluw dalam beragama, baik kepada orang shalih atau orang yang dianggap wali, maupun ghuluw kepada kuburan para wali, hingga mereka minta dan berdo’a kepadanya padahal ini adalah perbuatan syirik akbar.<br /><br />Sedangkan ithra’ artinya melampaui batas (berlebih-lebihan) dalam memuji serta berbohong karenanya. Dan yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melampaui batas dalam menyanjungnya, sehingga meng-angkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul (utusan) Allah, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah. Hal itu misalnya dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau, tawassul dengan beliau, atau tawassul dengan kedudukan dan kehormatan beliau, bersumpah dengan nama beliau, sebagai bentuk ‘ubudiyyah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala , perbuatan ini adalah syirik.<br /><br />Dan yang dimaksud dengan ithra’ dalam hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berlebih-lebihan dalam memujinya, padahal beliau telah melarang hal tersebut melalui sabda beliau:<br /><br />áÇó ÊõØúÑõæúäöí ßóãóÇ ÃóØúÑóÊö ÇáäøóÕóÇÑóì ÇÈúäó ãóÑúíóãó¡ ÝóÅöäøóãóÇ ÃóäóÇ ÚóÈúÏõåõ¡ ÝóÞõæúáõæúÇ ÚóÈúÏõ Çááåö æóÑóÓõæúáõåõ.<br /><br />"Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah, ‘‘Abdullaah wa Rasuuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya).’”[10]<br /><br />Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku. Hal itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihis Sallam, sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku, maka katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”[11]<br /><br />‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (penghulu) kami!” Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:<br /><br />ÇóáÓøóíöøÏõ Çááåõ ÊóÈóÇÑóßó æóÊóÚóÇáóì.<br /><br />“Sayyid (penghulu) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”<br /><br />Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Serta merta beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:<br /><br />ÞõæúáõæúÇ ÈöÞóæúáößõãú Ãóæ ÈóÚúÖö Þóæúáößõãú æóáÇó íóÓúÊóÌúÑöíóäøóßõãõ ÇáÔøóíúØóÇäõ.<br /><br />"Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan jangan-lah sampai kalian terseret oleh syaitan”[12]<br /><br />Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sebagian orang berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami dan putera penghulu kami!’ Maka seketika itu juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda<br /><br />íóÇ ÃóíøõåóÇ ÇáäøóÇÓõ ÞõæúáõæúÇ ÈöÞóæúáößõãú æóáÇó íóÓúÊóåúæöíóäøóßõãõ ÇáÔøóíúØóÇäõ¡ ÃóäóÇ ãõÍóãøóÏñ¡ ÚóÈúÏõ Çááåö æóÑóÓõæúáõåõ¡ ãóÇ ÃõÍöÈøõ Ãóäú ÊóÑúÝóÚõæúäöíú ÝóæúÞó ãóäúÒöáóÊöí ÇáøóÊöíú ÃóäúÒóáóäöíó Çááåõ ÚóÒøó æóÌóáøó.<br /><br />“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh syaitan, aku adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan kepadaku. [13]<br /><br />Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci jika orang-orang memujinya dengan berbagai ungkapan seperti: “Engkau adalah sayyidku, engkau adalah orang yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang yang paling utama di antara kami, engkau adalah orang yang paling agung di antara kami.” Padahal sudah diketahui sesungguhnya beliau adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara mutlak. Meskipun demikian, beliau melarang mereka agar menjauhkan mereka dari sikap melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga untuk menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan mereka agar menyifati beliau dengan dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan ‘aqidah. Dua sifat itu adalah ‘Abdullaah wa Rasuuluh (hamba dan utusan Allah).<br /><br />Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan dan Allah ridhai. Tetapi banyak manusia yang melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, sehingga mereka berdo’a kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, ber-sumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Hal itu sebagaimana yang mereka lakukan ketika peringatan maulid Nabi j, dalam kasidah atau anasyid, dimana mereka tidak membedakan antara hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam<br /><br />Setiap muslim wajib mengetahui bahwa di antara faktor yang menyebabkan manusia menjadi kafir dan meninggalkan agama mereka yaitu sikap berlebih-lebihan kepada orang-orang shalih, seperti yang terjadi pada kaum Nabi Nuh Alaihissalam<br /><br />"Dan mereka berkata: ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, tidak juga suwaa', yaghuts, ya'uq dan nasr.’” [QS. Nuh: 23][14]<br /><br />[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2]<br />_________<br />Foote Note<br />[1]. Tafsiir Ibni Katsir (III/522-523), cet. Daarus Salaam.<br />[2]. Tafsiir Ibni Katsiir (I/384), cet. Daarus Salam.<br />[3]. Sebagian contoh-contoh bid’ah yang masih dilakukan kaum Muslimin seperti: Perayaan dan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, perayaan Isra’ Mi’raj, tawassul dengan orang mati, membangun kubur, dan yang lainnya. Semua ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya.<br />[3]. Bahasan tentang shalawat selengkapnya dapat dilihat pada kitab Jalaa-ul Afhaam fii Fadhlish Shalaah was Salaam ‘alaa Muhammad Khairil Anaam (hal. 453-556), karya al-‘Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dengan tahqiq Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman.<br />[4]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 158).<br />[5]. HR. Al-Baihaqi (III/249) dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, sanad hadits ini hasan. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1407) oleh Syaikh al-Albani rahimahullah<br />[6]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 158-159).<br />[7]. HR. Al-Bukhari (no. 3370/Fat-hul Baari (VI/408)), Muslim (no. 406), Abu Dawud (no. 976, 977, 978), at-Tirmidzi (no. 483), an-Nasa-i(III/47-48), Ibnu Majah (no. 904), Ahmad (IV/243-244) dan lain-lain, dari Sahabat Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu 'anhu.<br />Untuk mengetahui lafazh-lafazh shalawat lainnya yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi j dapat dilihat dalam buku Do’a dan Wirid (hal. 178-180), oleh penulis, cet. VI/ Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta, th. 2006 M.<br />[8]. Lihat Minhaaj al-Firqatin Naajiyah wat Thaa'ifah al-Manshuurah ‘ala Dhau-il Kitaab was Sunnah (hal. 116-122) oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dan Mu’jamul Bida’ (hal. 345-346).<br />[9]. HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasa-i (V/268), Ibnu Majah (no. 3029), Ibnu Khuzaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu. Sanad hadits ini shahih menurut syarat Muslim. Dishahihkan oleh Imam an-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.<br />[10]. HR. Al-Bukhari (no. 3445), at-Tirmidzi dalam Mukhtasharusy Syamaa-il al-Muhammadiyyah (no. 284), Ahmad (I/23, 24, 47, 55), ad-Darimi (II/320) dan yang lainnya, dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab z.<br />[11]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 151).<br />[12]. HR. Abu Dawud (no 4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no 211/ Shahiihul Adabil Mufrad no 155), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 247, 249). Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Rawi-rawinya shahih. Dishahihkan oleh para ulama (ahli hadits).” (Fat-hul Baari V/179)<br />[13]. HR. Ahmad (III/153, 241, 249), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 249, 250) dan al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 2675). Sanadnya shahih dari Sha-habat Anas bin Malik z.<br />[14]. Lihat Fat-hul Majid Syarah Kitabut Tauhid bab 18<br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-57551256844878688722010-03-01T00:04:00.000-08:002010-03-01T00:04:00.146-08:00Ghuluw Terhadap NabiAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas<br /><br /><br /><br /><br /> Larangan Ghuluw dan Berlebih-lebihan dalam Memuji Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br /><br />Ghuluw artinya melampaui batas. Dikatakan: "ghalaa-yagluu-ghuluwan' jika ia melampaui batas dalam ukuran. Allah berfirman:<br /><br />“Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” [An-Nisaa': 171]<br /><br />Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” [1]<br /><br />Salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap ghuluw dalam beragama, baik kepada orang shalih atau dianggap wali, maupun ghuluw kepada kuburan para wali, hingga mereka minta dan berdo’a kepadanya padahal ini adalah perbuatan syirik akbar.<br /><br />Sedangkan ithra’ artinya melampaui batas (berlebih-lebihan) dalam memuji serta berbohong karenanya. Dan yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melampaui batas dalam menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul (utusan) Allah, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah. Hal itu misalnya dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau, tawassul dengan beliau, atau tawassul dengan kedudukan dan kehormatan beliau, bersumpah dengan nama beliau, sebagai bentuk ‘ubudiyyah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, perbuatan ini adalah syirik.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Dan yang dimaksud dengan ithra’ dalam hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berlebih-lebihan dalam memujinya, padahal beliau telah melarang hal tersebut melalui sabda beliau:<br /><br />“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagai-mana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka kata-kanlah, ‘‘Abdullaah wa Rasuuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya).’” [2]<br /><br />Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku. Hal itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissalam, sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku, maka katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.” [3]<br /><br />‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:<br /><br />“Sayyid (penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”<br /><br />Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Serta merta beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:.<br /><br />“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan.” [4]<br /><br />Anas bin Malik Radhiyallahu a’nhu berkata, “Sebagian orang berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami dan putera sayyid kami!’ Maka seketika itu juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh syaithan, aku (tidak lebih) adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan ke-padaku.” [5]<br /><br />Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci jika orang-orang memujinya dengan berbagai ungkapan seperti: “Engkau adalah sayyidku, engkau adalah orang yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang yang paling utama di antara kami, engkau adalah orang yang paling agung di antara kami.” Padahal sesungguhnya beliau adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara mutlak. Meskipun demikian, beliau melarang mereka agar menjauhkan mereka dari sikap melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga untuk menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan mereka agar menyifati beliau dengan dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan ‘aqidah. Dua sifat itu adalah ‘Abdullaah wa Rasuuluh (hamba dan utusan Allah).<br /><br />Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan dan Allah ridhai. Tetapi banyak manusia yang melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, sehingga mereka berdo’a kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Hal itu sebagaimana yang mereka lakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam kasidah atau anasyid, di mana mereka tidak membedakan antara hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.<br /><br />Al-‘Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah Rahimahullah dalam kasidah nuniyyah-nya berkata:<br /><br />“Allah memiliki hak yang tidak dimiliki selain-Nya,<br />bagi hamba pun ada hak, dan ia adalah dua hak yang berbeda.<br />Jangan kalian jadikan dua hak itu menjadi satu hak,<br />tanpa memisahkan dan tanpa membedakannya.”[6]<br /><br />[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]<br />_________<br />Footnotes<br />[1]. HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasa-i (V/268), Ibnu Majah (no. 3029), Ibnu Khuzaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma. Sanad hadits ini shahih menurut syarat Muslim. Dishahihkan oleh Imam an-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.<br />[2]. HR. Al-Bukhari (no. 3445), at-Tirmidzi dalam Mukhtasharusy Syamaail al-Muhammadiyyah (no. 284), Ahmad (I/23, 24, 47, 55), ad-Darimi (II/320) dan yang lainnya, dari Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu<br />[3]. Aqiidatut Tauhiid (hal 151).<br />[4]. HR. Abu Dawud (no 4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no 211/ Shahiihul Adabil Mufrad no 155), an-Nasai dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 247, 249). Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Rawi-rawinya shahih. Dishahihkan oleh para ulama (ahli hadits).” (Fathul Baari V/179)<br />[5]. HR. Ahmad (III/153, 241, 249), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 249, 250) dan al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 2675). Sanadnya shahih dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu<br />[6]. 'Aqiidatut Tauhiid (hal. 152) oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan <br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-72936292283696892212010-03-01T00:03:00.000-08:002010-03-01T00:03:00.058-08:00KITAB BARZANZIOleh<br />Ustadz Abu Ahmad Zainal Abidin<br /><br /><br />SEPUTAR KITAB BARZANJI<br />Secara umum peringatan maulud Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selalu disemarakkan dengan shalawatan dan puji-pujian kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, yang mereka ambil dari kitab Barzanji maupun Daiba’, ada kalanya ditambah dengan senandung qasîdah Burdah. Meskipun kitab Barzanji lebih populer di kalangan orang awam daripada yang lainnya, tetapi biasanya kitab Daiba’, Barzanji dan Qasidah Burdah dijadikan satu paket untuk meramaikan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang diawali dengan membaca Daiba’, lalu Barzanji, kemudian ditutup dengan Qasîdah Burdah. Biasanya kitab Barzanji menjadi kitab induk peringatan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan sebagian pembacanya lebih tekun membaca kitab Barzanji daripada membaca al-Qur’an. Maka tidak aneh jika banyak di antara mereka yang lebih hafal kitab Barzanji bersama lagu-lagunya dibanding al-Quran. Fokus pembahasan dan kritikan terhadap kitab Barzanji ini adalah karena populernya, meskipun penyimpangan kitab Daiba’ lebih parah daripada kitab Barzanji. Berikut uraiannya :<br /><br />Secara umum kandungan kitab Barzanji terbagi menjadi tiga :<br />1). Cerita tentang perjalanan hidup Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan satra bahasa tinggi yang terkadang tercemar dengan riwayat-riwayat lemah.<br />2). Syair-syair pujian dan sanjungan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan bahasa yang sangat indah, namun telah tercemar dengan muatan dan sikap ghuluw (berlebihan).<br />3). Shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi telah bercampur aduk dengan shalawat bid’ah dan shalawat-shalawat yang tidak berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br /><span class="fullpost"><br /><br />PENULIS KITAB BARZANJI<br />Kitab Barzanji ditulis oleh “Ja’far al-Barjanzi al-Madani, dia adalah khathîb di Masjidilharâm dan seorang mufti dari kalangan Syâf’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan di antara karyanya adalah Kisah Maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.[1]<br /><br />Sebagai seorang penganut paham tasawwuf yang bermadzhab Syiah tentu Ja’far al-Barjanzi sangat mengkultuskan keluarga, keturunan dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini dibuktikan dalam doanya “Dan berilah taufik kepada apa yang Engkau ridhai pada setiap kondisi bagi para pemimpin dari keturunan az-Zahrâ di bumi Nu’mân”.[2]<br /><br />KESALAHAN UMUM KITAB BARZANJI<br />Kesalahan kitab Barzanji tidaklah separah kesalahan yang ada pada kitab Daiba` dan Qasîdah Burdah. Namun, penyimpangannya menjadi parah ketika kitab Barzanji dijadikan sebagai bacaan seperti al-Qur’an. Bahkan, dianggap lebih mulia dari pada Al Qur’an. Padahal, tidak ada nash syar’î yang memberi jaminan pahala bagi orang yang membaca Barzanji, Daiba` atau Qasîdah Burdah. Sementara, membaca al-Qur’an yang jelas pahalanya, kurang diperhatikan. Bahkan, sebagian mereka lebih sering membaca Barzanji daripada membaca al-Qur’an apalagi pada saat perayaan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />: مَن قَرَأَ حَرفًا مِن كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاأَقُوْلُ الـمّ حَرْفٌ وَلكِن ْأَلَِفٌ حَرْفٌ وَلاًّمُ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرفٌ. رَوَاهُ التِّرْمِذِيْ وَصَحَّحَهُ اْلأَلْباَنِِيْ<br /><br />Artinya : Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka dia akan mendapatkan satu kebaikan yang kebaikan tersebut akan dilipatgandakan menjadi 10 pahala. Aku tidak mengatakan Alif Lâm Mîmssatu huruf. Akan tetapi, Alifd satu huruf, lâmd satu huruf mîmd satu huruf.[3]<br /><br />KESALAHAN KHUSUS KITAB BARZANJI<br />Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab Barzanji antara lain:<br /><br />Kesalahan Pertama<br />Penulis kitab Barzanji meyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua orang tua Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam termasuk ahlul Iman dan termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahkan ia mengungkapkan dengan sumpah.<br /><br />وَقَدْ أَصْبَحَا وَاللهِ مِنْ أَهْلِ اْلإِيْمَانِ وَجَاءَ لِهَذَا فِيْ الْحَدِيْثِ شَوَاهِدُ<br />وَمَالَ إِليْهِ الْجَمُّ مِنْ أَهْلِ الْعِرْفَانِ فَسَلِّمْ فَإِنَّ اللهَ جَلَّ جَلاَلُــهُ<br />وَإِنَّ اْلإِمَامَ اْلأَشْعَرِيَ لَمُثْبِـتَ نَجَاتَهُمَا نَصًّا بِمُحْكَمِ تِبْــيَانِ<br /><br />Dan sungguh kedua (orang tuanya) demi Allah Azza wa Jalla termasuk ahli iman dan telah datang dalîl dari hadîts sebagai bukti-buktinya.<br />Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat in,i maka ucapkanlah salam karena sesungguhnya Allah Maha Agung.<br />Dan sesungguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash tibyan (al-Qur’an).[4]<br /><br />Jelas, yang demikian itu bertentangan dengan hadîts dari Anas Radhiyallahu 'anhu bahwa sesungguhnya seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di manakah ayahku (setelah mati)?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Dia berada di Neraka.” Ketika orang itu pergi, beliau Shallallahu alaihi wa sallam memanggilnya dan bersabda: “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di Neraka”.[5]<br /><br />Imam Nawawi rahimahullah berkata: ”Makna hadits ini adalah bahwa barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir, ia kelak berada di Neraka dan tidak berguna baginya kedekatan kerabat. Begitu juga orang yang mati pada masa fatrah (jahiliyah) dari kalangan orang Arab penyembah berhala, maka ia berada di Neraka. Ini tidak menafikan penyampaian dakwah kepada mereka, karena sudah sampai kepada mereka dakwah nabi Ibrahim Alaihissalam dan yang lainnya.”[6]<br /><br />Semua hadits yang menjelaskan tentang dihidupkannya kembali kedua orang tua Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan keduanya beriman serta selamat dari neraka semuanya palsu, diada-adakan secara dusta dan lemah sekali serta tidak ada satupun yang shâhih. Para ahli hadits sepakat akan kedhaifannya seperti Dâruquthni al-Jauzaqani, Ibnu Syahin, al-Khathîb, Ibnu Ashâkir, Ibnu Nashr, Ibnul Jauzi, as-Suhaili, al-Qurthubi, at-Thabari dan Fathuddin Ibnu Sayyidin Nas.[7]<br /><br />Adapun anggapan bahwa Imam al-Asyari yang berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu alaihi wa sallam beriman, harus dibuktikan kebenarannya. Memang benar, Imam as-Suyuthi rahimahullah berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beriman dan selamat dari neraka, namun hal ini menyelisihi para hâfidz dan para ulama peneliti hadîts.[8]<br /><br />Kesalahan Kedua<br />Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka menyakini bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hadir pada saat membaca shalawat, terutama ketika Mahallul Qiyâm (posisi berdiri), hal itu sangat nampak sekali di awal qiyâm (berdiri) membaca:<br /><br />مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا مَرْحَبًا ياَ جَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًا<br /><br />Selamat datang, selamat datang, selamat datang, selamat datang wahai kakek Husain selamat datang.<br /><br />Bukankah ucapan selamat datang hanya bisa diberikan kepada orang yang hadir secara fisik?. Meskipun di tengah mereka terjadi perbedaan, apakah yang hadir jasad nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama ruhnya ataukah ruhnya saja. Muhammad Alawi al-Maliki (seorang pembela perayaan maulid-red) mengingkari dengan keras pendapat yang menyatakan bahwa yang hadir adalah jasadnya. Menurutnya, yang hadir hanyalah ruhnya.<br /><br />Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berada di alam Barzah yang tinggi dan ruhnya dimuliakan Allah Azza wa Jalla di surga, sehingga tidak mungkin kembali ke dunia dan hadir di antara manusia.<br /><br />Pada bait berikutnya semakin jelas nampak bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diyakini hadir, meskipun sebagian mereka meyakini yang hadir adalah ruhnya.<br /><br />يَا نَبِيْ سَلاَمٌ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ<br />يَا حَبِيْبُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ<br /><br />Wahai Nabi salam sejahtera atasmu, wahai Rasul salam sejahtera atasmu<br />Wahai kekasih salam sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah atasmu.<br /><br />Para pembela Barzanji seperti penulis “Fikih Tradisionalis” berkilah, bahwa tujuan membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Menurutnya, salah satu cara mengagungkan seseorang adalah dengan berdiri, karena berdiri untuk menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang hal itu dilakukan untuk menghormati benda mati. Misalnya, setiap kali upacara bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain, ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan, seluruh peserta upacara diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati bendera merah putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa. Jika dalam upacara bendera saja harus berdiri, tentu berdiri untuk menghormati Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih layak dilakukan, sebagai ekspresi bentuk penghormatan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bukankah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia teragung yang lebih layak dihormati dari pada orang lain?[9]<br /><br />Ini adalah qiyâs yang sangat rancu dan rusak. Bagaimana mungkin menghormati Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam disamakan dengan hormat bendera ketika upacara, sedangkan kedudukan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat mulia dan derajatnya sangat agung, baik saat hidup atau setelah wafat. Bagaimana mungkin beliau disambut dengan cara seperti itu, sedangkan beliau berada di alam Barzah yang tidak mungkin kembali dan hadir ke dunia lagi. Disamping itu, kehadiran Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam ke dunia merupakan keyakinan batil karena termasuk perkara ghaib yang tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan wahyu Allah Azza wa Jalla, dan bukan dengan logika atau qiyas. Bahkan, pengagungan dengan cara tersebut merupakan perkara bid’ah. Pengagungan Nabi nterwujud dengan cara menaatinya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya, dan mencintainya.