يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ﴾ [الحشر:18

Jumat, 11 September 2009

TAKBIR PADA IDUL FITHRI DAN IDUL ADHA

Takbir Pada Idul Fithri Dan Idul Adha
Rabu, 27 Desember 2006 00:38:55 WIB

TAKBIR PADA IDUL FITHRI DAN IDUL ADHA


Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al Halabi Al Atsari




Allah Ta'ala berfirman :

"Artinya : Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, mudah-mudahan kalian mau bersyukur".

Telah pasti riwayat bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Artinya : Beliau keluar pada hari Idul fitri, maka beliau bertakbir hingga tiba di mushalla (tanah lapang), dan hingga ditunaikannya shalat. Apabila beliau telah menunaikan shalat, beliau menghentikan takbir"[1]

Berkata Al-Muhaddits Syaikh Al Albani :

"Dalam hadits ini ada dalil disyari'atkannya melakukan takbir secara jahr (keras/bersuara) di jalanan menuju mushalla sebagaimana yang biasa dilakukan kaum muslimin. Meskipun banyak dari mereka mulai menganggap remeh sunnah ini hingga hampir-hampir sunnah ini sekedar menjadi berita ...

Termasuk yang baik untuk disebutkan dalam kesempatan ini adalah bahwa mengeraskan takbir disini tidak disyari'atkan berkumpul atas satu suara (menyuarakan takbir secara serempak dengan dipimpin seseorang -pent) sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Demikian pula setiap dzikir yang disyariatkan untuk mengeraskan suara ketika membacanya atau tidak disyariatkan mengeraskan suara, maka tidak dibenarkan berkumpul atas satu suara seperti yang telah disebutkan. Hendaknya kita hati-hati dari perbuatan tersebut[2], dan hendaklah kita selalu meletakkan di hadapan mata kita bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang waktu takbir pada dua hari raya, maka beliau rahimahullah menjawab :

"Segala puji bagi Allah, pendapat yang paling benar tentang takbir ini yang jumhur salaf dan para ahli fiqih dari kalangan sahabat serta imam berpegang dengannya adalah : Hendaklah takbir dilakukan mulai dari waktu fajar hari Arafah sampai akhir hari Tasyriq ( tanggal 11,12,13 Dzulhijjah), dilakukan setiap selesai mengerjakan shalat, dan disyariatkan bagi setiap orang untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika keluar untuk shalat Id. Ini merupakan kesepakatan para imam yang empat". [Majmu Al -Fatawa 24/220 dan lihat 'Subulus Salam' 2/71-72]

Aku katakan : Ucapan beliau rahimahullah : '(dilakukan) setelah selesai shalat' -secara khusus tidaklah dilandasi dalil. Yang benar, takbir dilakukan pada setiap waktu tanpa pengkhususan.

Yang menunjukkan demikian adalah ucapan Imam Bukhari dalam kitab 'Iedain dari "Shahih Bukhari" 2/416 : "Bab Takbir pada hari-hari Mina, dan pada keesokan paginya menuju Arafah".

Umar Radliallahu 'anhu pernah bertakbir di kubahnya di Mina. Maka orang-orang yang berada di masjid mendengarnya lalu mereka bertakbir dan bertakbir pula orang-orang yang berada di pasar hingga kota Mina gemuruh dengan suara takbir.

Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu dan setelah shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majlis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya.

Maimunnah pernah bertakbir pada hari kurban, dan para wanita bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz pada malam-malam hari Tasyriq bersama kaum pria di masjid".

Pada pagi hari Idul Fitri dan Idul Adha, Ibnu Umar mengeraskan takbir hingga ia tiba di mushalla, kemudian ia tetap bertakbir hingga datang imam. [Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni, Ibnu Abi Syaibah dan selainnya dengan isnad yang shahih. Lihat "Irwaul Ghalil' 650]

Sepanjang yang aku ketahui, tidak ada hadits nabawi yang shahih tentang tata cara takbir. Yang ada hanyalah tata cara takbir yang di riwayatkan dari sebagian sahabat, semoga Allah meridlai mereka semuanya.

Seperti Ibnu Mas'ud, ia mengucapkan takbir dengan lafadh :

Allahu Akbar Allahu Akbar Laa ilaha illallaha, wa Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamdu.

"Artinya : Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan untuk Allah segala pujian". [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/168 dengan isnad yang shahih]

Sedangkan Ibnu Abbas bertakbir dengan lafadh.

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, wa lillahil hamdu, Allahu Akbar, wa Ajalla Allahu Akbar 'alaa maa hadanaa.

"Artinya : Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan bagi Allah lah segala pujian, Allah Maha Besar dan Maha Mulia, Allah Maha Besar atas petunjuk yang diberikannya pada kita". [Diriwayatkan oleh Al Baihaqi 3/315 dan sanadnya shahih]

Abdurrazzaq[3] -dan dari jalannya Al-Baihaqi dalam "As Sunanul Kubra" (3/316)- meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Salman Al- Khair Radliallahu anhu, ia berkata :

"Artinya : Agungkanlah Allah dengan mengucapkan : Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabira".

Banyak orang awam yang menyelisihi dzikir yang diriwayatkan dari salaf ini dengan dzikir-dzikir lain dan dengan tambahan yang dibuat-buat tanpa ada asalnya. Sehingga Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam "Fathul Bari (2/536) :

"Pada masa ini telah diada adakan suatu tambahan[4] dalam dzikir itu, yang sebenarnya tidak ada asalanya".

[Disalin dari buku Ahkaamu Al'Iidaini Fii Al Sunnah Al Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid al-Halabi Al-Atsari hal. 19-22, terbitan Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________
Foote Note.
[1]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam "Al-Mushannaf" dan Al-Muhamili dalam "Kitab Shalatul 'Iedain" dengan isnad yang shahih akan tetapi hadits ini mursal. Namun memiliki pendukung yang menguatkannya. Lihat Kitab "Silsilah Al Hadits As-Shahihah" (170). Takbir pada Idul Fithri dimulai pada waktu keluar menunaikan shalat Ied
[2]. Silsilah Al Hadits As-Shahihah 91/121) Syaikh Al Alamah Hamud At-Tuwaijiri rahimahullah memiliki risalah tersendiri tentang pengingkaran takbir yang dilakukan secara berjamaah. Risalah ini sedang di cetak.
[3]. Aku tidak melihatnya dalam kitabnya "Al Mushannaf".
[4]. Bahkan tambahan yang banyak !! Selengkapnya...

MENYATUKAN HARI RAYA

Menyatukan Hari Raya
Jumat, 14 Desember 2007 08:05:41 WIB

MENYATUKAN HARI RAYA


Oleh
Ustadz Armen Halim Naro




Perselisihan dalam menentukan hari raya, baik hari raya Idul Fithri maupun hari raya Idul Adha menjadi sebuah fenomena yang seringkali terjadi di kalangan kaum muslimin seakan-akan makna “al-id” yang seharusnya sesuatu yang berulang dengan penuh kegembiraan dan keceriaan, berubah menjadi sebuah permasalahan yang berulang-ulang tiap tahunnya dengan perselisihan dan pertengkaran.

Sebagai seorang muslim, tidak ada jalan lain kecuali beramal di atas bashirah dan ilmu yang akan menerangi jalan untuknya menuju keridhaan Allah. Maka dalam pembahasan masalah ini, penulis berusaha untuk memberikan pemahaman tentang sebab terjadinya perselisihan, dan kita yang tepat dalam bersikap, sehingga kita terlepas dari jeratan pertikaian dan termasuk orang yang berpegang teguh dengan tali Allah. Semoga Allah memberi taufiq kebenaran kepada penulis, sehingga dijauhkan dari kesalahan dalam penulisan dan pemahaman.

MENGAPA BERSELISIH DALAM MENENTUKAN HARI RAYA?
Perselisihan ini, tidak hanya terjadi di kalangan para ulama sebelumnya dalam permasalahan ijtihad, akan tetapi diperparah lagi dengan masuknya orang-orang yang tidak mengetahui agama (munafik) atau orang yang cenderung mengikuti akalnya sendiri [1], masuk ke dalam kancah permasalahan ini sehingga semakin memperkeruh masalah.

Perselisihan yang terjadi dalam menentukan ke dua hari raya ini, dapat kita bagi dalam beberapa permasalahan.

Pertama : Adanya silang pendapat dalam cara menentukan hari raya, dengan hisab ataukah ru’yah hilal.

Kedua : Adanya perbedaan pendapat yang menyangkut mathla’ hilal pada setiap negeri atau tidak. Dalam arti, jika misalnya terlihat hilal di Arab Saudi, wajibkah semua umat Islam untuk berpuasa atau berbuka? Ataukah setiap negeri berhukum dengan mathla’ nya sendiri-sendiri?

Ketiga : Mensikapi keputusan pemerintah dalam menentukan jatuhnya hari raya. Sebagian yang tidak sependapat dengan pemerintah mengambil tindakan yang dianggapnya benar. Dan sebagian lagi, dalam melihat ru’yah hilal, berkiblat kepada negara lain, dan begitu seterusnya sehingga terjadilan kekacauan dan perselisihan di mana-mana.

RU’YAH ATAU HISAB?
Ada dua catatan penting menanggapi permasalahan di atas.
Pertama : Menggunakan hisab untuk membuat sebuah hukum dalam syari’at dan meninggalkan ru’yah hilal, ditakutkan terkena ancaman dari ayat Allah, yaitu orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datang kebenaran, dan juga jatuh ke dalam takwil Rasulullah bahwa umat Islam akan mengikuti perjalanan umat terdahulu (tasyabbuh), baik secara disengaja ataupun tidak.

Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah rahimahullah berkata : “Telah sampai kepada saya, bahwa syari’at sebelum kita juga mengaitkan hukum dengan hilal. Kemudian terjadi perubahan karena ulah tangan-tangan jahil dari para pengikut syari’at itu sendiri, sebagaimana telah diperbuat oleh Yahudi dalam bertemunya dua bujur, serta menjadikan sebagian hari raya mereka dengan menggunakan tahun Masehi, sesuai dengan kejadian yang dialami Al-Masih. Begitu juga dengan kaum Shabi’ah, Majusi dan dari kalangan kaum musyrikin lainnya dalam penggunaan ishtillah (penanggalan). Adapun yang dibawa oleh syari’at kita merupakan hal yang paling baik, apik, jelas tepat dan jauh dari pertentangan” [2]

Kedua : Pembahasan penentuan hari raya dengan menggunakan ru’yah sudah bersifat final, setelah adanya ijma’ selama tiga abad berurut-turut. Sehingga tidak ada jalan untuk berijtihad setelah terjadinya ijma’, sebagaimana yang telah diterangkan dalam ushul syari’ah.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata : “Sebagaimana telah kita ketahui dari agama Islam, bahwa menggunakan hisab untuk menentukan sesuatu dengan cara melihat hilal, seperti ; puasa, haji, iddah, ila’ atau lainnya, yang menyangkut permasahan hukum dengan hilal, tidaklah dibenarkan. Nash-nash dari Nabi tentang hal ini sangatlah banyak. Dan kaum muslimin telah ijma’ (sepakat) dengan permasalah tersebut. Sama sekali tidak diketahui adanya perselisihan lama atau perselisihan baru, kecuali setelah abad ketiga, yakni oleh sebagian mutaakhirin dari kalangan ahli fiqih gadungan yang belum matang [3]. Yaitu dengan pernyataan “Jika hilal terhalangi awan, maka ahli hisab diperbolehkan menggunakan hisab untuk dirinya sendiri. Jika hisab (tersebut) menunjukkan ru’yah, maka dia boleh berpuasa. Jika tidak menunjukkan hilal, maka tidak boleh”. Pendapat ini telah didahului oleh ijma yang mengingkarinya, meskipun hanya berlaku untuk cuaca mendung dan dikhususkan untuk orang yang mengetahui ilmu hisab itu sendiri. Akan tetapi, mengikuti hisab ketika cuaca cerah, atau menggantungkan hukum untuk kalangan umum dengan hisab, maka tidak seorang muslimpun pernah mengatakannya”. [4]

Ketika Lajnah Da’imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta Arab Saudi, ditanya tentang hal serupa, mereka menjawab : “Sesungguhnya Allah mengetahui yang telah dan yang akan terjadi tentang perkembangan ilmu falak dan ilmu pengetahuan lainnya. Sekalipun begitu, Allah berfirman.

“Barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan bulan tersebut, maka hendaklah berpusa” [Al-Baqarah ; 185]

Dan Rasul-Nya menerangkan lebih jelas dengan sabdanya.

“Berpuasalah kalian dengan melihat hilal, dan berbukalah dengan melihatnya” [5]

Maka beliau mengaitkan mulainya puasa bulan Ramadhan dan berakhirnya Ramadhan, yaitu dengan melihat hilal dan tidak mengaitkannya dengan hisab bintang-bintang. Sekalipun beliau mengetahui bahwa ilmu falak akan berkembang dengan hisab bintang dan menentukan perjalannya.

Oleh karena itu, kaum muslimin wajib kembali kepada syari’at Allah melalui lisan Nabi-Nya, dengan menggunakan ru’yah hilal dalam berpuasa dan berhari raya. Dan ini merupakan ijma dari ahli ilmu. Barangsiapa yang menyelisihinya dan menggunakan hisab bintang-bintang, maka pendapatnya aneh dan tidak dapat digunakan” [Tertanda. Ketua : Abdul Aziz, Wakil Ketua Abdur Razzaq Afifi. Anggota Abdullah bin Qu’ud] [6]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425H/2004M, Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo –Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo - Solo]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Majmu Fatawa (25/128-130)
[2]. Majmu Fatawa (25/135)
[3]. Sebagian pendapat ini kepada Ibnu Syuraih, Mutharif bin Abdullah dan Ibnu Qutaibah. Nisbat kepada Ibnu Syuraih dan Abdullah ini tidak benar. Adapun Ibnu Qutaibah, pendapatnya dalam masalah ini tidak perlu ditanggapi. Lihat Nailul Authar (4/502) Dar Ash-Shumai’i, Tharhut Tatsrib, Al-Iraqi (2/2-112).
[4]. Majmu Fatawa (25/132-133)
[5]. HR Muslim, Kitab Shiyam, Bab Wujub Shaumi Ramadan Li Ru’yatil Hilal, Syarh Muslim (3/134-135)
[6]. Fatawa Ramadhan (1/118-19) Selengkapnya...

PERBEDAAN MATHLA’ ANTAR WILAYAH

Perbedaan Mathla' Antar Wilayah
Sabtu, 15 Desember 2007 07:01:06 WIB

PERBEDAAN MATHLA’ ANTAR WILAYAH


Oleh
Ustadz Armen Halim Naro




Yang dimaksud dengan mathla’ yaitu “saat terbitnya hilal di suatu wilayah (negara)’. Seiring dengan perjalanan bulan dan matahari, pergantian siang dan malam, sehingga menyebabkan perbedaan terbitnya hilal di masing-masing wilayah. Tidak mustahil memunculkan perbedaan, manakala hendak menentukan pelaksanaan perkara-perkara ibadah, seperti shaum, hari ‘Id ataupun haji, dan aktifitas ibadah lainnya.

Bagaimanakah kita menyikapinya ? Berikut uraian singkat berkaitan dengan perbedaan masalah mathla’.

BERLAKUKAH PERBEDAAN MATHLA’ HILAL?
Ada dua pendapat yang kuat untuk menjawab pertanyaan di atas. Terlepas dari itu semua, permasalahan tersebut tidak lebih seperti persoalan khilafiah lainnya. Dalam hal ini, yang memegang suatu pendapat harus saling berlapang dada dan menghormati pendapat lainnya. Di kalangan ulama, permasalahan ini sebenarnya merupakan salah satu perselisihan yang sangat panjang. Karenanya, ditulis karangan-karangan. Dan setiap madzhab berusaha memenangkan madzhabnya. [1]

Fatwa Lajnah Da’imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta menyebutkan : “Masalah perbedaan memberlakukan mathla’ atau tidaknya, termasuk ke dalam permasalahan perbedaan-perbedaan pandangan, dan dalam hal ini ijtihad mengambil porsinya. Perselisihan tidak bisa dihindari bagi orang-orang yang mempunyai peran dalam ilmu dan agama, dan itu termasuk perselisihan yang diperbolehkan. Yang benar, akan memperoleh dua pahala. Yaitu pahala ijtihad dan pahala karena benar. Dan yang salah, memperoleh satu pahala, yaitu pahala ijtihad”[2]

KHILAF DALAM PEMBERLAKUAN MATHLA’, BEGITU PENTINGKAH?
Berbicara tentang keafdholan dan idealnya sebuah hari raya, memang menjadi harapan semua kaum muslimin dapat berhari raya secara bersamaan. Suara takbir bergemuruh di setiap pelosok dunia Islam, sehingga syiar Islam bersinar.

Tetapi kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Jangankan berangan-angan untuk menyatukan semua kaum muslimin, menyatukan mereka di setiap negeri untuk berhari raya secara bersamaan pun terasa amat sulit. Jalannya berbelit-belit. Meskipun begitu, tidak akan membuat kita berputus asa, tetapi yang seharusnya selalu diupayakan adalah langkah secara nyata.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah bekata ; “Tidak diragukan lagi, sesungguhnya puasa kaum muslimin dengan melihat hilal, atau menyempurnakan bilangan di negeri mereka tinggal. Itulah yang lebih dekat kepada zhahir dalil-dalil syari’at. Tetapi jika tidak memungkinkan, maka yang lebih dekat kepada kebenaran, yaitu yang telah kami sebutkan di atas (yaitu berpuasa dengan pemerintah,-pent). Wallahu waliyyut taufiq” [3]

Ha’iah Kibar Ulama menyimpulkan : “Hendaknya dipahami, perselisihan dalam pemasalahan ini, tidak mempunyai akibat yang perlu ditakutkan. Semenjak empat belas abad agama ini muncul, kami tidak mengetahui pernah terjadi bersatunya umat Islam dalam satu ru’yah. Maka semua anggota Ha’iah Kibar Ulama berpendapat, agar permasalahan ini dibiarkan sebagaimana biasanya, dan tidak diperkenankan untuk mengungkitnya. Setiap negeri Islam mempunyai hak ikhtiar melalui ‘alim ulama negeri tersebut, dari dua pendapat yang telah disebutkan di atas, karena setiap pendapat mempunyai dalil dan sandarannya” [4]

BERHARI RAYA DENGAN PEMERINTAH
Tatkala syari’at menyeru kaum muslimin untuk bersatu dan berpegang teguh dengan tali Allah, serta melarang dari perpecahan dan perselisihan setelah datang kebenaran[5], maka “mentaati dan mematuhi pemerintah muslim menjadi salah satu landasan aqidah Salaf (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)”. Sangat jarang sebuah kitab tidak menerangkan, mensyarah dan tidak menjelaskannya. Itu semua karena sangat pentingnya masalah ini. Sebab dengan mentaati dan mematuhi pemerintah, akan memperlancar secara bersamaan kemaslahatan agama dan dunia. Sedangkan membangkang terhadap pemerintah –baik dengan ucapan atau perbuatan- akan mengakibatkan kerusakan pada dunia dan agama.

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata tentang para penguasa : “Mereka memegang lima urusan kita, yaitu : Jum’at, Jama’ah, Hari Raya, Menjaga Perbatasan dan Menegakkan Hukum. Demi Allah, apa yang Allah perbaiki melalui mereka, itu lebih banyak dari apa yang mereka rusak. Bagaimanapun, demi Allah, mentaati mereka suatu keharusan. Dan menyelisihi mereka merupakan perbuatan kufur” [6]

Rasulullah memerintahkan kita untuk tetap menjaga syi’ar Islam di bawah pemerintahan, sekalipun telah terjadi penyelewengan dalam sebagian pelaksanaannya. Dalam hadits yang dikeluarkan oleh Muslim dan yang lainnya, dari riwayat Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah.

“Artinya : Bagaimana kalian ?” Atau “Bagaimana jika engkau tinggal di tengah kaum (dalam riwayat lain, disebutkan mereka adalah para penguasa, -pen) yang mengakhirkan shalat dari waktunya?” Aku bertanya. “Dengan apa engkau perintahkan aku?” (Jawab Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Shalatlah engkau pada waktunya. Kemudian, jika shalat ditegakkan, maka shalatlah bersama mereka. Sesungguhnya hal itu menambah kebaikan” [7]

Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Hadits ini menunjukkan anjuran untuk mengikuti penguasa pada selain maksiat, agar persatuan tidak terpecah dan tidak terjadi fitnah” [8]

Demikian juga ketika melihat Amirul Mukminin Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu menyempurnakan shalatnya di Mina, Abdullah bin Mas’ud mengingkarinya, akan tetapi dia tetap shalat bersamanya. Kemudian Abdullah bin Mas’ud berkata, “Berselisih itu semuanya buruk” [9]

Dalam shahihain, dari Abdullah bin Umar, dari Nabi, bahwasanya beliau bersabda.

“Artinya : Hendaklah seorang muslim mendengar dan mematuhi pada perkara yang dia sukai atau tidak, kecuali dia diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak perlu didengarkan dan dipatuhi” [10]

Dalam Syarah At-Tirmidzi, Syaikh Mubarakfuri berkata : “Jika penguasa memerintahkan dengan sesuatu yang mustahab atau mubah, (hukumnya) menjadi wajib” [11]

Berdasarkan keterangan di atas, maka hendaknya kaum muslimin berhari raya bersama pemerintahnya. Untuk memperjelas masalah ini, pembaca dapat menyimak fatwa-fatwa seputar berhari raya dengan pemerintah.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425H/2004M, Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo –Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo - Solo]
__________
Foote Note
[1]. Perkataan Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Jibrin hafizhahullah, Fatwa Ramadhan 1/152
[2]. Fatawa Ramadhan (1/114), juga (1/123)
[3]. Fatawa Ramadhan (1/143)
[4]. Fatawa Ramadhan (1/124)
[5]. Lihat Majmu’ Fatawa (25/127)
[6]. Mu’amalatul Hukkam, Abdus Salam bin Barjas rahimahullah, hal. 5
[7]. Hadits dengan lafadz di atas diriwayatkan oleh Muslim, Kitab Shalat, Bab Masajid (41 no. 1.468)
[8]. Syarah Shahih Muslim (3/150)
[9]. Atsar di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud, Kitab Manasik, Bab Ash-Shalatu bi Mina (76 no. 1.960)
[10]. HR Bukhari, Kitab Al-Ahkam, Bab As-Sam’u Wath Tha’atu Lil Imam Ma Lam Takum Ma’shiah, Fathul Bari (13/121) dan Muslim, Kitabul Imarah (3 no. 1.469)
[11]. Tuhfatul Ahwazi 95/565), Cet. As-Salafiah, Madinah Selengkapnya...

