يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ﴾ [الحشر:18

Senin, 08 Februari 2010

MACAM MACAM HATI

Hati itu bisa hidup dan bisa mati. Sehubungan dengan itu, hati dapat dikelompokkan menjadi:

[1]. Hati yang sehat
[2]. Hati yang mati
[3]. Hati yang sakit

Hati yang sehat adalah hati yang selamat. Pada hari kiamat nanti, barangsiapa menghadap Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa membawanya tidak akan selamat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Adalah hari yang mana harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat." [Asy-Syu'ara : 88-89]




Hati yang selamat didefinisikan sebagai hati yang terbebas dari setiap syahwat, keinginan yang bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dari setiap syubhat, ketidakjelasan yang menyeleweng dari kebenaran. Hati ini selamat dari beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam . Ubudiyahnya murni kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala . Iradahnya, mahabbahnya, inabahnya, ikhbatnya, khasyyahnya, roja'nya, dan amalnya, semuanya lillah, karenaNya. Jika ia mencintai, membenci, memberi, dan menahan diri, semuanya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala . Ini saja tidak dirasa cukup. Sehingga ia benar-benar terbebas dari sikap tunduk dan berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Hatinya telah terikat kepadanya dengan ikatan yang kuat untuk menjadikannya sebagai satu-satunya panutan, dalam perkataan dan perbuatan. Ia tidak akan berani bersikap lancang, mendahuluinya dalam hal aqidah, perkataan atau pun perbuatan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kalian bersikap lancing (mendahului) Allah dan RasulNya, dan bertaqwalah kepada Allah Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [Al-Hujurat : 1]

Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal siapa Rabbnya. Ia tidak beribadah kepadaNya dengan menjalankan perintahNya atau menghadirkan sesuatu yang dicintai dan diridlaiNya. Hati model ini selalu berjalan bersama hawa nafsu dan kenikmatan duniawi, walaupun itu dibenci dan dimurkai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala . Ia tidak peduli dengan keridlaan atau kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta'ala . Baginya, yang penting adalah memenuhi keinginan hawa nafsu. Ia menghamba kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala . Jika ia mencinta, membenci, memberi, dan menahan diri, semuanya karena hawa nafsu. Hawa nafsu telah menguasainya dan lebih ia cintai daripada keridlaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hawa nafsu telah menjadi pemimpin dan pengendali baginya. Kebodohan adalah sopirnya, dan kelalaian adalah kendaraan baginya. Seluruh pikirannya dicurahkan untuk menggapai target-target duniawi. Ia diseru kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan negeri akhirat, tetapi ia berada di tempat yang jauh sehingga ia tidak menyambutnya. Bahkan ia mengikuti setiap setan yang sesat. Hawa nafsu telah menjadikannya tuli dan buta selain kepada kebatilan.[1]. Bergaul dengan orang yang hatinya mati ini adalah penyakit, berteman dengannya adalah racun, dan bermajlis dengan mereka adalah bencana.

Hati yang sakit adalah hati yang hidup namun mengandung penyakit. Ia akan mengikuti unsur yang kuat. Kadang-kadang ia cenderung kepada 'kehidupan', dan kadang-kadang pula cenderung kepada 'penyakit'. Padanya ada kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala , yang merupakan sumber kehidupannya. Padanya pula ada kecintaan dan ketamakan terhadap syahwat, hasad [2], kibr [3], dan sifat ujub, yang merupakan sumber bencana dan kehancurannya. Ia ada diantara dua penyeru; penyeru kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan hari akhir, dan penyeru kepada kehidupan duniawi. Seruan yang akan disambutnya adalah seruan yang paling dekat, paling akrab.

Demikianlah, hati yang pertama adalah hati yang hidup, khusyu', tawadlu', lembut dan selalu berjaga. Hati yang kedua adalah hati yang gersang dan mati, Hati yang ketiga adalah hati yang sakit, kadang-kadang dekat kepada keselamatan dan kadang-kadang dekat kepada kebinasaan.


[Diketik ulang dari: "Tazkiyah An-Nafs, Konsep Penyucian Jiwa Menurut Para Salaf", Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Rajab al-Hambali, Imam Ghazali. Pentahqiq: Dr. Ahmad Farid. Penerjemah: Imtihan Asy-Syafi'i. Editor: Abu Fatiah Al Adnani . Penerbit: Pustaka Arafah, Solo. Cetakan Pertama: Februari 2001/Dzul Qa'dah 1421 H, hal.22-24]
_________
Foote Note
[1]. Disebutkan dalam sebuah hadits, "Cintamu kepada sesuatu akan membutakanmu dan menulikanmu," Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Al- Adab XIV/38 secara marfu'dan oleh Imam Ahmad dalam Musnad V /194 secara marfu', juga VI/450 secara mauquf. Semuanya dari Abu Darda'. Abu Dawud tidak mengomentari hadits ini. Namun sebagian ulama menghasankannya, dan sebagian yang lain mendlaif-kannya.
[2]. Hasad atau dengki adalah sikap tidak suka melihat orang lain mendapat nikmat dan mengharapkan nikmat itu lenyap darinya.
[3]. Kibr atau sombong adalah menganggap remeh orang lain. Rasulullah bersabda, Kibr itu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain." HR. Muslim II/89


Selengkapnya...

WASIAT UMAR BIN DZAR

WASIAT UMAR BIN DZAR TENTANG RENUNGAN MENGENAI PEMUTUS KENIKMATAN


Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilali





Dari Nadhar bin Ismail yang berkata: Saya pernah mendengar Umar bin Dzar [1] berkata:

Kamu sekalian telah cukup mengerti tentang kematian, maka kamu menunggu-nunggu kedatangannya siang dan malam.

Mungkin kamu meninggal sebagai seorang yang sangat dicintai oleh keluarganya, dihormati oleh kerabatnya, dan dipatuhi oleh masyarakatnya, dipindahkan keliang yang kering dan batu-batu cadas yang bisu. Tidak ada seorangpun dari keluarga yang bisa memberikan bantal, kecuali hanya menempatkannya di tengah kerumunan binatang serangga. Adapun bantal pada saat itu berupa amal perbuatannya.

Atau mungkin kamu meninggal sebagai orang yang malang dan terasing. Di dunia, ia telah ditimpa banyak kesedihan, usaha yang dilakukan sudah berkepanjangan, badan telah kepayahan, lantas kematian tiba-tiba menjemput sebelum ia meraih keinginannya.

Atau mungkin kamu adalah seorang anak yang masih disusui, orang yang sakit, atau orang yang tergadai dan tergila-gila dengan kejahatan. Mereka semua diundi dengan anak panah kematian.

Tidak adakah pelajaran yang bisa dipetik dari perkataan para juru nasihat?!

Sungguh, seringkali saya berkata: "Maha Suci Allah Jalla Jalaluhu. Dia telah memberi tempo kepada kamu sehingga seakan-akan menjadikan kamu lalai." Kemudian saya kembali melihat kepemaafan dan kekuasaan-Nya, lantas berkata: "Tidak, tetapi Dia mengakhirkan kita sampai pada batas ajal kita, sampai pada hari di mana mata menjadi terbelalak dan hati menjadi kering."

"Artinya : Mereka datang bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mengangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong." [Ibrahim : 43]

"Ya Rabbi, Engkau telah memberikan peringatan, maka hujjah-Mu telah tegak
atas hamba-hamba-Mu”

Kemudian ia membaca:

"Artinya : Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang adzab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang zhalim: "Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit." [Ibrahim : 44]

Kemudian ia berkata:

"Wahai pelaku kezhaliman! Sesungguhnya kamu sedang berada dalam masa penangguhan yang kamu minta itu, maka manfaatkanlah sebelum akhir masa itu tiba dan bersegeralah sebelum berlalu. Batas akhir penangguhan adalah ketika kamu menemui ajal, saat sang maut datang. Ketika itu tidak berguna lagi penyesalan.

Anak Adam ibarat papan yang dipasang sebagai sasaran dari panah kematian. Siapa yang dipanah dengan anak panah-anak panahnya, tidak akan meleset. Dan bila kematian itu telah menginginkan seseorang, maka tidak akan menimpa yang lain.

Ketahuilah, sesungguhnya kebaikan yang paling besar adalah kebaikan di akhirat yang abadi dan tidak berakhir, yang kekal dan tidak fana, yang terus berlanjut dan tak kenal putus.

Hamba-hamba yang dimuliakan bertempat tinggal di sisi Allah Ta'ala di tengah segala hal yang menyenangkan diri dan menyejukkan pandangan. Mereka saling mengunjungi, bertemu, dan bernostalgia tentang hari-hari mereka hidup di dunia.

Tentramlah kehidupan mereka. Mereka telah memperoleh apa yang mereka inginkan dan meraih apa yang mereka cari, karena keinginan mereka adalah berjumpa dengan majikan Yang Maha Pemurah dan Maha Pemberi Anugerah. [2]


[Disalin ulang dari: "Wasiat Para Salaf", Penulis Syaikh Salim bin 'Ied Al Hilali, Penerjemah: Hawin Murtadho. Penerbit: At-Tibyan, Solo. Cetakan kedua: Juli 2000 M, hal.111-114]
_________
Foote Note
[1]. Dia adalah Umar bin Dzar biun Abdillah bin Zaraqah Al-Hamdani Al-Murhabi, seorang tabi'it tabi'in yang tsiqah, wafat pada tahun 135 H. Riwayat hidupnya ada dalam "Tahdzibut Tahdzib" (VII:144), "Hilyatul Auliya" (V:108) dan lain-lain
[2]. Dikeluarkan oleh Abu Nu'aim dalam 'Al-Hilyah' (V:115-116)


Selengkapnya...

Malam dan siang hanyalah sebuah perjalanan

MALAM DAN SIANG HANYALAH SEBUAH PERJALANAN

Oleh
Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim




Saudaraku semuslim…
Malam dan siang hanyalah sebuah perjalanan yang selalu dilalui oleh setiap insan, dia melewatinya selangkah demi selangkah sehingga sampai pada akhir sebuah perjalanan. Jika Anda bisa mempersembahkan sebuah perbekalan pada setiap langkah tersebut, maka lakukanlah, karena tidak lama lagi perjalanan ini akan berakhir, bahkan dia berlari dengan lebih cepat dari yang engkau bayangkan. Maka bekalilah dirimu dalam perjalanan ini dan lakukanlah kewajibanmu, seakan-akan engkau sedang ada dalam perjalanan yang banyak mengandung bahaya para perampok.

Seorang Salaf menulis surat kepada saudaranya (yang isinya), “Wahai saudaraku, engkau berkhayal bahwa engkau selamanya berada di dunia, akan tetapi sebenarnya engkau ada dalam sebuah perjalanan. Engkau digiring dengan cepat, kematian datang menghadangmu, sedangkan dunia telah menggulung tikarnya di belakangmu, umurmu yang telah berlalu sama sekali tidak akan kembali.”[1]

Kita semua berjalan pada kelompok orang-orang yang zuhud, sedangkan kafilah (rombongan) orang-orang yang shalih telah berlalu… bagaimana kita melihat dunia menyatu dengan akhirat… antara zuhud dengan qana’ah. ‘Ali bin Fudhail berkata, “Aku mendengar ayahku berbicara kepada Ibnul Mubarak, ‘Engkau memerintahkan kami untuk hidup dengan zuhud dan kesederhanaan, akan tetapi aku melihat dirimu yang selalu membawa barang dagangan, bagaimana hal ini bisa terjadi?’ Beliau menjawab, ‘Wahai Abu ‘Ali, aku melakukannya hanya untuk menjaga wajah dan kehormatanku, dan dengannya aku melakukan ketaatan kepada Rabb-ku.’ Lalu dia berkata, ‘Wahai Ibnul Mubarak! Sungguh indahnya hal ini jika ini dilakukan dengan sempurna!!’”

Saudaraku tercinta…
Bagaimana engkau memandang dunia ini? Sungguh indahnya dunia jika ia datang dari pintu yang halal dan digunakan di jalan yang halal. Sesungguhnya pintu-pintu kebaikan sangat banyak dan tidak dapat dihitung: shadaqah, membantu orang yang sangat membutuhkan, menolong orang yang tertimpa musibah, membantu para janda, dan menanggung hidup anak-anak yatim.

Saudaraku…Sufyan pernah berkata, “Jagalah dirimu dari kemarahan Allah dalam tiga hal:

(1) Jagalah dirimu agar tidak lalai pada perintah-Nya,
(2) Jagalah dirimu dari sikap tidak rela akan keputusan-Nya sedangkan Dia melihatmu, dan
(3) Jagalah dirimu dari sikap membenci Rabb-mu ketika engkau meminta kepada-Nya, tetapi engkau tidak mendapatkannya.”

Sesungguhnya yang membagi-bagikan rizki di dunia ini adalah Allah, karena itu engkau harus rela terhadap pembagian-Nya, sedikit ataupun banyak, datang atau pergi, dunia itu memihakmu ataupun meninggalkanmu, engkau harus rela terhadap apa yang engkau dapatkan. Janganlah hatimu risau karenanya, janganlah engkau membenci apa yang telah Allah tentukan untukmu, dan janganlah engkau melihat orang yang lebih tinggi darimu dalam hal keduniaan. Akan tetapi lihatlah kepada orang-orang shalih dan orang-orang pilihan.