<br /><br />Melakukan amalan bid'ah, khurafat, dan pelanggaran, bukan merupakan bentuk pengagungan terhadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian juga dengan acara perayaan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan perbuatan tersebut termasuk bid'ah yang tercela.<br /><br />Manusia yang paling besar pengagungannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah para sahabat Radhiyallahu 'anhum -semoga Allah meridhai mereka- sebagaimana perkataan Urwah bin Mas'ûd kepada kaum Quraisy: “Wahai kaumku….demi Allah, aku pernah menjadi utusan kepada raja-raja besar, aku menjadi utusan kepada kaisar, aku pernah menjadi utusan kepada Kisra dan Najasyi, demi Allah aku belum pernah melihat seorang raja yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana pengikut Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam mengagungkan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidaklah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam meludah kemudian mengenai telapak tangan seseorang di antara mereka, melainkan mereka langsung mengusapkannya ke wajah dan kulit mereka. Apabila ia memerintahkan suatu perkara, mereka bersegera melaksanakannya. Apabila beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu, mereka saling berebut bekas air wudhunya. Apabila mereka berkata, mereka merendahkan suaranya dan mereka tidak berani memandang langsung kepadanya sebagai wujud pengagungan mereka”.[10]<br /><br />Bentuk pengagungan para sahabat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas sangat besar. Namun, mereka tidak pernah mengadakan acara maulid dan kemudian berdiri dengan keyakinan ruh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang hadir di tengah mereka. Seandainya perbuatan tersebut disyariatkan, niscaya mereka tidak akan meninggalkannya.<br /><br />Jika para pembela maulîd tersebut berdalih dengan hadîts Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,’Berdirilah kalian untuk tuan atau orang yang paling baik di antara kalian [11], maka alasan ini tidak tepat.<br /><br />Memang benar Imam Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa pada hadits di atas terdapat anjuran untuk berdiri dalam rangka menyambut kedatangan orang yang mempunyai keutamaan[12]. Namun, tidak dilakukan kepada orang yang telah wafat meskipun terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan pendapat yang benar, hadits tersebut sebagai anjuran dan perintah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada orang-orang Anshar Radhiyallahu 'anhum agar berdiri dalam rangka membantu Sa’ad bin Muadz Radhiyallahu 'anhu turun dari keledainya, karena dia sedang luka parah, bukan untuk menyambut atau menghormatinya, apalagi mengagungkannya secara berlebihan[13].<br /><br />Kesalahan Ketiga<br />Penulis kitab Barzanji mengajak untuk mengkultuskan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat untuk meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.<br /><br />فِيْكَ قَدْ أَحْسَنْتُ ظَنِّيْ ياَ بَشِيْرُ ياَ نَذِيـْـُر<br />فَأَغِثْنِيْ وَأَجِـــن ياَ مُجِيْرُ مِنَ السَّعِيْرِ<br />يَاغَيَاثِيْ يَا مِــلاَذِيْ فِيْ مُهِمَّاتِ اْلأُمُــوْرِ<br /><br />Padamu sungguh aku telah berbaik sangka. Wahai pemberi kabar gembira wahai pemberi peringatan.<br />Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku. Wahai pelindung dari neraka Sa’ir<br />Wahai penolongku dan pelindungku. Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting)<br /><br />Sikap berlebihan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mengangkatnya melebihi derajat kenabian dan menjadikannya sekutu bagi Allah Azza wa Jalla dalam perkara ghaib dengan memohon kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bersumpah dengan nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan sikap yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan termasuk perbuatan syirik. Do’a dan tindakan tersebut menyakiti serta menyelisihi petunjuk dan manhaj dakwah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan menyelisihi pokok ajaran Islam yaitu tauhîd. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengkhawatirkan akan terjadinya hal tersebut, sehingga ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sakit yang membawa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kematian, beliau bersabda: “Janganlah kamu berlebihan dalam mengagungkanku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan ketika mengagungkan Ibnu Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah aku adalah hamba dan utusan-Nya”.[14]<br /><br />Telah dimaklumi, bahwa kaum Nasrani menjadikan Nabi Isa Alaihissalam sebagai sekutu bagi Allah Azza wa Jalla dalam peribadatan mereka. Mereka berdoa kepada Nabi-nya dan meninggalkan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla, padahal ibadah tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan peringatan kepada umatnya agar tidak menjadikan kuburan beliau sebagai tempat berkumpul dan berkunjung, sebagaimana dalam sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Janganlah kamu jadikan kuburanku tempat berkumpul, bacalah salawat atasku, sesunggguhnya salawatmu sampai kepadaku dimanapun kamu berada”.[15]<br /><br />Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan peringatan keras kepada umatnya tentang sikap berlebihan dalam menyanjung dan mengagungkan beliau Shallallahu 'alaihi wa salllam. Bahkan, ketika ada orang yang berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka berkata: “Engkau Sayyid kami dan anak sayyid kami, engkau orang terbaik di antara kami, dan anak dari orang terbaik di antara kami”, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: “Katakanlah dengan perkataanmu atau sebagiannya, dan jangan biarkan syaitan menggelincirkanmu”.[16]<br /><br />Termasuk perbuatan yang berlebihan dan melampui batas terhadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bersumpah dengan nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena sumpah adalah bentuk pengagungan yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa bersumpah hendaklah bersumpah dengan nama Allah Azza wa Jalla, jikalau tidak bisa hendaklah ia diam”.[17]<br /><br />Cukuplah dengan hadits tentang larangan bersikap berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi dalil yang tidak membutuhkan tambahan dan pengurangan. Bagi setiap orang yang ingin mencari kebenaran, niscaya ia akan menemukannya dalam ayat dan hadits tersebut, dan hanya Allah-lah yang memberi petunjuk.<br /><br />Kesalahan Keempat<br />Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid’ah yang mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br /><br />Para pengagum kitab Barzanji menganggab bahwa membaca shalawat kepada nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan ibadah yang sangat terpuji. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :<br /><br />"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya". [al-Ahzâb/ 33:56]<br /><br />Ayat ini yang mereka jadikan sebagai dalil untuk membaca kitab tersebut pada setiap peringatan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal, ayat di atas merupakan bentuk perintah kepada umat Islam agar mereka membaca shalawat di manapun dan kapanpun tanpa dibatasi saat tertentu seperti pada perayaan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br /><br />Tidak dipungkiri bahwa bersalawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terutama ketika mendengar nama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disebut sangat dianjurkan. Apabila seorang muslim meninggalkan salawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia akan terhalang dari melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan manfaat, baik di dunia dan akhirat, yaitu:<br /><br />1). Terkena doa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Sungguh celaka bagi seseorang yang disebutkan namaku di sisinya, namun ia tidak bersalawat atasku”.[18]<br />2). Mendapatkan gelar bakhil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Orang bakhîl adalah orang yang ketika namaku disebut di sisinya, ia tidak bersalawat atasku”[19].<br />3). Tidak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Azza wa Jalla, karena meninggalkan membaca salawat dan salam atas Nabi n dan keluarganya. Nabi n bersabda: "Barangsiapa membaca salawat atasku sekali, maka Allah Azza wa Jalla bersalawat atasnya sepuluh kali”.[20]<br />4). Tidak mendapatkan keutamaan salawat dari Allah Azza wa Jalla dan para Malaikat.<br />Allah Azza wa Jalla berfirman:"Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman" [Al-Ahzâb/ 33:43]<br /><br />Bahkan, membaca shalawat menjadi sebab lembutnya hati, karena membaca shalawat termasuk bagian dari dzikir. Dengan dzikir, hati menjadi tenteram dan damai sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla : “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah Azza wa Jalla. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”. (Ar-Ra'du/ 13:28). Tetapi dengan syarat membaca shalawat secara benar dan ikhlas karena Allah Azza wa Jalla semata, bukan shalawat yang dikotori oleh bid’ah dan khufarat serta terlalu berlebihan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga bukan mendapat ketenteraman di dunia dan pahala di akherat, melainkan sebaliknya, mendapat murka dan siksaan dari Allah Azza wa Jalla. Siksaan tersebut bukan karena membaca shalawat, namun karena menyelisihi sunnah ketika membacanya. Apalagi, dikhususkan pada malam peringatan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja, yang jelas-jelas merupakan perayaan bid’ah dan penyimpangan terhadap Syariat.<br /><br />Kesalahan Kelima<br />Penulis kitab Barzanji juga menyakini tentang Nur Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya:<br /><br />وَماَ زَالَ نُوْرُ الْمُصْطَفَى مُتْنَقِلاً مِنَ الطَّيِّبِ اْلأَتْقَي لِطاَهِرِ أَرْدَانٍ<br /><br />Nur Mustafa (Muhammad) terus berpindah-pindah dari sulbi yang bersih kepada yang sulbi suci nan murni.<br /><br />Bandingkanlah dengan perkataan kaum zindiq dan sufi, seperti al-Hallaj yang berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki cahaya yang kekal abadi dan terdahulu keberadaannya sebelum diciptakan dunia. Semua cabang ilmu dan pengetahuan di ambil dari cahaya tersebut dan para Nabi sebelum Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menimba ilmu dari cahaya tersebut.<br /><br />Demikian juga perkataan Ibnul Arabi Atthâ'i bahwa semua Nabi sejak Nabi Adam Alaihissalam hingga Nabi terakhir mengambil ilmu dari cahaya kenabian Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu penutup para Nabi”.[2]<br /><br />Perlu kita diketahui bahwa ghuluw itu banyak sekali macamnya. Kesyirikan ibarat laut yang tidak memiliki tepi. Kesyirikan tidak hanya terbatas pada perkataan kaum Nasrani saja, karena umat sebelum mereka juga berbuat kesyirikan dengan menyembah patung, sebagaimana perbuatan kaum jahiliyah. Di antara mereka tidak ada yang mengatakan kepada Tuhan mereka seperti perkataan kaum Nasrani kepada Nabi Isa Alaihissalam , seperti ; dia adalah Allah, anak Allah, atau menyakini prinsip trinitas mereka. Bahkan mereka mengakui bahwa tuhan mereka adalah kepunyaan Allah Azza wa Jalla dan di bawah kekuasaan-Nya. Namun mereka menyembah tuhan-tuhan mereka dengan keyakinan bahwa tuhan-tuhan mereka itu mampu memberi syafaat dan menolong mereka.<br /><br />Demikian uraian sekilas tentang sebagian kesalahan kitab Barzanji, semoga bermanfaat.[23]<br /><br />[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]<br />_________<br />Footnotes<br />[1]. Al-Munjid fî al A’lâm, 125<br />[2]. Majmûatul Mawâlid, hal. 132.<br />[3]. HR.Tirmidzi dan dishahîhkan al Albâni di dalam shâhihul jam'i hadits yang ke 6468<br />[4]. Lihat Majmûatul Mawâlid Barzanji, hal. 101.<br />[5]. Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (348) dan Abu Daud dalam Sunannya (4718).<br />[6]. Lihat Minhâj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, 3/ 74.<br />[7]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)<br />[8]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)<br />[9]. Lihat Fikih Tradisionalisme, Muhyiddîn Abdusshâmad (277-278)<br />[10]. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri : 3/187, no : 2731, 2732, al-Fath 5/388.<br />[11]. Shahih diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3043) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1768)<br />[12]. Lihat Minhâj Syarah Shahîh Muslim, Imam Nawawi, juz XII, hal. 313.<br />[13]. Lihat Ikmâlil Mu’lim Bi Syarah Shahîh Muslim, Qadhi Iyadh, 6/ 105.<br />[14]. Shahîh diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3445)<br />[15]. Shahîh diriwayatkan oleh Abu Dâwud dengan sanad yang shahîh (2042) dan dishahîhkan oleh Syaikh Albâni dalam Ghâyatul Marâm : 125<br />[16]. Shahîh, dishahîhkan Oleh Albâni dalam Ghâyatul Marâm 127, lihatlah takhrîj beliau di dalamnya.<br />[17]. Shahîh, diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (2679) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1646)<br />[18]. Shahîh, diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (3545), Imam Ahmad dalam Musnadnya 2/254, dan dishahîhkan oleh Albâni dalam irwâ' : 6<br />[19]. Shahîh diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunannya (3546), Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/201 dan dishahîhkan Albâni dalam irwâ' : 5<br />[20]. Shahîh diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîhnya (284).<br />[21]. Majmûatul Mawâlîd(101).<br />[22]. Lihat perinciannya dalam kitab Mahabbatur Rasûlullâh oleh Abdur Rauf Utsman (169-192).<br />[23]. Insya Allah, untuk lebih jelasnya akan penulis sampaikan dalam buku ”Ritual Tradisional”. Semoga Allah k memudahkan penulisan buku ini yang memuat 40 bid’ah populer di kalangan kaum tradisional di Indonesia yang meliputi, Shalawâtan, Barzanjian, Daibaan, Yasinan, Tahlilan, Ratiban, Manaqiban, Rajaban, Sya’banan, Selamatan dan bid’ah-bid’ah lain.<br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-45837705460030025112010-03-01T00:02:00.000-08:002010-03-01T00:02:00.213-08:00Mengapa Barzanzian?Oleh<br />Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro<br /><br /><br /><br />1). Keberadaan Kitab Barzanji Di Kalangan Kaum Muslimin.<br />Kitab ‘Iqdul jauhar fî maulid an nabiyyi al azhar’ atau yang terkenal dengan nama Maulid Barzanji, adalah sebuah kitab yang sangat populer di kalangan dunia Islam, demikian juga di negara kita Indonesia, terutama di kalangan para santri dan pondok-pondok pesantren. Maka, tidak mengherankan jika di setiap rumah mereka terdapat kitab Barzanji ini. Bahkan, sebagian di antara mereka sudah menghafalnya. Sudah menjadi ritual di antara mereka untuk membacanya setiap malam Senin karena meyakini adanya keutamaan dalam membacanya pada malam hari kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ada juga yang membacanya setiap malam Jum’at karena mengharap keberkahan malam hari tersebut. Ada juga yang membacanya setiap bulan sekali, dan ada juga pembacaan maulid barzanji ini pada hari menjelang kelahiran sang bayi atau pada hari dicukur rambutnya. Sudah kita ketahui bahwa mereka beramai-ramai membacanya dengan berjamaah kemudian berdiri ketika dibacakan detik-detik kelahiran beliau. Hal ini mereka lakukan pada perayaan maulid beliau pada tanggal 12 Rabi’ûl awwal. Mereka meyakini bahwa dengan membaca barzanji ini mereka telah mengenang dan memuliakan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga mereka akan memperoleh ketentraman, kedamaian dan keberkahan yang melimpah. Demikianlah cara mereka untuk mewujudkan cinta sejati mereka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br /><span class="fullpost"><br /><br /><br />2). Kandungan Kitab Barzanji<br />Kitab ini mengandung sejarah dan perjalanan hidup Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara singkat mulai sejak beliau lahir, diangkat menjadi rasul, peristiwa hijrah dan pada peperangan hingga wafat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun, dalam penyajiannya dipenuhi dengan lafadz-lafadz ghuluw dan pujian-pujian yang melampaui batas kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, terlebih ketika dibacakan masa-masa menjelang kelahiran beliau. Disebutkan bahwasanya binatang melata milik orang Quraisy sibuk memperbincangkan kelahiran beliau dengan bahasa Arab yang fasih', bahwa Âsiah, Maryam binti Imran dan bidadari-bidadari dari surga mendatangi ibu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yakni Aminah menjelang kelahiran beliau, tanaman yang dulu kering, menjadi tumbuh dan bersemi kembali setelah beliau lahir dan masih banyak lagi kemungkaran dalan barzanji ini, bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diberikan sebagian hak rububiyah yang tidak layak diberikan kecuali hanya kepada Allah k semata. Semua ini muncul karena sikap ghuluw atau ifrâth dari kelompok yang mengaku cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal, sikap ghuluw adalah sikap yang tercela dalam agama Islam dan merupakan sebab penyimpangan dan jauhnya kaum Muslimin dari kebenaran yang sebelumnya telah menghancurkan umat pendahulu kita. Allah Azza wa Jalla berfirman:<br /><br />"Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah k kecuali yang benar". [An-Nisa`/ 4:171-172]<br /><br />Dari Umar bin Khathab, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أََطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ<br /><br />“Janganlah kalian menyanjungku secara berlebihan, sebagaimana kaum Nashara menyanjung Isa bin Maryam sesungguhnya aku adalah seorang hamba. Oleh karena itu katakanlah tentang aku, “hamba Allah Azza wa Jalla dan rasul-Nya”.[HR Bukhâri dan Muslim]<br /><br />Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />إِيَّاكُمْ وَاْلغُلُوُّ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اْلغُلُوُّ<br /><br />“Jauhilah sikap berlebih-lebihan, karena orang-orang sebelum kalian hancur binasa karena sikap berlebihan”. [HR Muslim]<br /><br />Kitab Barzanji ini, serta kitab-kitab yang semisalnya seperti maulid Diba’i dan al Burdah dijadikan pegangan oleh para penyembah kubur dan pemuja para wali dan habib dalam rangka mengenang dan membela pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia. Hal ini telah dikatakan oleh pendahulu mereka, seorang tokoh Quburi (pengagum kubur) yang hidup semasa dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, yaitu Nuruddin Ali bin Ya’kub yang terkenal dengan nama al Bakri (673-724 H), dia berkata: “Aku sungguh khawatir atas mayoritas penduduk negeri ini (keburukan akan menimpa mereka) dengan sebab mereka enggan untuk membela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam“. Inilah dalih yang menjadi sandaran untuk membenarkan kebid’ahan mereka.<br /><br />Sedangkan pernyataan ini telah dikupas dan dibantah oleh Syaikhul Islam dalam kitabnya al Istighâtsah fî ar-radi ‘alal bakrî . Begitulah dalih mereka sejak dahulu hingga sekarang dalam mengadakan acara maulid dan membaca barzanji atau semisalnya. Mereka membela pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menganggap bahwa kaum Wahabi tidak cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jelas, hal ini merupakan kedustaan yang besar atas ahlus sunnah wal jama’ah, karena Ahlus sunnah wal jama’ah adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam namun kecintaan mereka berada di antara ifrâth (ghuluw) dan tafrîth (meremehkan).<br /><br />Dalam buku maulid barzanji ini tidak dijumpai satu ayatpun dari Alqur`an dan juga tidak terdapat satu kalimat pun dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang ada hanyalah sîrah atau sejarah perjalanan hidup beliau yang tersaji dalam untaian-untaian puisi sebagai sanjungan kepada Rasulullah Shallallahju 'alaihi wa sallam.<br /><br />Kalau kita renungkan, mengapa kaum Muslimin negeri kita sangat cinta membaca kitab Barzanji ini? Mungkin di antara jawabannya adalah bahwa mereka hanya mengikuti tradisi dari pendahulu-pendahulu mereka, sehingga mereka taklîd buta dalam hal ini.<br /><br />Padahal mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bukan dengan membaca kitab Barzanji, tetapi dengan mewujudkan syahâdat "Anna Muhammadan Rasulûllâh" dengan konsekuensi membenarkan beritanya, mentaati perintahnya, menjauhi larangannya, dan tidak beribadah kepada Allah Azza wa Jalla melainkan dengan syari’atkan beliau. Inilah cinta sejati kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni dengan merealisasikan mutâba’ah (keteladanan) kepada beliau yang mulia dan menerapkankan sunnah beliau dalam kehidupan sehari-hari.<br /><br />Kemudian, bagaimana sebenarnya sikap seorang muslim terhadap kitab Barzanji ini ? Dan bagaimana dahulu salafus shâlih, para pendahulu kita yang mulia mencintai dan memuliakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ? Dan apakah yang mereka baca dan pelajari dalam keseharian mereka? Apakah kitab Barzanji atau yang kitab yang lain? Semoga pembahasan selanjutnya bisa memberikan jawabannya.<br /><br />3). Para Sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Adalah Generasi Terbaik<br />Para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, adalah orang-orang yang paling bersemangat dalam kebaikan dan orang yang paling sempurna dalam mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mereka juga orang yang paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada satu riwayatpun dari mereka, bahwa sepeninggal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka berkumpul lalu membaca sîrah dan mengenang kehidupan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia. Lau kâna khairan lasabaqûna ilaih; seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah mendahuhuli kita dalam mengamalkannya.<br /><br />Demikian juga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau tidak pernah membaca sîrah beliau sendiri, tidak pernah mengajarkannya kepada para sahabat dan juga umatnya agar membaca sîrah pada hari kelahiran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal, tidak ada satu kebaikan pun, melainkan telah ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak ada satu keburukan pun melainkan telah dilarang oleh beliau. Jadi, pembacaan maulid barzanji dan maulid yang lain adalah bid’ah dhalâlah yang harus dijauhi oleh kaum muslimin.<br /><br />Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />ماَ بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرٍ مَا يَعْلُمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرُهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ<br /><br />“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan dia berkewajiban untuk menunjukkan umatnya kepada perkara terbaik yang dia ketahui untuk mereka, dan memberi peringatan atas perkara jelek yang dia ketahui untuk mereka”. [HR Muslim]<br /><br />Maka, pembacaan barzanji dan yang semisalnya bukanlah merupakan suatu kebaikan yang ditunjukkan oleh beliau Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br /><br />4). Kebaikan Yang Hakiki Hanya Ada Pada Ilmu Syar’i Yang Shahîh<br />Di antara tanda-tanda kebaikan seseorang adalah jika dia difahamkan oleh Allah Azza wa Jalla tentang agama Islam yang murni yang bersumber dari Alqur’ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia.<br /><br />Diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Sufyan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />مَنْ يُرِدِ الله ُبِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ<br /><br />“Barangsiapa yang dikehendaki Allah k untuk mendapatkan kebaikan maka Dia (Allah) akan memahamkannya dalam agama”.