Shalat Ied & Hal-hal yang Berkaitan dengannya (1)

Shalat Ied & Hal-hal yang Berkaitan dengannya
Jum'at, 06-Januari-2006, Penulis: Al Ustadz Zuhair Syarif

Penyebab rusaknya ittiba' dan tersebarnya bid'ah serta kesalahan-kesalahan dalam beribadah adalah karena adanya hadits-hadits dlaif dan maudlu' yang tidak ada sandarannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Di samping itu juga dikarenakan sikap taqlid dan ta'ashub pada salah satu madzhab tertentu tanpa mengindahkan hadits-hadits shahih dari Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalam rangka menghidupkan sunnah yang lurus inilah, dalam edisi ini, kami ingin menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan shalat Ied (baik Iedul Fithri maupun Iedul Adl-ha). Hal itu agar kita dapat melaksanakan ibadah ini dengan sebenar-benarnya sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Di antara hal-hal yang berkaitan dengan shalat Ied adalah:

Tempat Shalat untuk Dua Ied
Telah masyhur baik dari kalangan huffadh (ulama) maupun ahli hadits bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam –dalam ucapan dan perbuatan-perbuatannya— terus meneru melakukan shalat Ied (Iedul Fithri dan Iedul Adl-ha) di mushalla (tanah lapang). Pendapat para ulama ini didasarkan pada dalil hadits-hadits shahih yang ada dalam Shahihain, kitab-kitab Sunan, kitab-kitab sanad dan lainnya yang diriwayatkan dari banyak jalan.
Untuk itu untuk lebih meyakinkan pembaca atas pendapat para ulama tersebut, akan kami bawakan hadits-hadits yang berkaitan dengannya. Hadits-hadits tersebut kami nukilkan beserta takhrij dan tahqiqnya serta penjelasannya dari kitab Syaikh Al-Albani yang berjudul Shalatul 'Iedain fil Mushalla Hiya Sunnah.

Hadits Pertama
عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَ اْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى. فَأَوَّلُ شَيْئٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ، وَ النَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ، فَيَعِظُهُمْ وَ يُوْصِيْهِمْ وَ يَأْمُرُهُمْ. فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ، أَوْ يَأْمُرُ بِشَيْئٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ، قَالَ أَبُوْ سَعِيْدٍ: فَلَمْ يَزَلِ النَّاسُ عَلَى ذَلِكَ.... (رواه البخاري ٢/٢٥٩-٢٦٠ و مسلم ٣/٢٠ و النسائي ١/٢٣٤ و المحاملى في كتاب العيدين جـ ٢ رقم ۸٦ و أبو نعيم في مستخرجه ٢/١٠/٢ و البيهقي في سننه ٣/٢۸٠)
Dari Abi Sa'id Al-Khudri radliallahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar menuju mushalla pada hari Iedul Fithri dan Adl-ha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling." Abu Said berkata: "Maka manusia terus menerus melakukan yang demikian...." (HR. Bukhari 2/259-260, Muslim 3/20, Nasa`i 1/234; Lihat Al-Muhamili di dalam Kitab Iedain 2/76, Abu Nu'aim dalam Mustakhraj 2/10/2, dan Baihaqi dalam Sunannya 3/280)

Hadits Kedua
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ صلى الله عليه و سلم يَغْدُوْ إِلَى الْمُصَلَّى فِي يَوْمِ الْعِيْدِ، وَ الْعَنَزَةُ تُحْمَلُ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَإِذَا بَلَغَ الْمُصَلَّى نُصِبَتْ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا. وَ ذَلِكَ أَنَّ الْمُصَلَّى فَضَاءً لَيْسَ فِيْهِ شَيْءٌ يَسْتَتِرُ بِهِ. (رواه البخاري ١/٣٥٤ و مسلم ٢/٥٥ و أبو داود ١/١٠٩ و النسائي ١/٢٣٢ و ابن ماجه ١/٣٩٢ و أحمد رقم ٦٢۸٦ و المحاملي في كتاب العيدين جـ ٢ رقم ٢٦-٣٦ و أبو القاسم الشحامى في تحفة العيد رقم ١٤-١٦ و البيهقي ٣/٢۸٤-٢۸٥)
Dari Abdullah bin Umar radliyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berpagi-pagi (menuju) ke mushalla pada hari Ied, sedangkan 'anazah dibawa di depannya. Ketika beliau sampai di sana ('anazah tadi) ditancapkan di depan beliau dan beliau shalat menghadapnya. Hal ini karena mushalla itu terbuka, tidak ada yang membatasinya. (HR. Bukhari 1/354, Muslim 2/55, Abu Dawud 1/109, An-Nasa`i 1/232, Ibnu Majah 1/392, Ahmad 6286, Al-Muhamili 2/26-36, Abul Qasim As-Syaukani[1] di dalam Tuhfatul Ied 14-16 dan Al-Baihaqi 3/284-285)
'Anazah (sebagaimana yang diterangkan di dalam An-Nihayah) bentuknya seperti setengah tombak atau lebih besar sedikit. Di ujungnya ada mata lembing seperti mata tombak dan paling mirip dengan bentuk tongkat.

Hadits Ketiga
عَنِ الْبَرَّاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: خَرَجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يَوْمَ أَضْحَى إِلَى الْبَقِيْعِ (وفي رواية: الْمُصَلَّى) فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَ قَالَ: إِنَّ أَوَّلَ نُسُكِنَا فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نَبْدَأَ بِالصَّلاَةِ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرُ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ وَافَقَ سُنَّتَنَا، وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلَ ذَلِكَ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْئٌ عَجَّلَهُ ِلأَهْلِهِ، لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيْئٍ. (رواه البخاري ٢/٣۷٢ وأحمد ٤/٢۸٢ والمحاملى ٢ رقم ٩٠، ٩٦ والرواية الأخرى لهما بسند حسن)
Dari Al-Barra' bin 'Azib, ia berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menuju ke Baqi' (dalam riwayat lain: mushalla) pada hari Iedul Adl-ha. Di sana beliau shalat dua rakaat, setelah itu beliau menghadapkan wajahnya kepada kami seraya berkata: "Sesungguhnya awal ketaatan dan ibadah pada hari kita ini adalah kita memulai dengan shalat, kemudian pulang dan berkurban. Barangsiapa melaksanakan yang demikian itu, sungguh dia telah mencocoki sunnah kami. Dan barangsiapa berkurban sebelum itu, maka itu sesuatu yang dia tergesa-gesa untuk keluarganya, tidak ada sedikitpun nilai ibadahnya." (HR. Bukhari 2/372, Ahmad 4/282, Al-Muhamili 2/96, bagi keduanya ada riwayat lain dengan sanad hasan)

Hadits Keempat
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قِيْلَ لَهُ: أَشَهِدْتَ الْعِيْدَ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم؟ قَالَ: نَعَمْ، وَلَوْلاَ مَكَانِي مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ، حَتَّى أَتَى الْعَلَمَ الَّذِيْ عِنْدَ دَارِ كَثِيْرِ بْنِ الصَّلَتْ فَصَلَّى ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَ مَعَهُ بِلاَلٌ فَوَعَظَهُنَّ وَ ذَكَّرَهُنَّ وَ أَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ فَرَأَيْتُهُنَّ يَهْوِيْنَ بِأَيْدِيْهِنَّ يَقْذِفْنَهُ فِي ثَوْبِ بِلاَلٍ ثُمَّ انْطَلَقَ هُوَ وَ بِلاَلٌ إِلَى بَيْتِهِ. أخرجه البخاري ٢/٣۷٣ و مسلم ٢/١۸-١٩ و ابن أبي شيبة ٢/٣/٢ و المحاملى رقم ٢۸، ٢٩ و الفريابى رقم ۸٥، ٩٣ و أبو نعيم في مستخرجه ٢/۸/٢-٩/١٠ و زاد مسلم في رواية عن ابن جريج: قُلْتُ لِعَطَاءٍ: أَحَقًّا عَلَى اْلإِمَامِ اْلآنَ أَنْ يَأْتِيَ النِّسَاءَ حِيْنَ يَفْرَغُ فَيُذَكِّرُهُنَّ؟ قَالَ: أَيْ لَعُمْرِي إِنَّ ذَلِكَ لَحَقٌّ عَلَيْهِمْ وَمَا لَهُمْ لاَ يَفَعَلُوْنَ ذَلِكَ؟!
Dari Ibnu Abbas, beliau ditanya: "Apakah engkau menghadiri shalat Ied bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam?" Beliau menjawab: "Ya, dan kalaulah bukan karena tempatku yang kecil ini tidaklah aku menyaksikannya hingga beliau datang ke 'alam (sebidang tanah) yang berada di sisi (sebelah) rumah Katsir bin As-Shalt. Maka beliau shalat kemudian berkhutbah dan datang ke para wanita bersama Bilal. Beliau memberi pelajaran, mengingatkan dan memerintah mereka untuk bershadaqah. Maka aku lihat mereka merentangkan tangan-tangan mereka untuk melemparkannya (shadaqah) pada baju Bilal. Kemudian beliau pergi bersama Bilal ke rumahnya. (HR. Bukhari 2/373, Muslim 2/18-19, Ibnu Abi Syaibah 2/3/2, Al-Muhamili 38-39, Al-Firyaabi no. 85, 93 dan Abu Nu'aim di dalam Mustakhrajnya 2/8/2-9/10 dan Muslim menambahkan di dalam riwayatnya dari Ibnu Juraij: "Aku berkata kepada Atha': Apakah benar bagi imam sekarang untuk mendatangi para wanita jika telah selesai (shalat) dan mengingatkan mereka?" Beliau menjawab: "Ya, demi Allah sesungguhnya yang demikian itu haq. Kenapa mereka tidak melakukan yang demikian?")
Demikianlah hadits-hadits yang merupakan hujjah yang kokoh dan jelas tentang sunnahnya melakukan shalat Ied di mushalla (tanah lapang). Oleh karena itu jumhur ulama mengatakan di dalam Syarhus Sunnah (Imam Al-Baghawi 3/294): "Termasuk sunnah bagi imam untuk keluar (ke mushalla) guna melaksanakan dua shalat Ied. Kecuali jika ada udzur, maka (boleh) shalat di masjid, yaitu masjid di dalam negeri-(nya)."
Al-'Allamah Ibnul Haaj Al-Maliki berkata: "Sunnah yang berlangsung pada dua shalat Ied adalah dilakukan di mushalla (tanah lapang), karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "Shalat di masjidku ini lebih utama dari seribu shalat di tempat lain selain Masjidil Haram." (HR. Bukhari 1190 dan Muslim 1394). Walaupun ada fadlilah yang besar seperti ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam masih juga keluar (ke mushalla) dan meninggalkannya (masjid)." (Al-Madkhal 2/283).
Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata di dalam Al-Mughni (2/229-230): "Termasuk dari sunnah adalah shalat Ied di mushalla. Ali radliallahu 'anhu memerintahkan yang demikian dan Al-Auza'i serta Ashhabur Ra'yi menganggapnya baik. Inilah ucapan Ibnul Mundzir."
Mengomentari hadits pertama, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani (Fathul Bari 2/450) berkata: "Dari hadits ini diambillah dalil atas sunnahnya keluar ke tanah lapang untuk shalat Ied. Sesungguhnya yang demikian itu lebih utama daripada shalat Ied di masjid karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus melakukan yang demikian. Padahal shalat di masjid beliau memiliki banyak keutamaan."
Imam Muhyiddin An-Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim ketika mengomentari hadits pertama: "Hadits ini adalah dalil bagi orang yang menyatakan sunnahnya menuju ke mushalla untuk shalat Ied. Dan ini lebih afdlal (utama) daripada dikerjakan di masjid. Hal ini berlaku bagi kaum muslimin di seluruh negeri. Adapun mengenai penduduk Mekah yang selalu melaksanakan shalat Ied di masjid sejak awal, di kalangan kami ada dua pendapat:
1. (Shalat Ied) di tanah lapang lebih afdlal berdasarkan hadits ini.
2. Yang ini lebih benar menurut kebanyakan mereka bahwa di masjid lebih afdlal kecuali jika masjidnya sempit."
Mereka (para pengikut Imam Nawawi) berkata: "Sesungguhnya penduduk Mekah shalat di masjid karena luasnya, sedangkan keluarnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke mushalla karena sempitnya masjid. Hal in menunjukkan bahwa shalat di masjid lebih utama apabila masjid itu luas (lapang)."