Siapa saja yang ingin hidup lapang
di dalam naungan agama dengan meraih dunia,
maka lihatlah orang yang lebih wara’ (takwa) daripadanya
dan perhatikanlah orang yang lebih miskin dari-nya.[2]

Yang lebih indah lagi dari ungkapan tersebut adalah firman Allah di dalam Kitab-Nya yang mulia:

"Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia untuk Kami cobai mereka dengannya… ." [Thahaa: 131]

Ibrahim al-Asy’ats rahimahullah berkata, “Aku mendengar Fudhail berkata, ‘Rasa takut seorang hamba terhadap Allah sesuai dengan keilmuannya kepada-Nya. Kezuhudan seorang hamba terhadap dunia sesuai dengan keinginannya atas kebahagiaan akhirat. Siapa saja yang beramal dengan ilmu yang ia ketahui, maka dia akan merasa cukup terhadap apa-apa yang tidak ia ketahui. Dan siapa saja yang mengamalkan sesuatu yang ia ketahui, maka Allah akan memberikan ilmu yang tidak ia ketahui. Siapa saja memiliki prilaku yang jelek, maka jelek pulalah agama, keturunan, dan kehormatannya.”[3]

Sebagian dari orang-orang zuhud berkata, “Aku tidak pernah mengetahui seseorang yang mendengar Surga dan Neraka, kemudian didatangkan kematian kepadanya. Sedangkan ia dalam keadaan tidak melakukan ketaatan kepada Allah sesaat pun, baik dengan berdzikir, shalat, membaca al-Qur-an atau dengan berbuat baik.” Lalu seseorang berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku banyak menangis.” Lalu beliau berkata, “Jika engkau tertawa dengan mengakui kesalahan, itu lebih baik daripada engkau menangis tetapi selalu menampakkan amal. Jika seseorang me-nampakkan amalnya, niscaya amal tersebut tidak akan naik melebihi kepalanya.”

Orang tadi berkata, “Nasihatilah aku!” Beliau pun berkata, “Tinggalkanlah dunia untuk orang yang tamak kepadanya sebagaimana mereka meninggalkan akhirat. Dan jadilah di dunia ini bagaikan seekor lebah, dia tidak akan makan kecuali yang baik-baik. Dan jika terjatuh, maka dia tidak akan memecahkan atau merobek-robek sesuatu.”[4]

Saudaraku tercinta…
Tidak ada seorang pun yang mengingat kematian melainkan dunia akan menjadi hina dalam pandangannya, akhirnya semua penutup di hadapannya akan terbuka. Sesungguhnya dunia adalah beberapa tahun yang bisa dihitung, sebanyak apa pun materi yang dikumpulkan oleh seseorang dan sebanyak apa pun harta simpanan yang ia miliki, karena di belakang semua itu adalah kematian yang akan menghancurkan semua kelezatan dan memisahkan seseorang dari semua kawannya.

Al-Hasan rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kematian itu selalu membuka aib dunia, dia tidak akan membiarkan seseorang yang berakal mendapatkan kebahagiaan di dalamnya.” [5]

Kebahagiaan apakah wahai saudaraku, sedangkan dunia begitu adanya?

Dunia telah berseru kepada dirinya,
seandainya di alam ini ada orang yang mendengarnya.
Berapa banyak sang pengumpul harta yang telah aku hancurkan,
harta yang dikumpulkannya.[6]

[Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il, Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim, Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, hal. 381.
[2]. As-Siyar (VIII/426).
[3]. Al-Ihyaa’ (IV/131).
[4]. As-Siyar (VIII/426).
[5]. Taariikh Baghdaad (XIV/444).
[6]. Thabaqaatusy Syaafi’iyyah (VI/78).


Selengkapnya...

JIKA UMUR TELAH 40 TAHUN

Oleh
Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim



Saudaraku tercinta, di manakah kita di antara mereka?
‘Abdullah bin Dawud berkata, “Adalah salah satu dari mereka (kaum Salaf), jika umurnya telah mencapai empat puluh tahun, maka mereka menggulung tempat tidurnya, mereka sama sekali tidak tidur. Akan tetapi memenuhi malamnya dengan shalat, tasbih, dan istighfar… mereka menggantikan waktu (umur) yang telah lalu dengan kebaikan dan menyiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang akan datang.”

Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang cerdas,
mereka menolak dunia dan takut akan fitnahnya.
Mereka melihat apa yang ada di dalamnya, ketika mereka tahu,
bahwa tidak ada tempat bagi orang yang hidup di dalamnya.
Mereka menjadikannya sebagai gelombang,
dan menjadikan amal sebagai kapal.

‘Abdullah bin Tsa'labah berkata dalam nasihatnya, “Tertawalah engkau, barangkali kain kafan untukmu telah ada di tangan tukang potong kain!!”[1]

Wahai orang yang sedang tidur, perjalanan telah dimulai. Wahai yang membuat bangunan di atas tangga-tangga yang penuh dengan air bah, cepatlah melakukan amal sebelum umurmu punah… janganlah engkau melupakan Dzat Yang menghitung hembusan nafasmu saat perjumpaan denganmu.

Saudaraku tercinta…
Ambillah rizki secukupnya,
ambillah yang jernih dari kehidupan ini.
ini semua akan berakhir,
bagaikan lentera ketika padam.

Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, “Dunia adalah tempat kesibukan, sedangkan akhirat adalah tempat terjadinya hal-hal yang menakutkan. Dan senantiasa seorang hamba ada di antara kesibukan dan juga kegoncangan (hal-hal yang menakutkan) sehingga datang kepadanya keputusan, ke Surgakah ia atau ke Neraka.” [2]

Saudaraku semuslim…
Siapa yang mencurahkan kemampuannya untuk berfikir dengan sempurna, dia akan memahami bahwa dunia ini adalah sebuah perjalanan, maka dia akan selalu mengumpulkan perbekalan untuknya. Dia juga tahu bahwa perjalanan tersebut dimulai dari punggung seorang ayah, menuju perut seorang ibu, lalu ke dunia, ke kuburan, setelah itu menuju alam Mahsyar, dan yang terakhir menuju tempat yang abadi. Inilah tempat keselamatan dari segala “penyakit,” yaitu tempat yang kekal abadi. Sedangkan syaitan menawan kita untuk tetap menuju dunia, sehingga kita terus bersemangat dalam keluarga yang hancur berantakan, kemudian dia selalu mendorong kita menuju tempat kita semula. Ketahuilah bahwa batas kehidupan di dunia hanyalah hitungan nafas, perjalanan yang cepat dan tak terasa bagaikan perjalanan sebuah kapal yang tidak dirasakan oleh penumpang yang duduk di atasnya.

Sudah semestinya, dia harus memiliki bekal, dan tidak ada bekal menuju perjalanan akhirat kecuali ketakwaan. Oleh karena itu, seseorang haruslah sabar dan merasakan lelahnya kehidupan dalam melaksanakan ketakwaan, sehingga dalam perjalanannya dia tidak berkata, “Ya Rabb-ku! Kembalikanlah aku.” Dan dikatakan kepadanya, “Tidak!” Maka hendaklah orang yang lalai mewaspadai sifat malas dalam perjalanannya, karena sesungguhnya Allah akan memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi orang yang memutuskan perjalanannya sebagai ancaman baginya dengan harapan agar mereka tidak menyimpang dari jalan yang lurus. Siapa yang menyimpang dari jalan-Nya yang lurus lalu melihat sesuatu yang ditakutinya, maka kembalilah kepada Allah dari jalan yang dilaluinya dengan bertaubat dari kemaksiatan.[3]

Keadaan di dunia sebagaimana disifati oleh ar-Rabi' bin Khaitsam, ketika beliau ditanya, “Bagaimana keadaanmu pagi ini wahai Abu Yazid?” Beliau menjawab, “Di pagi ini aku berada dalam keadaan lemah dan penuh dengan dosa, kita memakan rizki kita sambil menunggu ajal kita.” [4]

Syumaith bin ‘Ajlan jika menyifati ahli dunia, beliau berkata, “Mereka semua bingung dan mabuk, penunggang kudanya berlari, sedangkan pejalan kaki berjalan dengan kakinya, yang fakir dan yang kaya tidak pernah merasa puas di dalamnya.” [5]

Saudaraku…
Bersikap qana’ahlah dengan duniamu dan relalah dengan yang ada padamu, karena di dalamnya tidak ada kesenangan selain kesenangan badan. Siapa saja yang mempersiapkan dirinya untuk berjumpa dengan Allah, dan menggunakan waktunya untuk melakukan amal-amal yang bemanfaat baginya, maka Allah akan memberikan kemanfaatan baginya di hari Kiamat. Oleh karena itu, dia akan berbahagia pada suatu hari di mana harta dan anak tidak berguna… hari di mana lembaran-lembaran bertebaran dan hati bergetar. Pada hari itu engkau melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal mereka sama sekali tidak mabuk, akan tetapi penyebabnya adalah adzab Allah sangatlah pedih. Anas bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Aku melihat Shaf-wan bin Salim, jika dikatakan kepadanya besok hari Kiamat, maka seakan-akan dia sama sekali tidak me-miliki bekal dari ibadah.” [6]

Mereka adalah kaum yang selalu melakukan ibadah dengan giat dan memikirkan kehidupan akhirat mereka dengan mempersiapkan bekal untuknya.

Jika jiwa itu menjauh dari kebenaran,
maka kita membentaknya.
Dan jika dia menghadap dunia dengan
meninggalkan akhirat,
maka kita menahannya.
Dia menipu kita dan kita menipunya,
hanya dengan kesabaran kita dapat mengalahkannya. [7]

Muhammad bin al-Hanafiyyah rahimahullah berkata, “Segala sesuatu yang dicari bukan karena Allah, niscaya akan hancur.” [8]

Siapa yang mencari dunia untuk dunia, maka dia akan meninggalkannya di hembusan nafas terakhirnya, dia akan pergi di detik-detik yang sangat menakutkan. Dan siapa yang mencari dunia untuk Surga yang luasnya seluas langit dan bumi, maka cukuplah baginya apa yang diinginkannya. Dunia baginya sebagai jalan menuju Darus Salam (Surga) dengan kasih sayang (rahmat) Allah dan ridha/karunia-Nya.

Orang yang selalu melakukan kebaikan dan ketaatan adalah manusia biasa, seperti kita yang mencintai dunia dan segala macam perhiasannya. Akan tetapi mereka lebih mengutamakan yang kekal daripada yang fana, sehingga Allah memudahkan baginya jalan untuk mendapatkannya dan mengeluarkan mereka dari berbagai kesulitan.

Aku sabar dalam menghadapi kenikmatan ketika dia pergi,
dan aku menetapkan kesabaran di dalam diriku sehingga dia terus menetap.
Berhari-hari jiwaku berada dalam kemuliaan,
lalu ketika dia melihat tekadku ada di dalam kehinaan, dia pun ikut merasakan kehinaan.
Lalu aku berkata kepadanya, “Wahai jiwa, matilah dalam keadaan mulia,
dahulu dunia memihak kepada kita, tetapi sekarang dia telah pergi.”
Tidak wahai kekasihku. Demi Allah, tidak ada satu musibah pun,
berlalu kepada hari-hari melainkan dia akan pergi.
Jiwa itu sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang kepadanya, jika dia diberi makan,
maka dia memiliki kekuatan dan jika tidak, maka dia akan lumpuh.[9]

Seseorang berkata kepada al-Fudhail bin 'Iyadh, “Bagaimana keadaanmu pagi ini wahai Abu ‘Ali?” Beliau adalah orang yang tidak senang dengan ungkapan: “Bagaimana keadaanmu pagi ini?” atau “Bagaimana keadaanmu sore ini?” Lalu beliau menjawab, “Dalam keadaan sehat.” Lalu orang tadi bertanya, “Bagaimana keadaanmu?” Beliau berkata, “Keadaan mana yang engkau tanyakan? Keadaan dunia atau akhirat?” Jika engkau menanyakan keadaan dunia, maka sesungguhnya dunia telah berpaling dan pergi. Dan jika engkau bertanya tentang keadaan akhirat, maka aku sebagaimana engkau melihat orang yang banyak melakukan perbuatan dosa, amalnya lemah, umurnya sudah punah, tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian dan hari Akhir, tidak takut akan kematian, tidak menghias diri untuk menghadapi kematian, akan tetapi hanya menghias diri untuk dunia.”[10]

Kebanyakan dari kita sebagaimana digambarkan oleh ‘Auf bin ‘Abdillah ketika beliau ditanya, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menyempatkan kehidupannya untuk dunia dengan sisa hidupnya untuk akhirat, sedangkan kalian menyempatkan kehidupan kalian untuk akhirat dengan sisa hidup kalian untuk dunia.” [11]

Dan yang kita lihat sekarang ini berupa pengorbanan waktu, kemampuan, pemberian, dan penelitian hanya untuk dunia, maka kita dapatkan sungguh menakjubkan… . Bahkan sebagian dari mereka jika akan membeli sebuah kebutuhan yang sangat sederhana, akan menyibukkan dirinya untuk memikirkannya selama beberapa hari, dia telah membuang waktunya yang sangat berharga… . Akan tetapi jika engkau melihatnya di dalam masjid, maka engkau akan melihat orang tersebut melakukan shalat, seperti ayam yang sedang makan, dia sama sekali tidak memperhatikan sujud maupun ruku’nya, bahkan dia mendahului imam, tidak melakukannya dengan khusyu’, dan tidak pernah terlihat di mukanya bekas air mata.