[HR Bukhâri]<br /><br />Jadi, di antara tanda-tanda seseorang akan mendapatkan kebaikan adalah dengan mempelajari ilmu agama yang bersumber dari Alqur’ân dan hadits. Kemudian mengamalkan dan mendakwahkannya.<br /><br />Kalau ditanyakan kepada kebanyakan saudara kita, mengapa mereka asyik membaca kitab Barzanji? Mereka pasti menjawab bahwa mereka hanya menginginkan kebaikan. Demikian juga para pelaku bid’ah, mereka menginginkan kebaikan dalam mengamalkan bid’ahnya. Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun dia tidak mampu memperolehnya, sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu 'anhu<br /><br />5). Kewajiban Untuk Berpegang Kepada Alqur’ân Dan As Sunnah<br />Allah Azza wa Jalla berfirman:<br /><br />وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا<br /><br />“Dan berpeganglah dengan tali Allah Azza wa Jalla semuanya dan janganlah berpecah belah”. [Ali-Imrân:103]<br /><br />Syaikh as-Sa’di berkata: " Agar mereka berpegang teguh dengan tali yang Allah Azza wa Jalla berikan. Dia menjadikannya sebagai sebab antara mereka dan Dia, yaitu agama dan kitab-Nya. Kemudian mereka bersatu di atasnya, tidak berpecah belah dan senantiasa seperti itu hingga mereka mati.[2]<br /><br />Alqur’ân dan as Sunnah adalah pedoman hidup kita dalam beragama dan kunci keselamatan di dunia dan akherat. Keduanya adalah jalan untuk meraih kebahagiaan yang abadi.<br /><br />Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />إِنِّيْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُوْا أَبَدًا : كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةُ نَبِيِّهِ<br /><br />“Sesungguhnya aku telah tinggalkan pada kalian apabila kalian berpegang teguh dengannya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya; Kitâbullah dan Sunnah Nabi-Nya”. [HR Hâkim].<br /><br />6). Keutamaan Membaca Dan Mempelajari Alqur’ân Dan Sunnah<br />Allah Azza wa Jalla berfirman:<br /><br />” Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah k dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah k menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah k Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” [Fâthir/ 35:29-30]<br /><br />Orang-orang yang membaca kitabullâh akan mendapatkan keutamaan yang besar. Mereka juga tidak meninggalkan membaca sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam memahaminya karena Alqur’ân dan Sunnah keduanya tidak bisa di pisahkan.<br /><br />Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah berkata: "Membaca Alqur’ân itu terbagi menjadi dua:<br /><br />Pertama adalah tilâwah hukmiyyah yakni membenarkan beritanya, menerapkan hukum-hukumnya dengan mengerjakan perintah dan menjauhi larangannya.<br /><br />Kedua adalah tilâwah lafdziyah yakni sekedar membacanya, dan telah terdapat dalil yang banyak dalam keutamaan membaca Alqur’ân ini, baik membaca secara keseluruhan atau sebagian ayat-ayat tertentu saja.[3]<br /><br />7). Adab-Adab Dalam Membaca Alqur’ân.<br />Ketika kaum muslimin gemar membaca Alqur’ân dan sibuk mempelajarinya, maka sudah selayaknya mereka mengetahui etika dan adab dalam bermuamalah dengan Kitâbullâh.<br /><br />Di antara adab-adab dalam membaca Alqur’ân adalah:<br />a). Membaca dengan niat yang ikhlas.<br />Membaca Alqur’ân adalah ibadah yang mulia. Maka, disyaratkan untuk mengikhlaskan niat hanya mencari wajah Allah Azza wa Jalla. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />إِقْرَأُوْا القرُآنَ وَابْتَغُوْا بِهِ وَجْهَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ قَوْمٌ يُقِيْمُوْنَهُ إِقَامَةً الْقَدَحِ يَتَعَجَّلُوْنَهُ وَلاَ يَتَأَجَّلُوْنَهُ<br /><br />“Bacalah Alqur’ân dan carilah dengannya wajah Allah Azza wa Jalla, sebelum datang satu kaum yang menegakkannya seperti melepaskan anak panah (membaca dengan cepat); mereka tergesa-gesa dan tidak mengharapkan pahala akherat”. [HR Ahmad]<br /><br />Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Makna hadits ini adalah mereka tergesa-gesa dengan upahnya yang berupa uang atau agar terkenal dan semisalnya".[4]<br /><br />b). Membaca dengan menghadirkan hati, menghayati apa yang dibaca dan berusaha memahami maknanya.<br />c). Membaca dalam keadaan berwudhu’, karena hal ini lebih memuliakan Kalâmullah<br />d). Tidak membacanya di tempat yang kotor dan najis atau di tempat yang bising sehingga tidak mungkin dia mendengar bacaannya dengan baik, karena ini berarti merendahkan Kalâmullah.<br />e). Hendaknya membaca ta’awwudz; A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm atau ta’awwudz yang lain sebelum mulai membacanya<br />f). Hendaknya memperbagus suaranya.<br />g). Hendaknya membaca dengan tartil.<br />8. Melakukan sujud tilawah ketika melewati ayat-ayat sajdah (ayat-ayat yang dianjurkan untuk sujud ketika membacanya).<br /><br />8). Penutup<br />Kitab maulid Barzanji ternyata dipenuhi dengan kemungkaran aqidah di dalamnya. Dan tidak selayaknya kaum muslimin asyik membacanya dalam keadaan apapun, apalagi sebagian besar di antara mereka tidak memahami apa yang mereka baca. Perayaan maulid nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak disyari’atkan dalam agama kita bahkan termasuk perbuatan bid’ah. Maka, ajakan kami hendaknya kaum muslimin semuanya kembali kepada ajaran Islam yang murni dengan berpegang kepada Alqur’ân dan Sunnah di atas pemahaman salaful ummah dan istiqamah hingga wafat menjemput kita. Semoga Allah Azza wa Jalla ridha terhadap kita.<br /><br />[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]<br />_________<br />Footnotes<br />[1]. Al istighâtsah fî ar-rad ‘ala Al bakri, cet maktabah dual minhaj hal 23<br />[2]. Tafsîr as-Sa’di, cet. Muassasah ar Risâlah hal 112<br />[3]. Majâlis Syahri Ramadhân, cet. ar Riasah al Ammah hal 28<br />[4]. At Tibyân fî Adâbi Hamalatil Qur’ân, cet. Maktabah Ibnu Abbas -Yaman hal 68 <br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-69257325467499325252010-03-01T00:00:00.000-08:002010-03-01T00:00:07.219-08:00Perayaan Maulidasy Syaikh Bin Baz<br /><br />Segala puji bagi Allah, semoga sholawat dan salam selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya, serta orang orang yang mendapat petunjuk dari Allah.<br /><br />Telah berulang kali muncul pertanyaan tentang hukum upacara (ceremoni ) peringatan maulid Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam ; mengadakan ibadah tertentu pada malam itu, mengucapkan salam atas beliau dan berbagai macam perbuatan lainnya.<br /><span class="fullpost"><br />Jawabnya : Harus dikatakan, bahwa tidak boleh mengadakan kumpul kumpul / pesta pesta pada malam kelahiran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga malam lainnya, karena hal itu merupakan suatu perbuatan baru (bid’ah ) dalam agama, selain Rasulullah belum pernah mengerjakanya, begitu pula Khulafaaurrasyidin, para sahabat lain dan para Tabi’in yang hidup pada kurun paling baik, mereka adalah kalangan orang orang yang lebih mengerti terhadap sunnah, lebih banyak mencintai Rasulullah dari pada generasi setelahnya, dan benar benar menjalankan syariatnya.<br /><br />Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :<br />" من أحـدث في أمـرنا هذا ما ليس منـه فهـو رد "، أي مـردود.<br />“Barang siapa mengada adakan ( sesuatu hal baru ) dalam urusan ( agama ) kami yang ( sebelumnya ) tidak pernah ada, maka akan ditolak”.<br /><br />Dalam hadits lain beliau bersabda :<br />" عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين بعدي، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة ".<br />“Kamu semua harus berpegang teguh pada sunnahku (setelah Al qur’an) dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk Allah sesudahku, berpeganglah dengan sunnah itu, dan gigitlah dengan gigi geraham kalian sekuat kuatnya, serta jauhilah perbuatan baru ( dalam agama ), karena setiap perbuatan baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat” ( HR. Abu Daud dan Turmudzi ).<br /><br />Maka dalam dua hadits ini kita dapatkan suatu peringatan keras, yaitu agar kita senantiasa waspada, jangan sampai mengadakan perbuatan bid’ah apapun, begitu pula mengerjakannya.<br /><br />Firman Allah ta’ala dalam kitab-Nya :<br />] وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا واتقوا الله إن الله شديد العقاب [<br />“Dan apa yang dibawa Rasul kepadamu, maka terimalah ia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah ia, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah keras siksaan- Nya” ( QS. Al Hasyr 7 ).<br /><br />] فليحـذر الذين يخالفـون عن أمـره أن تصيبـهم فتنة أو يصيبـهم عذاب أليم [<br />“Karena itu hendaklah orang orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau adzab yang pedih” ( QS. An Nur, 63 ).<br /><br />] لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا [<br />“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang orang yang mengharap (rahmat ) Allah, dan ( kedatangan ) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah” ( QS. Al Ahzab,21 ).<br />] والسابقون الأولون من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان رضي الله عنهم ورضوا عنه وأعد لهم جنات تجري تحتها الأنهار خالدين فيها أبدا ذلك الفوز العظيم [<br /><br />“Orang orang terdahulu lagi pertama kali (masuk Islam ) diantara orang orang Muhajirin dan Anshor dan orang orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan itu, Allah ridho kepada mereka, dan merekapun ridho kepadaNya, serta Ia sediakan bagi mereka syurga syurga yang disana mengalir beberapa sungai, mereka kekal didalamnya, itulah kemenangan yang besar” ( QS, At taubah, 100 ).<br /><br />] اليوم أكملت لكم دينكـم وأتممت عليكـم نعمتي ورضيت لكـم الإسلام دينا [<br />“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Kuridlai Islam itu sebagai agama bagimu” ( QS. Al Maidah, 3 ).<br /><br />Dan masih banyak lagi ayat ayat yang menerangkan kesempurnaan Islam dan melarang melakukan bid’ah karena mengada-adakan sesuatu hal baru dalam agama, seperti peringatan peringatan ulang tahun, berarti menunjukkan bahwasanya Allah belum menyempurnakan agamaNya buat umat ini, berarti juga Rasulullah itu belum menyampaikan apa apa yang wajib dikerjakan umatnya, sehingga datang orang orang yang kemudian mengada adakan sesuatu hal baru yang tidak diperkenankan oleh Allah, dengan anggapan bahwa cara tersebut merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tidak diragukan lagi, bahwa cara tersebut terdapat bahaya yang besar, lantaran menentang Allah ta’ala, begitu pula ( lantaran ) menentang Rasulullah. Karena sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya, dan telah mencukupkan ni’mat-Nya untuk mereka.<br /><br />Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan risalahnya secara keseluruhan, tidaklah beliau meninggalkan suatu jalan menuju syurga, serta menjauhi diri dari neraka, kecuali telah diterangkan oleh beliau kepada seluruh ummatnya sejelas jelasnya.<br /><br />Sebagaimana telah disabdakan dalam haditsnya, dari Ibnu Umar rodhiAllah ‘anhu bahwa beliau bersabda<br />" ما بعث الله من نبي إلا كان حقا عليه أن يدل أمته على خير ما يعلمه لهم وينذرهم عن شر ما يعلمه لهم ".<br />“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi, melainkan diwajibkan baginya agar menunjukkan kepada umatnya jalan kebaikan yang telah diajarkan kepada mereka, dan memperingatkan mereka dari kejahatan ( hal hal tidak baik ) yang telah ditunjukkan kepada mereka” ( HR. Muslim ).<br /><br />Tidak dapat dipungkiri, bahwasanya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi terbaik diantara Nabi Nabi lain, beliau merupakan penutup bagi mereka ; seorang Nabi paling lengkap dalam menyampaikan da’wah dan nasehatnya diantara mereka itu semua.<br /><br />Jika seandainya upacara peringatan maulid Nabi itu betul betul datang dari agama yang diridloi Allah, niscaya Rasulullah menerangkan kepada umatnya, atau beliau menjalankan semasa hidupnya, atau paling tidak, dikerjakan oleh para sahabat. Maka jika semua itu belum pernah terjadi, jelaslah bahwa hal itu bukan dari ajaran Islam sama sekali, dan merupakan seuatu hal yang diada adakan ( bid’ah ), dimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sudah memperingatkan kepada umatnya agar supaya dijauhi, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam dua hadits diatas, dan masih banyak hadits hadits lain yang senada dengan hadits tersebut, seperti sabda beliau dalam salah satu khutbah Jum’at nya :<br /><br />" أما بعد، فإن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة ".<br /><br />“Adapun sesudahnya, sesungguhnya sebaik baik perkataan ialah kitab Allah (Al Qur’an), dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan sejelek jelek perbuatan ( dalam agama) ialah yang diada adakan (bid’ah), sedang tiap tiap bid’ah itu kesesatan” ( HR. Muslim ).<br /><br />Masih banyak lagi ayat ayat Al Qur’an serta hadits hadits yang menjelaskan masalah ini, berdasarkan dalil dalil inilah para ulama bersepakat untuk mengingkari upacara peringatan maulid Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan memperingatkan agar waspada terhadapnya.<br /><br />Tetapi orang orang yang datang kemudian menyalahinya, yaitu dengan membolehkan hal itu semua selama di dalam acara itu tidak terdapat kemungkaran seperti berlebih lebihan dalam memuji Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, bercampurnya laki laki dan perempuan (yang bukan mahram), pemakaian alat alat musik dan lain sebagainya dari hal hal yang menyalahi syariat, mereka beranggapan bahwa ini semua termasuk bid’ah hasanah padahal kaidah syariat mengatakan bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan oleh manusia hendaknya dikembalikan kepada Al Qur’an dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.<br /><br />Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman :<br />] يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا [<br />“Hai orang orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri ( pemimpin) diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( Al Qur’an ) dan Rasul ( Al Hadits), jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya” ( QS. An nisa’, 59 ).<br /><br />] وما اختلفتم فيه من شيء فحكمه إلى الله ذلكم الله ربي عليه توكلت وإليه أنيب [<br />“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah ) kepada Allah ( yang mempunyai sifat sifat demikian ), itulah Tuhanku, Kepada -Nya- lah aku bertawakkal dan kepada –Nya- lah aku kembali” ( QS. Asy syuro, 10 ).<br /><br />Ternyata setelah masalah ini (hukum upacara maulid Nabi) kita kembalikan kepada kitab Allah ( Al Qur’an ), kita dapatkan suatu perintah yang menganjurkan kita agar mengikuti apa apa yang dibawa oleh Rasulullah, menjauhi apa apa yang dilarang oleh beliau, dan (Al Qur’an ) memberi penjelasan pula kepada kita bahwasanya Allah subhaanahu wa ta’ala telah menyempurnakan agama umat ini.<br /><br />Dengan demikian upacara peringatan maulid Nabi ini tidak sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia bukan dari ajaran agama yang telah disempurnakan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala kepada kita, dan diperintahkan agar mengikuti sunnah Rasul, ternyata tidak terdapat keterangan bahwa beliau telah menjalankannya, (tidak) memerintahkannya, dan (tidak pula) dikerjakan oleh sahabat sahabatnya.<br /><br />Berarti jelaslah bahwasanya hal ini bukan dari agama, tetapi ia adalah merupakan suatu perbuatan yang diada adakan, perbuatan yang menyerupai hari hari besar ahli kitab, Yahudi dan Nasrani.<br />Hal ini jelas bagi mereka yang mau berfikir, berkemauan mendapatkan yang haq, dan mempunyai keobyektifan dalam membahas ; bahwa upacara peringatan maulid Nabi bukan dari ajaran agama Islam, melainkan merupakan bid’ah bid’ah yang diada adakan, dimana Allah memerintahkan RasulNya agar meninggalkanya dan memperingatkan agar waspada terhadapnya, tak layak bagi orang yang berakal tertipu karena perbuatan perbuatan tersebut banyak dikerjakan oleh orang banyak diseluruh jagat raya, sebab kebenaran (Al Haq) tidak bisa dilihat dari banyaknya pelaku (yang mengerjakannya), tetapi diketahui atas dasar dalil dalil syara’.<br />Sebagaimana Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman tentang orang orang Yahudi dan Nasrani :<br />] وقالوا لن يدخل الجنة إلا من كان هودا أو نصارى تلك أمانيهم قل هاتوا برهانكم إن كنتم صادقين [<br />“Dan mereka ( Yahudi dan Nasrani ) berkata : sekali kali tak (seorangpun ) akan masuk sorga, kecuali orang orang yang beragama Yahudi dan Nasrani. Demikian itu (hanya) angan angan mereka yang kosong belaka ; katakanlah : tunjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu orang orang yang benar” ( QS. Al Baqarah, 111 ).<br /><br />] وإن تطع أكثر من في الأرض يضلوك عن سبيل الله إن يتبعون إلا الظن وإن هم إلا يخرصون [<br />“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang orang yang berada dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah ; mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak lain hanyalah menyangka-nyangka” ( QS. Al An’am, 116 ).<br /><br />Lebih dari itu, upacara peringatan maulid Nabi ini – selain bid’ah –tidak lepas dari kemungkaran kemungkaran, seperti bercampurnya laki laki dan perempuan ( yang bukan mahram ), pemakaian lagu lagu dan bunyi bunyian, minum minuman yang memabukkan, ganja dan kejahatan kejahatan lainya yang serupa.<br /><br />Kadangkala terjadi juga hal yang lebih besar dari pada itu, yaitu perbuatan syirik besar, dengan sebab mengagung agungkan Rasulullah secara berlebih lebihan atau mengagung agungkan para wali, berupa permohonan do’a, pertolongan dan rizki. Mereka percaya bahwa Rasul dan para wali mengetahui hal hal yang ghoib, dan macam macam kekufuran lainnya yang sudah biasa dilakukan orang banyak dalam upacara malam peringatan maulid Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam itu.<br /><br />Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :<br />" إياكم والغلو في الدين، فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو في الدين ".<br />“Janganlah kalian berlebih lebihan dalam agama, karena berlebih lebihan dalam agama itu telah menghancurkan orang orang sebelum kalian”.<br />" لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم، إنما أنا عبد، فقولوا عبد الله ورسوله " رواه البخاري في صحيحه من حديث عمر رضي الله عنه.<br />“Janganlah kalian berlebih lebihan dalam memujiku sebagaimana orang orang Nasrani memuji anak Maryam, Aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah : hamba Allah dan Rasul Allah” ( HR. Bukhori dalam kitab shohihnya, dari hadits Umar, Radliyallahu ‘anhu ).<br /><br />Yang lebih mengherankan lagi yaitu banyak diantara manusia itu ada yang betul betul giat dan bersemangat dalam rangka menghadiri upacara bid’ah ini, bahkan sampai membelanya, sedang mereka berani meninggalkan sholat Jum’at dan sholat jama’ah yang telah diwajibkan oleh Allah kepada mereka, dan sekali kali tidak mereka indahkan. Mereka tidak sadar kalau mereka itu telah mendatangkan kemungkaran yang besar, disebabkan karena lemahnya iman kurangnya berfikir, dan berkaratnya hati mereka, karena bermacam macam dosa dan perbuatan maksiat. Marilah kita sama sama meminta kepada Allah agar tetap memberikan limpahan karuniaNya kepada kita dan kaum muslimin.<br /><br />Diantara pendukung maulid itu ada yang mengira, bahwa pada malam upacara peringatan tersebut Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam datang, oleh kerena itu mereka berdiri menghormati dan menyambutnya, ini merupakan kebatilan yang paling besar, dan kebodohan yang paling nyata. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan bangkit dari kuburnya sebelum hari kiamat, tidak berkomunikasi kepada seorangpun, dan tidak menghadiri pertemuan pertemuan umatnya, tetapi beliau tetap tinggal didalam kuburnya sampai datang hari kiamat, sedangkan ruhnya ditempatkan pada tempat yang paling tinggi (‘Illiyyin ) di sisi TuhanNya, itulah tempat kemuliaan.<br /><br />Firman Allah dalam Al Qur’an :<br />] ثم إنكم بعد ذلك لميتون ثم إنكم يوم القيامة تبعثون [<br />“Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian pasti mati, kemudian sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan ( dari kuburmu ) di hari kiamat” ( QS. Al Mu’minun, 15-16 ).<br /><br />Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :<br />" أنا أول من ينشق عنه القبر يوم القيامة، وأنا أول شافع وأول مشفع "<br /><br />“Aku adalah orang yang pertama kali dibangkitkan / dibangunkan diantara ahli kubur pada hari kiamat, dan aku adalah orang yang pertama kali memberi syafa’at dan diizinkan memberikan syafa’at”.<br /><br />Ayat dan hadits diatas, serta ayat ayat dan hadits hadits yang lain yang semakna menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan mayat mayat yang lainnya tidak akan bangkit kembali kecuali sesudah datangnya hari kebangkitan. Hal ini sudah menjadi kesepakatan para ulama, tidak ada pertentangan diantara mereka.<br /><br />Maka wajib bagi setiap individu muslim memperhatikan masalah masalah seperti ini, dan waspada terhadap apa apa yang diada adakan oleh orang orang bodoh dan kelompoknya, dari perbuatan perbuatan bid’ah dan khurafat khurafat, yang tidak diturunkan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala. Hanya Allah lah sebaik baik pelindung kita, kepada-Nyalah kita berserah diri dan tidak ada kekuatan serta kekuasaan apapun kecuali kepunyaan-Nya.<br /><br />Sedangkan ucapan sholawat dan salam atas Rasulullah adalah merupakan pendekatan diri kepada Allah yang paling baik, dan merupakan perbuatan yang baik, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an :<br />] إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما [<br />“Sesungguhnya Allah dan Malaikat malaikatNya bersholawat kepada Nabi, hai orang orang yang beriman, bersholawatlah kalian atas Nabi dan ucapkanlah salam dengan penghormatan kepadanya” ( QS. Al Ahzab, 56 ).<br /><br />Dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :<br />" من صلى علي واحدة صلى الله عليه بها عشرا ".<br />“Barang siapa yang mengucapkan sholawat kepadaku sekali, maka Allah akan bersholawat ( memberi rahmat ) kepadanya sepuluh kali lipat.”<br /><br />Sholawat itu disyariatkan pada setiap waktu, dan hukumnya Muakkad jika diamalkan pada ahir setiap sholat, bahkan sebagian para ulama mewajibkannya pada tasyahud ahir di setiap sholat, dan sunnah muakkadah pada tempat lainnya, diantaranya setelah adzan, ketika disebut nama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, pada hari Jum’at dan malamnya, sebagaimana hal itu diterangkan oleh hadits hadits yang cukup banyak jumlahnya.<br /><br />Allah lah tempat kita memohon, untuk memberi taufiq kepada kita sekalian dan kaum muslimin, dalam memahami agama Nya, dan memberi mereka ketetapan iman, semoga Allah memberi petunjuk kepada kita agar tetap kosisten dalam mengikuti sunnah, dan waspada terhadap bid’ah, karena Dialah MahaPemurah dan MahaMulia, semoga pula sholawat dan salam selalu dilimpahkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.<br /><br />Dikutip dari الحذر من البدع Tulisan Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz, Mufti Saudi Arabia. Penerbit Departemen Agama Saudi Arabia. Edisi Indonesia "Waspada terhadap Bid'ah".