Bantahan terhadap Alasan bahwa Shalat Ied di Tanah Lapang dengan sebab Sempitnya Masjid
Pernyataan para pengikut dan murid Imam Nawawi ini perlu ditinjau lagi. Sebab jika permasalahannya sebagaimana yang mereka nyatakan, maka tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus menunaikannya di tanah lapang. Beliau tentu tidak akan terus menerus dalam melakukan suatu ibadah, kecuali karena itulah yang paling utama. Jadi, pendapat yang menyatakan bahwa hal itu dilakukan karena sempitnya masjid adalah pendapat yang tidak ada dalilnya.
Yang menguatkan bantahan terhadap pendapat mereka adalah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa shalat Jum'at di masjid, sedangkan yang datang untuk shalat adalah seluruh penduduk Madinah dan sekitarnya. Beliau shalat Jum'at bersama mereka di masjid tersebut. Tidak jelas perbedaan jumlah antara dua kelompok ini, yakni kelompok yang hadir pada shalat Jum'at dan kelompok yang hadir pada shalat Ied, sehingga dikatakan: Masjid ini cukup luas untuk yang ini (shalat Jum'at) dan tidak cukup untuk yang itu (shalat Ied). Barangsiapa yang mengatakan demikian, maka dia harus mendatangkan dalilnya dan kami yakin dia tidak akan menemuinya.
Kalau misalnya, shalat Ied yang dilakukan di masjid lebih utama daripada dilakukan di tanah lapang karena kondisi masjid saat itu sempit, tentu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bergegas untuk memperluasnya sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah-khalifah sesudah beliau. (Hal itu) dikarenakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lebih pantas sebagai orang yang pertama memperluasnya dibandingkan dengan mereka, kalau memang tidak cukup dipakai untuk shalat Ied. Walaupun demikian beliau meninggalkannya, sehingga tidak mungkin pernyataan tersebut diterima. Hal ini hanyalah merupakan anggapan seseorang yang ingin menolak. Dan tidaklah aku menyangkan ada seseorang yang alim berani atas tanggapan seperti ini. Kalau dia melakukan yang demikian, maka kami mendahuluinya dengan firman Allah Ta'ala yang artinya: "Katakanlah, tunjukkanlah bukti kalian jika kalian orang-orang yang benar." (Al-Baqarah: 111)
Dengan demikian pernyataan di atas sudah terbantah. Adapun (tentang pendapat) Imam Nawawi yang bermadzhab Syafi'i, kita nukilkan ucapan Imam Syafi'i sendiri: "Telah sampai kepada kami (riwayat) bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar ke tengah lapang pada dua hari Ied di Madinah. Demikian pula orang-orang sesudah beliau, kecuali jika ada udzur hujan dan selainnya. Demikian juga kebanyakan negeri-negeri, kecuali penduduk Makkah." Selanjutnya beliau mengisyaratkan bahwa sebab yang demikian adalah karena luasnya masjid dan sempitnya pinggiran-pinggiran Mekah dengan ucapannya: "Jika suatu negeri yang makmur (banyak orang) dan masjid mereka mencukupi untuk shalat Ied, aku tidak berpendapat bahwa mereka harus keluar darinya (masjid). Sedangkan kalau masjidnya tidak mencukupi mereka, aku memakruhkan shalat di dalamnya dan tidak ada pengulangan." (Al-Umm 1/287).
Alasan yang dikehendaki dari keterangan tersebut berkisar tentang luas dan sempitnya masjid, bukan tentang keluarnya ke tanah lapang, karena yang dikehendaki adalah terkumpulnya masyarakat. Apabila di masjid sudah mencukupi, lebih-lebih masjid yang ada keutamaannya maka lebih afdlal.
Mengenai perkataan Imam Syafi'i ini, Imam As-Syaukani mengomentari dengan ucapannya: "Dalam perkataannya (Imam Syafi'i) bahwa alasan dengan sempit dan luasnya masjid ini hanya kira-kira dan prasangka saja. Untuk itu tidak boleh digunakan sebagai dalih untuk tidak mencontoh kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam perkara "keluar ke tanah lapang" sesudah diketahui bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus melakukannya. Adapun pengambilan dalil yang demikian (luas dan sempitnya masjid) sebagai alasan untuk shalat Ied di masjid Makkah, dapat dijawab dengan kemungkinan tidak dilakukannya keluar ke tanah lapang (di Makkah), karena sempitnya pinggiran-pinggiran kota Makkah, bukan karena luasnya masjid."
Syaikh Al-Albani berkata: "Kemungkinan yang disebutkan oleh Imam Syaukani ini diisyaratkan juga oleh Imam Syafi'i sendiri dengan ucapannya: 'Sesungguhnya apa yang aku katakan ini adalah tidak lain karena tidak adanya keluasan di sekeliling rumah-rumah kota Makkah, keluasan yang lebar (tanah lapang).'" (Al-Umm 1/207)
Hal ini menguatkan pendapat Imam Syaukani: "Alasan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukannya di masjid, karena sempit adalah hanya kira-kira saja."
Kemudian dengan alasan tadi, mereka (murid-murid Imam Nawawi) berargumentasi dengan riwayat Baihaqi di dalam Sunan Al-Kubra (3/310) dari jalan Muhammad bin Abdul Aziz bin Abdurrahman dari Utsman bin Abdurrahman At-Taimi, ia berkata: Hujan deras turun di Madinah pada hari Iedul Fithri pada masa pemerintahan Aban bin Utsman. Maka beliau mengumpulkan manusia di masjid dan tidak keluar ke tanah lapang, di mana beliau biasa shalat Iedul Fithri dan Adl-ha padanya. Kemudian beliau berkata kepada Abdullah bin Amir bin Rabi'ah: "Berdirilah dan khabarkan kepada manusia apa yang kamu khabarkan kepadaku." Abdullah bin Amir berkata: "Sesungguhnya manusia di jaman Umar bin Khaththab radliallahu 'anhu kehujanan, sehingga mereka terhalang untuk keluar ke tanah lapang. Lalu Umar pun mengumpulkan manusia ke masjid dan shalat bersama mereka. Kemudian beliau berdiri di atas mimbar seraya berkata: 'Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar bersama manusia ke tanah lapang untuk shalat (Ied), karena tanah lapang lebih memberi manfaat dan lebih leluasa untuk mereka. Dan bahwasanya masjid beliau tidak mencukupi mereka. Namun, apabila turun hujan maka masjid lebih bermanfaat.'"
Jawaban terhadap argumentasi ini, Syaikh Al-Albani berkata: "Riwayat ini dlaif jiddan (lemah sekali) karena di dalam sanadnya ada Muhammad bin Abdul Aziz. Dia adalah Muhammad bin Abdul Aziz bin Umar bin Abdurrahman bin Auf Al-Qadli. Bukhari berkata tentangnya: 'Dia munkarul hadits (munkar haditsnya).' An-Nasa`i berkata: 'Dia matruk (ditinggalkan haditsnya).' Imam Syafi'i telah mengeluarkan riwayat ini di dalam al-Umm (1/707) dari jalan yang lain dari Aban secara mauquf. Bersamaan dengan itu, sanadnya juga lemah sekali karena riwayatnya dari Ibrahim guru Imam As-Syafi'i dan dia adalah Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya Al-Aslami. Dia seorang pendusta (banyak dusta dalam periwayatan). Imam Malik berkata: 'Dia tidak dipercaya di dalam hadits dan agamanya.'" Oleh karena itu Al-Hafidh berkata tentangnya di dalam At-Taqrib: "Ditinggalkan riwayat hadits darinya."
Dari keterangan yang telah lewat terlihat batilnya alasan dengan sempitnya masjid dan rajih (kuat)nya ucapan para ulama yang memastikan bahwa shalat Ied di tanah lapang adalah sunnah dan disyariatkan di setiap jaman dan negeri, kecuali karena darurat. Dan aku (Al-Albani) tidak mengetahui seorang pun dari kalangan para ulama yang mumpuni dalam ilmunya menyelisihi yang demikian itu.
Demikian pula Ibnu Hazm di dalam Al-Muhalla (5/81) berkata: "Adapun sunnahnya shalat dua Ied adalah keluarnya penduduk di setiap desa atau kota ke tanah lapang yang luas pada waktu sesudah meningginya matahari dan ketika mula bolehnya shalat sunnah."
Beliau berkata lagi (hal. 86): "Jika mereka mempunyai masyaqqah (keberatan/udzur), maka mereka shalat jamaah di masjid." Selanjutnya beliau menyambung (hal. 87): "Kami telah meriwayatkan dari Umar dan Utsman radliyallahu 'anhuma, bahwasanya keduanya shalat Ied di masjid bersama manusia karena terjadi hujan di hari Ied. Sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar ke tanah lapang untuk shalat dua Ied. Maka perkara shalat di tanah lapang ini lebih utama sedangkan selainnya (selain di tanah lapang, yaitu di masjid) juga diganjar, karena shalat di lapangan adalah perbuatan Rasulullah, bukan perintah."
Al-'Allamah Al-'Aini Al-Hanafi berkata di dalam Syarah Bukhari ketika mengambil hukum dari hadits Abi Said (6/280-281): "Di dalam hadits tersebut ada dalil untuk menampakkan diri dan keluar ke tanah lapang dan tidak boleh shalat di masjid kecuali karena darurat."
Ibnu Ziyad meriwayatkan dari Imam Malik, beliau berkata: "Termasuk sunnah adalah keluar ke tanah lapang, kecuali penduduk Makkah, maka di masjid." Di dalam Fatawa Al-Hindiyah (1/118) disebutkan: "Keluar ke tanah lapang pada shalat Ied adalah sunnah, walaupun masjid jami' masih lapang. Demikianlah pendapat para ulama dan inilah yang shahih (benar)."
Dalam Al-Mudawwanah (1/171) yang diriwayatkan dari Malik, beliau berkata: "Tidak boleh shalat dua Ied di dua tempat dan tidak boleh di masjid mereka, akan tetapi hendaklah mereka keluar sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar. Dari Ibnu Wahab dari Yunus dari Ibnu Syihab, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar ke mushalla (tanah lapang) kemudian disunnahkan hal itu kepada penduduk negeri-negeri."
Dengan ucapan-ucapan dan bantahan-bantahan yang kami nukilkan dari para ulama, maka terbantahlah ucapan-ucapan atau kesalahan di atas.
Sunnah nabawiyah yang tercantum di dalam hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dua Ied di tanah lapang di luar daerah. Terus menerus pekerjaan ini berlangsung sejak jaman pertama dan mereka tidak melakukan shalat Ied di masjid, kecuali kalau ada darurat yaitu hujan atau yang lainnya. Ini adalah madzhab imam yang empat dan selain mereka dari para ulama ridwanullahu alaihim.
Aku (Al-Albani) tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihinya (di atas), kecuali ucapan Syafi'i radliyallahu 'anhu tentang memilih shalat di masjid apabila mencukupi penduduk negeri. Bersamaan dengan ini beliau berpendapat tidak apa-apa shalat di tanah lapang walaupun masjid cukup untuk menampung mereka. Telah jelas pula dari beliau bahwasanya beliau memakruhkan shalat Ied di masjid jika masjid tidak cukup oleh penduduk negeri.
Begitulah yang terdapat di dalam hadits-hadits yang shahih. Perbuatan ini terus menerus dilakukan pada jaman pertama (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) dan demikian pula ucapan para ulama. Semua itu menunjukkan bahwasanya dua shalat Ied yang dilakukan sekarang di masjid-masjid adalah bid'ah. Demikian pula sampai kepada kita perkataan Syafi'i yang menyatakan tidak didapati satu masjid pun di sebuah negeri yang dapat menampung seluruh penduduk negeri. Selengkapnya...