Kebanyakan dari manusia mabuk dengan urusan dunia dan tidak sedikit pun hatinya tergerak ketika kesempatan melakukan kebaikan hilang dari dirinya, atau ketika kesempatan yang penuh dengan pengabulan do’a dari Allah tiba, maka engkau akan melihatnya dalam keadaan lalai dan bermain-main, mengumpulkan lalu membuangnya, menambahnya lalu dikurangi dari dirinya, seolah-olah hari-hari yang telah berlalu akan kembali atau bulan-bulan yang telah pergi akan ditemuinya lagi?!

Bandar berbicara tentang Yahya bin Sa’id dengan ungkapannya, “Aku ikut bersamanya selama dua puluh tahun dan aku sama sekali tidak pernah mendapatinya bermaksiat kepada Allah.”[12]

Saudaraku semuslim…
Bersabarlah dalam menghadapi pedihnya perjalanan,
ibadah di waktu malam, sore dan pagi.
Janganlah engkau merasa gelisah dan jangan pula merasakan lemah di dalam mencarinya,
karena kegalauan ada di antara gelisah dan putus asa.
Aku menyaksikan pengalaman di setiap hari,
bahwa kesabaran memiliki akibat yang terpuji.
Sedikit sekali orang yang giat mencari dengan disertai,
kesabaran kecuali dia akan berbahagia dengan kemenangan. [13]

Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, “Wahai manusia engkau mencari dunia dengan sungguh-sungguh, dan engkau mencari akhirat dengan usaha orang yang tidak membutuhkannya. Padahal dunia sudah mencukupimu walaupun engkau tidak mencarinya. Dan akhirat hanya didapatkan dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam mencarinya, maka fahamilah keadaanmu!”

[Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il, Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim, Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Al-‘Aaqibah, hal. 88.
[2]. Az-Zuhd, hal. 248, karya al-Baihaqi.
[3]. ‘Iddatush Shaabiriin, hal. 330.
[4]. Shifatush Shafwah (III/67).
[5]. Shifatush Shafwah (III/346).
[6]. Hilyatul Auliyaa' (III/159).
[7]. Shifatush Shafwah (IV/114).
[8]. Hilyatul Auliyaa’ (III/176).
[9]. Syadzaraatudz Dzahab (II/364).
[10]. Hilyatul Auliyaa’ (VIII/86).
[11]. Hilyatul Auliyaa’ (IV/242).
[12]. Tadzkiratul Huffazh (I/299).
[13]. Mawaariduzh Zham-aan (III/276).


Selengkapnya...

KESEDIHAN DUNIA

Oleh
Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim



‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu menulis surat kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu yang isinya, “Amma ba'du. Sesungguhnya seseorang merasa rugi dengan sesuatu yang hilang darinya, padahal hal itu tidak akan bisa ia dapatkan dan merasa bahagia dengan mendapatkan sesuatu yang pasti ia dapatkan. Maka berbahagialah dengan apa-apa yang aku ucapkan dari urusan akhirat dan menyesallah dari sesuatu yang hilang darimu akan urusan akhirat, janganlah terlalu bahagia dengan apa yang engkau dapatkan dari urusan dunia. Dan jadikanlah semua fikiranmu tertuju kepada sesuatu yang terjadi setelah kematian. ”

Aku melihat pencari dunia, walaupun umurnya panjang,
dan mendapatkan kebahagiaan, juga kenikmatan darinya.

Bagaikan seorang tukang bangunan yang membangun,
setelah bangunan yang ia buat berdiri tegak, maka bangunan itu roboh. [1]

Saudaraku tercinta…
Sebab kegalauan hidup itu ada lima macam dan seyogyanya seseorang merasakan kegalauan karena kelima macam tersebut:

Pertama : Kegalauan karena dosa pada masa lampau, karena dia telah melakukan sebuah perbuatan dosa sedangkan dia tidak tahu apakah dosa tersebut diampuni atau tidak? Dalam keadaan tersebut dia harus selalu merasakan kegalauan dan sibuk karenanya.
Kedua : Dia telah melakukan kebaikan, tetapi dia tidak tahu apakah kebaikan tersebut diterima atau tidak.
Ketiga : Dia mengetahui kehidupannya yang telah lalu dan apa yang terjadi kepadanya, tetapi dia tidak mengetahui apa yang akan menimpanya pada masa mendatang.
Keempat : Dia mengetahui bahwa Allah menyiapkan dua tempat untuk manusia pada hari Kiamat, tetapi dia tidak mengetahui ke manakah dia akan kembali (apakah ke Surga atau ke Neraka)?
Kelima : Dia tidak tahu apakah Allah ridha kepadanya atau membencinya?

Siapa yang merasa galau dengan lima hal di atas dalam kehidupannya, maka tidak ada kesempatan baginya untuk tertawa. [2]

Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Berapa jarak antara kalian dengan mereka (orang-orang shalih)? Dunia datang kepada mereka, tetapi mereka meninggalkannya, dan dunia meninggalkan kalian, tetapi kalian terus mengejarnya.” [3]

Seakan-akan engkau tidak mendengar berita orang-orang terdahulu, dan tidak melihat apa yang dilakukan oleh zaman terhadap mereka yang ada.
Jika engkau tidak tahu, maka itu semua adalah rumah-rumah mereka,
yang dihancurkan oleh angin dan hujan.

Demikianlah mereka semua telah berlalu dan orang yang ada sekarang ini,
berlalu sehingga mereka semua kelak dikumpulkan.
Sampai kapan engkau tidak bangkit sedangkan waktu yang ditentukan telah dekat dan sampai kapan bendungan di dalam hatimu tidak terbelah.

Sungguh engkau akan bangkit ketika semua penutup telah terbuka dan engkau akan mengingat kata-kataku ketika tidak bermanfaat lagi apa yang engkau ingat.

Abu Dzarr al-Ghifari Radhiyallahu 'anhu berdiri di dekat Ka’bah dan berkata, “Wahai manusia, aku adalah Jundub al-Ghifari, marilah kita menuju saudara kita yang selalu memberikan nasihat.” Lalu yang lainnya berkerumun mengelilinginya, beliau berkata, “Bagaimana pendapat kalian jika hendak melakukan perjalanan, bukankah dia akan menyiapkan perbekalan dan segala sesuatu yang dibutuhkannya?” Mereka semua menjawab, “Tentu saja.” Lalu dia berkata lagi, “Sesungguhnya perjalanan menuju akhirat adalah lebih jauh, maka ambillah segala sesuatu yang kalian butuhkan!” Mereka semua bertanya, “Apa yang kami butuhkan itu?” Beliau berkata, “Lakukanlah haji sebagai persiapan untuk masalah-masalah yang sangat besar. Berpuasalah pada suatu hari yang sangat panas sebagai bekal untuk hari di mana semua manusia dikumpulkan. Lakukanlah shalat dua raka’at di malam yang gelap sebagai persiapan bagi ketakutan di dalam kubur, sebuah kalimat yang baik engkau katakan atau diam untuk tidak mengungkapkan kata-kata yang jelek sebagai bekal bagi hari yang sangat agung, bershadaqahlah dengan hartamu agar engkau selamat pada hari yang penuh dengan kesulitan, jadikanlah dunia menjadi dua majelis: satu majelis untuk mencari yang halal (rizki) dan satu majelis untuk mencari kebahagiaan di akhirat, sedangkan yang ketiganya akan mencelakakanmu dan tidak bermanfaat bagimu. Bagilah harta itu menjadi dua dirham, satu dirham dinafkahkan untuk keluarga dan satu dirham lainnya engkau persembahkan untuk akhirat.”

Saudaraku semuslim…
Lihatlah orang yang mendapatkan dunia dan per-hiasannya,
apakah dia pergi dengan membawa selain amal dan kafan.

Al-Hasan al-Bashri, kehidupannya sangat berbeda dengan kehidupan kita, beliau rahimahullah berkata, “Aku mendapati suatu kaum (para Sahabat Nabi) dan bersanding dengan beberapa orang dari mereka, mereka sama sekali tidak merasa senang dengan dunia yang didapatkan dan sama sekali tidak mengejar dunia yang lari dari mereka. Dunia di mata mereka lebih hina daripada tanah, bahkan salah satu di antara me-reka hidup selama lima puluh tahun atau enam puluh tahun. Akan tetapi ia tidak pernah memiliki pakaian yang cukup dan tidak pernah memiliki tungku yang baik, ia sama sekali tidak membuat penghalang antara tanah dengan dirinya dan tidak pernah memerintahkan orang yang ada di rumahnya untuk membuat sebuah makanan baginya. Tetapi ketika malam tiba, mereka menancapkan kedua kaki dengan berdiri dan menghamparkan wajah-wajah mereka untuk bersujud, air mata berlinang, mengalir di garis wajah mereka dengan bermunajat kepada Rabb dalam kebebasan mereka. Jika mereka melakukan suatu kebaikan, maka mereka selalu mensyukurinya dan memohon kepada Allah agar amal itu diterima. Dan jika mereka melakukan kejelekan, maka perasaan sedih selalu menghantui dan mereka pun terus memohon kepada Allah agar diampuni. Demi Allah, mereka sama sekali tidak akan selamat dari dosa kecuali dengan ampunan Allah sebagai kasih-sayang dan karunia bagi mereka.”[4]

Saudaraku tercinta, di manakah kita di antara mereka?!
Engkau menyambungkan dosa dengan dosa dan berharap mendapatkan,
Surga dan kebahagiaan ahli ibadah dengannya.
Dan engkau lupa sesungguhnya Allah mengeluarkan Adam,
darinya menuju dunia hanya karena satu kesalahan (dosa).

Kita -wahai saudaraku- mencari kenikmatan dan kebahagiaan dengan menjauhi segala kekeruhan.

Inilah keadaan kita, adapun keadaan Abud Darda’ sebagaimana yang digambarkan oleh beliau dalam ungkapannya, “Aku mencintai kefakiran karena kerendahan hatiku kepada Allah, aku mencintai kematian karena kerinduanku kepada-Nya, dan aku mencintai kondisiku dalam keadaan sakit sebagai penghapus atas dosa-dosaku.”[5]

Manusia memiliki ketamakan terhadap dunia dengan rencananya,
sedangkan kejernihannya telah tercampur dengan kekeruhan.
Setelah dunia itu dibagikan, sebenarnya mereka sama sekali tidak dikaruniai rizki karena akal mereka, akan tetapi mereka dikaruniai dengan takdir Allah.

Berapa banyak orang yang beradab lagi cerdas tetapi dunia tidak memihak kepadanya
dan berapa banyak orang bodoh yang mendapatkan dunia hanya dengan kelalaian.
Seandainya dunia itu didapatkan dengan kekuatan atau dengan menggulingkan,
niscaya elang akan terbang dengan membawa makanan burung pipit. [6]

Dunia walaupun dia adalah sesuatu yang sangat hina, hanya saja dia adalah sebuah lorong perjalanan menuju akhirat dan sebuah jembatan menuju dua tempat, Surga atau Neraka. Marilah kita melihat satu lorong yang mengantarkan seseorang menuju Surga, yaitu amal (shalih) di dunia.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Seseorang dari kalangan sebelum kalian dihisab akan tetapi tidak didapat darinya satu kebaikan pun hanya saja dia adalah orang yang selalu bergaul dengan selainnya yang ada dalam keadaan sulit, dia memerintahkan anak mudanya untuk membayarkan hutang orang yang sulit tadi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, ‘Aku sebenarnya lebih berhak untuk melakukannya, maka ampunilah ia.’” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dengan lafazh milik Muslim]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Amal yang paling sulit adalah tiga macam: berderma dalam keadaan sulit, wara’ dalam keadaan menyendiri dan sebuah ungkapan yang hak di hadapan orang yang diharapkan dan orang yang ditakuti.”[7]

Al-Hasan rahimahullah berkata, “Esok hari setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi beban fikirannya dan setiap orang yang memikirkan sesuatu, maka dia akan banyak mengingatnya. Sesungguhnya tidak ada dunia bagi orang yang tidak memikirkan akhirat. Dan siapa saja yang lebih mementingkan dunia daripada akhirat, maka dia tidak akan mendapatkan dunia dan akhirat.”[8]

[Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il, Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim, Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Irsyaadil ‘Ibaad, hal. 120.
[2]. Tanbiihul Ghaafiliin (I/213).
[3]. Shifatush Shafwah (III/90) dan as-Siyar (V/61).
[4]. Al-Ihyaa’ (IV/239).
[5]. Az-Zuhd, hal. 217.
[6]. Taariikhul Khulafaa’, hal. 171.
[7]. Shifatush Shafwah (II/251).
[8]. Hilyatul Auliyaa’, hal. 144


Selengkapnya...

selayaknya Jangan sombong

TIDAK SEPANTASNYA MANUSIA MENYOMBONGKAN DIRI

Oleh
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali


APAKAH KESOMBONGAN ITU?
Kesombongan (takabbur) atau dikenal dalam bahasa syariat dengan sebutan al-kibr yaitu melihat diri sendiri lebih besar dari yang lain. Orang sombong itu memandang dirinya lebih sempurna dibandingkan siapapun. Dia memandang orang lain hina, rendah dan lain sebagainya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hakikat kesombongan dalam hadits beliau Shallallahu 'alaihi wa salllam :

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

"Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia". [HR. Muslim, no. 2749, dari 'Abdullah bin Mas'ûd]

Inilah yang membedakan takabbur dari sifat ‘ujub (membanggakan diri, silau dengan diri sendiri). Sifat ‘ujub, hanya membanggakan diri tanpa meremehkan orang. Sedangkan takabbur, disamping membanggakan diri juga meremehkan orang.