<br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-63882693053557843482010-02-08T05:08:00.001-08:002010-02-08T05:11:08.775-08:00MACAM MACAM HATIHati itu bisa hidup dan bisa mati. Sehubungan dengan itu, hati dapat dikelompokkan menjadi:<br /><br />[1]. Hati yang sehat<br />[2]. Hati yang mati<br />[3]. Hati yang sakit<br /><br />Hati yang sehat adalah hati yang selamat. Pada hari kiamat nanti, barangsiapa menghadap Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa membawanya tidak akan selamat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br /><br />"Artinya : Adalah hari yang mana harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat." [Asy-Syu'ara : 88-89]<br /><span class="fullpost"><br /><br /><br /><br />Hati yang selamat didefinisikan sebagai hati yang terbebas dari setiap syahwat, keinginan yang bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dari setiap syubhat, ketidakjelasan yang menyeleweng dari kebenaran. Hati ini selamat dari beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam . Ubudiyahnya murni kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala . Iradahnya, mahabbahnya, inabahnya, ikhbatnya, khasyyahnya, roja'nya, dan amalnya, semuanya lillah, karenaNya. Jika ia mencintai, membenci, memberi, dan menahan diri, semuanya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala . Ini saja tidak dirasa cukup. Sehingga ia benar-benar terbebas dari sikap tunduk dan berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Hatinya telah terikat kepadanya dengan ikatan yang kuat untuk menjadikannya sebagai satu-satunya panutan, dalam perkataan dan perbuatan. Ia tidak akan berani bersikap lancang, mendahuluinya dalam hal aqidah, perkataan atau pun perbuatan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.<br /><br />"Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kalian bersikap lancing (mendahului) Allah dan RasulNya, dan bertaqwalah kepada Allah Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [Al-Hujurat : 1]<br /><br />Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal siapa Rabbnya. Ia tidak beribadah kepadaNya dengan menjalankan perintahNya atau menghadirkan sesuatu yang dicintai dan diridlaiNya. Hati model ini selalu berjalan bersama hawa nafsu dan kenikmatan duniawi, walaupun itu dibenci dan dimurkai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala . Ia tidak peduli dengan keridlaan atau kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta'ala . Baginya, yang penting adalah memenuhi keinginan hawa nafsu. Ia menghamba kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala . Jika ia mencinta, membenci, memberi, dan menahan diri, semuanya karena hawa nafsu. Hawa nafsu telah menguasainya dan lebih ia cintai daripada keridlaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hawa nafsu telah menjadi pemimpin dan pengendali baginya. Kebodohan adalah sopirnya, dan kelalaian adalah kendaraan baginya. Seluruh pikirannya dicurahkan untuk menggapai target-target duniawi. Ia diseru kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan negeri akhirat, tetapi ia berada di tempat yang jauh sehingga ia tidak menyambutnya. Bahkan ia mengikuti setiap setan yang sesat. Hawa nafsu telah menjadikannya tuli dan buta selain kepada kebatilan.[1]. Bergaul dengan orang yang hatinya mati ini adalah penyakit, berteman dengannya adalah racun, dan bermajlis dengan mereka adalah bencana.<br /><br />Hati yang sakit adalah hati yang hidup namun mengandung penyakit. Ia akan mengikuti unsur yang kuat. Kadang-kadang ia cenderung kepada 'kehidupan', dan kadang-kadang pula cenderung kepada 'penyakit'. Padanya ada kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala , yang merupakan sumber kehidupannya. Padanya pula ada kecintaan dan ketamakan terhadap syahwat, hasad [2], kibr [3], dan sifat ujub, yang merupakan sumber bencana dan kehancurannya. Ia ada diantara dua penyeru; penyeru kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan hari akhir, dan penyeru kepada kehidupan duniawi. Seruan yang akan disambutnya adalah seruan yang paling dekat, paling akrab.<br /><br />Demikianlah, hati yang pertama adalah hati yang hidup, khusyu', tawadlu', lembut dan selalu berjaga. Hati yang kedua adalah hati yang gersang dan mati, Hati yang ketiga adalah hati yang sakit, kadang-kadang dekat kepada keselamatan dan kadang-kadang dekat kepada kebinasaan.<br /><br /><br />[Diketik ulang dari: "Tazkiyah An-Nafs, Konsep Penyucian Jiwa Menurut Para Salaf", Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Rajab al-Hambali, Imam Ghazali. Pentahqiq: Dr. Ahmad Farid. Penerjemah: Imtihan Asy-Syafi'i. Editor: Abu Fatiah Al Adnani . Penerbit: Pustaka Arafah, Solo. Cetakan Pertama: Februari 2001/Dzul Qa'dah 1421 H, hal.22-24]<br />_________<br />Foote Note<br />[1]. Disebutkan dalam sebuah hadits, "Cintamu kepada sesuatu akan membutakanmu dan menulikanmu," Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Al- Adab XIV/38 secara marfu'dan oleh Imam Ahmad dalam Musnad V /194 secara marfu', juga VI/450 secara mauquf. Semuanya dari Abu Darda'. Abu Dawud tidak mengomentari hadits ini. Namun sebagian ulama menghasankannya, dan sebagian yang lain mendlaif-kannya.<br />[2]. Hasad atau dengki adalah sikap tidak suka melihat orang lain mendapat nikmat dan mengharapkan nikmat itu lenyap darinya.<br />[3]. Kibr atau sombong adalah menganggap remeh orang lain. Rasulullah bersabda, Kibr itu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain." HR. Muslim II/89<br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-47579723925647913702010-02-08T05:06:00.001-08:002010-02-08T05:12:22.034-08:00WASIAT UMAR BIN DZARWASIAT UMAR BIN DZAR TENTANG RENUNGAN MENGENAI PEMUTUS KENIKMATAN<br /><br /><br />Oleh<br />Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilali<br /><br /><br /><br /><br /><br />Dari Nadhar bin Ismail yang berkata: Saya pernah mendengar Umar bin Dzar [1] berkata:<br /><br />Kamu sekalian telah cukup mengerti tentang kematian, maka kamu menunggu-nunggu kedatangannya siang dan malam.<br /><br />Mungkin kamu meninggal sebagai seorang yang sangat dicintai oleh keluarganya, dihormati oleh kerabatnya, dan dipatuhi oleh masyarakatnya, dipindahkan keliang yang kering dan batu-batu cadas yang bisu. Tidak ada seorangpun dari keluarga yang bisa memberikan bantal, kecuali hanya menempatkannya di tengah kerumunan binatang serangga. Adapun bantal pada saat itu berupa amal perbuatannya.<br /><br />Atau mungkin kamu meninggal sebagai orang yang malang dan terasing. Di dunia, ia telah ditimpa banyak kesedihan, usaha yang dilakukan sudah berkepanjangan, badan telah kepayahan, lantas kematian tiba-tiba menjemput sebelum ia meraih keinginannya.<br /><br />Atau mungkin kamu adalah seorang anak yang masih disusui, orang yang sakit, atau orang yang tergadai dan tergila-gila dengan kejahatan. Mereka semua diundi dengan anak panah kematian.<br /><br />Tidak adakah pelajaran yang bisa dipetik dari perkataan para juru nasihat?!<br /><br />Sungguh, seringkali saya berkata: "Maha Suci Allah Jalla Jalaluhu. Dia telah memberi tempo kepada kamu sehingga seakan-akan menjadikan kamu lalai." Kemudian saya kembali melihat kepemaafan dan kekuasaan-Nya, lantas berkata: "Tidak, tetapi Dia mengakhirkan kita sampai pada batas ajal kita, sampai pada hari di mana mata menjadi terbelalak dan hati menjadi kering."<br /><br />"Artinya : Mereka datang bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mengangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong." [Ibrahim : 43]<br /><br />"Ya Rabbi, Engkau telah memberikan peringatan, maka hujjah-Mu telah tegak<br />atas hamba-hamba-Mu”<br /><br />Kemudian ia membaca:<br /><br />"Artinya : Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang adzab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang zhalim: "Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit." [Ibrahim : 44]<br /><br />Kemudian ia berkata:<br /><br />"Wahai pelaku kezhaliman! Sesungguhnya kamu sedang berada dalam masa penangguhan yang kamu minta itu, maka manfaatkanlah sebelum akhir masa itu tiba dan bersegeralah sebelum berlalu. Batas akhir penangguhan adalah ketika kamu menemui ajal, saat sang maut datang. Ketika itu tidak berguna lagi penyesalan.<br /><br />Anak Adam ibarat papan yang dipasang sebagai sasaran dari panah kematian. Siapa yang dipanah dengan anak panah-anak panahnya, tidak akan meleset. Dan bila kematian itu telah menginginkan seseorang, maka tidak akan menimpa yang lain.<br /><span class="fullpost"><br />Ketahuilah, sesungguhnya kebaikan yang paling besar adalah kebaikan di akhirat yang abadi dan tidak berakhir, yang kekal dan tidak fana, yang terus berlanjut dan tak kenal putus.<br /><br />Hamba-hamba yang dimuliakan bertempat tinggal di sisi Allah Ta'ala di tengah segala hal yang menyenangkan diri dan menyejukkan pandangan. Mereka saling mengunjungi, bertemu, dan bernostalgia tentang hari-hari mereka hidup di dunia.<br /><br />Tentramlah kehidupan mereka. Mereka telah memperoleh apa yang mereka inginkan dan meraih apa yang mereka cari, karena keinginan mereka adalah berjumpa dengan majikan Yang Maha Pemurah dan Maha Pemberi Anugerah. [2]<br /><br /><br />[Disalin ulang dari: "Wasiat Para Salaf", Penulis Syaikh Salim bin 'Ied Al Hilali, Penerjemah: Hawin Murtadho. Penerbit: At-Tibyan, Solo. Cetakan kedua: Juli 2000 M, hal.111-114]<br />_________<br />Foote Note<br />[1]. Dia adalah Umar bin Dzar biun Abdillah bin Zaraqah Al-Hamdani Al-Murhabi, seorang tabi'it tabi'in yang tsiqah, wafat pada tahun 135 H. Riwayat hidupnya ada dalam "Tahdzibut Tahdzib" (VII:144), "Hilyatul Auliya" (V:108) dan lain-lain<br />[2]. Dikeluarkan oleh Abu Nu'aim dalam 'Al-Hilyah' (V:115-116) <br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-28781569647456416712010-02-08T05:04:00.001-08:002010-02-08T05:05:36.185-08:00Malam dan siang hanyalah sebuah perjalananMALAM DAN SIANG HANYALAH SEBUAH PERJALANAN<br /><br />Oleh<br />Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim<br /><br /><br /><br /><br />Saudaraku semuslim…<br />Malam dan siang hanyalah sebuah perjalanan yang selalu dilalui oleh setiap insan, dia melewatinya selangkah demi selangkah sehingga sampai pada akhir sebuah perjalanan. Jika Anda bisa mempersembahkan sebuah perbekalan pada setiap langkah tersebut, maka lakukanlah, karena tidak lama lagi perjalanan ini akan berakhir, bahkan dia berlari dengan lebih cepat dari yang engkau bayangkan. Maka bekalilah dirimu dalam perjalanan ini dan lakukanlah kewajibanmu, seakan-akan engkau sedang ada dalam perjalanan yang banyak mengandung bahaya para perampok.<br /><br />Seorang Salaf menulis surat kepada saudaranya (yang isinya), “Wahai saudaraku, engkau berkhayal bahwa engkau selamanya berada di dunia, akan tetapi sebenarnya engkau ada dalam sebuah perjalanan. Engkau digiring dengan cepat, kematian datang menghadangmu, sedangkan dunia telah menggulung tikarnya di belakangmu, umurmu yang telah berlalu sama sekali tidak akan kembali.”[1]<span class="fullpost"><br /><br />Kita semua berjalan pada kelompok orang-orang yang zuhud, sedangkan kafilah (rombongan) orang-orang yang shalih telah berlalu… bagaimana kita melihat dunia menyatu dengan akhirat… antara zuhud dengan qana’ah. ‘Ali bin Fudhail berkata, “Aku mendengar ayahku berbicara kepada Ibnul Mubarak, ‘Engkau memerintahkan kami untuk hidup dengan zuhud dan kesederhanaan, akan tetapi aku melihat dirimu yang selalu membawa barang dagangan, bagaimana hal ini bisa terjadi?’ Beliau menjawab, ‘Wahai Abu ‘Ali, aku melakukannya hanya untuk menjaga wajah dan kehormatanku, dan dengannya aku melakukan ketaatan kepada Rabb-ku.’ Lalu dia berkata, ‘Wahai Ibnul Mubarak! Sungguh indahnya hal ini jika ini dilakukan dengan sempurna!!’”<br /><br />Saudaraku tercinta…<br />Bagaimana engkau memandang dunia ini? Sungguh indahnya dunia jika ia datang dari pintu yang halal dan digunakan di jalan yang halal. Sesungguhnya pintu-pintu kebaikan sangat banyak dan tidak dapat dihitung: shadaqah, membantu orang yang sangat membutuhkan, menolong orang yang tertimpa musibah, membantu para janda, dan menanggung hidup anak-anak yatim.<br /><br />Saudaraku…Sufyan pernah berkata, “Jagalah dirimu dari kemarahan Allah dalam tiga hal:<br /><br />(1) Jagalah dirimu agar tidak lalai pada perintah-Nya,<br />(2) Jagalah dirimu dari sikap tidak rela akan keputusan-Nya sedangkan Dia melihatmu, dan<br />(3) Jagalah dirimu dari sikap membenci Rabb-mu ketika engkau meminta kepada-Nya, tetapi engkau tidak mendapatkannya.”<br /><br />Sesungguhnya yang membagi-bagikan rizki di dunia ini adalah Allah, karena itu engkau harus rela terhadap pembagian-Nya, sedikit ataupun banyak, datang atau pergi, dunia itu memihakmu ataupun meninggalkanmu, engkau harus rela terhadap apa yang engkau dapatkan. Janganlah hatimu risau karenanya, janganlah engkau membenci apa yang telah Allah tentukan untukmu, dan janganlah engkau melihat orang yang lebih tinggi darimu dalam hal keduniaan. Akan tetapi lihatlah kepada orang-orang shalih dan orang-orang pilihan.<br /><br />Siapa saja yang ingin hidup lapang<br />di dalam naungan agama dengan meraih dunia,<br />maka lihatlah orang yang lebih wara’ (takwa) daripadanya<br />dan perhatikanlah orang yang lebih miskin dari-nya.[2]<br /><br />Yang lebih indah lagi dari ungkapan tersebut adalah firman Allah di dalam Kitab-Nya yang mulia:<br /><br />"Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia untuk Kami cobai mereka dengannya… ." [Thahaa: 131]<br /><br />Ibrahim al-Asy’ats rahimahullah berkata, “Aku mendengar Fudhail berkata, ‘Rasa takut seorang hamba terhadap Allah sesuai dengan keilmuannya kepada-Nya. Kezuhudan seorang hamba terhadap dunia sesuai dengan keinginannya atas kebahagiaan akhirat. Siapa saja yang beramal dengan ilmu yang ia ketahui, maka dia akan merasa cukup terhadap apa-apa yang tidak ia ketahui. Dan siapa saja yang mengamalkan sesuatu yang ia ketahui, maka Allah akan memberikan ilmu yang tidak ia ketahui. Siapa saja memiliki prilaku yang jelek, maka jelek pulalah agama, keturunan, dan kehormatannya.”[3]<br /><br />Sebagian dari orang-orang zuhud berkata, “Aku tidak pernah mengetahui seseorang yang mendengar Surga dan Neraka, kemudian didatangkan kematian kepadanya. Sedangkan ia dalam keadaan tidak melakukan ketaatan kepada Allah sesaat pun, baik dengan berdzikir, shalat, membaca al-Qur-an atau dengan berbuat baik.” Lalu seseorang berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku banyak menangis.” Lalu beliau berkata, “Jika engkau tertawa dengan mengakui kesalahan, itu lebih baik daripada engkau menangis tetapi selalu menampakkan amal. Jika seseorang me-nampakkan amalnya, niscaya amal tersebut tidak akan naik melebihi kepalanya.”<br /><br />Orang tadi berkata, “Nasihatilah aku!” Beliau pun berkata, “Tinggalkanlah dunia untuk orang yang tamak kepadanya sebagaimana mereka meninggalkan akhirat. Dan jadilah di dunia ini bagaikan seekor lebah, dia tidak akan makan kecuali yang baik-baik. Dan jika terjatuh, maka dia tidak akan memecahkan atau merobek-robek sesuatu.”[4]<br /><br />Saudaraku tercinta…<br />Tidak ada seorang pun yang mengingat kematian melainkan dunia akan menjadi hina dalam pandangannya, akhirnya semua penutup di hadapannya akan terbuka. Sesungguhnya dunia adalah beberapa tahun yang bisa dihitung, sebanyak apa pun materi yang dikumpulkan oleh seseorang dan sebanyak apa pun harta simpanan yang ia miliki, karena di belakang semua itu adalah kematian yang akan menghancurkan semua kelezatan dan memisahkan seseorang dari semua kawannya.<br /><br />Al-Hasan rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kematian itu selalu membuka aib dunia, dia tidak akan membiarkan seseorang yang berakal mendapatkan kebahagiaan di dalamnya.” [5]<br /><br />Kebahagiaan apakah wahai saudaraku, sedangkan dunia begitu adanya?<br /><br />Dunia telah berseru kepada dirinya,<br />seandainya di alam ini ada orang yang mendengarnya.<br />Berapa banyak sang pengumpul harta yang telah aku hancurkan,<br />harta yang dikumpulkannya.[6]<br /><br />[Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il, Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim, Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]<br />__________<br />Footnotes<br />[1]. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, hal. 381.<br />[2]. As-Siyar (VIII/426).<br />[3]. Al-Ihyaa’ (IV/131).<br />[4]. As-Siyar (VIII/426).<br />[5]. Taariikh Baghdaad (XIV/444).<br />[6]. Thabaqaatusy Syaafi’iyyah (VI/78). <br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-47571347466009307262010-02-08T05:02:00.001-08:002010-02-08T05:04:08.101-08:00JIKA UMUR TELAH 40 TAHUNOleh<br />Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim<br /><br /><br /><br />Saudaraku tercinta, di manakah kita di antara mereka?<br />‘Abdullah bin Dawud berkata, “Adalah salah satu dari mereka (kaum Salaf), jika umurnya telah mencapai empat puluh tahun, maka mereka menggulung tempat tidurnya, mereka sama sekali tidak tidur. Akan tetapi memenuhi malamnya dengan shalat, tasbih, dan istighfar… mereka menggantikan waktu (umur) yang telah lalu dengan kebaikan dan menyiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang akan datang.”<br /><span class="fullpost"><br />Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang cerdas,<br />mereka menolak dunia dan takut akan fitnahnya.<br />Mereka melihat apa yang ada di dalamnya, ketika mereka tahu,<br />bahwa tidak ada tempat bagi orang yang hidup di dalamnya.<br />Mereka menjadikannya sebagai gelombang,<br />dan menjadikan amal sebagai kapal.<br /><br />‘Abdullah bin Tsa'labah berkata dalam nasihatnya, “Tertawalah engkau, barangkali kain kafan untukmu telah ada di tangan tukang potong kain!!”[1]<br /><br />Wahai orang yang sedang tidur, perjalanan telah dimulai. Wahai yang membuat bangunan di atas tangga-tangga yang penuh dengan air bah, cepatlah melakukan amal sebelum umurmu punah… janganlah engkau melupakan Dzat Yang menghitung hembusan nafasmu saat perjumpaan denganmu.<br /><br />Saudaraku tercinta…<br />Ambillah rizki secukupnya,<br />ambillah yang jernih dari kehidupan ini.<br />ini semua akan berakhir,<br />bagaikan lentera ketika padam.<br /><br />Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, “Dunia adalah tempat kesibukan, sedangkan akhirat adalah tempat terjadinya hal-hal yang menakutkan. Dan senantiasa seorang hamba ada di antara kesibukan dan juga kegoncangan (hal-hal yang menakutkan) sehingga datang kepadanya keputusan, ke Surgakah ia atau ke Neraka.” [2]<br /><br />Saudaraku semuslim…<br />Siapa yang mencurahkan kemampuannya untuk berfikir dengan sempurna, dia akan memahami bahwa dunia ini adalah sebuah perjalanan, maka dia akan selalu mengumpulkan perbekalan untuknya. Dia juga tahu bahwa perjalanan tersebut dimulai dari punggung seorang ayah, menuju perut seorang ibu, lalu ke dunia, ke kuburan, setelah itu menuju alam Mahsyar, dan yang terakhir menuju tempat yang abadi. Inilah tempat keselamatan dari segala “penyakit,” yaitu tempat yang kekal abadi. Sedangkan syaitan menawan kita untuk tetap menuju dunia, sehingga kita terus bersemangat dalam keluarga yang hancur berantakan, kemudian dia selalu mendorong kita menuju tempat kita semula. Ketahuilah bahwa batas kehidupan di dunia hanyalah hitungan nafas, perjalanan yang cepat dan tak terasa bagaikan perjalanan sebuah kapal yang tidak dirasakan oleh penumpang yang duduk di atasnya.<br /><br />Sudah semestinya, dia harus memiliki bekal, dan tidak ada bekal menuju perjalanan akhirat kecuali ketakwaan. Oleh karena itu, seseorang haruslah sabar dan merasakan lelahnya kehidupan dalam melaksanakan ketakwaan, sehingga dalam perjalanannya dia tidak berkata, “Ya Rabb-ku! Kembalikanlah aku.” Dan dikatakan kepadanya, “Tidak!” Maka hendaklah orang yang lalai mewaspadai sifat malas dalam perjalanannya, karena sesungguhnya Allah akan memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi orang yang memutuskan perjalanannya sebagai ancaman baginya dengan harapan agar mereka tidak menyimpang dari jalan yang lurus. Siapa yang menyimpang dari jalan-Nya yang lurus lalu melihat sesuatu yang ditakutinya, maka kembalilah kepada Allah dari jalan yang dilaluinya dengan bertaubat dari kemaksiatan.[3]<br /><br />Keadaan di dunia sebagaimana disifati oleh ar-Rabi' bin Khaitsam, ketika beliau ditanya, “Bagaimana keadaanmu pagi ini wahai Abu Yazid?” Beliau menjawab, “Di pagi ini aku berada dalam keadaan lemah dan penuh dengan dosa, kita memakan rizki kita sambil menunggu ajal kita.” [4]<br /><br />Syumaith bin ‘Ajlan jika menyifati ahli dunia, beliau berkata, “Mereka semua bingung dan mabuk, penunggang kudanya berlari, sedangkan pejalan kaki berjalan dengan kakinya, yang fakir dan yang kaya tidak pernah merasa puas di dalamnya.” [5]<br /><br />Saudaraku…<br />Bersikap qana’ahlah dengan duniamu dan relalah dengan yang ada padamu, karena di dalamnya tidak ada kesenangan selain kesenangan badan. Siapa saja yang mempersiapkan dirinya untuk berjumpa dengan Allah, dan menggunakan waktunya untuk melakukan amal-amal yang bemanfaat baginya, maka Allah akan memberikan kemanfaatan baginya di hari Kiamat. Oleh karena itu, dia akan berbahagia pada suatu hari di mana harta dan anak tidak berguna… hari di mana lembaran-lembaran bertebaran dan hati bergetar. Pada hari itu engkau melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal mereka sama sekali tidak mabuk, akan tetapi penyebabnya adalah adzab Allah sangatlah pedih. Anas bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Aku melihat Shaf-wan bin Salim, jika dikatakan kepadanya besok hari Kiamat, maka seakan-akan dia sama sekali tidak me-miliki bekal dari ibadah.” [6]<br /><br />Mereka adalah kaum yang selalu melakukan ibadah dengan giat dan memikirkan kehidupan akhirat mereka dengan mempersiapkan bekal untuknya.<br /><br />Jika jiwa itu menjauh dari kebenaran,<br />maka kita membentaknya.<br />Dan jika dia menghadap dunia dengan<br />meninggalkan akhirat,<br />maka kita menahannya.<br />Dia menipu kita dan kita menipunya,<br />hanya dengan kesabaran kita dapat mengalahkannya. [7]<br /><br />Muhammad bin al-Hanafiyyah rahimahullah berkata, “Segala sesuatu yang dicari bukan karena Allah, niscaya akan hancur.” [8]<br /><br />Siapa yang mencari dunia untuk dunia, maka dia akan meninggalkannya di hembusan nafas terakhirnya, dia akan pergi di detik-detik yang sangat menakutkan. Dan siapa yang mencari dunia untuk Surga yang luasnya seluas langit dan bumi, maka cukuplah baginya apa yang diinginkannya. Dunia baginya sebagai jalan menuju Darus Salam (Surga) dengan kasih sayang (rahmat) Allah dan ridha/karunia-Nya.<br /><br />Orang yang selalu melakukan kebaikan dan ketaatan adalah manusia biasa, seperti kita yang mencintai dunia dan segala macam perhiasannya. Akan tetapi mereka lebih mengutamakan yang kekal daripada yang fana, sehingga Allah memudahkan baginya jalan untuk mendapatkannya dan mengeluarkan mereka dari berbagai kesulitan.<br /><br />Aku sabar dalam menghadapi kenikmatan ketika dia pergi,<br />dan aku menetapkan kesabaran di dalam diriku sehingga dia terus menetap.<br />Berhari-hari jiwaku berada dalam kemuliaan,<br />lalu ketika dia melihat tekadku ada di dalam kehinaan, dia pun ikut merasakan kehinaan.<br />Lalu aku berkata kepadanya, “Wahai jiwa, matilah dalam keadaan mulia,<br />dahulu dunia memihak kepada kita, tetapi sekarang dia telah pergi.”<br />Tidak wahai kekasihku. Demi Allah, tidak ada satu musibah pun,<br />berlalu kepada hari-hari melainkan dia akan pergi.<br />Jiwa itu sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang kepadanya, jika dia diberi makan,<br />maka dia memiliki kekuatan dan jika tidak, maka dia akan lumpuh.[9]<br /><br />Seseorang berkata kepada al-Fudhail bin 'Iyadh, “Bagaimana keadaanmu pagi ini wahai Abu ‘Ali?” Beliau adalah orang yang tidak senang dengan ungkapan: “Bagaimana keadaanmu pagi ini?” atau “Bagaimana keadaanmu sore ini?” Lalu beliau menjawab, “Dalam keadaan sehat.” Lalu orang tadi bertanya, “Bagaimana keadaanmu?” Beliau berkata, “Keadaan mana yang engkau tanyakan? Keadaan dunia atau akhirat?” Jika engkau menanyakan keadaan dunia, maka sesungguhnya dunia telah berpaling dan pergi. Dan jika engkau bertanya tentang keadaan akhirat, maka aku sebagaimana engkau melihat orang yang banyak melakukan perbuatan dosa, amalnya lemah, umurnya sudah punah, tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian dan hari Akhir, tidak takut akan kematian, tidak menghias diri untuk menghadapi kematian, akan tetapi hanya menghias diri untuk dunia.”