Shalat ied dan yang berkaitan dengan nya (2)

Hikmah Shalat di Tanah Lapang
Sunnah dua shalat Ied di tanah lapang mempunyai hikmah yang agung yaitu: kaum muslimin mempunyai dua hari di dalam satu tahun di mana penduduk negeri dapat berkumpul pada hari itu baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak untuk menghadapkan hati-hati mereka kepada Allah. Mereka berkumpul pada kalimat yang satu, shalat di belakang imam yang satu, bertahlil, bertakbir dan berdoa kepada Allah dengan keikhlasan seakan-akan mereka satu hati. Mereka bergembira dan bahagia dengan nikmat Allah atas mereka. Maka hari Ied tersebut di sisi mereka adalah hari besar.

Hukum Shalat Ied
Sebagian manusia meremehkan hukum shalat Ied. Mereka mengatakan bahwa hukumnya adalah sunnah sehingga mereka tidak menunaikannya di tanah lapang. Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyuruh para wanita untuk keluar ke tanah lapang guna menunaikan shalat Ied. Dalam permasalahan ini Imam As-Syaukani berkata: "Ketahuilah bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus mengerjakan dua shalat Ied ini dan tidak pernah meninggalkannya satu pun dari beberapa Ied. Dan beliau memerintahkan manusia untuk keluar padanya, hingga menyuruh wanita yang merdeka, gadis-gadis pingitan dan wanita yang haidl. Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta panggilan kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak mempunyai jilbab agar saudaranya meminjamkan jilbabnya. Semua ini menunjukkan bahwasanya shalat ini wajib, wajib yang ditekankan atas individu, bukan fardlu kifayah." (As-Sailul Jarar 1/315).
Syaikh Masyhur Hasan Salman mengomentari ucapan ini: "Syaukani rahimahullah mengisyaratkan kepada hadits Ummu 'Athiyah radliallahu 'anha:
عَنْ أُمِّ عَطِيَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَ اْلأَضْحَى: الْعَوَاتِقَ وَ الْحِيَّضَ وَ ذَوَاتِ الْخُدُوْرِ فَأَمَّا الْحِيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ. وفي لفظ: الْمُصَلَّى، وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! إِحْدَنَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ! قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا. (أخرجه البخاري في الصحيح رقم ٣٢٤، ٣٥١، ٩۷١، ٩۷٤، ٩۸٠، ٩۸١، و ١٦٥٢ ومسلم في الصحيح رقم ٩۸٠ وأحمد في المسند ٥/۸٤ و ۸٥ والنسائي في المجتبى ٣/١۸٠ وابن ماجه في السنن رقم ١٣٠۷ والترمذي في الجامع رقم ٥٣٩)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh kami untuk mengeluarkan mereka pada Iedul Fithri dan Adl-ha (yakni) wanita-wanita yang merdeka, yang haid dan gadis-gadis pingitan. Di dalam lafadh (lain): (Keluar) ke mushalla (tanah lapang) dan mereka menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Aku (Ummu Athiyah) berkata: Wahai Rasulullah. Salah seorang dari kami tidak mempunyai jilbab? Beliau berkata: (Suruh) agar saudaranya memakaikan jilbabnya." (HR. Bukhari di dalam Shahihnya no. 324, 351, 971, 974, 980, 981, 1652, Muslim di dalam Shahihnya 980, Ahmad di dalam Musnadnya 5/84-85, An-Nasa`i di dalam Al-Mujtaba 3/180, Ibnu Majah di dalam As-Sunan 1307 dan At-Tirmidzi di dalam Al-Jami' no. 539)
Perintah untuk keluar (pada saat Ied) mengharuskan perintah untuk shalat bagi orang yang tidak mempunyai udzur. Inilah sebenarnya inti dari ucapan Rasul, karena keluar ke tanah lapang merupakan perantara pada shalat. Maka wajibnya perantara mengharuskan wajibnya tujuan dan dalam hal ini laki-laki lebih diutamakan daripada wanita (Al-Mauidlah Al-Hasanah hal. 43).
Termasuk dalil wajibnya dua shalat Ied adalah bahwasanya shalat Ied menggugurkan kewajiban shalat Jum'at apabila bertepatan waktunya. Telah jelas dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya ketika berkumpulnya shalat Ied dan Jum'at pada hari yang sama, beliau bersabda:
اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمْعَةِ، وَإِنَّا مُجْمَعُوْنَ. (أخرجه الفريابي في أحكام العيدين رقم ١٥٠ وأبو داود في السنن رقم ١٠۷٣ وابن ماجه في السنن رقم ١٣١١ وابن الجارود في المنتقى ٣٠٢ والحاكم في المستدرك ١/٢۸۸ والبيهقي في السنن الكبرى ٣/٣١۸ وابن عبد البر في التمهيد ١٠/٢۷٢ والخطيب في تاريخ بغداد ٣/١٢٩ وابن الجوزي في الواهيات ١/٤۷٣ والحديث صحيح لشواهده انظر (سواطع القمرين في تخريج أحاديث أحكام العيدين) للشيخ مساعد بن سليمان بن راشد، ص ٢١١ وما بعده)
Telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa yang ingin (melakukan shalat Ied) maka dia telah tercukupi dari shalat Jum'at dan sesungguhnya kita telah dikumpulkan. (Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Firyabi dalam Ahkamul Iedain no. 150, Abu Dawud di dalam Sunannya no. 1073, Ibnu Majah di dalam As-Sunan no. 1311, Ibnul Jarud di dalam Al-Muntaqa 302, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak 1/288, Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra 3/318, Ibnu Abdil Barr di dalam At-Tamhid 10/272, Al-Khatib di dalam Tarikh Baghdad 3/129, Ibnul Jauzi di dalam Al-Wahiyat 1/473. Hadits ini SHAHIH dengan syahid-syahidnya (hadits-hadits penguat). Lihat kitab Sawathi' Al-Qamarain fi Takhriji Ahaditsi Ahkamil Iedain karya Syaikh Musa'id bin Sulaiman bin Rasyid hal. 211.
Telah diketahui bahwa bukanlah sesuatu yang wajib kalau tidak menggugurkan sesuatu yang wajib. Dan sungguh telah jelas bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus melaksanakannya dengan berjamaah sejak disyariatkannya sampai beliau meninggal. Dan beliau menggandengkan perintahnya kepada manusia dengan terus menerusnya ini agar mereka keluar ke tanah lapang untuk shalat (Lihat Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah 24/212 dan 23/161, Ar-Raudlah An-Nadiyah 1/142, Nailul Authar 3/282-283 dan termasuk Tamamul Minnah 344).
Inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan ucapannya: "Kami menguatkan pendapat bahwa (hukum) shalat Ied adalah wajib atas individu (fardlu 'ain) sebagaimana ucapan Abu Hanifah (lihat Hasyiah Ibnu 'Abidin 2/1661) dan selainnya. Hal ini juga merupakan salah satu dari ucapan-ucapan Imam Syafi'i dan salah satu di antara dua pendapat madzhab Ahmad bin Hanbal (Hanbali).
Adapun ucapan orang yang berkata bahwa shalat Ied tidak wajib, ini sangat jauh (dari kebenaran). Sesungguhnya shalat Ied itu termasuk syiar Islam yang sangat agung. Manusia berkumpul pada saat itu lebih banyak daripada shalat Jum'at, serta disyariatkan pula takbir di dalamnya. Sedangkan ucapan orang yang menyatakan bahwa shalat Ied itu fardlu kifayah ini pun tidak jelas (Majmu' Fatawa 23/161).