SEBAB-SEBAB KESOMBONGAN
Sebab-sebab kesombongan, antara lain:

1- ‘Ujub (Membanggakan Diri)
Ketahuilah wahai hamba yang bertawadhu’ –semoga Allah lebih meninggikan derajat bagimu-, bahwa manusia tidak akan takabbur kepada orang lain sampai dia terlebih dahulu merasa ‘ujub (membanggakan diri) terhadap dirinya, dan dia memandang dirinya memiliki kelebihan dari orang lain. Maka dari ‘ujub ini muncul kesombongan. Dan ‘ujub merupakan perkara yang membinasakan, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَهُوَيَ مُتَبَعٌ وَإِعْجَابٌ اْلمَرْءِ بِنَفْسِهِ

"Tiga perkara yang membinasakan: sifat sukh (rakus dan bakhil) yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ‘ujub seseorang terhadap dirinya". [Silsilah Shahihah, no. 1802]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ يَمْشِي فِي بُرْدَيْهِ قَدْ أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ فَخَسَفَ اللَّهُ بِهِ الْأَرْضَ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

"Ketika seorang laki-laki sedang bergaya dengan kesombongan berjalan dengan mengenakan dua burdahnya (jenis pakaian bergaris-garis; atau pakaian yang terbuat dari wol hitam), dia mengagumi dirinya, lalu Allah membenamkannya di dalam bumi, maka dia selalu terbenam ke bawah di dalam bumi sampai hari kiamat". [HR. Bukhari, no. 5789; Muslim, no. 2088; dan ini lafazh Muslim]

2- Merendahkan Orang Lain.
Ketahuilah wahai hamba (Allah), bahwa orang yang tidak meremehkan manusia, tidak akan takabbur terhadap mereka. Sedangkan meremehkan seseorang yang dimuliakan Allah dengan keimanan sudah cukup untuk menjadikan sebuah dosa.

3- Suka Menonjolkan Diri (Taraffu).
Ketahuilah wahai hamba yang tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, bahwa jiwa manusia itu menyukai ketinggian di atas sesamanya, dan dari sini muncul kesombongan.

Oleh karena itu, barangsiapa memperhatikan Al-Qur’an niscaya akan mendapati bahwa orang-orang yang bersombong pada tiap-tiap kaum adalah para pemukanya, yaitu orang-orang yang memegang kendali berbagai urusan. Allah Ta’ala berfirman tentang suku Tsamud, kaum Nabi Shalih Alaihissalam yang artinya: "Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka: "Tahukah kamu bahwa Shalih di utus (menjadi Rasul) oleh Tuhannya?". Mereka (yang dianggap lemah-red) menjawab: "Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya".

Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu".

Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. dan mereka berkata: "Hai Shalih, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allah)". [al-A’râf/7:75-77]

Dan Allah Ta’ala memberitakan tentang kaum Nabi Syu’aib Alaihissalam :

"Pemuka-pemuka dari kaum Syu'aib yang menyombongkan dan berkata: "Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu'aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, atau kamu kembali kepada agama kami". Syu'aib berkata: "Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak menyukainya?" [Al-A’raaf/7: 88]

Namun orang yang berakal akan berlomba pada ketinggian yang tetap lagi kekal, yang di dalamnya terdapat keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kedekatan kepadaNya. Dan dia meninggalkan ketinggian sementara yang akan binasa, yang akan diikuti oleh kemurkaan Allah dan kemarahanNya, kerendahan hamba, kesibukannya, jauhnya dari Allah dan terusirnya (dari rahmat) Allah. Inilah ketinggian yang tercela, yaitu sikap melewati batas dan takabbur di muka bumi dengan tanpa kebenaran. Allah Ta’ala berfirman:

"Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin ketinggian (menyombongkan diri ) dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa". [Al-Qashash/28: 83]

Adapun ketinggian yang pertama (yakni ketinggian yang tetap lagi kekal di akhirat) dan bersemanagat untuk meraihnya, maka itu terpuji. Allah Ta’ala berfirman:

"Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba".[Al-Muthaffifin/83: 26]

Maka disyari’atkan berlomba-lomba untuk (meraih) derajat-derajat tinggi di akhirat yang kekal, dan berusaha meraih ketinggian pada tingkatan-tingkatannya, serta bersemangat untuk itu dengan berusaha melakukan sebab-sebabnya. Dan hendaklah seseorang tidak merasa puas dengan kerendahan, padahal dia mampu meraih ketinggian.

4- Mengikuti Hawa Nafsu.
Ketahuilah wahai hamba Allah, bahwa kesombongan itu muncul dari sebab mengikuti hawa nafsu, karena memang hawa nafsu itu mengajak menuju ketinggian dan kemuliaan di muka bumi. Allah Ta’ala berfirman:

"Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?" [Al-Baqarah/2: 87]

BAHAYA KESOMBONGAN
Ketahuilah wahai hamba Allah yang hatinya dihiasi dengan tawadhu’ (rendah hati) bahwa bencana kesombongan itu sangat besar, orang-orang istimewa binasa di dalamnya, dan jarang orang yang bebas darinya, baik para ulama’, ahli ibadah, atau ahli zuhud. Bagaimana bencana kesombongan itu tidak besar, sedangkan kesombongan itu:

1- Dosa Pertama Yang Dengannya Allah Azza Wa Jalla Dimaksiati.
Kesombongan adalah dosa pertama yang dilakukan Iblis laknatullah dalam bermaksiat kepada Allah Azza wa jalla. Kesombongan itu menyeret Iblis untuk menjadikan takdir sebagai alasan terus-menerus sombong. Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam!," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir". [Al-Baqarah/2: 34]

2- Kesombongan Merupakan Kawan Syirik Dan Penyebabnya.
Oleh karena itulah Allah Azza wa Jalla menggabungkan antara kekafiran dengan kesombongan di dalam kitabNya yang mulia, Dia Azza wa Jalla berfirman:

"Lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya, kecuali Iblis; dia menyombongkan diri dan adalah dia termasuk orang-orang yang kafir". [Shaad/38: 73-74]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

" (Bukan demikian) sebenarya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan diri dan adalah kamu termasuk orang-orang yang kafir". [Az-Zumar/39: 59]

Karena barangsiapa takabbur dari patuh kepada al-haq (kebenaran) –walaupun kebenaran itu datang kepadanya lewat tangan seorang anak kecil atau orang yang dia benci dan musuhi- , maka sesungguhnya takabburnya itu adalah kepada Allah, karena Allah adalah Al-Haq, perkataanNya adalah haq, agamaNya adalah haq, al-haq merupakan sifatNya, dan al-haq adalah dariNya dan untukNya. Maka jika seorang hamba menolak al-haq, takabbur dari menerimanya, maka sesungguhnya dia menolak Allah dan takabbur terhadapNya. Dan barangsiapa takabbur terhadap Allah, niscaya Allah akan menghinakannya, merendahkannya, mengecilkannya, dan meremehkannya.

3- Orang-Orang Yang Sombong Tempat Kembalinya Adalah Neraka.
Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan neraka sebagai rumah bagi orang-orang yang sombong, sebagaimana di dalam surat Al-Ghafir ayat 76 dan surat Az-Zumar ayat 72. Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu, sedang kamu kekal di dalamnya". Maka neraka Jahannam Itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri". [Az-Zumar/39: 72]

Dan orang-orang yang sombong adalah para penduduk neraka Jahannam, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِنَّ أَهْلَ النَّارِ كُلُّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ جَمَّاعٍ مَنَّاعٍ وَأَهْلُ الْجَنَّةِ الضُّعَفَاءُ الْمَغْلُوبُونَ

"Sesungguhnya penduduk neraka adalah semua orang yang kasar lagi keras, orang yang bergaya sombong di dalam jalannya, orang yang bersombong, orang yang banyak mengumpulkan harta, orang yang sangat bakhil. Adapun penduduk sorga adalah orang-orang yang lemah dan terkalahkan". [Hadits Shahih. Riwayat Ahmad, 2/114; Al-Hakim, 2/499]

Mereka akan merasakan berbagai macam siksaan di dalam Jahannam, akan diliputi kehinaan dari berbagai tempat, dan akan diminumi nanah penduduk neraka. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِي صُوَرِ الرِّجَالِ يَغْشَاهُمْ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَيُسَاقُونَ إِلَى سِجْنٍ فِي جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُولَسَ تَعْلُوهُمْ نَارُ الْأَنْيَارِ يُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ طِينَةَ الْخَبَالِ

"Pada hari kiamat orang-orang yang sombong akan digiring dan dikumpulkan seperti semut kecil, di dalam bentuk manusia, kehinaan akan meliputi mereka dari berbagai sisi. Mereka akan digiring menuju sebuah penjara di dalam Jahannam yang namanya Bulas. Api neraka yang sangat panas akan membakar mereka. Mereka akan diminumi nanah penduduk neraka, yaitu thinatul khabal (lumpur kebinasaan)". [Hadits Hasan. Riwayat Bukhari di dalam al-Adabul Mufrad, no. 557; Tirmidzi, no. 2492; Ahmad, 2/179; dan Nu’aim bin Hammad di dalam Zawaid Az-Zuhd, no. 151]

4- Kesombongan Merupakan Tirai Penghalang Masuk Surga.
Oleh karena itu Allah mengusir Iblis dari surga, Dia Azza wa Jalla berfirman:

"Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya!". [Al-A’râf/7: 13]

Kesombongan itu menjadi tirai penghalang masuk surga karena menghalangi seorang hamba dari akhlaq orang-orang beriman. Orang sombong tidak menyukai untuk kaum mukminin kebaikan yang dia sukai untuk dirinya. Dia tidak mampu bersikap rendah hati dan meninggalkan hasad, dendam, dan marah. Dia juga tidak mampu manahan murka, dia tidak menerima nasehat, dan tidak selamat dari sifat merendahkan dan menggibah manusia. Tidak ada sifat yang tercela kecuali dia memilikinya.

5- Allah Tidak Mencintai Orang-Orang Yang Sombong.
Barangsiapa yang memiliki sifat-sifatnya seperti ini, maka dia berhak mendapatkan laknat Allah, jauh dari rahmatNya, Allah memurkainya dan tidak mencintainya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong. Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong". [An-Nahl/16: 22-23]

6- Kesombongan Merupakan Sebab Su-ul Khatimah (Keburukan Akhir Kehidupan).
Oleh karena itu Allah memberitakan bahwa orang yang sombong dan sewenang-wenang adalah orang-orang yang Allah menutup hati mereka, sehingga mereka tidak beriman. Sehingga akhir kehidupannya buruk. Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang". [Al-Mukmin/40: 35]

7- Kesombongan Merupakan Sebab Berpaling Dari Ayat-Ayat Allah.
Yang demikian itu karena orang yang sombong tidak bisa melihat ayat-ayat Allah yang menjelaskan dan berbicara dengan dalil-dalil yang pasti. Juga karena kesombongan itu menutupi kedua matanya, sehingga dia tidak melihat kecuali dirinya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi". [Al-A’raaf/7: 146]

8- Kesombongan Merupakan Dosa Terbesar.
Kesombongan memiliki berbagai bahaya seperti ini; maka tidak heran jika ia merupakan dosa terbesar. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

لَوْ لَمْ تَكُوْنُوْا تُذْنِبُونَ لَخِفْتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْ ذَلِكَ الْعُجْبُ الْعُجْبُ

"Jika kamu tidak berbuat dosa, sungguh aku mengkhawatirkan kamu pada perkara yang lebih besar dari itu, yaitu ‘ujub, ‘ujub (kagum terhadap diri sendiri)" [Hadist Hasan Lighairihi, sebagaimana di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 658, karya syaikh Al-Albani]

[Diadaptasi dan disadur oleh Ustadz Muslim Atsari secara bebas dari tulisan Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali At-Tawaadhu’ fii Dhauil Qur’anil Kariim was Sunnah ash-Shahiihah, hlm. 35-44; Penerbit. Daar Ibnul Qayyim; Cet. 1; Th. 1410 H / 1990 M]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


Selengkapnya...