[10]<br /><br />Kebanyakan dari kita sebagaimana digambarkan oleh ‘Auf bin ‘Abdillah ketika beliau ditanya, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menyempatkan kehidupannya untuk dunia dengan sisa hidupnya untuk akhirat, sedangkan kalian menyempatkan kehidupan kalian untuk akhirat dengan sisa hidup kalian untuk dunia.” [11]<br /><br />Dan yang kita lihat sekarang ini berupa pengorbanan waktu, kemampuan, pemberian, dan penelitian hanya untuk dunia, maka kita dapatkan sungguh menakjubkan… . Bahkan sebagian dari mereka jika akan membeli sebuah kebutuhan yang sangat sederhana, akan menyibukkan dirinya untuk memikirkannya selama beberapa hari, dia telah membuang waktunya yang sangat berharga… . Akan tetapi jika engkau melihatnya di dalam masjid, maka engkau akan melihat orang tersebut melakukan shalat, seperti ayam yang sedang makan, dia sama sekali tidak memperhatikan sujud maupun ruku’nya, bahkan dia mendahului imam, tidak melakukannya dengan khusyu’, dan tidak pernah terlihat di mukanya bekas air mata.<br /><br />Kebanyakan dari manusia mabuk dengan urusan dunia dan tidak sedikit pun hatinya tergerak ketika kesempatan melakukan kebaikan hilang dari dirinya, atau ketika kesempatan yang penuh dengan pengabulan do’a dari Allah tiba, maka engkau akan melihatnya dalam keadaan lalai dan bermain-main, mengumpulkan lalu membuangnya, menambahnya lalu dikurangi dari dirinya, seolah-olah hari-hari yang telah berlalu akan kembali atau bulan-bulan yang telah pergi akan ditemuinya lagi?!<br /><br />Bandar berbicara tentang Yahya bin Sa’id dengan ungkapannya, “Aku ikut bersamanya selama dua puluh tahun dan aku sama sekali tidak pernah mendapatinya bermaksiat kepada Allah.”[12]<br /><br />Saudaraku semuslim…<br />Bersabarlah dalam menghadapi pedihnya perjalanan,<br />ibadah di waktu malam, sore dan pagi.<br />Janganlah engkau merasa gelisah dan jangan pula merasakan lemah di dalam mencarinya,<br />karena kegalauan ada di antara gelisah dan putus asa.<br />Aku menyaksikan pengalaman di setiap hari,<br />bahwa kesabaran memiliki akibat yang terpuji.<br />Sedikit sekali orang yang giat mencari dengan disertai,<br />kesabaran kecuali dia akan berbahagia dengan kemenangan. [13]<br /><br />Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, “Wahai manusia engkau mencari dunia dengan sungguh-sungguh, dan engkau mencari akhirat dengan usaha orang yang tidak membutuhkannya. Padahal dunia sudah mencukupimu walaupun engkau tidak mencarinya. Dan akhirat hanya didapatkan dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam mencarinya, maka fahamilah keadaanmu!”<br /><br />[Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il, Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim, Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]<br />__________<br />Footnotes<br />[1]. Al-‘Aaqibah, hal. 88.<br />[2]. Az-Zuhd, hal. 248, karya al-Baihaqi.<br />[3]. ‘Iddatush Shaabiriin, hal. 330.<br />[4]. Shifatush Shafwah (III/67).<br />[5]. Shifatush Shafwah (III/346).<br />[6]. Hilyatul Auliyaa' (III/159).<br />[7]. Shifatush Shafwah (IV/114).<br />[8]. Hilyatul Auliyaa’ (III/176).<br />[9]. Syadzaraatudz Dzahab (II/364).<br />[10]. Hilyatul Auliyaa’ (VIII/86).<br />[11]. Hilyatul Auliyaa’ (IV/242).<br />[12]. Tadzkiratul Huffazh (I/299).<br />[13]. Mawaariduzh Zham-aan (III/276). <br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-28355618449168898562010-02-08T05:00:00.001-08:002010-02-08T05:02:17.205-08:00KESEDIHAN DUNIAOleh<br />Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim<br /><br /><br /><br />‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu menulis surat kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu yang isinya, “Amma ba'du. Sesungguhnya seseorang merasa rugi dengan sesuatu yang hilang darinya, padahal hal itu tidak akan bisa ia dapatkan dan merasa bahagia dengan mendapatkan sesuatu yang pasti ia dapatkan. Maka berbahagialah dengan apa-apa yang aku ucapkan dari urusan akhirat dan menyesallah dari sesuatu yang hilang darimu akan urusan akhirat, janganlah terlalu bahagia dengan apa yang engkau dapatkan dari urusan dunia. Dan jadikanlah semua fikiranmu tertuju kepada sesuatu yang terjadi setelah kematian. ”<br /><span class="fullpost"><br />Aku melihat pencari dunia, walaupun umurnya panjang,<br />dan mendapatkan kebahagiaan, juga kenikmatan darinya.<br /><br />Bagaikan seorang tukang bangunan yang membangun,<br />setelah bangunan yang ia buat berdiri tegak, maka bangunan itu roboh. [1]<br /><br />Saudaraku tercinta…<br />Sebab kegalauan hidup itu ada lima macam dan seyogyanya seseorang merasakan kegalauan karena kelima macam tersebut:<br /><br />Pertama : Kegalauan karena dosa pada masa lampau, karena dia telah melakukan sebuah perbuatan dosa sedangkan dia tidak tahu apakah dosa tersebut diampuni atau tidak? Dalam keadaan tersebut dia harus selalu merasakan kegalauan dan sibuk karenanya.<br />Kedua : Dia telah melakukan kebaikan, tetapi dia tidak tahu apakah kebaikan tersebut diterima atau tidak.<br />Ketiga : Dia mengetahui kehidupannya yang telah lalu dan apa yang terjadi kepadanya, tetapi dia tidak mengetahui apa yang akan menimpanya pada masa mendatang.<br />Keempat : Dia mengetahui bahwa Allah menyiapkan dua tempat untuk manusia pada hari Kiamat, tetapi dia tidak mengetahui ke manakah dia akan kembali (apakah ke Surga atau ke Neraka)?<br />Kelima : Dia tidak tahu apakah Allah ridha kepadanya atau membencinya?<br /><br />Siapa yang merasa galau dengan lima hal di atas dalam kehidupannya, maka tidak ada kesempatan baginya untuk tertawa. [2]<br /><br />Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Berapa jarak antara kalian dengan mereka (orang-orang shalih)? Dunia datang kepada mereka, tetapi mereka meninggalkannya, dan dunia meninggalkan kalian, tetapi kalian terus mengejarnya.” [3]<br /><br />Seakan-akan engkau tidak mendengar berita orang-orang terdahulu, dan tidak melihat apa yang dilakukan oleh zaman terhadap mereka yang ada.<br />Jika engkau tidak tahu, maka itu semua adalah rumah-rumah mereka,<br />yang dihancurkan oleh angin dan hujan.<br /><br />Demikianlah mereka semua telah berlalu dan orang yang ada sekarang ini,<br />berlalu sehingga mereka semua kelak dikumpulkan.<br />Sampai kapan engkau tidak bangkit sedangkan waktu yang ditentukan telah dekat dan sampai kapan bendungan di dalam hatimu tidak terbelah.<br /><br />Sungguh engkau akan bangkit ketika semua penutup telah terbuka dan engkau akan mengingat kata-kataku ketika tidak bermanfaat lagi apa yang engkau ingat.<br /><br />Abu Dzarr al-Ghifari Radhiyallahu 'anhu berdiri di dekat Ka’bah dan berkata, “Wahai manusia, aku adalah Jundub al-Ghifari, marilah kita menuju saudara kita yang selalu memberikan nasihat.” Lalu yang lainnya berkerumun mengelilinginya, beliau berkata, “Bagaimana pendapat kalian jika hendak melakukan perjalanan, bukankah dia akan menyiapkan perbekalan dan segala sesuatu yang dibutuhkannya?” Mereka semua menjawab, “Tentu saja.” Lalu dia berkata lagi, “Sesungguhnya perjalanan menuju akhirat adalah lebih jauh, maka ambillah segala sesuatu yang kalian butuhkan!” Mereka semua bertanya, “Apa yang kami butuhkan itu?” Beliau berkata, “Lakukanlah haji sebagai persiapan untuk masalah-masalah yang sangat besar. Berpuasalah pada suatu hari yang sangat panas sebagai bekal untuk hari di mana semua manusia dikumpulkan. Lakukanlah shalat dua raka’at di malam yang gelap sebagai persiapan bagi ketakutan di dalam kubur, sebuah kalimat yang baik engkau katakan atau diam untuk tidak mengungkapkan kata-kata yang jelek sebagai bekal bagi hari yang sangat agung, bershadaqahlah dengan hartamu agar engkau selamat pada hari yang penuh dengan kesulitan, jadikanlah dunia menjadi dua majelis: satu majelis untuk mencari yang halal (rizki) dan satu majelis untuk mencari kebahagiaan di akhirat, sedangkan yang ketiganya akan mencelakakanmu dan tidak bermanfaat bagimu. Bagilah harta itu menjadi dua dirham, satu dirham dinafkahkan untuk keluarga dan satu dirham lainnya engkau persembahkan untuk akhirat.”<br /><br />Saudaraku semuslim…<br />Lihatlah orang yang mendapatkan dunia dan per-hiasannya,<br />apakah dia pergi dengan membawa selain amal dan kafan.<br /><br />Al-Hasan al-Bashri, kehidupannya sangat berbeda dengan kehidupan kita, beliau rahimahullah berkata, “Aku mendapati suatu kaum (para Sahabat Nabi) dan bersanding dengan beberapa orang dari mereka, mereka sama sekali tidak merasa senang dengan dunia yang didapatkan dan sama sekali tidak mengejar dunia yang lari dari mereka. Dunia di mata mereka lebih hina daripada tanah, bahkan salah satu di antara me-reka hidup selama lima puluh tahun atau enam puluh tahun. Akan tetapi ia tidak pernah memiliki pakaian yang cukup dan tidak pernah memiliki tungku yang baik, ia sama sekali tidak membuat penghalang antara tanah dengan dirinya dan tidak pernah memerintahkan orang yang ada di rumahnya untuk membuat sebuah makanan baginya. Tetapi ketika malam tiba, mereka menancapkan kedua kaki dengan berdiri dan menghamparkan wajah-wajah mereka untuk bersujud, air mata berlinang, mengalir di garis wajah mereka dengan bermunajat kepada Rabb dalam kebebasan mereka. Jika mereka melakukan suatu kebaikan, maka mereka selalu mensyukurinya dan memohon kepada Allah agar amal itu diterima. Dan jika mereka melakukan kejelekan, maka perasaan sedih selalu menghantui dan mereka pun terus memohon kepada Allah agar diampuni. Demi Allah, mereka sama sekali tidak akan selamat dari dosa kecuali dengan ampunan Allah sebagai kasih-sayang dan karunia bagi mereka.”[4]<br /><br />Saudaraku tercinta, di manakah kita di antara mereka?!<br />Engkau menyambungkan dosa dengan dosa dan berharap mendapatkan,<br />Surga dan kebahagiaan ahli ibadah dengannya.<br />Dan engkau lupa sesungguhnya Allah mengeluarkan Adam,<br />darinya menuju dunia hanya karena satu kesalahan (dosa).<br /><br />Kita -wahai saudaraku- mencari kenikmatan dan kebahagiaan dengan menjauhi segala kekeruhan.<br /><br />Inilah keadaan kita, adapun keadaan Abud Darda’ sebagaimana yang digambarkan oleh beliau dalam ungkapannya, “Aku mencintai kefakiran karena kerendahan hatiku kepada Allah, aku mencintai kematian karena kerinduanku kepada-Nya, dan aku mencintai kondisiku dalam keadaan sakit sebagai penghapus atas dosa-dosaku.”[5]<br /><br />Manusia memiliki ketamakan terhadap dunia dengan rencananya,<br />sedangkan kejernihannya telah tercampur dengan kekeruhan.<br />Setelah dunia itu dibagikan, sebenarnya mereka sama sekali tidak dikaruniai rizki karena akal mereka, akan tetapi mereka dikaruniai dengan takdir Allah.<br /><br />Berapa banyak orang yang beradab lagi cerdas tetapi dunia tidak memihak kepadanya<br />dan berapa banyak orang bodoh yang mendapatkan dunia hanya dengan kelalaian.<br />Seandainya dunia itu didapatkan dengan kekuatan atau dengan menggulingkan,<br />niscaya elang akan terbang dengan membawa makanan burung pipit. [6]<br /><br />Dunia walaupun dia adalah sesuatu yang sangat hina, hanya saja dia adalah sebuah lorong perjalanan menuju akhirat dan sebuah jembatan menuju dua tempat, Surga atau Neraka. Marilah kita melihat satu lorong yang mengantarkan seseorang menuju Surga, yaitu amal (shalih) di dunia.<br /><br />Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />“Seseorang dari kalangan sebelum kalian dihisab akan tetapi tidak didapat darinya satu kebaikan pun hanya saja dia adalah orang yang selalu bergaul dengan selainnya yang ada dalam keadaan sulit, dia memerintahkan anak mudanya untuk membayarkan hutang orang yang sulit tadi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, ‘Aku sebenarnya lebih berhak untuk melakukannya, maka ampunilah ia.’” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dengan lafazh milik Muslim]<br /><br />Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Amal yang paling sulit adalah tiga macam: berderma dalam keadaan sulit, wara’ dalam keadaan menyendiri dan sebuah ungkapan yang hak di hadapan orang yang diharapkan dan orang yang ditakuti.”[7]<br /><br />Al-Hasan rahimahullah berkata, “Esok hari setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi beban fikirannya dan setiap orang yang memikirkan sesuatu, maka dia akan banyak mengingatnya. Sesungguhnya tidak ada dunia bagi orang yang tidak memikirkan akhirat. Dan siapa saja yang lebih mementingkan dunia daripada akhirat, maka dia tidak akan mendapatkan dunia dan akhirat.”[8]<br /><br />[Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il, Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim, Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]<br />__________<br />Footnotes<br />[1]. Irsyaadil ‘Ibaad, hal. 120.<br />[2]. Tanbiihul Ghaafiliin (I/213).<br />[3]. Shifatush Shafwah (III/90) dan as-Siyar (V/61).<br />[4]. Al-Ihyaa’ (IV/239).<br />[5]. Az-Zuhd, hal. 217.<br />[6]. Taariikhul Khulafaa’, hal. 171.<br />[7]. Shifatush Shafwah (II/251).<br />[8]. Hilyatul Auliyaa’, hal. 144 <br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-12536396236637926372010-02-08T04:26:00.001-08:002010-02-08T04:35:29.002-08:00selayaknya Jangan sombongTIDAK SEPANTASNYA MANUSIA MENYOMBONGKAN DIRI<br /><br />Oleh<br />Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali<br /><br /><br />APAKAH KESOMBONGAN ITU?<br />Kesombongan (takabbur) atau dikenal dalam bahasa syariat dengan sebutan al-kibr yaitu melihat diri sendiri lebih besar dari yang lain. Orang sombong itu memandang dirinya lebih sempurna dibandingkan siapapun. Dia memandang orang lain hina, rendah dan lain sebagainya.<br /><br />Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hakikat kesombongan dalam hadits beliau Shallallahu 'alaihi wa salllam :<br /><br />الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ<br /><br />"Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia". [HR. Muslim, no. 2749, dari 'Abdullah bin Mas'ûd]<br /><br />Inilah yang membedakan takabbur dari sifat ‘ujub (membanggakan diri, silau dengan diri sendiri). Sifat ‘ujub, hanya membanggakan diri tanpa meremehkan orang. Sedangkan takabbur, disamping membanggakan diri juga meremehkan orang.<br /><span class="fullpost"><br />SEBAB-SEBAB KESOMBONGAN<br />Sebab-sebab kesombongan, antara lain:<br /><br />1- ‘Ujub (Membanggakan Diri)<br />Ketahuilah wahai hamba yang bertawadhu’ –semoga Allah lebih meninggikan derajat bagimu-, bahwa manusia tidak akan takabbur kepada orang lain sampai dia terlebih dahulu merasa ‘ujub (membanggakan diri) terhadap dirinya, dan dia memandang dirinya memiliki kelebihan dari orang lain. Maka dari ‘ujub ini muncul kesombongan. Dan ‘ujub merupakan perkara yang membinasakan, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :<br /><br />ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَهُوَيَ مُتَبَعٌ وَإِعْجَابٌ اْلمَرْءِ بِنَفْسِهِ<br /><br />"Tiga perkara yang membinasakan: sifat sukh (rakus dan bakhil) yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ‘ujub seseorang terhadap dirinya". [Silsilah Shahihah, no. 1802]<br /><br />Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:<br /><br />بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ يَمْشِي فِي بُرْدَيْهِ قَدْ أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ فَخَسَفَ اللَّهُ بِهِ الْأَرْضَ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ<br /><br />"Ketika seorang laki-laki sedang bergaya dengan kesombongan berjalan dengan mengenakan dua burdahnya (jenis pakaian bergaris-garis; atau pakaian yang terbuat dari wol hitam), dia mengagumi dirinya, lalu Allah membenamkannya di dalam bumi, maka dia selalu terbenam ke bawah di dalam bumi sampai hari kiamat". [HR. Bukhari, no. 5789; Muslim, no. 2088; dan ini lafazh Muslim]<br /><br />2- Merendahkan Orang Lain.<br />Ketahuilah wahai hamba (Allah), bahwa orang yang tidak meremehkan manusia, tidak akan takabbur terhadap mereka. Sedangkan meremehkan seseorang yang dimuliakan Allah dengan keimanan sudah cukup untuk menjadikan sebuah dosa.<br /><br />3- Suka Menonjolkan Diri (Taraffu).<br />Ketahuilah wahai hamba yang tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, bahwa jiwa manusia itu menyukai ketinggian di atas sesamanya, dan dari sini muncul kesombongan.<br /><br />Oleh karena itu, barangsiapa memperhatikan Al-Qur’an niscaya akan mendapati bahwa orang-orang yang bersombong pada tiap-tiap kaum adalah para pemukanya, yaitu orang-orang yang memegang kendali berbagai urusan. Allah Ta’ala berfirman tentang suku Tsamud, kaum Nabi Shalih Alaihissalam yang artinya: "Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka: "Tahukah kamu bahwa Shalih di utus (menjadi Rasul) oleh Tuhannya?". Mereka (yang dianggap lemah-red) menjawab: "Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya".<br /><br />Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu".<br /><br />Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. dan mereka berkata: "Hai Shalih, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allah)". [al-A’râf/7:75-77]<br /><br />Dan Allah Ta’ala memberitakan tentang kaum Nabi Syu’aib Alaihissalam :<br /><br />"Pemuka-pemuka dari kaum Syu'aib yang menyombongkan dan berkata: "Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu'aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, atau kamu kembali kepada agama kami". Syu'aib berkata: "Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak menyukainya?" [Al-A’raaf/7: 88]<br /><br />Namun orang yang berakal akan berlomba pada ketinggian yang tetap lagi kekal, yang di dalamnya terdapat keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kedekatan kepadaNya. Dan dia meninggalkan ketinggian sementara yang akan binasa, yang akan diikuti oleh kemurkaan Allah dan kemarahanNya, kerendahan hamba, kesibukannya, jauhnya dari Allah dan terusirnya (dari rahmat) Allah. Inilah ketinggian yang tercela, yaitu sikap melewati batas dan takabbur di muka bumi dengan tanpa kebenaran. Allah Ta’ala berfirman:<br /><br />"Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin ketinggian (menyombongkan diri ) dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa". [Al-Qashash/28: 83]<br /><br />Adapun ketinggian yang pertama (yakni ketinggian yang tetap lagi kekal di akhirat) dan bersemanagat untuk meraihnya, maka itu terpuji. Allah Ta’ala berfirman:<br /><br />"Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba".[Al-Muthaffifin/83: 26]<br /><br />Maka disyari’atkan berlomba-lomba untuk (meraih) derajat-derajat tinggi di akhirat yang kekal, dan berusaha meraih ketinggian pada tingkatan-tingkatannya, serta bersemangat untuk itu dengan berusaha melakukan sebab-sebabnya. Dan hendaklah seseorang tidak merasa puas dengan kerendahan, padahal dia mampu meraih ketinggian.<br /><br />4- Mengikuti Hawa Nafsu.<br />Ketahuilah wahai hamba Allah, bahwa kesombongan itu muncul dari sebab mengikuti hawa nafsu, karena memang hawa nafsu itu mengajak menuju ketinggian dan kemuliaan di muka bumi. Allah Ta’ala berfirman:<br /><br />"Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?" [Al-Baqarah/2: 87]<br /><br />BAHAYA KESOMBONGAN<br />Ketahuilah wahai hamba Allah yang hatinya dihiasi dengan tawadhu’ (rendah hati) bahwa bencana kesombongan itu sangat besar, orang-orang istimewa binasa di dalamnya, dan jarang orang yang bebas darinya, baik para ulama’, ahli ibadah, atau ahli zuhud. Bagaimana bencana kesombongan itu tidak besar, sedangkan kesombongan itu:<br /><br />1- Dosa Pertama Yang Dengannya Allah Azza Wa Jalla Dimaksiati.<br />Kesombongan adalah dosa pertama yang dilakukan Iblis laknatullah dalam bermaksiat kepada Allah Azza wa jalla. Kesombongan itu menyeret Iblis untuk menjadikan takdir sebagai alasan terus-menerus sombong. Allah Azza wa Jalla berfirman:<br /><br />"Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam!," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir". [Al-Baqarah/2: 34]<br /><br />2- Kesombongan Merupakan Kawan Syirik Dan Penyebabnya.<br />Oleh karena itulah Allah Azza wa Jalla menggabungkan antara kekafiran dengan kesombongan di dalam kitabNya yang mulia, Dia Azza wa Jalla berfirman:<br /><br />"Lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya, kecuali Iblis; dia menyombongkan diri dan adalah dia termasuk orang-orang yang kafir". [Shaad/38: 73-74]<br /><br />Allah Azza wa Jalla juga berfirman:<br /><br />" (Bukan demikian) sebenarya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan diri dan adalah kamu termasuk orang-orang yang kafir". [Az-Zumar/39: 59]<br /><br />Karena barangsiapa takabbur dari patuh kepada al-haq (kebenaran) –walaupun kebenaran itu datang kepadanya lewat tangan seorang anak kecil atau orang yang dia benci dan musuhi- , maka sesungguhnya takabburnya itu adalah kepada Allah, karena Allah adalah Al-Haq, perkataanNya adalah haq, agamaNya adalah haq, al-haq merupakan sifatNya, dan al-haq adalah dariNya dan untukNya. Maka jika seorang hamba menolak al-haq, takabbur dari menerimanya, maka sesungguhnya dia menolak Allah dan takabbur terhadapNya. Dan barangsiapa takabbur terhadap Allah, niscaya Allah akan menghinakannya, merendahkannya, mengecilkannya, dan meremehkannya.<br /><br />3- Orang-Orang Yang Sombong Tempat Kembalinya Adalah Neraka.<br />Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan neraka sebagai rumah bagi orang-orang yang sombong, sebagaimana di dalam surat Al-Ghafir ayat 76 dan surat Az-Zumar ayat 72. Allah Azza wa Jalla berfirman:<br /><br />"Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu, sedang kamu kekal di dalamnya". Maka neraka Jahannam Itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri". [Az-Zumar/39: 72]<br /><br />Dan orang-orang yang sombong adalah para penduduk neraka Jahannam, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :<br /><br />إِنَّ أَهْلَ النَّارِ كُلُّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ جَمَّاعٍ مَنَّاعٍ وَأَهْلُ الْجَنَّةِ الضُّعَفَاءُ الْمَغْلُوبُونَ<br /><br />"Sesungguhnya penduduk neraka adalah semua orang yang kasar lagi keras, orang yang bergaya sombong di dalam jalannya, orang yang bersombong, orang yang banyak mengumpulkan harta, orang yang sangat bakhil. Adapun penduduk sorga adalah orang-orang yang lemah dan terkalahkan". [Hadits Shahih. Riwayat Ahmad, 2/114; Al-Hakim, 2/499]<br /><br />Mereka akan merasakan berbagai macam siksaan di dalam Jahannam, akan diliputi kehinaan dari berbagai tempat, dan akan diminumi nanah penduduk neraka. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِي صُوَرِ الرِّجَالِ يَغْشَاهُمْ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَيُسَاقُونَ إِلَى سِجْنٍ فِي جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُولَسَ تَعْلُوهُمْ نَارُ الْأَنْيَارِ يُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ طِينَةَ الْخَبَالِ<br /><br />"Pada hari kiamat orang-orang yang sombong akan digiring dan dikumpulkan seperti semut kecil, di dalam bentuk manusia, kehinaan akan meliputi mereka dari berbagai sisi. Mereka akan digiring menuju sebuah penjara di dalam Jahannam yang namanya Bulas. Api neraka yang sangat panas akan membakar mereka. Mereka akan diminumi nanah penduduk neraka, yaitu thinatul khabal (lumpur kebinasaan)". [Hadits Hasan. Riwayat Bukhari di dalam al-Adabul Mufrad, no. 557; Tirmidzi, no. 2492; Ahmad, 2/179; dan Nu’aim bin Hammad di dalam Zawaid Az-Zuhd, no. 151]<br /><br />4- Kesombongan Merupakan Tirai Penghalang Masuk Surga.<br />Oleh karena itu Allah mengusir Iblis dari surga, Dia Azza wa Jalla berfirman:<br /><br />"Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya!". [Al-A’râf/7: 13]<br /><br />Kesombongan itu menjadi tirai penghalang masuk surga karena menghalangi seorang hamba dari akhlaq orang-orang beriman. Orang sombong tidak menyukai untuk kaum mukminin kebaikan yang dia sukai untuk dirinya. Dia tidak mampu bersikap rendah hati dan meninggalkan hasad, dendam, dan marah. Dia juga tidak mampu manahan murka, dia tidak menerima nasehat, dan tidak selamat dari sifat merendahkan dan menggibah manusia. Tidak ada sifat yang tercela kecuali dia memilikinya.