Sifat/Cara Shalat Ied
Pertama, jumlah (Shalat Ied) adalah dua rakaat, berdasarkan riwayat Umar radliallahu 'anhu bahwa shalat safar, shalat Iedul Adl-ha dan shalat Iedul Fithri adalah dua rakaat dengan sempurna tanpa qashar atas lisan Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam (Dikeluarkan oleh Ahmad 1/37, An-Nasa`i 3/183, At-Thahawi di dalam Syarhul Ma'anil Atsar 1/421 dan Al-Baihaqi 3/200 dan sanadnya shahih).
Kedua, rakaat pertama –seperti semua shalat— dimulai dengan takbiratul Ihram, selanjutnya membaca takbir padanya tujuh kali. Sedangkan pada rakaat kedua takbir lima kali, selain takbir perpindahan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah radliallahu 'anha bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam takbir di shalat Iedul Fithri dan Adl-ha pada rakaat pertama tujuh kali takbir dan rakaat kedua lima kali takbir selain dua takbir ruku'." (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 1150, Ibnu Majah 1280, Ahmad 6/70 dan Al-Baihaqi 3/287 dan sanadnya SHAHIH).
Takbir di atas diucapkan sebelum membaca Al-Fatihah. Al-Baghawi berkata: "Perkataan kebanyakan ahlul ilmi dari kalangan shahabat dan orang yang sesudah mereka, bahwasanya beliau shallallahu 'alaihi wa sallam takbir pada shalat Ied pada takbir pertama tujuh kali selain takbir pembukaan. Pada rakaat kedua lima kali, selain takbir perpindahan sebelum membaca (Al-Fatihah). Diriwayatkan yang demikian dari Abu Bakar, Umar, Ali, dan yang lainnya..." (Syarhus Sunnah 4/309, lihat Majmu' Fatawa Syaikh Islam 24/220, 221).
Ketiga, Tidak shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan takbir-takbir shalat Ied (Lihat Irwa'ul Ghalil 3/12-114). Akan tetapi Ibnul Qayyim berkata: "Ibnu Umar, yang beliau sangat bersemangat dalam ittiba' (kepada Rasulullah), beliau mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan setiap takbir (Zadul Ma'ad 1/441).
Tetapi, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan yang demikian (mengangkat tangan) diriwayatkan dari Ibnu Umar dan ayahnya radliallahu 'anhuma, oleh karenanya hal ini tidak dapat dijadikan sebagai sunnah. Lebih-lebih riwayat Umar dan anaknya ini tidak shahih (Lihat Tamamul Minnah hal. 348-349).
Imam Malik berkata tentang mengangkat tangan pada takbir shalat Ied: "Aku tidak mendengar (riwayatnya) sedikitpun." (Dikeluarkan oleh Al-Firyabi dalam Ahkamul Iedain no. 137 dengan sanad SHAHIH).
Keempat, tidak shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dzikir tertentu di antara takbir-takbir Ied. Akan tetapi telah jelas dari Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu bahwa beliau berkata tentang shalat Ied: "Di antara tiap dua takbir terdapat pujian dan sanjungan kepada Allah 'Azza wa Jalla." (Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dengan sanad yang kuat).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diam sejenak di antara dua takbir, (namun) tidak dihapal darinya dzikir tertentu di antara takbir-takbir tersebut. Akan tetapi telah disebutkan dari Ibnu Mas'ud bahwasanya beliau berkata: 'Allah dipuji dan disanjung dan dibacakan shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.'" (Zaadul Ma'ad 1/443).
Kelima, apabila takbirnya sudah sempurna, dimulai membaca surat Al-Fatihah. Setelah itu membaca surat Qaaf pada salah satu dari dua rakaat. Pada rakaat lainnya membaca surat Al-Qamar. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim 891, An-Nasa`i 3/84, At-Tirmidzi 534, Ibnu Majah dari Abi Waqid Al-Laitsi).
Terkadang pada dua rakaat itu beliau juga membaca surat Al-A'laa dan Al-Ghasiyah. (Diriwayatkan oleh Muslim 378, Tirmidzi 533, An-Nasa`i 3/184 dan Ibnu Majah dari shahabat Nu'man bin Basyir radliallahu 'anhu). Telah shahih keadaan riwayatnya, dan tidak shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selain itu. (Zaadul Ma'ad 1/443 dan lihat Majalatul Azhar 7/194).
Keenam, (setelah melakukan di atas) selebihnya sama seperti shalat-shalat yang biasa, tidak berbeda darinya sedikitpun. (Lihat buku Sifat Shalat Nabi oleh Syaikh Al-Albani dan buku At-Tadzhirah Wudlu`i wa Shalatu Nabi oleh Syaikh Ali Hasan).
Ketujuh, barangsiapa yang luput/tidak mendapati shalat Ied berjamaah, maka hendaklah dia shalat dua rakaat.
Imam Bukhari berkata: "Apabila seseorang tidak mendapati shalat Ied, hendaklah dia shalat dua rakaat." (Shahih Bukhari 1/134-135).
Atha' berkata: "Apabila (seseorang) kehilangan Ied, shalatlah dua rakaat (sama dengan di atas)."
Imam Waliyullah Ad-Daklawi berkata: "Madzhab Syafi'i menyatakan bahwa apabila seseorang tidak mendapati shalat Ied bersama Imam, maka hendaklah dia shalat dua rakaat sehingga dia mendapatkan keutamaan shalat Ied, walaupun kehilangan keutamaan berjamaah bersama imam. Adapun menurut madzhab Hanafi, tidak ada qadla untuk shalat Ied. Kalau kehilangan shalat bersama imam, maka telah hilang sama sekali. (Syarhu Taraajimi Abwabil Bukhari 80 dan lihat kitab Al-Majmu' 3/27-29).

Tidak Ada Shalat Sunnah Sebelum Shalat Ied
Terdapat kesalahan pada sebagian kaum muslimin di kebanyakan negeri mereka, yakni mereka melakukan shalat dua rakaat di tanah lapang sebelum mereka duduk ketika menunggu berdirinya imam untuk shalat Ied. Shalat seperti ini tidak teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan diriwayatkan dari beliau bahwa beliau meninggalkannya. Dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma, dia berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dua rakaat pada hari Ied, tidak shalat sebelumnya dan tidak pula sesudahnya." (Dikeluarkan oleh Bukhari 945, 989, 1364, Muslim 884, Abu Dawud 1159, At-Tirmidzi 537, An-Nasa`i 3/193, Ibnu Majah 1291, Abdurrazaq 3/275, Ahmad 1/355 dan Ibnu Abi Syaibah 2/177).
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata: "Jadi, kesimpulannya bahwa untuk shalat Ied tidak ada shalat sunnah sebelum dan sesudahnya. Berbeda dengan orang yang menqiyaskan (menyamakan)nya dengan shalat Jum'at." (Fathul Bari 2/476).
Imam Ahmad berkata: "Tidak ada shalat sebelum dan sesudahnya sama sekali." (Masa`il Imam Ahmad no. 469).
Beliau berkata juga: "Tidak ada shalat sebelum dan tidak pula sesudahnya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam keluar (ke tanah lapang) untuk shalat Ied dan beliau tidak shalat sebelum dan tidak pula sesudahnya. Sebagian penduduk Bashrah shalat sunah Qabliyyah (sebelumnya) dan sebagian penduduk Kuffah[2] shalat sunnah ba'diyah (sesudahnya)."
Ibnul Qayyim berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat tidak pernah shalat apabila sampai ke tanah lapang sebelum shalat Ied dan sesudahnya." (Zadul Ma'ad 1/443).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila sampai ke tanah lapang, beliau memulai shalat tanpa adzan dan iqamat. (Beliau juga) tidak mengucapkan: "As-Shalatul jami'ah." Yang demikian ini tidak dikerjakan sama sekali." (lihat At-Tamhid 10/243). Bahkan para muhaqiqin (peneliti dari para ulama) menyatakan bahwa melaksanakan hal itu adalah bid'ah. (lihat Subulus Salam 2/67).

Khutbah Ied
Termasuk sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah berkhutbah Ied sesudah shalat. Dalam permasalahan ini Bukhari memberi bab di dalam kitab Shahihnya bab Khutbah Sesudah Shalat Ied. (Fathul Bari 2/452).
Ibnu Abbas berkata: "Aku menghadiri shalat Ied bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman radliallahu 'anhum. Semuanya shalat Ied sebelum berkhutbah. (Diriwayatkan oleh Bukhari 962, Muslim 884 dan Ahmad 1/331, 3461).
Ibnu Umar berkata: Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar, mereka shalat Ied sebelum khutbah. (Dikeluarkan oleh Bukhari 963, Muslim 888, At-Tirmidzi 531, An-Nasa`i 3/183, Ibnu Majah 1286 dan Ahmad 2/12,38).
Waliyullah Ad-Dahlawi mengomentari terhadap bab Bukhari di atas dengan ucapannya: "Bahwasanya sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang dikerjakan oleh khulafa`ur rasyidin adalah khutbah sesudah shalat. Adapun penggantian yang terjadi –yakni mendahulukan khutbah atas shalat dengan mengqiyaskan dengan shalat Jum'at-, hal itu adalah bid'ah yang bersumber dari Marwan bin Hakam bin Abil Ash (Syarah Taraajim Abu Bukhari 79).
Imam Tirmidzi berkata: "Ahlul ilmi dari kalangan shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengamalkan seperti ini. Mereka melakukan shalat Iedain sebelum khutbah. Sedangkan pertama kali orang yang khutbah sebelum shalat adalah Marwan bin Hakam. (lihat kitab Al-Umm 1/235-236 karya Imam As-Syafi'i dan Tuhfatul Ahwadzi 3/3-6 karya Al-Qadli Ibnul Arabi Al-Maliki).
Di samping itu termasuk bid'ah Marwaniyah adalah mengeluarkan mimbar ke tanah lapang sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Said. Beliau berkata: "Terus menerus manusia atas yang demikian (khutbah sesudah shalat Ied) sampai aku keluar bersama Marwan. Dia –sebagai amir Madinah- ke lapangan pada Iedul Adl-ha dan Fithri. Tatkala kami sampai ke tanah lapang, tiba-tiba ada mimbar yang dibuat oleh Katsir bin As-Shalt. Ketika Marwan ingin menaikinya sebelum shalat, aku menarik bajunya, (namun) diapun menariknya. Kemudian dia naik dan berkhutbah sebelum shalat. Aku berkata kepadanya: "Demi Allah, engkau telah merubah (sunnah)." Dia menjawab: "Wahai Abu Said! Sungguh telah hilang apa-apa yang engkau ketahui." Aku berkata: "Demi Allah, apa-apa yang aku ketahui lebih baik daripada yang tidak aku ketahui." Dia menjawab: "Sesungguhnya manusia tidak mau duduk bersama kami sesudah shalat, maka aku berkhutbah sebelum (dimulainya) shalat."

Menghadiri Khutbah Bukan Merupakan Kewajiban
Dari Abu Said Al-Khudri dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar ke tanah lapang pada hari Iedul Fithri dan Adl-ha. Pertama kali yang beliau mulai adalah shalat, kemudian berpaling. Selanjutnya beliau menghadap manusia, dimana manusia dalam keadaan duduk pada shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat dan perintah kepada mereka. (Dikeluarkan oleh Al-Bukhari 958, Muslim 889, An-Nasa`i 3/187, dan Ahmad 3/36, 54).
Khutbah Ied, sebagaimana khutbah-khutbah lainnya, dibuka dengan sanjungan dan pujian kepada Allah 'Azza wa Jalla. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membuka semua khutbahnya dengan pujian kepada Allah. Tidak ada satu haditspun yang dihapal (hadits yang shahih yang menyatakan) bahwa beliau membuka khutbah dua Ied dengan takbir. Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah di dalam Sunannya 1287 dari Said Al-Quradli, muadzin Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau memperbanyak bacaan takbir di sela-sela khutbah Iedain, hal itu tidak menunjukkan bahwa beliau membuka khutbah dengan takbir...." (Zaadul Ma'ad 1/447-448).
Menghadiri khutbah Ied tidak wajib seperti shalat. Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abdullah bin As-Suaib, dia berkata: "Aku menghadiri Ied bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika selesai shalat beliau berkata: 'Sesungguhnya kami (akan) berkhutbah, barangsiapa suka untuk duduk (mendengarkan), maka duduklah dan barangsiapa yang suka untuk pergi maka pergilah." (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 1155 dan sanadnya SHAHIH, lihat Irwa`ul Ghalil 3/96-98).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan terhadap orang yang menghadiri Ied untuk duduk (mendengarkan) khutbah atau pergi." (Zadul Ma'ad 1/448).
Termasuk dari kesalahan-kesalahan (yang banyak dilakukan oleh para) khatib shalat Ied adalah menjadikan dua khutbah dan memisahkan antara keduanya dengan duduk. (Padahal) semua riwayat yang menerangkan adanya dua khutbah pada shalat Ied adalah dlaif. Imam Nawawi berkata: "Tidak tsabit sama sekali (dari Rasulullah) pengulangan khutbah." (Lihat Fiqhus Sunnah 1/322 dan Tamamul Minnah hal. 348).
Demikianlah keterangan-keterangan dari Rasulullah dan para ulama dari kalangan shahabat dan orang yang sesudahnya tentang masalah shalat dan khutbah Ied. Kami uraikan hal-hal yang demikian, agar kita mengamalkan Islam di atas bashirah (ilmu) dan hujjah yang mantap dan agar kita selamat dari bid'ah dan kesalahan.
Wallahu A'lam.

Maraji':
1. Shalatul Iedain fil Mushalla Hiyas Sunnah, Syaikh Al-Albani.
2. Ahkamul Iedain fis Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali Hasan.
3. Al-Qaulul Mubin fi Akhtha`il Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Salman.

Sumber: SALAFY edisi XIII/Sya'ban-Ramadlan/1417/1997 rubrik Ahkam.