PEMBELAAN ULAMA AHLISUNNAH

SILSILAH PEMBELAAN TERHADAP ULAMA AHLIS SUNNAH (BAGIAN 1)
PEMBELAAN AL-‘ALLÂMAH SHÂLIH AL-LUHAIDÂN TERHADAP SYAIKH SHÂLIH AS-SUHAIMỈ, ‘UBAID AL-JÂBIRỈ, RABỈ’ AL-MADKHALỈ DAN AHMAD AN-NAJMỈ



Akhir-akhir ini, banyak sekali fitnah yang melanda. Celaan demi celaan mengalir begitu derasnya menghantam para ulama ulama ahlus sunnah. Untuk itulah kami akan menurunkan silsilah (bunga rampai) pembelaan terhadap ulama ahlis sunnah secara berseri dan ringkas. Mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin.
Risalah pertama ini berisi tentang percakapan dengan al-‘Allâmah Shâlih bin Muhammad al-Luhaidân hafizhahullâhu yang menjawab tuduhan-tuduhan keji yang dilontarkan oleh sebuah website yang bernama al-atsarî, yang dikelola oleh fanatikus Syaikh Fâlih al-Harbî hadâhullâhu beserta murid-murid dan sahabat-sahabatnya (Diantaranya Fauzî al-Bahrainî penulis buku Mâdza Yurîdu Ahlus Sunnah bi Ahlis Sunnah bantahan terhadap Rifqon Ahlas Sunnah, Khâlid al-‘Âmî, dll).

Sebagai informasi saja, Syaikh Fâlih bin Nâfi’ al-Harbî hadâhullâhu adalah salah seorang pengibar dakwah haddâdîyah jadîdah yang sangat gemar menghujat dan mencela para ulama ahlus sunnah. Dia sendiri telah dinasehati oleh al-‘Allâmah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd hafizhahullâhu, guru beliau semasa menjadi mahasiswa di Universitas Islam Madinah. Namun, sayangnya, nasehat lemah lembut dan ramah yang disampaikan al-‘Allâmah al-‘Abbâd hafizhahullâhu bukannya malah menjadikan beliau rujū’ dan bertaubat, namun malah menjadikan beliau semakin menjadi-jadi.

Dikarenakan nasehat yang tidak digubris, akhirnya al-‘Allâmah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd menulis buku yang mengkritik Syaikh Fâlih dan berkata :



“Yang mempelopori hal ini (fitnah tahdzîr, tabdî’, hajr dan semisalnya kepada ahlus sunnah) adalah salah seorang muridku di Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah, yang lulus pada tahun 1395-1396H (yaitu Syaikh Fâlih bin Nâfi’ al-Harbî hadâhullâhu). Dia meraih peringkat ke-104 dari jumlah lulusan yang mencapai 119 orang. Dia tidaklah dikenal sebagai orang yang menyibukkan diri dengan ilmu, dan tidak pula aku mengetahuinya memiliki pelajaran-pelajaran ilmiah yang terekam, tidak pula tulisan-tulisan ilmiah, kecil ataupun besar. Modal ilmunya yang terbesar adalah tajrih, tabdi’ dan tahdzir terhadap mayoritas Ahlus Sunnah, padahal si Jârih (pencela) ini ini tidaklah dapat menjangkau mata kaki orang-orang yang dicelanya dari sisi banyaknya kemanfaatan pada pelajaran-pelajaran, ceramah-ceramah dan tulisan-tulisan mereka.” (Lihat al-Hatstsu ‘alâ Ittibâ’is Sunnah, Maktabah Mâlik Fahd, cet.I, 1425; hal. 64-5)



Setelah peringatan Syaikh al-‘Abbâd ini keluar, Syaikh Falih dan murid-muridnya semakin menjadi-jadi. Mereka semakin gemar menghujat para ‘ulamâ dan masyaikh ahlis sunnah. Bahkan al-Muhaddits al-Albânî rahimahullâhu pun tidak luput dari celaan mereka. Mereka menuduh al-Imâm al-Albânî berpemahaman irjâ’ sebagaimana tuduhan kaum takfirî yang dulunya mereka (Syaikh Fâlih cs) sangat keras membantah dan mentahdzîr kaum takfirîyîn. Bahkan Syaikh al-‘Abbâd sendiri mereka tuduh tamyî’ (bermanhaj lunak).



Anehnya, para hizbîyîn, harokîyîn dan takfirîyîn seringkali merujuk ke situs ini (yaitu al-Atsarî). Tidak terkecuali al-Ustâdz ‘Abduh Zulfidar Akaha dalam kedua buku beliau “Siapa Teroris Siapa Khowarij” dan “Belajar Dari Akhlak Ustadz Salafi”, walau buku yang terakhir ini tidak menunjukkan link URL ke situs ini, namun beliau ketika menyebut Syaikh Rabî’ bin Hâdî, menyebutkan bahwa murid Syaikh Falih memiliki tulisan yang membantah Syaikh Rabî’, yaitu al-Ustâdz Khâlid al-‘Ami dalam bukunya Qâmus Syatâ`im Rabî bin Hâdî. Buku ini ada di situs al-Atsarî ini.



Suatu hal yang tanâqudh dan kontradiktif adalah, ketika al-Ustâdz ‘Abduh menukil dari situs ini untuk mengkritik Syaikh Rabî’ disebabkan sikap ‘keras’ Syaikh Rabî’ terhadap dakwah harokah Islâmîyah dan tokohnya, namun beliau menutup mata (atau mungkin memang tidak tahu, Allôhu a’lam) bagaimana lebih keras dan lebih pedasnya ucapan Syaikh Fâlih dan murid-muridnya terhadap tokoh-tokoh harokah, bahkan termasuk orang-orang yang tengah dibela al-Ustâdz ‘Abduh semisal, DR. Salmân al-‘Audah, DR. Safar Hawalî, DR. ‘Â`idh al-Qornî, DR. ‘Abdurrahman ‘Abdul Khâliq dll. Bahkan, saya sendiri yakin, apabila al-Ustâdz mau mengumpulkan Qâmus Syatâ`im (Kamus Celaan) dari website al-Atsarî, Syaikh Fâlih berikut murid-muridnya, al-Ustâdz akan mendapati ucapan-ucapan yang lebih keras dan pedas. Bahkan tuduhan munâfiq, syaithân, dan semisalnya, tidak sulit kita dapatkan.



Baiklah, agar tidak berpanjang-panjang, berikut ini adalah transkrip percakapan telepon dengan al-‘Allâmah al-Luhaidân, ketua majlis pengadilan tinggi dan anggota lembaga ulama senior Kerajaan Arab Saudi, pada malam Jum’at tanggal 20/11/1426 H. Transkrip percakapan ini saya nukil dari situs Almanhaj.net, sebuah website bermanfaat yang Syaikh ‘Utsmân al-Khumayis (atau al-Khamis) menjadi salah satu adminnya. Situs ini juga dicuplik oleh al-Ustâdz ‘Abduh dari muntadiyat (forum) diskusinya berkenaan dengan masalah Jarh wa Ta’dîl.



Situs ini banyak berisi bantahan terhadap kelompok sesat, terutama terhadap Râfidhah dan Shufiyah. Diantara para ulama yang turut menjadi anggota dalam situs ini adalah Syaikh Shâlih al-Luhaidân, Ahmad al-Khâthib, Hamad al-‘Utsmân, dll. Yang kesemuanya dari Kuwait. Sebagai informasi pula, Syaikh ‘Utsmân al-Khumayis ini beberapa kali duduk memberikan ceramah bersama Syaikh ‘Alî Hasan al-Halabî hafizhahullâhu, beliau (i.e. Syaikh ‘Utsmân al-Khumayis) juga termasuk pembicara dalam Mu’tamar Markaz al-Imâm al-Albânî (2004/2005) di Yordania, yang saat itu, guru kami al-Ustâdz ‘Abdurrahman at-Tamimî juga termasuk salah satu pembicara.



Berikut ini adalah Teks percakapan tersebut :

Syaikh : Na’am (iya).

Penanya : Assalâmu’alaykum Warohmatullâhu Wabarokâtuhu

Syaikh : Wa’alaykumus Salâm Warohmatullâhu Wabarokâtuhu

Penanya : Semoga Allôh mengharumkan anda dengan kebaikan wahai syaikh kami

Syaikh : Ahlan wa Marhaban

Penanya : Bagaimana kabar Anda?

Syaikh : Alhamdulillâh

Penanya : Semoga Allôh senantiasa menjaga dan memberkahi Anda. Saya ada pertanyaan wahai syaikh kami, apabila anda berkenan?

Syaikh : Iya silakan…

Penanya : Ada suatu website (wahai Syaikh) -semoga Allôh memberikan keselamatan kepada Anda- yang bernama website al-Atsarî di internet…

Syaikh : Iya…

Penanya : Mereka menurunkan beberapa makalah/artikel yang aneh, berisi celaan terhadap ulama (ahlis) sunnah. Seperti, Fadhîlatusy Syaikh Shâlih as-Suhaimî, Fadhîlatusy Syaikh ‘Ubaid al-Jâbirî, Fadhîlatusy Syaikh Rabî’ bin Hâdî al-Madkhâlî, Fadhîlatusy Syaikh Ahmad an-Najmî dan selain mereka dari kalangan para ulama. Apa nasehat anda kepada orang-orang semisal mereka ini?

Syaikh : Nasehatku kepada mereka adalah, hendaknya mereka meminta ampunan kepada Allôh dan bertaubat serta menghentikan celaan-celaan terhadap saudara-saudara mereka.

Penanya : Ada beberapa hal wahai syaikh kami, dimana mereka menjelekkan masyaikh yang mana (masyaikh ini) tidak mungkin mengatakannya, yaitu yang dituduhkan oleh orang-orang kerdil ini, seperti misalnya mereka menuduh Syaikh Rabi’ bin Hâdî dan para ulama lainnya selain beliau, mereka menuduh bahwa beliau mencela Allôh Jallâ wa ‘Alâ dan mendiskreditkan al-Qur`ân!

Syaikh : (memotong) Percayalah, mereka ini berdusta!!!

Penanya : Allôhu Akbar! Allôhu Akbar! Allôhu Akbar!

Syaikh : Insyâ Allôh, Allôh sendirilah yang akan melepaskan tuduhan yang buruk lagi keji ini. Kita memohon kepada Allôh agar Ia memberikan hidayah-Nya kepada orang-orang yang sesat ini.

Penanya : Âmîn! Âmîn! Semoga Allôh membalas Anda dengan kebaikan dan memberkahi Anda wahai syaikh kami.

Syaikh : Hayyakallôhu.



Sumber : http://almanhaj.net/vb/showthread.php?t=1471&page=4





Teks Arabic :

مكالمة مع فضيلة الشيخ العلامة صالح بن محمد اللحيدان رئيس مجلس القضاء الأعلى وعضو هيئة كبار العلماء فيها دفاع الشيخ عن إخوانه العلماء الأجلاء : الشيخ صالح السحيمي والشيخ عبيد الجابري والشيخ ربيع المدخلي والشيخ أحمد النجمي - حفظ الله الجميع -
وكان الاتصال بالشيخ - وفقه الله - ليلة الجمعة 20/11/1426هـ وإليكم نص المكالمة مفرغة :
[- الشيخ : نعم .
- السائل : السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
- الشيخ : وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
- السائل : مسَّاك الله بالخير شيخنا .
- الشيخ : أهلاً ومرحباً .
- السائل : كيف حالك ؟
- الشيخ : الحمد لله .
- السائل : الله يحفظك ويبارك فيك .
- السائل : سؤالي شيخنا لو سمحت ؟
- الشيخ : أي نعم عجِّل .
- السائل : فيه سلَّمك الله –يعني- بعض المواقع : فيه موقع من المواقع يسمى موقع الأثري على شبكة الانترنت .
- الشيخ : أيوه .
- السائل : -يعني- ينزلون مقالات عجيبة في الطعن في علماء السنَّة ,ومنهم فضيلة الشيخ : صالح السحيمي ,و فضيلة الشيخ : عبيد الجابري ,و فضيلة الشيخ : ربيع بن هادي المدخلي ,و فضيلة الشيخ : أحمد النجمي وغيرهم وغيرهم من أهل العلم . فما نصيحتكم شيخنا لمثل هؤلاء ؟
- الشيخ : نصيحتي لهم أن يستغفروا الله ويتوبوا إليه ,ويكفُّوا عن الطَّعن في إخوانهم .
- السائل : فيه بعض الأشياء شيخنا ينزلونها على المشايخ -يعني- يتورع عن قولها -يعني- أن تُقال في صغار الناس ؛مثل أنهم يتَّهمون الشيخ ربيعاً بن هادي وغيره من إخوانه العلماء ,يتَّهمونه أنَّه يسبُّ الله جلَّ وعلا (!) وأنَّه يستهزئ بالقرآن (!)
-الشيخ – مقاطعاً - : يقيناً أنَّهم يكذبون .
- السائل : الله أكبر ,الله أكبر ,الله أكبر
- الشيخ : إن شاء الله أنَّ الله يُبرِّؤَُهُ من هذه التُّهمة الخبيثة القبيحة . نسأل الله أن يهدي هؤلاء الضالين .
- السائل : آمين آمين جزاك الله خيراً شيخنا وحفظك وبارك فيك .
- الشيخ : حياك الله ] .