<br /><br />5- Allah Tidak Mencintai Orang-Orang Yang Sombong.<br />Barangsiapa yang memiliki sifat-sifatnya seperti ini, maka dia berhak mendapatkan laknat Allah, jauh dari rahmatNya, Allah memurkainya dan tidak mencintainya. Allah Azza wa Jalla berfirman:<br /><br />"Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong. Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong". [An-Nahl/16: 22-23]<br /><br />6- Kesombongan Merupakan Sebab Su-ul Khatimah (Keburukan Akhir Kehidupan).<br />Oleh karena itu Allah memberitakan bahwa orang yang sombong dan sewenang-wenang adalah orang-orang yang Allah menutup hati mereka, sehingga mereka tidak beriman. Sehingga akhir kehidupannya buruk. Allah Azza wa Jalla berfirman:<br /><br />"Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang". [Al-Mukmin/40: 35]<br /><br />7- Kesombongan Merupakan Sebab Berpaling Dari Ayat-Ayat Allah.<br />Yang demikian itu karena orang yang sombong tidak bisa melihat ayat-ayat Allah yang menjelaskan dan berbicara dengan dalil-dalil yang pasti. Juga karena kesombongan itu menutupi kedua matanya, sehingga dia tidak melihat kecuali dirinya. Allah Azza wa Jalla berfirman:<br /><br />"Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi". [Al-A’raaf/7: 146]<br /><br />8- Kesombongan Merupakan Dosa Terbesar.<br />Kesombongan memiliki berbagai bahaya seperti ini; maka tidak heran jika ia merupakan dosa terbesar. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:<br /><br />لَوْ لَمْ تَكُوْنُوْا تُذْنِبُونَ لَخِفْتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْ ذَلِكَ الْعُجْبُ الْعُجْبُ<br /><br />"Jika kamu tidak berbuat dosa, sungguh aku mengkhawatirkan kamu pada perkara yang lebih besar dari itu, yaitu ‘ujub, ‘ujub (kagum terhadap diri sendiri)" [Hadist Hasan Lighairihi, sebagaimana di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 658, karya syaikh Al-Albani]<br /><br />[Diadaptasi dan disadur oleh Ustadz Muslim Atsari secara bebas dari tulisan Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali At-Tawaadhu’ fii Dhauil Qur’anil Kariim was Sunnah ash-Shahiihah, hlm. 35-44; Penerbit. Daar Ibnul Qayyim; Cet. 1; Th. 1410 H / 1990 M]<br /><br />[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]<br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-53642667222134769712010-02-08T04:24:00.001-08:002010-02-08T04:25:59.034-08:00PEMBELAAN ULAMA AHLISUNNAHSILSILAH PEMBELAAN TERHADAP ULAMA AHLIS SUNNAH (BAGIAN 1)<br />PEMBELAAN AL-‘ALLÂMAH SHÂLIH AL-LUHAIDÂN TERHADAP SYAIKH SHÂLIH AS-SUHAIMỈ, ‘UBAID AL-JÂBIRỈ, RABỈ’ AL-MADKHALỈ DAN AHMAD AN-NAJMỈ<br /><br /> <br /><br />Akhir-akhir ini, banyak sekali fitnah yang melanda. Celaan demi celaan mengalir begitu derasnya menghantam para ulama ulama ahlus sunnah. Untuk itulah kami akan menurunkan silsilah (bunga rampai) pembelaan terhadap ulama ahlis sunnah secara berseri dan ringkas. Mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin.<span class="fullpost"><br />Risalah pertama ini berisi tentang percakapan dengan al-‘Allâmah Shâlih bin Muhammad al-Luhaidân hafizhahullâhu yang menjawab tuduhan-tuduhan keji yang dilontarkan oleh sebuah website yang bernama al-atsarî, yang dikelola oleh fanatikus Syaikh Fâlih al-Harbî hadâhullâhu beserta murid-murid dan sahabat-sahabatnya (Diantaranya Fauzî al-Bahrainî penulis buku Mâdza Yurîdu Ahlus Sunnah bi Ahlis Sunnah bantahan terhadap Rifqon Ahlas Sunnah, Khâlid al-‘Âmî, dll).<br /><br />Sebagai informasi saja, Syaikh Fâlih bin Nâfi’ al-Harbî hadâhullâhu adalah salah seorang pengibar dakwah haddâdîyah jadîdah yang sangat gemar menghujat dan mencela para ulama ahlus sunnah. Dia sendiri telah dinasehati oleh al-‘Allâmah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd hafizhahullâhu, guru beliau semasa menjadi mahasiswa di Universitas Islam Madinah. Namun, sayangnya, nasehat lemah lembut dan ramah yang disampaikan al-‘Allâmah al-‘Abbâd hafizhahullâhu bukannya malah menjadikan beliau rujū’ dan bertaubat, namun malah menjadikan beliau semakin menjadi-jadi.<br /><br />Dikarenakan nasehat yang tidak digubris, akhirnya al-‘Allâmah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd menulis buku yang mengkritik Syaikh Fâlih dan berkata :<br /><br /> <br /><br />“Yang mempelopori hal ini (fitnah tahdzîr, tabdî’, hajr dan semisalnya kepada ahlus sunnah) adalah salah seorang muridku di Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah, yang lulus pada tahun 1395-1396H (yaitu Syaikh Fâlih bin Nâfi’ al-Harbî hadâhullâhu). Dia meraih peringkat ke-104 dari jumlah lulusan yang mencapai 119 orang. Dia tidaklah dikenal sebagai orang yang menyibukkan diri dengan ilmu, dan tidak pula aku mengetahuinya memiliki pelajaran-pelajaran ilmiah yang terekam, tidak pula tulisan-tulisan ilmiah, kecil ataupun besar. Modal ilmunya yang terbesar adalah tajrih, tabdi’ dan tahdzir terhadap mayoritas Ahlus Sunnah, padahal si Jârih (pencela) ini ini tidaklah dapat menjangkau mata kaki orang-orang yang dicelanya dari sisi banyaknya kemanfaatan pada pelajaran-pelajaran, ceramah-ceramah dan tulisan-tulisan mereka.” (Lihat al-Hatstsu ‘alâ Ittibâ’is Sunnah, Maktabah Mâlik Fahd, cet.I, 1425; hal. 64-5)<br /><br /> <br /><br />Setelah peringatan Syaikh al-‘Abbâd ini keluar, Syaikh Falih dan murid-muridnya semakin menjadi-jadi. Mereka semakin gemar menghujat para ‘ulamâ dan masyaikh ahlis sunnah. Bahkan al-Muhaddits al-Albânî rahimahullâhu pun tidak luput dari celaan mereka. Mereka menuduh al-Imâm al-Albânî berpemahaman irjâ’ sebagaimana tuduhan kaum takfirî yang dulunya mereka (Syaikh Fâlih cs) sangat keras membantah dan mentahdzîr kaum takfirîyîn. Bahkan Syaikh al-‘Abbâd sendiri mereka tuduh tamyî’ (bermanhaj lunak).<br /><br /> <br /><br />Anehnya, para hizbîyîn, harokîyîn dan takfirîyîn seringkali merujuk ke situs ini (yaitu al-Atsarî). Tidak terkecuali al-Ustâdz ‘Abduh Zulfidar Akaha dalam kedua buku beliau “Siapa Teroris Siapa Khowarij” dan “Belajar Dari Akhlak Ustadz Salafi”, walau buku yang terakhir ini tidak menunjukkan link URL ke situs ini, namun beliau ketika menyebut Syaikh Rabî’ bin Hâdî, menyebutkan bahwa murid Syaikh Falih memiliki tulisan yang membantah Syaikh Rabî’, yaitu al-Ustâdz Khâlid al-‘Ami dalam bukunya Qâmus Syatâ`im Rabî bin Hâdî. Buku ini ada di situs al-Atsarî ini.<br /><br /> <br /><br />Suatu hal yang tanâqudh dan kontradiktif adalah, ketika al-Ustâdz ‘Abduh menukil dari situs ini untuk mengkritik Syaikh Rabî’ disebabkan sikap ‘keras’ Syaikh Rabî’ terhadap dakwah harokah Islâmîyah dan tokohnya, namun beliau menutup mata (atau mungkin memang tidak tahu, Allôhu a’lam) bagaimana lebih keras dan lebih pedasnya ucapan Syaikh Fâlih dan murid-muridnya terhadap tokoh-tokoh harokah, bahkan termasuk orang-orang yang tengah dibela al-Ustâdz ‘Abduh semisal, DR. Salmân al-‘Audah, DR. Safar Hawalî, DR. ‘Â`idh al-Qornî, DR. ‘Abdurrahman ‘Abdul Khâliq dll. Bahkan, saya sendiri yakin, apabila al-Ustâdz mau mengumpulkan Qâmus Syatâ`im (Kamus Celaan) dari website al-Atsarî, Syaikh Fâlih berikut murid-muridnya, al-Ustâdz akan mendapati ucapan-ucapan yang lebih keras dan pedas. Bahkan tuduhan munâfiq, syaithân, dan semisalnya, tidak sulit kita dapatkan.<br /><br /> <br /><br />Baiklah, agar tidak berpanjang-panjang, berikut ini adalah transkrip percakapan telepon dengan al-‘Allâmah al-Luhaidân, ketua majlis pengadilan tinggi dan anggota lembaga ulama senior Kerajaan Arab Saudi, pada malam Jum’at tanggal 20/11/1426 H. Transkrip percakapan ini saya nukil dari situs Almanhaj.net, sebuah website bermanfaat yang Syaikh ‘Utsmân al-Khumayis (atau al-Khamis) menjadi salah satu adminnya. Situs ini juga dicuplik oleh al-Ustâdz ‘Abduh dari muntadiyat (forum) diskusinya berkenaan dengan masalah Jarh wa Ta’dîl.<br /><br /> <br /><br />Situs ini banyak berisi bantahan terhadap kelompok sesat, terutama terhadap Râfidhah dan Shufiyah. Diantara para ulama yang turut menjadi anggota dalam situs ini adalah Syaikh Shâlih al-Luhaidân, Ahmad al-Khâthib, Hamad al-‘Utsmân, dll. Yang kesemuanya dari Kuwait. Sebagai informasi pula, Syaikh ‘Utsmân al-Khumayis ini beberapa kali duduk memberikan ceramah bersama Syaikh ‘Alî Hasan al-Halabî hafizhahullâhu, beliau (i.e. Syaikh ‘Utsmân al-Khumayis) juga termasuk pembicara dalam Mu’tamar Markaz al-Imâm al-Albânî (2004/2005) di Yordania, yang saat itu, guru kami al-Ustâdz ‘Abdurrahman at-Tamimî juga termasuk salah satu pembicara.<br /><br /> <br /><br />Berikut ini adalah Teks percakapan tersebut :<br /><br />Syaikh : Na’am (iya).<br /><br />Penanya : Assalâmu’alaykum Warohmatullâhu Wabarokâtuhu<br /><br />Syaikh : Wa’alaykumus Salâm Warohmatullâhu Wabarokâtuhu<br /><br />Penanya : Semoga Allôh mengharumkan anda dengan kebaikan wahai syaikh kami<br /><br />Syaikh : Ahlan wa Marhaban<br /><br />Penanya : Bagaimana kabar Anda?<br /><br />Syaikh : Alhamdulillâh<br /><br />Penanya : Semoga Allôh senantiasa menjaga dan memberkahi Anda. Saya ada pertanyaan wahai syaikh kami, apabila anda berkenan?<br /><br />Syaikh : Iya silakan…<br /><br />Penanya : Ada suatu website (wahai Syaikh) -semoga Allôh memberikan keselamatan kepada Anda- yang bernama website al-Atsarî di internet…<br /><br />Syaikh : Iya…<br /><br />Penanya : Mereka menurunkan beberapa makalah/artikel yang aneh, berisi celaan terhadap ulama (ahlis) sunnah. Seperti, Fadhîlatusy Syaikh Shâlih as-Suhaimî, Fadhîlatusy Syaikh ‘Ubaid al-Jâbirî, Fadhîlatusy Syaikh Rabî’ bin Hâdî al-Madkhâlî, Fadhîlatusy Syaikh Ahmad an-Najmî dan selain mereka dari kalangan para ulama. Apa nasehat anda kepada orang-orang semisal mereka ini?<br /><br />Syaikh : Nasehatku kepada mereka adalah, hendaknya mereka meminta ampunan kepada Allôh dan bertaubat serta menghentikan celaan-celaan terhadap saudara-saudara mereka.<br /><br />Penanya : Ada beberapa hal wahai syaikh kami, dimana mereka menjelekkan masyaikh yang mana (masyaikh ini) tidak mungkin mengatakannya, yaitu yang dituduhkan oleh orang-orang kerdil ini, seperti misalnya mereka menuduh Syaikh Rabi’ bin Hâdî dan para ulama lainnya selain beliau, mereka menuduh bahwa beliau mencela Allôh Jallâ wa ‘Alâ dan mendiskreditkan al-Qur`ân!<br /><br />Syaikh : (memotong) Percayalah, mereka ini berdusta!!!<br /><br />Penanya : Allôhu Akbar! Allôhu Akbar! Allôhu Akbar!<br /><br />Syaikh : Insyâ Allôh, Allôh sendirilah yang akan melepaskan tuduhan yang buruk lagi keji ini. Kita memohon kepada Allôh agar Ia memberikan hidayah-Nya kepada orang-orang yang sesat ini.<br /><br />Penanya : Âmîn! Âmîn! Semoga Allôh membalas Anda dengan kebaikan dan memberkahi Anda wahai syaikh kami.<br /><br />Syaikh : Hayyakallôhu.<br /><br /> <br /><br />Sumber : http://almanhaj.net/vb/showthread.php?t=1471&page=4<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Teks Arabic :<br /><br />مكالمة مع فضيلة الشيخ العلامة صالح بن محمد اللحيدان رئيس مجلس القضاء الأعلى وعضو هيئة كبار العلماء فيها دفاع الشيخ عن إخوانه العلماء الأجلاء : الشيخ صالح السحيمي والشيخ عبيد الجابري والشيخ ربيع المدخلي والشيخ أحمد النجمي - حفظ الله الجميع -<br />وكان الاتصال بالشيخ - وفقه الله - ليلة الجمعة 20/11/1426هـ وإليكم نص المكالمة مفرغة :<br />[- الشيخ : نعم .<br />- السائل : السلام عليكم ورحمة الله وبركاته<br />- الشيخ : وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته<br />- السائل : مسَّاك الله بالخير شيخنا .<br />- الشيخ : أهلاً ومرحباً .<br />- السائل : كيف حالك ؟<br />- الشيخ : الحمد لله .<br />- السائل : الله يحفظك ويبارك فيك .<br />- السائل : سؤالي شيخنا لو سمحت ؟<br />- الشيخ : أي نعم عجِّل .<br />- السائل : فيه سلَّمك الله –يعني- بعض المواقع : فيه موقع من المواقع يسمى موقع الأثري على شبكة الانترنت .<br />- الشيخ : أيوه .<br />- السائل : -يعني- ينزلون مقالات عجيبة في الطعن في علماء السنَّة ,ومنهم فضيلة الشيخ : صالح السحيمي ,و فضيلة الشيخ : عبيد الجابري ,و فضيلة الشيخ : ربيع بن هادي المدخلي ,و فضيلة الشيخ : أحمد النجمي وغيرهم وغيرهم من أهل العلم . فما نصيحتكم شيخنا لمثل هؤلاء ؟<br />- الشيخ : نصيحتي لهم أن يستغفروا الله ويتوبوا إليه ,ويكفُّوا عن الطَّعن في إخوانهم .<br />- السائل : فيه بعض الأشياء شيخنا ينزلونها على المشايخ -يعني- يتورع عن قولها -يعني- أن تُقال في صغار الناس ؛مثل أنهم يتَّهمون الشيخ ربيعاً بن هادي وغيره من إخوانه العلماء ,يتَّهمونه أنَّه يسبُّ الله جلَّ وعلا (!) وأنَّه يستهزئ بالقرآن (!)<br />-الشيخ – مقاطعاً - : يقيناً أنَّهم يكذبون .<br />- السائل : الله أكبر ,الله أكبر ,الله أكبر<br />- الشيخ : إن شاء الله أنَّ الله يُبرِّؤَُهُ من هذه التُّهمة الخبيثة القبيحة . نسأل الله أن يهدي هؤلاء الضالين .<br />- السائل : آمين آمين جزاك الله خيراً شيخنا وحفظك وبارك فيك .<br />- الشيخ : حياك الله ] .<br /><br /> <br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-42987911653689912032010-02-08T04:23:00.000-08:002010-02-08T04:24:18.825-08:00Kembali kepada UlamaOleh : Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin bin Hamd al-Badr<br /><br />Penerjemah Abu Ahmad Fuad Hamzah Baraba`, Lc.<br /><br />Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama, serta tingginya kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan mereka sebagai teladan dan pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa. Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya.<span class="fullpost"><br /><br />Oleh : Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin bin Hamd al-Badr<br /><br />Penerjemah Abu Ahmad Fuad Hamzah Baraba`, Lc.<br /><br />Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama, serta tingginya kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan mereka sebagai teladan dan pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa. Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:<br /><br />قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ<br /><br />Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. az-Zumar: 9)<br /><br />Dan firman-Nya Azza wa Jalla:<br /><br />يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ<br /><br />Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. al-Mujadilah: 11)<br /><br />Diantara keutamaannya adalah para malaikat akan membentangkan sayapnya karena tunduk akan ucapan mereka, dan seluruh makhluk hingga ikan yang berada di airpun ikut memohonkan ampun baginya. Para ulama itu adalah pewaris Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyala ilmu, dan pewaris sama kedudukannya dengan yang mewariskannya, maka bagi pewaris mendapatkan kedudukan yang sama dengan yang mewariskannya itu.<br /><br />Di dalam hadits Abi Darda radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhya para malaikat akan membuka sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang alim akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.” (Shahih, HR Ahmad (V/196), Abu Dawud (3641), at-Tirmidzi (2682), Ibnu Majah (223) dan Ibnu Hibban (80/al-Mawarid).<br /><br />Para ulama telah mewarisi ilmu yang telah dibawa oleh para Nabi, dan menggantikan peran dakwah di tengah-tengah umatnya untuk menyeru kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Juga melarang dari perbuatan maksiat serta membela agama Allah. Mereka berkedudukan seperti rasul-rasul antara Allah dan hamba-hamba-Nya dalam memberi nasehat, penjelasan dan petunjuk, serta untuk menegakkan hujjah, menepis alasan yang tak berdalih dan menerangi jalan.<br /><br />Muhammad bin al-Munkadir berkata, “Sesungguhnya orang alim itu perantara antara Allah dan hamba-hamba-Nya, maka perhatikanlah bagaimana dia bisa masuk di kalangan hamba-hamba-Nya.”<br /><br />Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Manusia yang paling agung kedudukannya adalah yang menjadi perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya, yaitu para Nabi dan ulama.”<br /><br />Sahl bin Abdullah berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat majlisnya para Nabi, maka hendaklah dia melihat majelisnya para ulama, dimana ada seseorang yang datang kemudian bertanya, ‘Wahai fulan apa pendapatmu terhadap seorang laki-laki yang bersumpah kepada istrinya demikian dan demikian?’ Kemudian dia menjawab, ‘Istrinya telah dicerai.’ Kemudian datang orang lain dan bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang bersumpah pada istrinya demikian-demikian?’ Maka dia menjawab, ‘Dia telah melanggar sumpahnya dengan ucapannya ini.’ Dan ini tidak dimiliki kecuali oleh Nabi atau orang alim. (maka cari tahulah tentang mereka itu).”<br /><br />Maimun bin Mahran berkata, “Perumpamaan seorang alim disuatu negeri itu, bagaikan mata air yang tawar di negeri itu.”<br /><br />Jikalau para ulama memiliki kedudukan dan martabat yang tinggi seperti itu, maka wajib atas orang-orang yang awam untuk menjaga kehormatan serta kemuliaannya.<br /><br />Dari Ubadah bin Ashomit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Bukan termasuk umatku orang yang tidak memuliakan orang yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak tahu kedudukan ulama.”<br /><br />Dan di antara hak para ulama adalah mereka tidak diremehkan dalam hal keahlian dan kemampuannya, yaitu menjelaskan tentang agama Allah, serta penetapan hukum-hukum dan yang semisalnya dengan mendahului mereka, atau merendahkan kedudukannya, serta sewenang-wenang dengan kesalahannya, juga menjauhkan manusia darinya atau perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahil yang tidak tahu akan kedudukan dan martabat para ulama.<br /><br />Satu hal yang sudah maklum bagi setiap orang, bahwa mempercayakan setiap cabang-cabang ilmu tidak dilakukan kecuali kepada para ahli dalam bidangnya. Jangan meminta pendapat tentang kedokteran kepada insiyur, dan jangan pula meminta pendapat tentang arsitektur kepada para dokter, maka janganlah meminta pendapat dalam suatu ilmu kecuali kepada para ahlinya.<br /><br />Maka bagaimana dengan ilmu syariah, pengetahuan tentang hukum-hukum dan fiqh kontemporer? Bagaimana kita meminta pendapat kepada orang yang tidak terkenal begitu mumpuni dan handal dalam ilmu ini, dan tidak meminta pendapat kepada para ulama yang mumpuni dan para imam yang kokoh ilmunya serta ahli fiqh dan ilmu pengetahuan dan ahli istimbath?<br /><br />Allah Ta’ala berfirman:<br /><br />وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا<br /><br />Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya, (padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu). (QS. an-Nisa`: 83)<br /><br />Dan yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat ini adalah para ulama yang mumpuni dan handal dalam beristimbath hukum-hukum syariat baik dari kitab maupun sunnah, karena nash-nash yang jelas tidaklah cukup untuk menjelaskan seluruh permasalahan kontemporer dan hukum-hukum terkini, dan tidaklah begitu handal untuk beristimbath serta mengerluarkan hukum-hukum dari nash-nash kecuali para ulama yang mumpuni lagi handal.<br /><br />Abul ‘aliyah mengatakan tentang makna “Ulil Amri” dalam ayat ini, “Mereka adalah para ulama, tidakkah kamu tahu Allah berfirman, ‘(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)’.”<br /><br />Dari Qatadah, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka”, dia mengatakan, “Kepada ulamanya.” “Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”, tentulah orang-orang yang membahas dan menyelidikinya mengetahui akan hal itu.<br /><br />Dan dari Ibu Juraij, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul” sehingga beliaulah yang akan memberitakannya “dan kepada Ulil Amri” orang yang faqih dan faham agama.<br /><br />Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan dalam Fath al-Bari:<br /><br />Ibnu Attin menukil dari ad-Dawudi, bahwasanya beliau menafsirkan firman Allah Ta’ala “Dan Kami turunkan az-Zikir (al-Qur`an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” An-Nahl : 44, berkata: Allah Ta’ala banyak menurunkan perkara-perkara yang masih bersifat global, kemudian ditafsirkan oleh Nabi-Nya apa-apa yang dibutuhkan pada waktu itu, sedangkan apa-apa yang belum terjadi pada saat itu, penafsirannya di wakilkan kepada para ulama. Sebagaimana firman Allah Ta’ala : (padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka. (QS. an-Nisa`: 83)<br /><br />Al-’Allamah Abdurrahman bin Sa’di rahimahullahu menafsirkan ayat ini: Ini merupakan pelajaran tentang adab dari Allah untuk para hamba-Nya, bahwa perbuatan mereka tidak layak, maka seyogyanya bagi mereka, apabila ada urusan yang penting, juga untuk kemaslahatan umum, yang berkaitan dengan keamanan dan kebahagiaan kaum mukminin, atau ketakutan yang timbul dari suatu musibah, maka wajib bagi mereka untuk memperjelas dan tidak tergesa-gesa untuk menyebarkan berita itu, bahkan mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri dikalangan mereka, yang ahli dalam hal pemikiran ilmu, nasehat serta brilian, yang faham akan permasalahan, kemaslahatan dan mafsadatnya. Jikalau mereka memandang pada penyebaran berita itu ada maslahat dan sebagai penyemangat bagi kaum mukminin, yang membahagiakan mereka, serta dapat melindungi dari musuh-musuhnya maka hal itu dilakukan, dan apabila mereka memandang hal itu tidak bermanfaat, atau ada manfaatnya akan tetapi mudhorotnya lebih besar dari manfaatnya maka tidak menyebarkan berita itu, oleh karena itu Allah berfirman : “tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka.” Yaitu: mengerahkan pikiran dan pandangannya yang lurus serta ilmunya yang benar.<br /><br />Dan dalam hal ini ada kaidah tentang etika (adab) yaitu: apabila ada pembahasan dalam suatu masalah hendaknya di berikan kepada ahlinya dan tidak mendahului mereka, karena itu lebih dekat dengan kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan. Juga ada larangan untuk tergesa-gesa menyebarkan berita tatkala mendengarnya, yang patut adalah dengan memperhatikan dan merenungi sebelum berbicara, apakah ada maslahat maka disebarkan atau mudharat maka dicegah. Selesai ucapan syaikh rahimahullahu.<br /><br />Dengan penjelasan ini diketahui wahai para pembaca budiman, bahwa perkara yang sulit dan hukum-hukum yang kontemporer serta penjelasan hukum-hukum syariatnya tidak semua orang boleh campur tangan dalam masalah itu, kecuali para ulama yang memiliki bashirah dalam agama.<br /><br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Jabatan dan kedudukan tidaklah menjadikan orang yang bukan alim menjadi orang yang alim, kalau seandainya ucapan dalam ilmu dan agama itu berdasarkan kedudukan dan jabatan niscaya khalifah dan sulthan (pemimpin negara) lebih berhak untuk berpendapat dalam ilmu dan agama. Juga dimintai fatwa oleh manusia, dan mereka kembali kepadanya pada permasalahan yang sulit difahami baik dalam ilmu ataupun agama. Apabila pemimpin negara saja tidak mengaku akan kemampuan itu pada dirinya, dan tidak memerintahkan rakyatnya untuk mengikuti suatu hukum dalam satu pendapat tanpa mengambil pendapat yang lain, kecuali dengan al-Qur`an dan as-Sunnah, maka orang yang tidak memiliki jabatan dan kedudukan lebih tidak dianggap pendapatnya.” Selesai ucapan Ibnu Taimiyah.<br /><br />Dan kita memohon kepada Allah Ta’ala agar memberkati kita, dengan adanya para ulama, juga memberikan kita manfaat dengan ilmu mereka, serta membalas mereka dengan sebaik-baik balasan. Sesungguhnya Allah Maha mendengar dan mengabulkan permintaan.<br /><br />SUMBER : OMMATY, ed. 40 Dzulhijjah 1428/ Des. 2007<br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-30728249420304751432010-02-08T04:01:00.001-08:002010-02-08T04:07:42.402-08:00GOO GREEN<div style="text-align: justify;"><p style="font-family: Tahoma,Verdana,Arial,sans-serif; line-height: 150%;"> Dekade terakhir ini, pemerintah Indonesia terus melancarkan program penghijauan. Oleh karena itu, dimana-mana kita akan melihat reklame dan promosi penghijauan, baik melalui media visual, maupun audio-visual. Promosi ini banyak terpajang di sudut-sudut jalan, dan tertempel di mobil-mobil dan lainnya yang mengajak kita menyukseskan program tersebut. Khusus Provinsi Sulawesi Selatan, pemerintahnya telah mencanangkan program penghijauan dengan tema "South Sulawesi Go Green" (Sulawesi Selatan Menuju Penghijauan).<span class="fullpost"><br /><br /><br />Sebagian orang menyangka bahwa program penghijauan bukanlah suatu amalan yang mendapatkan pahala di sisi Allah, sehingga ada diantara mereka yang bermalas-malasan dalam mendukung program tersebut. Demi menepis persangkaan yang salah ini, kali ini kami akan mengulas PENTINGNYA PENGHIJAUAN menurut tuntunan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- beserta dalil-dalilnya.<br /><br />Para pembaca yang budiman, mungkin anda masih mengingat sebuah hadits yang masyhur dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, beliau bersabda,<br /><br />إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ<br /><br />"Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalannya, kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah (yang mengalir pahalanya), ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shaleh yang mendo’akan kebaikan baginya". [HR. Muslim dalam Kitab Al-Washiyyah (4199)]<br /><br />Perhatikan, satu diantara perkara yang tak akan terputus amalannya bagi seorang manusia, walaupun ia telah meninggal dunia adalah SEDEKAH JARIYAH, sedekah yang terus mengalir pahalanya bagi seseorang.<br /><br />Para ahli ilmu menyatakan bahwa sedekah jariyah memiliki banyak macam dan jalannya, seperti membuat sumur umum, membangun masjid, membuat jalan atau jembatan, menanam tumbuhan baik berupa pohon, biji-bijian atau tanaman pangan, dan lainnya.<br /><br />Jadi, menghijaukan lingkungan dengan tanaman yang kita tanam merupakan sedekah dan amal jariyah bagi kita –walau telah meninggal- selama tanaman itu tumbuh atau berketurunan.<br /><br />Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,<br /><br />مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ<br /><br />"Tak ada seorang muslim yang menanam pohon atau menanam tanaman, lalu burung memakannya atau manusia atau hewan, kecuali ia akan mendapatkan sedekah karenanya". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab AL-Muzaro'ah (2320), dan Muslim dalam Kitab Al-Musaqoh (3950)]<br /><br />Al-Imam Ibnu Baththol -rahimahullah- berkata saat mengomentari hadits ini, "Ini menunjukkan bahwa sedekah untuk semua jenis hewan dan makhluk bernyawa di dalamnya terdapat pahala". [Lihat Syarh Ibnu Baththol (11/473)]<br /><br />Seorang muslim yang menanam tanaman tak akan pernah rugi di sisi Allah -Azza wa Jalla-, sebab tanaman tersebut akan dirasakan manfaatnya oleh manusia dan hewan, bahkan bumi yang kita tempati. Tanaman yang pernah kita tanam lalu diambil oleh siapa saja, baik dengan jalan yang halal, maupun jalan haram, maka kita sebagai penanam tetap mendapatkan pahala, sebab tanaman yang diambil tersebut berubah menjadi sedekah bagi kita.<br /><br />Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,<br /><br />مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلَّا كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتْ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَلَا يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ<br /><br />"Tak ada seorang muslim yang menanam pohon, kecuali sesuatu yang dimakan dari tanaman itu akan menjadi sedekah baginya, dan yang dicuri akan menjadi sedekah. Apa saja yang dimakan oleh binatang buas darinya, maka sesuatu (yang dimakan) itu akan menjadi sedekah baginya. Apapun yang dimakan oleh burung darinya, maka hal itu akan menjadi sedekah baginya. Tak ada seorangpun yang mengurangi, kecuali itu akan menjadi sedekah baginya" . [HR. Muslim dalam Al-Musaqoh (3945)]<br /><br />Al-Imam Abu Zakariyya Yahya Ibn Syarof An-Nawawiy -rahimahullah- berkata menjelaskan faedah-faedah dari hadits yang mulia ini, "Di dalam hadits-hadits ini terdapat keutamaan menanam pohon dan tanaman, bahwa pahala pelakunya akan terus berjalan (mengalir) selama pohon dan tanaman itu ada, serta sesuatu (bibit) yang lahir darinya sampai hari kiamat masih ada. Para ulama silang pendapat tentang pekerjaan yang paling baik dan paling afdhol. Ada yang berpendapat bahwa yang terbaik adalah perniagaan. Ada yang menyatakan bahwa yang terbaik adalah kerajinan tangan. Ada juga yang menyatakan bahwa yang terbaik adalah bercocok tanam. Inilah pendapat yang benar. Aku telah memaparkan penjelasannya di akhir bab Al-Ath’imah dari kitab Syarh Al-Muhadzdzab. Di dalam hadits-hadits ini terdapat keterangan bahwa pahala dan ganjaran di akhirat hanyalah khusus bagi kaum muslimin, dan bahwa seorang manusia akan diberi pahala atas sesuatu yang dicuri dari hartanya, atau dirusak oleh hewan, atau burung atau sejenisnya". [Lihat Al-Minhaj (10/457) oleh An-Nawawiy, cet. Dar Al-Ma'rifah, 1420 H]<br /><br />Pahala sedekah yang dijanjikan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam hadits-hadits ini akan diraih oleh orang yang menanam, walapun ia tidak meniatkan tanamannya yang diambil atau dirusak orang dan hewan sebagai sedekah.<br /><br />Al-Hafizh Abdur Rahman Ibnu Rajab Al-Baghdadiy -rahimahullah- berkata, "Lahiriah hadits-hadits ini seluruhnya menunjukkan bahwa perkara-perkara ini merupakan sedekah yang akan diberi ganjaran pahala bagi orang yang menanamnya, tanpa perlu maksud dan niat". [Lihat Iqozh Al-Himam Al-Muntaqo min Jami' Al-Ulum wa Al-Hikam (hal. 360) oleh Salim Al-Hilaliy, cet. Dar Ibn Al-Jauziy, 1419 H]<br /><br />Penghijauan alias REBOISASI merupakan amalan sholeh yang mengandung banyak manfaat bagi manusia di dunia dan untuk membantu kemaslahatan akhirat manusia. Tanaman dan pohon yang ditanam oleh seorang muslim memiliki banyak manfaat, seperti pohon itu bisa menjadi naungan bagi manusia dan hewan yang lewat, buah dan daunnya terkadang bisa dimakan, batangnya bisa dibuat menjadi berbagai macam peralatan, akarnya bisa mencegah terjadinya erosi dan banjir, daunnya bisa menyejukkan pandangan bagi orang melihatnya, dan pohon juga bisa menjadi pelindung dari gangguan tiupan angin, membantu sanitasi lingkungan dalam mengurangi polusi udara, dan masih banyak lagi manfaat tanaman dan pohon yang tidak sempat kita sebutkan di lembaran sempit ini.<br /><br />Jika demikian banyak manfaat dari REBOISASI alias penghijuan, maka tak heran jika agama kita memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan tanah dan menanaminya sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam hadits-hadits lainnya, seperti beliau pernah bersabda,<br /><br />إِنْ قَامَتْ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ<br /><br />"Jika hari kiamat telah tegak, sedang di tangan seorang diantara kalian terdapat bibit pohon korma; jika ia mampu untuk tidak berdiri sampai ia menanamnya, maka lakukanlah". [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (3/183, 184, dan 191), Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (2068), dan Al-Bukhoriy dalam Al-Adab Al-Mufrod (479). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 9)]<br /><br />Ahli Hadits Abad ini, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata saat memetik faedah dari hadits-hadits di atas, "Tak ada sesuatu (yakni, dalil) yang paling kuat menunjukkan anjuran bercocok tanam sebagaimana dalam hadits-hadits yang mulia ini, terlebih lagi hadits yang terakhir diantaranya, karena di dalamnya terdapat targhib (dorongan) besar untuk menggunakan kesempatan terakhir dari kehidupan seseorang dalam rangka menanam sesuatu yang dimanfaatkan oleh manusia setelah ia (si penanam) meninggal dunia. Maka pahalanya terus mengalir, dan dituliskan sebagai pahala baginya sampai hari kiamat". [Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/1/38)]<br /><br />Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidak mungkin memerintahkan suatu perkara kepada umatnya dalam kondisi yang genting dan sempit seperti itu, kecuali karena perkara itu amat penting, dan besar manfaatnya bagi seorang manusia. Semua ini menunjukkan tentang keutamaan "Go Green" alias program penghijauan yang digalakkan oleh pemerintah kita –semoga Allah memberikan balasan kebaikan bagi mereka-.<br /><br />Saking besarnya manfaat dari penghijauan lingkungan alias REBOISASI, tanah yang dahulu kering kerontang bisa berubah menjadi tanah subur. Sungai yang dahulu gersang, dengan reboisasi bisa berubah menjadi berair.<br /><br />Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda dalam sebuah yang shohih,<br /><br />لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَعُودَ أَرْضُ الْعَرَبِ مُرُوجًا وَأَنْهَارًا<br /><br />"Tak akan tegak hari kiamat sampai tanah Arab menjadi tanah subur, dan sungai-sungai". [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/370 & 417), dan Muslim dalam Kitab Ash-Shodaqoh (2336)]<br /><br />Ketika para sahabat mendengarkan hadits-hadits ini, maka mereka berlomba-lomba dan saling mendorong untuk melakukan program penghijauan ini, karena ingin mendapatkan keutamaan dari Allah -Azza wa Jalla- di dunia dan di akhirat berupa ganjaran pahala.<br /><br />Para pembaca yang budiman, jika kita mau membuka sebagian kitab-kitab hadits yang berisi keterangan dan petunjuk jalan hidup para salaf (pendahulu) kita dari kalangan sahabat dan generasi setelahnya, maka kita akan mendapatkan manusia-manusia yang memiliki semangat dalam menggalakkan perintah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam perkara ini.<br /><br />Seorang tabi’in yang bernama Umaroh bin Khuzaimah bin Tsabit Al-Anshoriy Al-Madaniy -rahimahullah- berkata,<br /><br />سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُوْلُ لأَبِيْ : مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَغْرِسَ أَرْضَكَ ؟ فَقَالَ لَهُ أَبِيْ : أَنَا شَيْخٌ كَبِيْرٌ أَمُوْتُ غَدًا ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ : أَعْزِمْ عَلَيْكَ لَتَغْرِسَنَّهَا, فَلَقَدْ رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَغْرِسُهَا بِيَدِهِ مَعَ أَبِيْ<br /><br />"Aku pernah mendengarkan Umar bin Khoththob berkata kepada bapakku, "Apa yang menghalangi dirimu untuk menanami tanahmu?" Bapakku berkata kepada beliau, "Aku adalah orang yang sudah tua, akan mati besok". Umar berkata kepadanya, "Aku mengharuskan engkau (menanamnya). Engkau harus menanamnya!" Sungguh aku melihat Umar bin Khoththob menanamnya dengan tangannya bersama bapakku". [HR. Ibnu Jarir Ath-Thobariy sebagaimana dalam Ash-Shohihah (1/1/39)]<br /><br />Al-Imam Al-Bukhoriy -rahimahullah- meriwayatkan sebuah atsar dari Nafi’ bin Ashim bahwa,<br /><br />أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو قَالَ لابْنِ أَخٍ لَهُ خَرَجَ مِنَ الْوَهْطِ : أَيَعْمَلُ عُمَّالُكَ ؟ قَالَ : لاَ أَدْرِيْ ، قَالَ : أَمَا لَوْ كُنْتَ ثَقَفِيًّا لَعَلِمْتَ مَا يَعْمَلُ عُمَّالُكَ ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيْنَا فَقَالَ : إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا عَمِلَ مَعَ عُمَّالِهِ فِيْ دَارِهِ – وَقَالَ أَبُوْ عَاصِمٍ مَرَّةً : فِيْ مَالِهِ – كَانَ عَامِلاً مِنْ عُمَّالِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ<br /><br />"Dia pernah mendengar Abdullah bin Amer -radhiyallahu anhu- berkata kepada keponakannya yang telah keluar dari kebunnya, "Apakah para pekerjamu sedang bekerja?" Keponakannya berkata, "Aku tak tahu". Beliau berkata, "Ingatlah, andaikan engkau adalah orang Tsaqif, maka engkau akan tahu tentang sesuatu yang dikerjakan oleh para pekerjamu". Kemudian beliau menoleh kepada kami seraya beliau berkata, "Sesungguhnya seseorang bila bekerja bersama para pekerjanya di kampungnya atau hartanya, maka ia adalah pekerja diantara pekerja-pekerja Allah -Azza wa Jalla-". [HR. Al-Bukhoriy dalam Al-Adab Al-Mufrod (448). Syaikh Al-Albaniy men-shohih-kan hadits ini dalam Shohih Al-Adab (hal. 154)]<br /><br />Amer bin Dinar -rahimahullah- berkata,<br /><br />عَنْ عَمْرٍو قَالَ: دَخَلَ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ فِيْ حَائِطٍ لَهُ بِالطَّائِفِ يُقَالُ لَهُ الْوَهْطُ, فِيْهِ أَلْفُ أَلْفِ خَشَبَةٍ اِشْتَرَى كُلَّ خَشَبَةٍ بِدِرْهَمٍ –يَعْنِيْ: يُقِيْمُ بِهِ اْلأَعْنَابَ- [أخرجه ابن عساكر في تاريخ دمشق - (ج 46 / ص 182)]<br /><br />"Amer bin Al-Ash pernah masuk ke dalam suatu kebun miliknya di Tho’if yang dinamai dengan "Al-Wahthu". Di dalamnya terdapat satu juta batang kayu. Beliau telah membeli setiap kayu dengan harga satu dirham. Maksudnya, beliau menegakkan dengannya batang-batang anggur". [HR. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (46/182)]<br /><br />Para pembaca yang budiman, perhatikanlah sahabat Amer bin Al-Ash telah berani berkorban demi memelihara tanaman-tanaman yang terdapat dalam kebunnya. Semua ini menunjukkan kepada kita tentang semangat para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam melaksanakan perintah dan anjuran beliau dalam menghijaukan lingkungan. Maka contohlah mereka dalam perkara ini, niscaya kalian mendapatkan keutamaan sebagaimana yang mereka dapatkan. Namun satu hal perlu kita ingat bahwa usaha dan program penghijauan seperti ini terpuji selama tidak melalaikan kita dari kewajiban, seperti jihad, sholat berjama’ah, mengurusi anak dan keluarga atau kewajiban-kewajiban lainnya. Jika melalaikan, maka hal itu tercela!!!<br /><br />Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 121 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)<br />http://almakassari.com/artikel-islam/akhlak/go-green-sebuah-amal-jariyah.html </p> <div align="right"> <a class="pn-normal" target="_blank" title="printer-friendly page" href="http://darussalaf.or.id/myprint.php?id=1688"><img src="http://darussalaf.or.id/images/print.gif" title="" /></a></div></div><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-39445319070971891072010-02-02T19:33:00.001-08:002010-02-08T03:08:06.031-08:00Valentine's = NO KUADRAT<div style="text-align: justify;">Cinta adalah sebuah kata yang indah dan mempesona yang hingga<br /></div><div style="text-align: justify;"><div style="text-align: justify;">sekarang belum ada yang bisa mendefinisikan kata cinta itu sendiri.<br />Meskipun demikian setiap insan yang memiliki hati dan pikiran yang<br />normal tahu apa itu cinta dan bagaimana rasanya. Maha suci Dzat Yang<br /><div style="text-align: justify;">telah menciptakan cinta.<br /></div><br /><br />Jika kita berbicara tentang cinta, maka secara hakikat kita akan<br />berbicara tentang kasih sayang; jika kita berbicara tentang kasih<br />sayang, maka akan terbetik dalam benak kita akan suatu hari yang setiap<br />tahunnya dirayakan, hari yang selalu dinanti-nantikan oleh orang-orang<br />yang dimabuk cinta, dan hari yang merupakan momen terpenting bagipara pemuja nafsu.<br /><br />Sejenak membuka lembaran sejarah kehidupan manusia, maka disana ada<br />suatu kisah yang konon kabarnya adalah tonggak sejarah asal mula<br />diadakannya hari yang dinanti-nantikan itu. Tentunya para pembaca sudah<br />bisa menebak hari yang kami maksud. Hari itu tak lain dan tak bukan<br />adalah "Valentine Days" (Hari Kasih Sayang?).<br /><br /><span class="fullpost">* Definisi Valentine Days</span><br /><br /><br /><span class="fullpost">Para Pembaca yang budiman, mari kita sejenak menelusuri defenisi</span><br /><span class="fullpost">Valentine Days dari referensi mereka sendiri! Kalau kita membuka</span><br /><span class="fullpost">beberapa ensiklopedia, maka kita akan menemukan defenesi Valentine di</span><br /><span class="fullpost">tiga tempat :</span><br /><br /><span class="fullpost">* Ensiklopedia Amerika (volume XIII/hal. 464) menyatakan, "Tanggal</span><br /><span class="fullpost">14 Februari adalah hari perayaan modern yang berasal dari dihukum</span><br /><span class="fullpost">matinya seorang pahlawan kristen yaitu Santo Valentine pada tanggal 14</span><br /><span class="fullpost">Februari 270 M".</span><br /><span class="fullpost">* Ensiklopedia Amerika (volume XXVII/hal. 860) menyebutkan, "Yaitu</span><br /><span class="fullpost">sebuah hari dimana orang-orang yang sedang dilanda cinta secara</span><br /><span class="fullpost">tradisional saling mengirimkan pesan cinta dan hadiah-hadiah. Yaitu</span><br /><span class="fullpost">hari dimana Santo Valentine mengalami martir (seorang yang mati sebagai</span><br /><span class="fullpost">pahlawan karena mempertahankan kepercayaan/keyakinan)".</span><br /><span class="fullpost">* Ensiklopedia Britania (volume XIII/hal. 949), "Valentine yang disebutkan itu adalah seorang utusan dari Rhaetia dan dimuliakan di Passau sebagai uskup pertama".</span><br /><span class="fullpost">* Sejarah Singkat Valentine Days</span><br /><br /><br /><span class="fullpost">Konon kabarnya, sejak abad ke-4 SM, telah ada perayaan hari kasih</span><br /><span class="fullpost">sayang. Namun perayaan tersebut tidak dinamakan hari Valentine.</span><br /><span class="fullpost">Perayaan itu tidak memiliki hubungan sama sekali dangan hari Valentine,</span><br /><span class="fullpost">akan tetapi untuk menghormati dewa yang bernama Lupercus.</span><br /><span class="fullpost">Acara ini berbentuk upacara dan di dalamnya diselingi penarikan undian</span><br /><span class="fullpost">untuk mencari pasangan. Dengan menarik gulungan kertas yang berisikan</span><br /><span class="fullpost">nama, para gadis mendapatkan pasangan. Kemudian mereka menikah untuk</span><br /><span class="fullpost">periode satu tahun, sesudah itu mereka bisa ditinggalkan begitu saja.</span><br /><span class="fullpost">Dan kalau sudah sendiri, mereka menulis namanya untuk dimasukkan ke</span><br /><span class="fullpost">kotak undian lagi pada upacara tahun berikutnya.</span><br /><br /><span class="fullpost">Sementara itu, pada 14 Februari 269 M meninggalkan seorang pendeta kristen yang bernama Valentine.</span><br /><span class="fullpost">Semasa hidupnya, selain sebagai pendeta ia juga dikenal sebagai tabib</span><br /><span class="fullpost">(dokter) yang dermawan, baik hati dan memiliki jiwa patriotisme yang</span><br /><span class="fullpost">mampu membangkitkan semangat berjuang. Dengan sifat-sifatnya tersebut,</span><br /><span class="fullpost">nampaknya mampu membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap penderitaan</span><br /><span class="fullpost">yang mereka rasakan, karena kezhaliman sang Kaisar. Kaisar ini sangat</span><br /><span class="fullpost">membenci orang-orang Nashrani dan mengejar pengikut ajaran nabi Isa.</span><br /><span class="fullpost">Pendeta Valentine ini dibunuh karena melanggar peraturan yang dibuat</span><br /><span class="fullpost">oleh sang Kaisar, yaitu melarang para pemuda untuk menikah, karena</span><br /><span class="fullpost">pemuda lajang dapat dijadikan tentara yang lebih baik daripada tentara</span><br /><span class="fullpost">yang telah menikah. Valentine sebagai pendeta, sedih melihat pemuda</span><br /><span class="fullpost">yang mabuk asmara. Akhirnya dengan penuh keberanian, ia melanggar</span><br /><span class="fullpost">perintah sang Kaisar. Dengan diam-diam ia menikahkan sepasang anak</span><br /><span class="fullpost">muda. Pendeta Valentine berusaha menolong pasangan yang sedang jatuh</span><br /><span class="fullpost">cinta dan ingin membentuk keluarga. Pasangan yang ingin menikah lalu</span><br /><span class="fullpost">diberkati di tempat yang tersembunyi. Namun rupanya, sang Kaisar</span><br /><span class="fullpost">mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh pendeta tersebut, dan kaisar</span><br /><span class="fullpost">sangat tersinggung hingga sang Pendeta diberi hukuman penggal oleh</span><br /><span class="fullpost">Kaisar Romawi yang bergelar Cladius II. Sejak kematian</span><br /><span class="fullpost">Valentine, kisahnya menyebar dan meluas, hingga tidak satu pelosok pun</span><br /><span class="fullpost">di daerah Roma yang tak mendengar kisah hidup dan kematiannya. Kakek</span><br /><span class="fullpost">dan nenek mendongengkan cerita Santo Valentine pada anak dan cucunya</span><br /><span class="fullpost">sampai pada tingkat pengkultusan !!</span><br /><br /><span class="fullpost">Ketika agama Katolik mulai berkembang, para pemimipin gereja ingin</span><br /><span class="fullpost">turut andil dalam peran tersebut. Untuk mensiasatinya, mereka mencari</span><br /><span class="fullpost">tokoh baru sebagai pengganti Dewa Kasih Sayang, Lupercus. Akhirnya mereka menemukan pengganti Lupercus, yaitu Santo Valentine.</span><br /><br /><span class="fullpost">Di tahun 494 M, Paus Gelasius I mengubah upacara Lupercaria</span><br /><span class="fullpost">yang dilaksanakan setiap 15 Februari menjadi perayaan resmi pihak</span><br /><span class="fullpost">gereja. Dua tahun kemudian, sang Paus mengganti tanggal perayaan</span><br /><span class="fullpost">tersebut menjadi 14 Februari yang bertepatan dengan</span><br /><span class="fullpost">tanggal matinya Santo Valentine sebagai bentuk penghormatan dan</span><br /><span class="fullpost">pengkultusan kepada Santo Valentine. Dengan demikian perayaan Lupercaria sudah tidak ada lagi dan diganti dengan "Valentine Days"</span><br /><br /><span class="fullpost">Sesuai perkembangannya, Hari Kasih Sayang tersebut menjadi semacam rutinitas ritual bagi kaum gereja untuk dirayakan. Biar tidak kelihatan formal, mereka membungkusnya dengan hiburan atau pesta-pesta.</span><br /><br /><span class="fullpost">* Hukum Islam tentang Perayaan Valentine Days</span><br /><br /><br /><span class="fullpost">Dalam Islam memang disyari’atkan berkasih sayang kepada sesama</span><br /><span class="fullpost">muslim, namun semuanya berada dalam batas-batas dan ketentuan Allah -Ta’ala-</span><br /><span class="fullpost">. Betapa banyak kita dapatkan para pemuda dan pemudi dari kalangan kaum</span><br /><span class="fullpost">muslimin yang masih jahil (bodoh) tentang permasalahan ini. Lebih parah</span><br /><span class="fullpost">lagi, ada sebagian orang yang tidak mau peduli dan hanya menuruti hawa</span><br /><span class="fullpost">nafsunya. Padahal perayaan Hari Kasih Sayang (Valentine Days) haram dari beberapa segi berikut :</span><br /><br /><span class="fullpost">* Tasyabbuh dengan Orang-orang Kafir</span><br /><br /><br /><span class="fullpost">Hari raya –seperti, Valentine Days- merupakan ciri khas, dan manhaj (metode) orang-orang kafir yang harus dijauhi. Seorang muslim tak boleh menyerupai mereka dalam merayakan hari itu.</span><br /><br /><span class="fullpost">Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata, "Tak</span><br /><span class="fullpost">ada bedanya antara mengikuti mereka dalam hari raya, dan mengikuti</span><br /><span class="fullpost">mereka dalam seluruh manhaj (metode beragama), karena mencocoki mereka</span><br /><span class="fullpost">dalam seluruh hari raya berarti mencocoki mereka dalam kekufuran.</span><br /><span class="fullpost">Mencocoki mereka dalam sebagaian hari raya berarti mencocoki mereka</span><br /><span class="fullpost">dalam sebagian cabang-cabang kekufuran. Bahkan hari raya adalah ciri</span><br /><span class="fullpost">khas yang paling khusus di antara syari’at-syari’at (agama-agama), dan</span><br /><span class="fullpost">syi’ar yang paling nampak baginya. Maka mencocoki mereka dalam hari</span><br /><span class="fullpost">raya berarti mencocoki mereka dalam syari’at kekufuran yang paling</span><br /><span class="fullpost">khusus, dan syi’ar yang paling nampak. Tak ragu lagi bahwa mencocoki</span><br /><span class="fullpost">mereka dalam hal ini terkadang berakhir kepada kekufuran secara global".[Lihat Al-Iqtidho’ (hal.186)].