Selengkapnya...

Kembali kepada Ulama

Oleh : Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin bin Hamd al-Badr

Penerjemah Abu Ahmad Fuad Hamzah Baraba`, Lc.

Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama, serta tingginya kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan mereka sebagai teladan dan pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa. Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya.

Oleh : Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin bin Hamd al-Badr

Penerjemah Abu Ahmad Fuad Hamzah Baraba`, Lc.

Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama, serta tingginya kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan mereka sebagai teladan dan pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa. Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. az-Zumar: 9)

Dan firman-Nya Azza wa Jalla:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. al-Mujadilah: 11)

Diantara keutamaannya adalah para malaikat akan membentangkan sayapnya karena tunduk akan ucapan mereka, dan seluruh makhluk hingga ikan yang berada di airpun ikut memohonkan ampun baginya. Para ulama itu adalah pewaris Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyala ilmu, dan pewaris sama kedudukannya dengan yang mewariskannya, maka bagi pewaris mendapatkan kedudukan yang sama dengan yang mewariskannya itu.

Di dalam hadits Abi Darda radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhya para malaikat akan membuka sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang alim akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.” (Shahih, HR Ahmad (V/196), Abu Dawud (3641), at-Tirmidzi (2682), Ibnu Majah (223) dan Ibnu Hibban (80/al-Mawarid).

Para ulama telah mewarisi ilmu yang telah dibawa oleh para Nabi, dan menggantikan peran dakwah di tengah-tengah umatnya untuk menyeru kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Juga melarang dari perbuatan maksiat serta membela agama Allah. Mereka berkedudukan seperti rasul-rasul antara Allah dan hamba-hamba-Nya dalam memberi nasehat, penjelasan dan petunjuk, serta untuk menegakkan hujjah, menepis alasan yang tak berdalih dan menerangi jalan.

Muhammad bin al-Munkadir berkata, “Sesungguhnya orang alim itu perantara antara Allah dan hamba-hamba-Nya, maka perhatikanlah bagaimana dia bisa masuk di kalangan hamba-hamba-Nya.”

Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Manusia yang paling agung kedudukannya adalah yang menjadi perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya, yaitu para Nabi dan ulama.”

Sahl bin Abdullah berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat majlisnya para Nabi, maka hendaklah dia melihat majelisnya para ulama, dimana ada seseorang yang datang kemudian bertanya, ‘Wahai fulan apa pendapatmu terhadap seorang laki-laki yang bersumpah kepada istrinya demikian dan demikian?’ Kemudian dia menjawab, ‘Istrinya telah dicerai.’ Kemudian datang orang lain dan bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang bersumpah pada istrinya demikian-demikian?’ Maka dia menjawab, ‘Dia telah melanggar sumpahnya dengan ucapannya ini.’ Dan ini tidak dimiliki kecuali oleh Nabi atau orang alim. (maka cari tahulah tentang mereka itu).”

Maimun bin Mahran berkata, “Perumpamaan seorang alim disuatu negeri itu, bagaikan mata air yang tawar di negeri itu.”

Jikalau para ulama memiliki kedudukan dan martabat yang tinggi seperti itu, maka wajib atas orang-orang yang awam untuk menjaga kehormatan serta kemuliaannya.

Dari Ubadah bin Ashomit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Bukan termasuk umatku orang yang tidak memuliakan orang yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak tahu kedudukan ulama.”

Dan di antara hak para ulama adalah mereka tidak diremehkan dalam hal keahlian dan kemampuannya, yaitu menjelaskan tentang agama Allah, serta penetapan hukum-hukum dan yang semisalnya dengan mendahului mereka, atau merendahkan kedudukannya, serta sewenang-wenang dengan kesalahannya, juga menjauhkan manusia darinya atau perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahil yang tidak tahu akan kedudukan dan martabat para ulama.

Satu hal yang sudah maklum bagi setiap orang, bahwa mempercayakan setiap cabang-cabang ilmu tidak dilakukan kecuali kepada para ahli dalam bidangnya. Jangan meminta pendapat tentang kedokteran kepada insiyur, dan jangan pula meminta pendapat tentang arsitektur kepada para dokter, maka janganlah meminta pendapat dalam suatu ilmu kecuali kepada para ahlinya.

Maka bagaimana dengan ilmu syariah, pengetahuan tentang hukum-hukum dan fiqh kontemporer? Bagaimana kita meminta pendapat kepada orang yang tidak terkenal begitu mumpuni dan handal dalam ilmu ini, dan tidak meminta pendapat kepada para ulama yang mumpuni dan para imam yang kokoh ilmunya serta ahli fiqh dan ilmu pengetahuan dan ahli istimbath?

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya, (padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu). (QS. an-Nisa`: 83)

Dan yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat ini adalah para ulama yang mumpuni dan handal dalam beristimbath hukum-hukum syariat baik dari kitab maupun sunnah, karena nash-nash yang jelas tidaklah cukup untuk menjelaskan seluruh permasalahan kontemporer dan hukum-hukum terkini, dan tidaklah begitu handal untuk beristimbath serta mengerluarkan hukum-hukum dari nash-nash kecuali para ulama yang mumpuni lagi handal.

Abul ‘aliyah mengatakan tentang makna “Ulil Amri” dalam ayat ini, “Mereka adalah para ulama, tidakkah kamu tahu Allah berfirman, ‘(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)’.”

Dari Qatadah, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka”, dia mengatakan, “Kepada ulamanya.” “Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”, tentulah orang-orang yang membahas dan menyelidikinya mengetahui akan hal itu.

Dan dari Ibu Juraij, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul” sehingga beliaulah yang akan memberitakannya “dan kepada Ulil Amri” orang yang faqih dan faham agama.

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan dalam Fath al-Bari:

Ibnu Attin menukil dari ad-Dawudi, bahwasanya beliau menafsirkan firman Allah Ta’ala “Dan Kami turunkan az-Zikir (al-Qur`an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” An-Nahl : 44, berkata: Allah Ta’ala banyak menurunkan perkara-perkara yang masih bersifat global, kemudian ditafsirkan oleh Nabi-Nya apa-apa yang dibutuhkan pada waktu itu, sedangkan apa-apa yang belum terjadi pada saat itu, penafsirannya di wakilkan kepada para ulama. Sebagaimana firman Allah Ta’ala : (padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka. (QS. an-Nisa`: 83)

Al-’Allamah Abdurrahman bin Sa’di rahimahullahu menafsirkan ayat ini: Ini merupakan pelajaran tentang adab dari Allah untuk para hamba-Nya, bahwa perbuatan mereka tidak layak, maka seyogyanya bagi mereka, apabila ada urusan yang penting, juga untuk kemaslahatan umum, yang berkaitan dengan keamanan dan kebahagiaan kaum mukminin, atau ketakutan yang timbul dari suatu musibah, maka wajib bagi mereka untuk memperjelas dan tidak tergesa-gesa untuk menyebarkan berita itu, bahkan mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri dikalangan mereka, yang ahli dalam hal pemikiran ilmu, nasehat serta brilian, yang faham akan permasalahan, kemaslahatan dan mafsadatnya. Jikalau mereka memandang pada penyebaran berita itu ada maslahat dan sebagai penyemangat bagi kaum mukminin, yang membahagiakan mereka, serta dapat melindungi dari musuh-musuhnya maka hal itu dilakukan, dan apabila mereka memandang hal itu tidak bermanfaat, atau ada manfaatnya akan tetapi mudhorotnya lebih besar dari manfaatnya maka tidak menyebarkan berita itu, oleh karena itu Allah berfirman : “tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka.” Yaitu: mengerahkan pikiran dan pandangannya yang lurus serta ilmunya yang benar.

Dan dalam hal ini ada kaidah tentang etika (adab) yaitu: apabila ada pembahasan dalam suatu masalah hendaknya di berikan kepada ahlinya dan tidak mendahului mereka, karena itu lebih dekat dengan kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan. Juga ada larangan untuk tergesa-gesa menyebarkan berita tatkala mendengarnya, yang patut adalah dengan memperhatikan dan merenungi sebelum berbicara, apakah ada maslahat maka disebarkan atau mudharat maka dicegah. Selesai ucapan syaikh rahimahullahu.

Dengan penjelasan ini diketahui wahai para pembaca budiman, bahwa perkara yang sulit dan hukum-hukum yang kontemporer serta penjelasan hukum-hukum syariatnya tidak semua orang boleh campur tangan dalam masalah itu, kecuali para ulama yang memiliki bashirah dalam agama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Jabatan dan kedudukan tidaklah menjadikan orang yang bukan alim menjadi orang yang alim, kalau seandainya ucapan dalam ilmu dan agama itu berdasarkan kedudukan dan jabatan niscaya khalifah dan sulthan (pemimpin negara) lebih berhak untuk berpendapat dalam ilmu dan agama. Juga dimintai fatwa oleh manusia, dan mereka kembali kepadanya pada permasalahan yang sulit difahami baik dalam ilmu ataupun agama. Apabila pemimpin negara saja tidak mengaku akan kemampuan itu pada dirinya, dan tidak memerintahkan rakyatnya untuk mengikuti suatu hukum dalam satu pendapat tanpa mengambil pendapat yang lain, kecuali dengan al-Qur`an dan as-Sunnah, maka orang yang tidak memiliki jabatan dan kedudukan lebih tidak dianggap pendapatnya.” Selesai ucapan Ibnu Taimiyah.

Dan kita memohon kepada Allah Ta’ala agar memberkati kita, dengan adanya para ulama, juga memberikan kita manfaat dengan ilmu mereka, serta membalas mereka dengan sebaik-baik balasan. Sesungguhnya Allah Maha mendengar dan mengabulkan permintaan.

SUMBER : OMMATY, ed. 40 Dzulhijjah 1428/ Des. 2007


Selengkapnya...

GOO GREEN

Dekade terakhir ini, pemerintah Indonesia terus melancarkan program penghijauan. Oleh karena itu, dimana-mana kita akan melihat reklame dan promosi penghijauan, baik melalui media visual, maupun audio-visual. Promosi ini banyak terpajang di sudut-sudut jalan, dan tertempel di mobil-mobil dan lainnya yang mengajak kita menyukseskan program tersebut. Khusus Provinsi Sulawesi Selatan, pemerintahnya telah mencanangkan program penghijauan dengan tema "South Sulawesi Go Green" (Sulawesi Selatan Menuju Penghijauan).


Sebagian orang menyangka bahwa program penghijauan bukanlah suatu amalan yang mendapatkan pahala di sisi Allah, sehingga ada diantara mereka yang bermalas-malasan dalam mendukung program tersebut. Demi menepis persangkaan yang salah ini, kali ini kami akan mengulas PENTINGNYA PENGHIJAUAN menurut tuntunan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- beserta dalil-dalilnya.

Para pembaca yang budiman, mungkin anda masih mengingat sebuah hadits yang masyhur dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, beliau bersabda,

إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

"Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalannya, kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah (yang mengalir pahalanya), ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shaleh yang mendo’akan kebaikan baginya". [HR. Muslim dalam Kitab Al-Washiyyah (4199)]

Perhatikan, satu diantara perkara yang tak akan terputus amalannya bagi seorang manusia, walaupun ia telah meninggal dunia adalah SEDEKAH JARIYAH, sedekah yang terus mengalir pahalanya bagi seseorang.

Para ahli ilmu menyatakan bahwa sedekah jariyah memiliki banyak macam dan jalannya, seperti membuat sumur umum, membangun masjid, membuat jalan atau jembatan, menanam tumbuhan baik berupa pohon, biji-bijian atau tanaman pangan, dan lainnya.

Jadi, menghijaukan lingkungan dengan tanaman yang kita tanam merupakan sedekah dan amal jariyah bagi kita –walau telah meninggal- selama tanaman itu tumbuh atau berketurunan.

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

"Tak ada seorang muslim yang menanam pohon atau menanam tanaman, lalu burung memakannya atau manusia atau hewan, kecuali ia akan mendapatkan sedekah karenanya". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab AL-Muzaro'ah (2320), dan Muslim dalam Kitab Al-Musaqoh (3950)]

Al-Imam Ibnu Baththol -rahimahullah- berkata saat mengomentari hadits ini, "Ini menunjukkan bahwa sedekah untuk semua jenis hewan dan makhluk bernyawa di dalamnya terdapat pahala". [Lihat Syarh Ibnu Baththol (11/473)]

Seorang muslim yang menanam tanaman tak akan pernah rugi di sisi Allah -Azza wa Jalla-, sebab tanaman tersebut akan dirasakan manfaatnya oleh manusia dan hewan, bahkan bumi yang kita tempati. Tanaman yang pernah kita tanam lalu diambil oleh siapa saja, baik dengan jalan yang halal, maupun jalan haram, maka kita sebagai penanam tetap mendapatkan pahala, sebab tanaman yang diambil tersebut berubah menjadi sedekah bagi kita.