</span><br /><br /><span class="fullpost">Ikut merayakan Valentine Days termasuk bentuk tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang kafir. Rasululllah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,</span><br /><br /><span class="fullpost">مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ</span><br /><br /><span class="fullpost">"Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut". [HR. Abu Daud dalam Sunan-nya (4031) dan Ahmad dalam Al-Musnad (5114, 5115, & 5667), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (19401 & 33016), Al-Baihaqiy dalam Syu’ab Al-Iman (1199), Ath-Thobroniy dalam Musnad Asy-Syamiyyin (216), Al-Qudho’iy dalam Musnad Asy-Syihab (390), dan Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhob (848). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Musykilah Al-Faqr (24)].</span><br /><br /><span class="fullpost">Seorang Ulama Mesir,Syaikh Ali Mahfuzh-rahimahullah- berkata dalam mengunkapkan kesedihan dan pengingkarannya terhadap keadaan kaum muslimin di zamannya, "Diantara</span><br /><span class="fullpost">perkara yang menimpa kaum muslimin (baik orang awam, maupun orang</span><br /><span class="fullpost">khusus) adalah menyertai (menyamai) Ahlul Kitab dari kalangan</span><br /><span class="fullpost">orang-orang Yahudi, dan Nashrani dalam kebanyakan perayaan-perayaan</span><br /><span class="fullpost">mereka, seperti halnya menganggap baik kebanyakan dari</span><br /><span class="fullpost">kebiasaan-kebiasaan mereka. Sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa</span><br /><span class="fullpost">sallam- dahulu membenci untuk menyanai Ahlul Kitab dalam segala urusan</span><br /><span class="fullpost">mereka…Perhatikan sikap Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-</span><br /><span class="fullpost">seperti ini dibandingkan sesuatu yang terjadi pada manusia di hari ini</span><br /><span class="fullpost">berupa adanya perhatian mereka terhadap perayaan-perayaan, dan adat</span><br /><span class="fullpost">kebiasaan orang kafir. Kalian akan melihat ,ereka rela meninggalkan</span><br /><span class="fullpost">pekerjaan mereka berupa industri, niaga, dan sibuk dengan ilmu di</span><br /><span class="fullpost">musim-musim perayaan itu, dan menjadikannya hari bahagia, dan hari</span><br /><span class="fullpost">libur; mereka bermurah hati kepada keluarganya, memakai pakaian yang</span><br /><span class="fullpost">terindah, dan menyemir rambut anaka-anak mereka di hari itu dengan</span><br /><span class="fullpost">warna putih sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul Kitab dari kalangan</span><br /><span class="fullpost">Yahudi, dan Nashrani. Perbuatan ini dan yang semisalnya merupakan bukti</span><br /><span class="fullpost">kebenaran sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sebuah</span><br /><span class="fullpost">hadits shohih, "Kalian akan benar-benar mengikuti jalan hidup</span><br /><span class="fullpost">orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi</span><br /><span class="fullpost">sehasta sehingga andai mereka memasuki lubang biawak, maka kalian pun</span><br /><span class="fullpost">mengikuti mereka". Kami (para sahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah,</span><br /><span class="fullpost">apakah mereka adalah orang-orang Yahudi, dan Nashrani". Beliau</span><br /><span class="fullpost">menjawab, "Siapa lagi kalau bukan mereka". [HR. Al-Bukhoriy (3456) dari</span><br /><span class="fullpost">Abu Sa’id Al-Khudriy -radhiyallahu ‘anhu-]".[Lihat Al-Ibda’ fi Madhorril Ibtida’ (hal. 254-255)]</span><br /><br /><span class="fullpost">Namun disayangkan, Sebagian kaum muslimin berlomba-lomba dan berbangga dengan perayaan Valentine Days.</span><br /><span class="fullpost">Di hari itu, mereka saling berbagi hadiah mulai dari coklat, bunga</span><br /><span class="fullpost">hingga lebih dari itu kepada pasangannya masing-masing. Padahal</span><br /><span class="fullpost">perayaan seperti ini tak boleh dirayakan.Kita Cuma punya dua hari raya</span><br /><span class="fullpost">dalam Islam. Selain itu, terlarang !!.</span><br /><br /><span class="fullpost">* Pengantar Menuju Maksiat dan Zina</span><br /><br /><br /><span class="fullpost">Acara Valentine Days mengantarkan seseorang kepada bentuk maksiat</span><br /><span class="fullpost">dan yang paling besarnya adalah bentuk perzinaan. Bukankah momen</span><br /><span class="fullpost">seperti ini (ValentineDays) digunakan untuk meluapkan perasaan cinta kepada sang kekasih, baik dengan cara memberikan hadiah, menghabiskan waktu hanya berdua saja? Bahkan terkadang sampai kepada jenjang perzinaan.</span><br /><br /><span class="fullpost">Allah -Subhanahu wa Ta’la- berfirman dalam melarang zina dan pengantarnya (seperti, pacaran, berduaan, berpegangan, berpandangan, dan lainnya),</span><br /><br /><span class="fullpost">وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا</span><br /><br /><span class="fullpost">"Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk". (QS. Al-Isra’ : 32)</span><br /><br /><span class="fullpost">Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,</span><br /><br /><span class="fullpost">لَايَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِاِمْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ</span><br /><br /><span class="fullpost">"Jangan sekali-sekali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram". [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (4935), dan Muslim dalam Shohih-nya (1241)] .</span><br /><br /><span class="fullpost">Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:</span><br /><br /><span class="fullpost">لَأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يِمَسَّ امْرَأَةً لَاتَحِلُّ لَهُ</span><br /><br /><span class="fullpost">"Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian</span><br /><span class="fullpost">ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik daripada ia</span><br /><span class="fullpost">menyentuh wanita yang tidak halal baginya". [HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (486). Di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah (226)]</span><br /><br /><span class="fullpost">* Menciptakan Hari Rari Raya</span><br /><br /><br /><span class="fullpost">Merayakan Velentine Days berarti menjadikan hari itu sebagai hari raya. Padahal seseorang dalam menetapkan suatu hari sebagai hari raya, ia membutuhkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena menetapkan hari raya yang tidak ada dalilnya merupakan perkara baru yang tercela. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,</span><br /><br /><span class="fullpost">مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ</span><br /><br /><span class="fullpost">“Siapa saja yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami sesuatu yang tidak ada di dalamnya, maka itu tertolak” [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih -nya (2697)dan Muslim dalam Shahih -nya (1718)]</span><br /><br /><span class="fullpost">Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,</span><br /><br /><span class="fullpost">مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ</span><br /><br /><span class="fullpost">“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan tersebut tertolak”. [HR. Muslim dalam Shahih -nya (1718)]</span><br /><br /><span class="fullpost">Allah -Ta’ala- telah menyempurnakan agama Islam. Segala</span><br /><span class="fullpost">perkara telah diatur, dan disyari’atkan oleh Allah. Jadi, tak sesuatu</span><br /><span class="fullpost">yang yang baik, kecuali telah dijelaskan oleh Islam dalam Al-Qur’an dan</span><br /><span class="fullpost">Sunnah. Demikian pula, tak ada sesuatu yang buruk, kecuali telah</span><br /><span class="fullpost">diterangkan dalam Islam. Inilah kesempurnaan Islam yang dinyatakan</span><br /><span class="fullpost">dalam firman-Nya,</span><br /><br /><span class="fullpost">"Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan</span><br /><span class="fullpost">Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu</span><br /><span class="fullpost">jadi agama bagimu". (QS.Al-Maidah :3 ).</span><br /><br /><span class="fullpost">Di dalam agama kita yang sempurna ini, hanya tercatat dua hari raya, yaitu: Idul Fitri dan Idul Adha. Karenanya, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengingkari dua hari raya yang pernah dilakukan oleh orang-orang Madinah. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepada para sahabat Anshor,</span><br /><br /><span class="fullpost">قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا فِيْ</span><br /><span class="fullpost">الجَاهِلِيَةِ وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا:</span><br /><span class="fullpost">يَوْمَ النَّحَرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ</span><br /><br /><span class="fullpost">“Saya datang kepada kalian, sedang kalian memiliki dua hari, kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyyah. Allah sungguh telah menggantikannya dengan hari yang lebih baik darinya, yaitu: hari Nahr (baca: iedul Adh-ha), dan hari fithr (baca: iedul fatri)”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (1134), An-Nasa`iy dalam Sunan-nya (3/179), Ahmad dalam Al-Musnad (3/103. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (1134)] .</span><br /><br /><span class="fullpost">Syaikh Amer bin Abdul Mun’im Salim-hafizhahullah- berkata saat mengomentari hadits ini, "Jadi,</span><br /><span class="fullpost">Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang mereka -dalam bentuk</span><br /><span class="fullpost">pengharaman- dari perayaan-perayaan jahiliyyah yang dikenal di sisi</span><br /><span class="fullpost">mereka sebelum datangnya Islam, dan beliau menetapkan bagi mereka dua</span><br /><span class="fullpost">hari raya yang sya’i, yaitu hari raya Idul Fithri, dan hari raya Idul</span><br /><span class="fullpost">Adh-ha. Beliau juga menjelaskan kepada mereka keutamaan dua hari raya</span><br /><span class="fullpost">ini dibandingkan peryaan-perayaan lain yang terdahulu ".[Lihat As-Sunan wa Al-Mubtada’at fi Al-Ibadat (hal.136), cet. Maktabah Ibad Ar-Rahman, 1425 H]</span><br /><br /><span class="fullpost">Sungguh perkara yang sangat menyedihkan, justru perayaan ini sudah</span><br /><span class="fullpost">menjadi hari yang dinanti-nanti oleh sebagian kaum muslimin terutama</span><br /><span class="fullpost">kawula muda. Parahnya lagi, perayaan Valentine Days</span><br /><span class="fullpost">ini adalah untuk memperingati kematian orang kafir (yaitu Santo</span><br /><span class="fullpost">Valentine). Perkara seperti ini tidak boleh, karena menjadi sebab</span><br /><span class="fullpost">seorang muslim mencintai orang kafir.</span><br /><br /><span class="fullpost">Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 51</span><br /><span class="fullpost">Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus</span><br /><span class="fullpost">Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu,</span><br /><span class="fullpost">Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan</span><br /><span class="fullpost">Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc.</span><br /><span class="fullpost">Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh :</span><br /><span class="fullpost">Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk</span><br /><span class="fullpost">berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq</span><br /><span class="fullpost">Rp. 200,-/exp)</span><br /><br /><span class="fullpost">http://almakassari.com/?p=231</span><br /><br /><span class="fullpost">Sumber :</span><br /><span class="fullpost">www.darussalaf.or.id</span><br /><br /><br /><br /></div><br /></div><span class="fullpost"> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5537842108286679747.post-87659405511685433052010-02-02T18:56:00.001-08:002010-02-08T03:07:06.203-08:00FATWA LAJNAH DA'IMAH / VALENTINE'S<div style="text-align: justify;">Hari 'kasih sayang' yang dirayakan oleh orang-orang Barat pada tahun-tahun terakhir yang disebut "Valentine Day’s" amat populer dan merebak di berbagai pelosok Indonesia. Terlebih lagi di saat menjelang bulan Februari di mana banyak kita temui simbol-simbol atau iklan-iklan tidak syar’i demi mewujudkan dan mengekspos (mempromosikan) hari Valentine. Berbagai tempat hiburan bermula dari diskotik, hotel-hotel, organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok kecil, mereka berlomba-lomba menawarkan acara untuk merayakan Valentine. Dengan dukungan (pengaruh) media massa seperti surat kabar, radio, televisi, dan yang lainnya. Sebagian besar kaum muslimin juga turut dicekoki (dihidangkan) dengan berbagai slogan dan iklan-iklan Valentine Day’s.<br /></div><br /><br /><br />Berbicara tentang sejarah Valentine, ada berbagai versi menceritakan tentang asal mula ajaran ini. Namun semua berita tersebut tanpa disertai sanad yang jelas untuk dapat mengecek keabsahan riwayatnya. Sekedar untuk diketahui, bahwa di antara mereka ada yang menyebutkan bahwa dahulu, seorang pemimpin agama Katolik bernama Valentine bersama rekannya Santo Marius secara diam-diam menentang pemerintahan Kaisar Claudius II kala itu. Pasalnya, kaisar tersebut menganggap bahwa seorang pemuda yang belum berkeluarga akan lebih baik performanya ketika berperang. Ia melarang para pemuda untuk menikah demi menciptakan prajurit perang yang potensial.<br /><br /><br /><br />Nah, Valentine tidak setuju dengan peraturan tersebut. Ia secara diam-diam tetap menikahkan setiap pasangan muda yang berniat untuk mengikat janji dalam sebuah perkawinan. Hal ini dilakukannya secara rahasia.<br /><br /><br /><br />Lambat laun, aksi yang dilakukan oleh Valentine pun tercium oleh Claudius II. Valentine harus menanggung perbuatannya. Ia dijatuhi hukuman mati. Ada sebuah sumber yang menceritakan bahwa ia mati karena menolong orang-orang Kristen melarikan diri dari penjara akibat penganiayaan.<br /><span class="fullpost"><br /><br /><br />Dalam cerita tersebut, Valentine didapati jatuh hati kepada anak gadis seorang sipir, penjaga penjara. Gadis yang dikasihinya senantiasa setia untuk menjenguk Valentine di penjara kala itu. Tragisnya, sebelum ajal tiba bagi Valentine, ia meninggalkan pesan dalam sebuah surat untuknya.<br /><br /><br /><br />Menurut cerita tersebut,Ada tiga buah kata yang tertulis sebagai tanda tangannya di akhir surat dan menjadi populer hingga saat ini—-‘From Your Valentine’. Ekspresi dari perwujudan cinta Valentine terhadap gadis yag dicintainya itu masih terus digunakan oleh orang-orang masa kini. Akhirnya, sekitar 200 tahun sesudah itu, Paus Gelasius meresmikan tanggal 14 Febuari tahun 496 sesudah Masehi sebagai hari untuk memperingati Santo Valentine.<br /><br /><br /><br />Versi lain tentang Valentine dimulai pada zaman Roma kuno tanggal 14 Febuari. Ini merupakan hari raya untuk memperingati Dewi Juno. Ia merupakan ratu dari segala dewa dan dewi kepercayaan bangsa Roma. Orang Romawi pun mengakui kalau dewi ini merupakan dewi bagi kaum perempuan dan perkawinan. (dari berbagai sumber)<br /><br /><br /><br />Namun yang jelas, bahwa ini bukan berasal dari Islam, namun lebih mendekati sebuah tradisi yang bernuansa Kristiani dari Roma Kuno. Jika demikian keadaannya, maka ini sudah cukup bagi Kaum Muslimin menyadari bahwa hal itu tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, dan menyerupai kebiasaan orang-orang kafir.<br /><br /><br /><br />Berikut ini, kami akan nukilkan beberapa fatwa para ulama yang menjelaskan tentang perayaan tersebut.<br /><br /><br /><br />Fatwa Lajnah Da’imah ( Lembaga Fatwa Arab Saudi )<br /><br /><br /><br />Fatwa Lembaga Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi<br /><br /><br /><br />Fatwa nomor (21203), tanggal: 23-11-1320 H<br /><br /><br /><br />Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam atas hamba yang tidak ada nabi setelahnya. Amma ba’du:<br /><br /><br /><br />Lembaga Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa telah menelaah apa yang telah disampaikan kepada yang terhormat Mufti Umum, dari yang meminta fatwa: Abdullah bin Aalu Rabi’ah, dan disampaikan kepada Lembaga Seksi Amanah Umum - Lembaga Kibaarul Ulama ( ulama besar ), nomor : 5324, tanggal : 3-11-1420 H.<br /><br /><br /><br />Yang memohon fatwa menyampaikan pertanyaan yang teksnya sebagai berikut:<br /><br /><br /><br />" Sebagian manusia ada yang merayakan hari ke 14 dari bulan Februari setiap tahun dengan hari kasih sayang "valentine day’s" (hari valentine). Dimana mereka saling memberi hadiah berupa mawar merah dan memakai pakaian berwarna merah, dan mereka saling memberi selamat, dan sebagian warung/restoran pembuat kue membuat kue dengan warna merah, lalu diberi gambar hati di atasnya.Sebagian toko ada yang memberi beberapa pemberitahuan di sebagian barang dagangannya yang berkenaan dengan kekhususan hari tersebut. Maka apa pendapatmu tentang:<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />- hukum merayakan hari tersebut?<br /><br /><br /><br />- Membeli dari toko-toko tersebut pada hari itu?<br /><br /><br /><br />- Sebagian toko (yang tidak merayakan hari itu) menjual kepada yang merayakannya sebagian apa yang dihadiahkan di hari tersebut?<br /><br /><br /><br />Semoga Allah membalas kebaikanmu ".<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Setelah lembaga mempelajari pertanyaan tersebut, maka lembaga ini menjawab bahwa telah ditunjukkan berdasarkan dalil-dalil yang jelas dari Al-kitab dan As-sunnah, dan telah sepakat umat ini atasnya, bahwa hari raya di dalam Islam hanyalah dua: yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun selain keduanya dari berbagai perayaan apakah yang berhubungan dengan seseorang, sekelompok orang, atau satu kejadian, atau dengan makna apa saja, maka itu merupakan perayaan-perayaan yang bid’ah, tidak boleh bagi Kaum Muslimin melakukannya, menyetujuinya, dan menampakkan kegembiraan dengannya, atau membantunya dengan sesuatu. Sebab hal tersebut termasuk ke dalam sikap melanggar batasan-batasan Allah, dan barangsiapa yang melanggar batasan-batasan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, maka sungguh dia telah menzhalimi dirinya sendiri. Apabila perayaan yang diada-adakan tersebut berasal dari perayaan orang-orang kafir, maka ini berarti dosa di atas dosa, sebab menyerupai mereka, dan itu merupakan bentuk loyalitasnya kepada mereka. Dan sungguh Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah melarang Kaum Mukminin menyerupai mereka dan bersikap loyal kepada mereka dalam kitab-Nya yang agung. Dan telah shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:<br /><br /><br /><br />من تشبه بقوم فهو منهم<br /><br /><br /><br />" Barangsiapa yang menyerupai satu kaum,maka dia termasuk mereka ".<br /><br /><br /><br />(HR.Abu Dawud dari Abdullah bin Umar)<br /><br /><br /><br />Hari kasih sayang termasuk diantara jenis perayaan yang disebutkan, sebab ia termasuk di antara perayaan berhala Nashrani. Maka tidak halal bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan hari akhir melakukannya, atau menyetujuinya, atau mengucapkan selamat, namun yang wajib adalah meninggalkannya dan menjauhinya, sebagai wujud menjawab panggilan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dan menjauhkan diri dari berbagai sebab yang mendatangkan kemurkaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan siksaan-Nya. Sebagaimana pula diharamkan atas seorang muslim membantu perayaan tersebut, atau yang lainnya dari berbagai perayaan yang diharamkan, dengan jenis apapun, baik berupa makanan, minuman, menjual, membeli, membuat, hadiah, saling berkirim surat, atau pemberitahuan, atau yang lainnya. Sebab itu semua termasuk ke dalam sikap saling tolong menolong di atas dosa dan permusuhan, dan kemaksiatan kepada Allah dan rasul-Nya. Dan Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />¢ (#qçRur$yès?ur ’n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3"uqø)G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? ’n?tã ÉOøOM}$# Èbºurô‰ãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ<br /><br /><br /><br />" Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. " (QS.Al-Maidah : 2)<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Wajib atas seorang muslim berpegang teguh dengan Kitabullah dan As-Sunnah dalam setiap keadaannya, terlebih lagi pada waktu-waktu terjadinya fitnah dan banyak terjadi kerusakan. Dan hendaklah seseorang mengerti dan berhati-hati dari terjatuh ke dalam berbagai kesesatan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat yang fasiq yang yang tidak percaya akan kebesaran Allah, dan mememiliki peduli terhadap Islam. Wajib atas setiap muslim untuk berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan memohon hidayah kepada-Nya, dan kokoh di atas agamanya, karena tidak ada yang dapat memberi hidayah kecuali Allah, dan tidak ada yang dapat memberi kekokohan kecuali Dia Subhanahu Wa Ta'ala. Dan hanya kepada Allah kita meminta taufiq. Shalawat dan salam atas Nabi kita Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarganya, dan para shahabatnya.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Lembaga Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa<br /><br /><br /><br />Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alus Syaikh<br /><br /><br /><br />Anggota:<br /><br /><br /><br />- Shalih bin Fauzan Al-Fauzan<br /><br /><br /><br />- Abdullah bin Abdurrahman Al-Ghudayyan<br /><br /><br /><br />- Bakr bin Abdullah Abu Zaid<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Fatwa Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin<br /><br /><br /><br />Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya:<br /><br /><br /><br />" Telah menyebar pada masa-masa akhir ini perayaan " kasih saying " (valentine day’s), lebih terkhusus para pelajar wanita, dan ini termasuk di antara hari raya kaum Nashara, dan semuanya diberi model dengan warna merah, baik pakaian, sepatu, dan mereka saling bertukar bunga-bunga berwarna merah. Kami harap dari engkau –yang kami muliakan- penjelasan tentang hukum merayakan hari raya ini, dan apa nasehat engkau kepada Kaum Muslimin dalam perkara-perkara seperti ini?. Semoga Allah menjaga dan memeliharamu.<br /><br /><br /><br />Beliau menjawab: Merayakan hari kasih sayang (valentine days) tidak boleh, ditinjau dari beberapa sisi:<br /><br /><br /><br />Pertama: bahwa itu merupakan perayaan bid’ah, tidak ada asalnya dalam syari’at.<br /><br /><br /><br />Kedua: bahwa hal tersebut mengantarkan kepada cinta buta dan kerinduan ( kepada lawan jenis bukan mahram ).<br /><br /><br /><br />Ketiga: hal tersebut mengantarkan kepada tersibukkannya hati dalam urusan-urusan rendah seperti ini, yang menyelisihi bimbingan salafus shalih .<br /><br /><br /><br />Maka tidak dihalalkan pada hari ini muncul sesuatu yang itu merupakan bentuk syi’ar terhadap perayaan tersebut, apakah dalam hal makanan, minuman, pakaian, atau saling memberi hadiah, atau yang lainnya.<br /><br /><br /><br />Wajib bagi seorang muslim merasa mulia dengan agamanya dan jangan dia menjadi seorang yang tidak punya pegangan, mengikuti setiap ada orang yang berteriak (mengajak kepada sesuatu). Aku memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala agar memberi perlindungan kepada Kaum Muslimin dari segala fitnah yang zhahir maupun yang batin dan semoga Dia senantiasa menolong kita dengan pertolongan dan taufiqNya.<br /><br /><br /><br />( dari Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah :16/199 )<br /><br /><br /><br />Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala senantiasa memberi hidayah kepada kaum muslimin dan dipelihara dari tipuan setan yang berusaha memalingkan manusia dari jalan-Nya. Amin<br /><br /><br /><br />Ditulis oleh:<br /><br /><br /><br />Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal<br /><br /><br /> </span>Abu Usamah Sufyan al Atsarihttp://www.blogger.com/profile/12946308399949859896noreply@blogger.com0