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلَّا كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتْ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَلَا يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ

"Tak ada seorang muslim yang menanam pohon, kecuali sesuatu yang dimakan dari tanaman itu akan menjadi sedekah baginya, dan yang dicuri akan menjadi sedekah. Apa saja yang dimakan oleh binatang buas darinya, maka sesuatu (yang dimakan) itu akan menjadi sedekah baginya. Apapun yang dimakan oleh burung darinya, maka hal itu akan menjadi sedekah baginya. Tak ada seorangpun yang mengurangi, kecuali itu akan menjadi sedekah baginya" . [HR. Muslim dalam Al-Musaqoh (3945)]

Al-Imam Abu Zakariyya Yahya Ibn Syarof An-Nawawiy -rahimahullah- berkata menjelaskan faedah-faedah dari hadits yang mulia ini, "Di dalam hadits-hadits ini terdapat keutamaan menanam pohon dan tanaman, bahwa pahala pelakunya akan terus berjalan (mengalir) selama pohon dan tanaman itu ada, serta sesuatu (bibit) yang lahir darinya sampai hari kiamat masih ada. Para ulama silang pendapat tentang pekerjaan yang paling baik dan paling afdhol. Ada yang berpendapat bahwa yang terbaik adalah perniagaan. Ada yang menyatakan bahwa yang terbaik adalah kerajinan tangan. Ada juga yang menyatakan bahwa yang terbaik adalah bercocok tanam. Inilah pendapat yang benar. Aku telah memaparkan penjelasannya di akhir bab Al-Ath’imah dari kitab Syarh Al-Muhadzdzab. Di dalam hadits-hadits ini terdapat keterangan bahwa pahala dan ganjaran di akhirat hanyalah khusus bagi kaum muslimin, dan bahwa seorang manusia akan diberi pahala atas sesuatu yang dicuri dari hartanya, atau dirusak oleh hewan, atau burung atau sejenisnya". [Lihat Al-Minhaj (10/457) oleh An-Nawawiy, cet. Dar Al-Ma'rifah, 1420 H]

Pahala sedekah yang dijanjikan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam hadits-hadits ini akan diraih oleh orang yang menanam, walapun ia tidak meniatkan tanamannya yang diambil atau dirusak orang dan hewan sebagai sedekah.

Al-Hafizh Abdur Rahman Ibnu Rajab Al-Baghdadiy -rahimahullah- berkata, "Lahiriah hadits-hadits ini seluruhnya menunjukkan bahwa perkara-perkara ini merupakan sedekah yang akan diberi ganjaran pahala bagi orang yang menanamnya, tanpa perlu maksud dan niat". [Lihat Iqozh Al-Himam Al-Muntaqo min Jami' Al-Ulum wa Al-Hikam (hal. 360) oleh Salim Al-Hilaliy, cet. Dar Ibn Al-Jauziy, 1419 H]

Penghijauan alias REBOISASI merupakan amalan sholeh yang mengandung banyak manfaat bagi manusia di dunia dan untuk membantu kemaslahatan akhirat manusia. Tanaman dan pohon yang ditanam oleh seorang muslim memiliki banyak manfaat, seperti pohon itu bisa menjadi naungan bagi manusia dan hewan yang lewat, buah dan daunnya terkadang bisa dimakan, batangnya bisa dibuat menjadi berbagai macam peralatan, akarnya bisa mencegah terjadinya erosi dan banjir, daunnya bisa menyejukkan pandangan bagi orang melihatnya, dan pohon juga bisa menjadi pelindung dari gangguan tiupan angin, membantu sanitasi lingkungan dalam mengurangi polusi udara, dan masih banyak lagi manfaat tanaman dan pohon yang tidak sempat kita sebutkan di lembaran sempit ini.

Jika demikian banyak manfaat dari REBOISASI alias penghijuan, maka tak heran jika agama kita memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan tanah dan menanaminya sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam hadits-hadits lainnya, seperti beliau pernah bersabda,

إِنْ قَامَتْ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ

"Jika hari kiamat telah tegak, sedang di tangan seorang diantara kalian terdapat bibit pohon korma; jika ia mampu untuk tidak berdiri sampai ia menanamnya, maka lakukanlah". [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (3/183, 184, dan 191), Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (2068), dan Al-Bukhoriy dalam Al-Adab Al-Mufrod (479). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 9)]

Ahli Hadits Abad ini, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata saat memetik faedah dari hadits-hadits di atas, "Tak ada sesuatu (yakni, dalil) yang paling kuat menunjukkan anjuran bercocok tanam sebagaimana dalam hadits-hadits yang mulia ini, terlebih lagi hadits yang terakhir diantaranya, karena di dalamnya terdapat targhib (dorongan) besar untuk menggunakan kesempatan terakhir dari kehidupan seseorang dalam rangka menanam sesuatu yang dimanfaatkan oleh manusia setelah ia (si penanam) meninggal dunia. Maka pahalanya terus mengalir, dan dituliskan sebagai pahala baginya sampai hari kiamat". [Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/1/38)]

Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidak mungkin memerintahkan suatu perkara kepada umatnya dalam kondisi yang genting dan sempit seperti itu, kecuali karena perkara itu amat penting, dan besar manfaatnya bagi seorang manusia. Semua ini menunjukkan tentang keutamaan "Go Green" alias program penghijauan yang digalakkan oleh pemerintah kita –semoga Allah memberikan balasan kebaikan bagi mereka-.

Saking besarnya manfaat dari penghijauan lingkungan alias REBOISASI, tanah yang dahulu kering kerontang bisa berubah menjadi tanah subur. Sungai yang dahulu gersang, dengan reboisasi bisa berubah menjadi berair.

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda dalam sebuah yang shohih,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَعُودَ أَرْضُ الْعَرَبِ مُرُوجًا وَأَنْهَارًا

"Tak akan tegak hari kiamat sampai tanah Arab menjadi tanah subur, dan sungai-sungai". [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/370 & 417), dan Muslim dalam Kitab Ash-Shodaqoh (2336)]

Ketika para sahabat mendengarkan hadits-hadits ini, maka mereka berlomba-lomba dan saling mendorong untuk melakukan program penghijauan ini, karena ingin mendapatkan keutamaan dari Allah -Azza wa Jalla- di dunia dan di akhirat berupa ganjaran pahala.

Para pembaca yang budiman, jika kita mau membuka sebagian kitab-kitab hadits yang berisi keterangan dan petunjuk jalan hidup para salaf (pendahulu) kita dari kalangan sahabat dan generasi setelahnya, maka kita akan mendapatkan manusia-manusia yang memiliki semangat dalam menggalakkan perintah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam perkara ini.

Seorang tabi’in yang bernama Umaroh bin Khuzaimah bin Tsabit Al-Anshoriy Al-Madaniy -rahimahullah- berkata,

سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُوْلُ لأَبِيْ : مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَغْرِسَ أَرْضَكَ ؟ فَقَالَ لَهُ أَبِيْ : أَنَا شَيْخٌ كَبِيْرٌ أَمُوْتُ غَدًا ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ : أَعْزِمْ عَلَيْكَ لَتَغْرِسَنَّهَا, فَلَقَدْ رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَغْرِسُهَا بِيَدِهِ مَعَ أَبِيْ

"Aku pernah mendengarkan Umar bin Khoththob berkata kepada bapakku, "Apa yang menghalangi dirimu untuk menanami tanahmu?" Bapakku berkata kepada beliau, "Aku adalah orang yang sudah tua, akan mati besok". Umar berkata kepadanya, "Aku mengharuskan engkau (menanamnya). Engkau harus menanamnya!" Sungguh aku melihat Umar bin Khoththob menanamnya dengan tangannya bersama bapakku". [HR. Ibnu Jarir Ath-Thobariy sebagaimana dalam Ash-Shohihah (1/1/39)]

Al-Imam Al-Bukhoriy -rahimahullah- meriwayatkan sebuah atsar dari Nafi’ bin Ashim bahwa,

أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو قَالَ لابْنِ أَخٍ لَهُ خَرَجَ مِنَ الْوَهْطِ : أَيَعْمَلُ عُمَّالُكَ ؟ قَالَ : لاَ أَدْرِيْ ، قَالَ : أَمَا لَوْ كُنْتَ ثَقَفِيًّا لَعَلِمْتَ مَا يَعْمَلُ عُمَّالُكَ ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيْنَا فَقَالَ : إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا عَمِلَ مَعَ عُمَّالِهِ فِيْ دَارِهِ – وَقَالَ أَبُوْ عَاصِمٍ مَرَّةً : فِيْ مَالِهِ – كَانَ عَامِلاً مِنْ عُمَّالِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

"Dia pernah mendengar Abdullah bin Amer -radhiyallahu anhu- berkata kepada keponakannya yang telah keluar dari kebunnya, "Apakah para pekerjamu sedang bekerja?" Keponakannya berkata, "Aku tak tahu". Beliau berkata, "Ingatlah, andaikan engkau adalah orang Tsaqif, maka engkau akan tahu tentang sesuatu yang dikerjakan oleh para pekerjamu". Kemudian beliau menoleh kepada kami seraya beliau berkata, "Sesungguhnya seseorang bila bekerja bersama para pekerjanya di kampungnya atau hartanya, maka ia adalah pekerja diantara pekerja-pekerja Allah -Azza wa Jalla-". [HR. Al-Bukhoriy dalam Al-Adab Al-Mufrod (448). Syaikh Al-Albaniy men-shohih-kan hadits ini dalam Shohih Al-Adab (hal. 154)]

Amer bin Dinar -rahimahullah- berkata,

عَنْ عَمْرٍو قَالَ: دَخَلَ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ فِيْ حَائِطٍ لَهُ بِالطَّائِفِ يُقَالُ لَهُ الْوَهْطُ, فِيْهِ أَلْفُ أَلْفِ خَشَبَةٍ اِشْتَرَى كُلَّ خَشَبَةٍ بِدِرْهَمٍ –يَعْنِيْ: يُقِيْمُ بِهِ اْلأَعْنَابَ- [أخرجه ابن عساكر في تاريخ دمشق - (ج 46 / ص 182)]

"Amer bin Al-Ash pernah masuk ke dalam suatu kebun miliknya di Tho’if yang dinamai dengan "Al-Wahthu". Di dalamnya terdapat satu juta batang kayu. Beliau telah membeli setiap kayu dengan harga satu dirham. Maksudnya, beliau menegakkan dengannya batang-batang anggur". [HR. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (46/182)]

Para pembaca yang budiman, perhatikanlah sahabat Amer bin Al-Ash telah berani berkorban demi memelihara tanaman-tanaman yang terdapat dalam kebunnya. Semua ini menunjukkan kepada kita tentang semangat para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam melaksanakan perintah dan anjuran beliau dalam menghijaukan lingkungan. Maka contohlah mereka dalam perkara ini, niscaya kalian mendapatkan keutamaan sebagaimana yang mereka dapatkan. Namun satu hal perlu kita ingat bahwa usaha dan program penghijauan seperti ini terpuji selama tidak melalaikan kita dari kewajiban, seperti jihad, sholat berjama’ah, mengurusi anak dan keluarga atau kewajiban-kewajiban lainnya. Jika melalaikan, maka hal itu tercela!!!

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 121 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
http://almakassari.com/artikel-islam/akhlak/go-green-sebuah-amal-jariyah.html


Selengkapnya...

Selasa, 02 Februari 2010

Valentine's = NO KUADRAT

Cinta adalah sebuah kata yang indah dan mempesona yang hingga
sekarang belum ada yang bisa mendefinisikan kata cinta itu sendiri.
Meskipun demikian setiap insan yang memiliki hati dan pikiran yang
normal tahu apa itu cinta dan bagaimana rasanya. Maha suci Dzat Yang
telah menciptakan cinta.


Jika kita berbicara tentang cinta, maka secara hakikat kita akan
berbicara tentang kasih sayang; jika kita berbicara tentang kasih
sayang, maka akan terbetik dalam benak kita akan suatu hari yang setiap
tahunnya dirayakan, hari yang selalu dinanti-nantikan oleh orang-orang
yang dimabuk cinta, dan hari yang merupakan momen terpenting bagipara pemuja nafsu.

Sejenak membuka lembaran sejarah kehidupan manusia, maka disana ada
suatu kisah yang konon kabarnya adalah tonggak sejarah asal mula
diadakannya hari yang dinanti-nantikan itu. Tentunya para pembaca sudah
bisa menebak hari yang kami maksud. Hari itu tak lain dan tak bukan
adalah "Valentine Days" (Hari Kasih Sayang?).

* Definisi Valentine Days


Para Pembaca yang budiman, mari kita sejenak menelusuri defenisi
Valentine Days dari referensi mereka sendiri! Kalau kita membuka
beberapa ensiklopedia, maka kita akan menemukan defenesi Valentine di
tiga tempat :

* Ensiklopedia Amerika (volume XIII/hal. 464) menyatakan, "Tanggal
14 Februari adalah hari perayaan modern yang berasal dari dihukum
matinya seorang pahlawan kristen yaitu Santo Valentine pada tanggal 14
Februari 270 M".
* Ensiklopedia Amerika (volume XXVII/hal. 860) menyebutkan, "Yaitu
sebuah hari dimana orang-orang yang sedang dilanda cinta secara
tradisional saling mengirimkan pesan cinta dan hadiah-hadiah. Yaitu
hari dimana Santo Valentine mengalami martir (seorang yang mati sebagai
pahlawan karena mempertahankan kepercayaan/keyakinan)".
* Ensiklopedia Britania (volume XIII/hal. 949), "Valentine yang disebutkan itu adalah seorang utusan dari Rhaetia dan dimuliakan di Passau sebagai uskup pertama".
* Sejarah Singkat Valentine Days


Konon kabarnya, sejak abad ke-4 SM, telah ada perayaan hari kasih
sayang. Namun perayaan tersebut tidak dinamakan hari Valentine.
Perayaan itu tidak memiliki hubungan sama sekali dangan hari Valentine,
akan tetapi untuk menghormati dewa yang bernama Lupercus.
Acara ini berbentuk upacara dan di dalamnya diselingi penarikan undian
untuk mencari pasangan. Dengan menarik gulungan kertas yang berisikan
nama, para gadis mendapatkan pasangan. Kemudian mereka menikah untuk
periode satu tahun, sesudah itu mereka bisa ditinggalkan begitu saja.
Dan kalau sudah sendiri, mereka menulis namanya untuk dimasukkan ke
kotak undian lagi pada upacara tahun berikutnya.

Sementara itu, pada 14 Februari 269 M meninggalkan seorang pendeta kristen yang bernama Valentine.
Semasa hidupnya, selain sebagai pendeta ia juga dikenal sebagai tabib
(dokter) yang dermawan, baik hati dan memiliki jiwa patriotisme yang
mampu membangkitkan semangat berjuang. Dengan sifat-sifatnya tersebut,
nampaknya mampu membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap penderitaan
yang mereka rasakan, karena kezhaliman sang Kaisar. Kaisar ini sangat
membenci orang-orang Nashrani dan mengejar pengikut ajaran nabi Isa.
Pendeta Valentine ini dibunuh karena melanggar peraturan yang dibuat
oleh sang Kaisar, yaitu melarang para pemuda untuk menikah, karena
pemuda lajang dapat dijadikan tentara yang lebih baik daripada tentara
yang telah menikah. Valentine sebagai pendeta, sedih melihat pemuda
yang mabuk asmara. Akhirnya dengan penuh keberanian, ia melanggar
perintah sang Kaisar. Dengan diam-diam ia menikahkan sepasang anak
muda. Pendeta Valentine berusaha menolong pasangan yang sedang jatuh
cinta dan ingin membentuk keluarga. Pasangan yang ingin menikah lalu
diberkati di tempat yang tersembunyi. Namun rupanya, sang Kaisar
mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh pendeta tersebut, dan kaisar
sangat tersinggung hingga sang Pendeta diberi hukuman penggal oleh
Kaisar Romawi yang bergelar Cladius II. Sejak kematian
Valentine, kisahnya menyebar dan meluas, hingga tidak satu pelosok pun
di daerah Roma yang tak mendengar kisah hidup dan kematiannya. Kakek
dan nenek mendongengkan cerita Santo Valentine pada anak dan cucunya
sampai pada tingkat pengkultusan !!

Ketika agama Katolik mulai berkembang, para pemimipin gereja ingin
turut andil dalam peran tersebut. Untuk mensiasatinya, mereka mencari
tokoh baru sebagai pengganti Dewa Kasih Sayang, Lupercus. Akhirnya mereka menemukan pengganti Lupercus, yaitu Santo Valentine.

Di tahun 494 M, Paus Gelasius I mengubah upacara Lupercaria
yang dilaksanakan setiap 15 Februari menjadi perayaan resmi pihak
gereja. Dua tahun kemudian, sang Paus mengganti tanggal perayaan
tersebut menjadi 14 Februari yang bertepatan dengan
tanggal matinya Santo Valentine sebagai bentuk penghormatan dan
pengkultusan kepada Santo Valentine. Dengan demikian perayaan Lupercaria sudah tidak ada lagi dan diganti dengan "Valentine Days"

Sesuai perkembangannya, Hari Kasih Sayang tersebut menjadi semacam rutinitas ritual bagi kaum gereja untuk dirayakan. Biar tidak kelihatan formal, mereka membungkusnya dengan hiburan atau pesta-pesta.

* Hukum Islam tentang Perayaan Valentine Days


Dalam Islam memang disyari’atkan berkasih sayang kepada sesama
muslim, namun semuanya berada dalam batas-batas dan ketentuan Allah -Ta’ala-
. Betapa banyak kita dapatkan para pemuda dan pemudi dari kalangan kaum
muslimin yang masih jahil (bodoh) tentang permasalahan ini. Lebih parah
lagi, ada sebagian orang yang tidak mau peduli dan hanya menuruti hawa
nafsunya. Padahal perayaan Hari Kasih Sayang (Valentine Days) haram dari beberapa segi berikut :

* Tasyabbuh dengan Orang-orang Kafir


Hari raya –seperti, Valentine Days- merupakan ciri khas, dan manhaj (metode) orang-orang kafir yang harus dijauhi. Seorang muslim tak boleh menyerupai mereka dalam merayakan hari itu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata, "Tak
ada bedanya antara mengikuti mereka dalam hari raya, dan mengikuti
mereka dalam seluruh manhaj (metode beragama), karena mencocoki mereka
dalam seluruh hari raya berarti mencocoki mereka dalam kekufuran.
Mencocoki mereka dalam sebagaian hari raya berarti mencocoki mereka
dalam sebagian cabang-cabang kekufuran. Bahkan hari raya adalah ciri
khas yang paling khusus di antara syari’at-syari’at (agama-agama), dan
syi’ar yang paling nampak baginya. Maka mencocoki mereka dalam hari
raya berarti mencocoki mereka dalam syari’at kekufuran yang paling
khusus, dan syi’ar yang paling nampak. Tak ragu lagi bahwa mencocoki
mereka dalam hal ini terkadang berakhir kepada kekufuran secara global".[Lihat Al-Iqtidho’ (hal.186)].

Ikut merayakan Valentine Days termasuk bentuk tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang kafir. Rasululllah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

"Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut". [HR. Abu Daud dalam Sunan-nya (4031) dan Ahmad dalam Al-Musnad (5114, 5115, & 5667), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (19401 & 33016), Al-Baihaqiy dalam Syu’ab Al-Iman (1199), Ath-Thobroniy dalam Musnad Asy-Syamiyyin (216), Al-Qudho’iy dalam Musnad Asy-Syihab (390), dan Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhob (848). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Musykilah Al-Faqr (24)].

Seorang Ulama Mesir,Syaikh Ali Mahfuzh-rahimahullah- berkata dalam mengunkapkan kesedihan dan pengingkarannya terhadap keadaan kaum muslimin di zamannya, "Diantara
perkara yang menimpa kaum muslimin (baik orang awam, maupun orang
khusus) adalah menyertai (menyamai) Ahlul Kitab dari kalangan
orang-orang Yahudi, dan Nashrani dalam kebanyakan perayaan-perayaan
mereka, seperti halnya menganggap baik kebanyakan dari
kebiasaan-kebiasaan mereka. Sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- dahulu membenci untuk menyanai Ahlul Kitab dalam segala urusan
mereka…Perhatikan sikap Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
seperti ini dibandingkan sesuatu yang terjadi pada manusia di hari ini
berupa adanya perhatian mereka terhadap perayaan-perayaan, dan adat
kebiasaan orang kafir. Kalian akan melihat ,ereka rela meninggalkan
pekerjaan mereka berupa industri, niaga, dan sibuk dengan ilmu di
musim-musim perayaan itu, dan menjadikannya hari bahagia, dan hari
libur; mereka bermurah hati kepada keluarganya, memakai pakaian yang
terindah, dan menyemir rambut anaka-anak mereka di hari itu dengan
warna putih sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul Kitab dari kalangan
Yahudi, dan Nashrani. Perbuatan ini dan yang semisalnya merupakan bukti
kebenaran sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sebuah
hadits shohih, "Kalian akan benar-benar mengikuti jalan hidup
orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta sehingga andai mereka memasuki lubang biawak, maka kalian pun
mengikuti mereka". Kami (para sahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah,
apakah mereka adalah orang-orang Yahudi, dan Nashrani". Beliau
menjawab, "Siapa lagi kalau bukan mereka". [HR. Al-Bukhoriy (3456) dari
Abu Sa’id Al-Khudriy -radhiyallahu ‘anhu-]".[Lihat Al-Ibda’ fi Madhorril Ibtida’ (hal. 254-255)]

Namun disayangkan, Sebagian kaum muslimin berlomba-lomba dan berbangga dengan perayaan Valentine Days.
Di hari itu, mereka saling berbagi hadiah mulai dari coklat, bunga
hingga lebih dari itu kepada pasangannya masing-masing. Padahal
perayaan seperti ini tak boleh dirayakan.Kita Cuma punya dua hari raya
dalam Islam. Selain itu, terlarang !!.

* Pengantar Menuju Maksiat dan Zina


Acara Valentine Days mengantarkan seseorang kepada bentuk maksiat
dan yang paling besarnya adalah bentuk perzinaan. Bukankah momen
seperti ini (ValentineDays) digunakan untuk meluapkan perasaan cinta kepada sang kekasih, baik dengan cara memberikan hadiah, menghabiskan waktu hanya berdua saja? Bahkan terkadang sampai kepada jenjang perzinaan.

Allah -Subhanahu wa Ta’la- berfirman dalam melarang zina dan pengantarnya (seperti, pacaran, berduaan, berpegangan, berpandangan, dan lainnya),

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

"Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk". (QS. Al-Isra’ : 32)

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لَايَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِاِمْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ

"Jangan sekali-sekali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram". [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (4935), dan Muslim dalam Shohih-nya (1241)] .

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

لَأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يِمَسَّ امْرَأَةً لَاتَحِلُّ لَهُ

"Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian
ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik daripada ia
menyentuh wanita yang tidak halal baginya". [HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (486). Di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah (226)]

* Menciptakan Hari Rari Raya


Merayakan Velentine Days berarti menjadikan hari itu sebagai hari raya. Padahal seseorang dalam menetapkan suatu hari sebagai hari raya, ia membutuhkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena menetapkan hari raya yang tidak ada dalilnya merupakan perkara baru yang tercela. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa saja yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami sesuatu yang tidak ada di dalamnya, maka itu tertolak” [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih -nya (2697)dan Muslim dalam Shahih -nya (1718)]

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan tersebut tertolak”. [HR. Muslim dalam Shahih -nya (1718)]

Allah -Ta’ala- telah menyempurnakan agama Islam. Segala
perkara telah diatur, dan disyari’atkan oleh Allah. Jadi, tak sesuatu
yang yang baik, kecuali telah dijelaskan oleh Islam dalam Al-Qur’an dan
Sunnah. Demikian pula, tak ada sesuatu yang buruk, kecuali telah
diterangkan dalam Islam. Inilah kesempurnaan Islam yang dinyatakan
dalam firman-Nya,

"Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu
jadi agama bagimu". (QS.Al-Maidah :3 ).

Di dalam agama kita yang sempurna ini, hanya tercatat dua hari raya, yaitu: Idul Fitri dan Idul Adha. Karenanya, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengingkari dua hari raya yang pernah dilakukan oleh orang-orang Madinah. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepada para sahabat Anshor,

قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا فِيْ
الجَاهِلِيَةِ وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا:
يَوْمَ النَّحَرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ

“Saya datang kepada kalian, sedang kalian memiliki dua hari, kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyyah. Allah sungguh telah menggantikannya dengan hari yang lebih baik darinya, yaitu: hari Nahr (baca: iedul Adh-ha), dan hari fithr (baca: iedul fatri)”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (1134), An-Nasa`iy dalam Sunan-nya (3/179), Ahmad dalam Al-Musnad (3/103. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (1134)] .

Syaikh Amer bin Abdul Mun’im Salim-hafizhahullah- berkata saat mengomentari hadits ini, "Jadi,
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang mereka -dalam bentuk
pengharaman- dari perayaan-perayaan jahiliyyah yang dikenal di sisi
mereka sebelum datangnya Islam, dan beliau menetapkan bagi mereka dua
hari raya yang sya’i, yaitu hari raya Idul Fithri, dan hari raya Idul
Adh-ha. Beliau juga menjelaskan kepada mereka keutamaan dua hari raya
ini dibandingkan peryaan-perayaan lain yang terdahulu ".[Lihat As-Sunan wa Al-Mubtada’at fi Al-Ibadat (hal.136), cet. Maktabah Ibad Ar-Rahman, 1425 H]

Sungguh perkara yang sangat menyedihkan, justru perayaan ini sudah
menjadi hari yang dinanti-nanti oleh sebagian kaum muslimin terutama
kawula muda. Parahnya lagi, perayaan Valentine Days
ini adalah untuk memperingati kematian orang kafir (yaitu Santo
Valentine). Perkara seperti ini tidak boleh, karena menjadi sebab
seorang muslim mencintai orang kafir.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 51
Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus
Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu,
Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan
Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc.
Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh :
Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk
berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq
Rp. 200,-/exp)

http://almakassari.com/?p=231

Sumber :
www.darussalaf.or.id




Selengkapnya...