________________________________________
[1] Namanya berbeda dengan yang tertulis di tulisan arabnya, kemungkinan ada kesalahan, wallahu a'lam. (nas.)
[2] Dua kota yang banyak terjadi fitnah di dalamnya dan banyak bermunculan padanya firqah-firqah bid'ah. (ed.) Selengkapnya...

Hari Raya bersama NABI

Meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Ber'idul Fithri
Ahad, 08-Oktober-2006, Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.

Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang kampung dan berkumpul bersama handai tolan. Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan. Namun barangkali hanya sedikit yang mau untuk memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam “memaknainya”.

Idul Fitri memang hari istimewa. Secara syar’i pun dijelaskan bahwa Idul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Hari Raya Idul Adha. Karenanya, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu.
Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syariat.
Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yang datang menjumpai? Secara lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri masih sebatas sebagai rutinitas tahunan yang memakan biaya besar dan juga melelahkan. Kita sepertinya belum menemukan esensi yang sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri sebagaimana yang dimaukan syariat.
Bila Ramadhan sudah berjalan 3 minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai, “aroma” Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu makanan dan kue-kue, baju-baju baru ramai diburu, transportasi mulai padat karena banyak yang bepergian atau karena arus mudik mulai meningkat, serta berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah sudah menjadi aktivitas “wajib” menjelang Idul Fitri, belum ada tanda-tanda menurun atau berkurang.
Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syar’i memang mutlak diperlukan. Bila tidak, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dia lihat dari para orang tua. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari yang dimaukan syariat.
Demikian pula dengan Idul Fitri. Bila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah ini, tentu berbagai aktivitas yang selama ini kita saksikan bisa diminimalkan. Beridul Fitri tidak harus menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak, tidak harus beli baju baru karena baju yang bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi, tidak harus mudik karena bersilaturahim dengan para saudara yang sebenarnya bisa dilakukan kapan saja, dan sebagainya. Dengan tahu bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beridul Fitri tidak lagi butuh biaya besar dan semuanya terasa lebih mudah.
Berikut ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat dalam beridul Fitri.

Definisi Id (Hari Raya)
Ibnu A’rabi mengatakan: “Id1 dinamakan demikian karena setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (Al-Lisan hal. 5)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Id adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu terulang berupa perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan atau bulanan.” (dinukil dari Fathul Majid hal. 289 tahqiq Al-Furayyan)
Id dalam Islam adalah Idul Fitri, Idul Adha dan Hari Jum’at.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا، يَوْمَ اْلأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main padanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: “Apa (yang kalian lakukan) dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab: “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 1004, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)

Hukum Shalat Id
Ibnu Rajab berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Shalat Id menjadi 3 pendapat:
Pertama: Shalat Id merupakan amalan Sunnah (ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) yang dianjurkan, seandainya orang-orang meninggalkannya maka tidak berdosa. Ini adalah pendapat Al-Imam Ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.
Kedua: Bahwa itu adalah fardhu kifayah, sehingga jika penduduk suatu negeri sepakat untuk tidak melakukannya berarti mereka semua berdosa dan mesti diperangi karena meninggalkannya. Ini yang tampak dari madzhab Al-Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari madzhab Hanafi dan Syafi’i.
Ketiga: Wajib ‘ain (atas setiap orang) seperti halnya Shalat Jum’at. Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Al-Imam Asy-Syafi’I mengatakan dalam Mukhtashar Al-Muzani: “Barangsiapa memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at, wajib baginya untuk menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.” (Diringkas dari Fathul Bari Ibnu Rajab, 6/75-76)
Yang terkuat dari pendapat yang ada –wallahu a’lam– adalah pendapat ketiga dengan dalil berikut:

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Dari Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari raya) Idul Fitri dan Idul Adha yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang dipingit. Adapun yang haid maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi menjawab: “Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim, ini lafadz Muslim Kitabul ‘Idain Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa)
Perhatikanlah perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk pergi menuju tempat shalat, sampai-sampai yang tidak punya jilbabpun tidak mendapatkan udzur. Bahkan tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain.
Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah untuk keluar berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak punya udzur… Karena keluarnya (ke tempat shalat) merupakan sarana untuk shalat dan wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat).
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya Shalat Id adalah bahwa Shalat Id menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Dan sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.” (Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179-186, As-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah, hal. 344)

Wajibkah Shalat Id Bagi Musafir?
Sebuah pertanyaan telah diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang intinya: Apakah untuk Shalat Id disyaratkan pelakunya seorang yang mukim (tidak sedang bepergian)?
Beliau kemudian menjawab yang intinya: “Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan, disyaratkan mukim. Ada yang mengatakan, tidak disyaratkan mukim.”
Lalu beliau mengatakan: “Yang benar tanpa keraguan, adalah pendapat yang pertama. Yaitu Shalat Id tidak disyariatkan bagi musafir, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak melakukan safar dan melakukan 3 kali umrah selain umrah haji, beliau juga berhaji wada’ dan ribuan manusia menyertai beliau, serta beliau berperang lebih dari 20 peperangan, namun tidak seorangpun menukilkan bahwa dalam safarnya beliau melakukan Shalat Jum’at dan Shalat Id…” (Majmu’ Fatawa, 24/177-178)

Mandi Sebelum Melakukan Shalat Id

عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى

“Dari Malik dari Nafi’, ia berkata bahwa Abdullah bin Umar dahulu mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla (lapangan).” (Shahih, HR. Malik dalam Al-Muwaththa` dan Al-Imam Asy-Syafi’i dari jalannya dalam Al-Umm)
Dalam atsar lain dari Zadzan, seseorang bertanya kepada ‘Ali radhiallahu 'anhu tentang mandi, maka ‘Ali berkata: “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Ia menjawab: “Tidak, mandi yang itu benar-benar mandi.” Ali radhiallahu 'anhu berkata: “Hari Jum’at, hari Arafah, hari Idul Adha, dan hari Idul Fitri.” (HR. Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa`, 1-176-177))

Memakai Wewangian

عَنْ مُوْسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ يَغْتَسِلُ وَيَتَطَيَّبُ يَوْمَ الْفِطْرِ

“Dari Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar mandi dan memakai wewangian di hari Idul fitri.” (Riwayat Al-Firyabi dan Abdurrazzaq)
Al-Baghawi berkata: “Disunnahkan untuk mandi di hari Id. Diriwayatkan dari Ali bahwa beliau mandi di hari Id, demikian pula yang sejenis itu dari Ibnu Umar dan Salamah bin Akwa’ dan agar memakai pakaian yang paling bagus yang dia dapati serta agar memakai wewangian.” (Syarhus Sunnah, 4/303)

Memakai Pakaian yang Bagus

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوْقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيْدِ وَالْوُفُوْدِ. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ

Dari Abdullah bin Umar bahwa Umar mengambil sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar maka dia bawa kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Umar radhiallahu 'anhu berkata: “Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengan pakaian ini untuk hari raya dan menyambut utusan-utusan.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata: “Ini adalah pakaian orang yang tidak akan dapat bagian (di akhirat)….” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabul Jum’ah Bab Fil ‘Idain wat Tajammul fihi dan Muslim Kitab Libas Waz Zinah)
Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias untuk hari raya dan bahwa ini perkara yang biasa di antara mereka.” (Fathul Bari)

Makan Sebelum Berangkat Shalat Id

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ: حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللهِ قَالَ: حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا

Dari Anas bin Malik ia berkata: Adalah Rasulullah tidak keluar di hari fitri sebelum beliau makan beberapa kurma. Murajja‘ bin Raja‘ berkata: Abdullah berkata kepadaku, ia mengatakan bahwa Anas berkata kepadanya: “Nabi memakannya dalam jumlah ganjil.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Akl Yaumal ‘Idain Qablal Khuruj)
Ibnu Rajab berkata: “Mayoritas ulama menganggap sunnah untuk makan pada Idul Fitri sebelum keluar menuju tempat Shalat Id, di antara mereka ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma.”
Di antara hikmah dalam aturan syariat ini, yang disebutkan oleh para ulama adalah:
a. Menyelisihi Ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai mereka pulang.
b. Untuk menampakkan perbedaan dengan Ramadhan.
c. Karena sunnahnya Shalat Idul Fitri lebih siang (dibanding Idul Adha) sehingga makan sebelum shalat lebih menenangkan jiwa. Berbeda dengan Shalat Idul Adha, yang sunnah adalah segera dilaksanakan. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/89)

Bertakbir Ketika Keluar Menuju Tempat Shalat

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ، فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْرَ

“Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar di Hari Raya Idul Fitri lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat dan sampai selesai shalat. Apabila telah selesai shalat beliau memutus takbir.” (Shahih, Mursal Az-Zuhri, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dengan syawahidnya dalam Ash-Shahihah no. 171)
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa yang diamalkan kaum muslimin yaitu bertakbir dengan keras selama perjalanan menuju tempat shalat walaupun banyak di antara mereka mulai menggampangkan sunnah (ajaran) ini, sehingga hampir-hampir menjadi sekedar berita (apa yang dulu terjadi). Hal itu karena lemahnya mental keagamaan mereka dan karena rasa malu untuk menampilkan sunnah serta terang-terangan dengannya. Dan dalam kesempatan ini, amat baik untuk kita ingatkan bahwa mengeraskan takbir di sini tidak disyariatkan padanya berpadu dalam satu suara sebagaimana dilakukan sebagian manusia2…” (Ash-Shahihah: 1 bagian 1 hal. 331)

Lafadz Takbir
Tentang hal ini tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam –wallahu a’lam–. Yang ada adalah dari shahabat, dan itu ada beberapa lafadz.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: Telah shahih mengucapkan 2 kali takbir dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu:

أَنَّهُ كَانَ يُكَبِرُ أَيَّامَ التَّشْرِيْقِ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Bahwa beliau bertakbir di hari-hari tasyriq:

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

(HR. Ibnu Abi Syaibah, 2/2/2 dan sanadnya shahih)
Namun Ibnu Abi Syaibah menyebutkan juga di tempat yang lain dengan sanad yang sama dengan takbir tiga kali. Demikian pula diriwayatkan Al-Baihaqi (3/315) dan Yahya bin Sa’id dari Al-Hakam dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dengan tiga kali takbir.
Dalam salah satu riwayat Ibnu ‘Abbas disebutkan:

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلَّ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

(Lihat Irwa`ul Ghalil, 3/125)

Tempat Shalat Id
Banyak ulama menyebutkan bahwa petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam shalat dua hari raya adalah beliau selalu melakukannya di mushalla.
Mushalla yang dimaksud adalah tempat shalat berupa tanah lapang dan bukan masjid, sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut ini.

عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ: خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أَضْحًى إِلَى الْبَقِيْعِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَقَالَ: إِنَّ أَوَّلَ نُسُكِنَا فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نَبْدَأَ بِالصَّلاَةِ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ وَافَقَ سُنَّتَنَا

Dari Al-Bara’ Ibnu ‘Azib ia berkata: “Nabi pergi pada hari Idul Adha ke Baqi’ lalu shalat 2 rakaat lalu menghadap kami dengan wajahnya dan mengatakan: ‘Sesungguhnya awal ibadah kita di hari ini adalah dimulai dengan shalat. Lalu kita pulang kemudian menyembelih kurban. Barangsiapa yang sesuai dengan itu berarti telah sesuai dengan sunnah…” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Istiqbalul Imam An-Nas Fi Khuthbatil ‘Id)
Ibnu Rajab berkata: “Dalam hadits ini dijelaskan bahwa keluarnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan shalatnya adalah di Baqi’, namun bukan yang dimaksud adalah Nabi shalat di kuburan Baqi’. Tapi yang dimaksud adalah bahwa beliau shalat di tempat lapang yang bersambung dengan kuburan Baqi’ dan nama Baqi’ itu meliputi seluruh daerah tersebut. Juga Ibnu Zabalah telah menyebutkan dengan sanadnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Id di luar Madinah sampai di lima tempat, sehingga pada akhirnya shalatnya tetap di tempat yang dikenal (untuk pelaksanaan Id, -pent.). Lalu orang-orang sepeninggal beliau shalat di tempat itu.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/144)

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوْصِيْهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ

“Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia mengatakan: Bahwa Rasulullah dahulu keluar di hari Idul Fitri dan Idhul Adha ke mushalla, yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat, lalu berpaling dan kemudian berdiri di hadapan manusia sedang mereka duduk di shaf-shaf mereka. Kemudian beliau menasehati dan memberi wasiat kepada mereka serta memberi perintah kepada mereka. Bila beliau ingin mengutus suatu utusan maka beliau utus, atau ingin memerintahkan sesuatu maka beliau perintahkan, lalu beliau pergi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Khuruj Ilal Mushalla bi Ghairil Mimbar dan Muslim)
Ibnu Hajar menjelaskan: “Al-Mushalla yang dimaksud dalam hadits adalah tempat yang telah dikenal, jarak antara tempat tersebut dengan masjid Nabawi sejauh 1.000 hasta.” Ibnul Qayyim berkata: “Yaitu tempat jamaah haji meletakkan barang bawaan mereka.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Nampaknya tempat itu dahulu di sebelah timur masjid Nabawi, dekat dengan kuburan Baqi’…” (dinukil dari Shalatul ‘Idain fil Mushalla Hiya Sunnah karya Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 16)

Waktu Pelaksanaan Shalat

يَزِيْدُ بْنُ خُمَيْرٍ الرَّحَبِيُّ قَالَ: خَرَجَ عَبْدُ اللهِ بْنُ بُسْرٍ صَاحِبُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ النَّاسِ فِي يَوْمِ عِيْدِ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَأَنْكَرَ إِبْطَاءَ اْلإِمَامِ. فَقَالَ: إِنَّا كُنَّا قَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ وَذَلِكَ حِيْنَ التَّسْبِيْحِ

“Yazid bin Khumair Ar-Rahabi berkata: Abdullah bin Busr, salah seorang shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi bersama orang-orang di Hari Idul Fitri atau Idhul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam. Iapun berkata: ‘Kami dahulu telah selesai pada saat seperti ini.’ Dan itu ketika tasbih.” (Shahih, HR. Al-Bukhari secara mua’llaq, Kitabul ‘Idain Bab At-Tabkir Ilal ‘Id, 2/456, Abu Dawud Kitabush Shalat Bab Waqtul Khuruj Ilal ‘Id: 1135, Ibnu Majah Kitab Iqamatush- shalah was Sunan fiha Bab Fi Waqti Shalatil ’Idain. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Yang dimaksud dengan kata “ketika tasbih” adalah ketika waktu shalat sunnah. Dan itu adalah ketika telah berlalunya waktu yang dibenci shalat padanya. Dalam riwayat yang shahih riwayat Ath-Thabrani yaitu ketika Shalat Sunnah Dhuha.
Ibnu Baththal berkata: “Para ahli fiqih bersepakat bahwa Shalat Id tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika terbitnya. Shalat Id hanyalah diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat sunnah.” Demikian dijelaskan Ibnu Hajar. (Al-Fath, 2/457)
Namun sebenarnya ada yang berpendapat bahwa awal waktunya adalah bila terbit matahari, walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini pendapat Imam Malik. Adapun pendapat yang lalu, adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan salah satu pendapat pengikut Syafi’i. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/104)
Namun yang kuat adalah pendapat yang pertama, karena menurut Ibnu Rajab: “Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rafi’ bin Khadij dan sekelompok tabi’in bahwa mereka tidak keluar menuju Shalat Id kecuali bila matahari telah terbit. Bahkan sebagian mereka Shalat Dhuha di masjid sebelum keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa Shalat Id dahulu dilakukan setelah lewatnya waktu larangan shalat.” (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)

Apakah Waktu Idul Fitri lebih Didahulukan daripada Idul Adha?
Ada dua pendapat:
Pertama, bahwa keduanya dilakukan dalam waktu yang sama.
Kedua, disunnahkan untuk diakhirkan waktu Shalat Idul Fitri dan disegerakan waktu Idul Adha. Itu adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini yang dikuatkan Ibnu Qayyim, dan beliau mengatakan: “Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melambatkan Shalat Idul Fitri serta menyegerakan Idul Adha. Dan Ibnu ‘Umar dengan semangatnya untuk mengikuti sunnah tidak keluar sehingga telah terbit matahari dan bertakbir dari rumahnya menuju mushalla.” (Zadul Ma’ad, 1/427, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)
Hikmahnya, dengan melambatkan Shalat Idul Fitri maka semakin meluas waktu yang disunahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah; dan dengan menyegerakan Shalat Idul Adha maka semakin luas waktu untuk menyembelih dan tidak memberatkan manusia untuk menahan dari makan sehingga memakan hasil qurban mereka. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105-106)

Tanpa Adzan dan Iqamah

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ

Dari Jabir bin Samurah ia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah 2 Hari Raya (yakni Idul Fitri dan Idul Adha), bukan hanya 1 atau 2 kali, tanpa adzan dan tanpa iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيِّ قَالاَ: لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلاَ يَوْمَ اْلأَضْحَى ثُمَّ سَأَلْتُهُ بَعْدَ حِيْنٍ عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرَنِي قَالَ: أَخْبَرَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيُّ أَنْ لاَ أَذَانَ لِلصَّلاَةِ يَوْمَ الْفِطْرِ حِيْنَ يَخْرُجُ اْلإِمَامُ وَلاَ بَعْدَ مَا يَخْرُجُ وَلاَ إِقَامَةَ وَلا نِدَاءَ وَلاَ شَيْءَ، لاَ نِدَاءَ يَوْمَئِذٍ وَلاَ إِقَامَةَ

Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma dan Jabir bin Abdillah Al-Anshari keduanya berkata: “Tidak ada adzan pada hari Fitri dan Adha.” Kemudian aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang itu, maka ia mengabarkan kepadaku bahwa Jabir bin Abdillah Al-Anshari mengatakan: “Tidak ada adzan dan iqamah di hari Fitri ketika keluarnya imam, tidak pula setelah keluarnya. Tidak ada iqamah, tidak ada panggilan dan tidak ada apapun, tidak pula iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)
Ibnu Rajab berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini dan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu 'anhuma melakukan Shalat Id tanpa adzan dan iqamah.”
Al-Imam Malik berkata: “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut kami, dan para ulama sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/94)
Bagaimana dengan panggilan yang lain semacam: Ash-shalatu Jami’ah?
Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil dengan: Pertama: riwayat mursal dari seorang tabi’in yaitu Az-Zuhri.
Kedua: mengqiyaskannya dengan Shalat Kusuf (gerhana).
Namun pendapat yang kuat bahwa hal itu juga tidak disyariatkan. Adapun riwayat dari Az-Zuhri merupakan riwayat mursal yang tentunya tergolong dha’if (lemah). Sedangkan pengqiyasan dengan Shalat Kusuf tidaklah tepat, dan keduanya memiliki perbedaan. Di antaranya bahwa pada Shalat Kusuf orang-orang masih berpencar sehingga perlu seruan semacam itu, sementara Shalat Id tidak. Bahkan orang-orang sudah menuju tempat shalat dan berkumpul padanya. (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab, 6/95)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu berkata: “Qiyas di sini tidak sah, karena adanya nash yang shahih yang menunjukkan bahwa di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk Shalat Id tidak ada adzan dan iqamah atau suatu apapun. Dan dari sini diketahui bahwa panggilan untuk Shalat Id adalah bid’ah, dengan lafadz apapun.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/452)
Ibnu Qayyim berkata: Apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat maka mulailah beliau shalat tanpa adzan dan iqamah dan tanpa ucapan “Ash-shalatu Jami’ah”, dan Sunnah Nabi adalah tidak dilakukan sesuatupun dari (panggilan-panggilan) itu. (Zadul Ma’ad, 1/427)

Kaifiyah (Tata Cara) Shalat Id
Shalat Id dilakukan dua rakaat, pada prinsipnya sama dengan shalat-shalat yang lain. Namun ada sedikit perbedaan yaitu dengan ditambahnya takbir pada rakaat yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang kedua tambah 5 kali takbir selain takbiratul intiqal.
Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir ruku’, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam riwayatnya:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيْرَتَيْ الرُّكُوْعِ

“Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah bertakbir para (shalat) Fitri dan Adha 7 kali dan 5 kali selain 2 takbir ruku’.” (HR. Abu Dawud dalam Kitabush Shalat Bab At-Takbir fil ’Idain. ‘Aunul Ma’bud, 4/10, Ibnu Majah no. 1280, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Abani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1149)
Pertanyaan: Apakah pada 5 takbir pada rakaat yang kedua dengan takbiratul intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri)?
Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut selain takbiratul intiqal. (Al-Istidzkar, 7/52 dinukil dari Tanwirul ‘Ainain)
Pertanyaan: Tentang 7 takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak?
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat:
Pertama: Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma bahwa 7 takbir itu termasuk takbiratul ihram. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178, Aunul Ma’bud, 4/6, Istidzkar, 2/396 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah)
Kedua: Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, bahwa 7 takbir itu tidak termasuk takbiratul ihram. (Al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya)
Nampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal itu karena ada riwayat yang mendukungnya, yaitu:

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جِدِّهِ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيْدَيْنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيْرَةً، سَبْعًا فِي اْلأُوْلَى وَخَمْسًا فِي اْلآخِرَةِ سِوَى تَكْبِيْرَتَيِ الصَّلاَةِ

“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir pada 2 hari raya 12 takbir, 7 pada rakaat yang pertama dan 5 pada rakaat yang terakhir, selain 2 takbir shalat.”(Ini lafadz Ath-Thahawi)
Adapun lafadz Ad-Daruquthni:

سِوَى تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ

“Selain takbiratul ihram.” (HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 4/343 no. 6744 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Ad-Daruquthni, 2/47-48 no. 20)
Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan bernama Abdullah bin Abdurrahman At-Tha‘ifi. Akan tetapi hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad, ‘Ali Ibnul Madini dan Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh At-Tirmidzi. (lihat At-Talkhis, 2/84, tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim Al-Yamani, At-Ta’liqul Mughni, 2/18 dan Tanwirul ‘Ainain, hal. 158)
Adapun bacaan surat pada 2 rakaat tersebut, semua surat yang ada boleh dan sah untuk dibaca. Akan tetapi dahulu Nabi membaca pada rakaat yang pertama “Sabbihisma” (Surat Al-A’la) dan pada rakaat yang kedua “Hal ataaka” (Surat Al-Ghasyiah). Pernah pula pada rakaat yang pertama Surat Qaf dam kedua Surat Al-Qamar (keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul Ma’ad, 1/427-428)

Apakah Mengangkat Tangan di Setiap Takbir Tambahan?
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan.
Sementara salah satu dari pendapat Al-Imam Malik tidak mengangkat tangan, kecuali takbiratul ihram. Ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah (hal. 349). Lihat juga Al-Irwa‘ (3/113).
Tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih dalam hal ini.

Kapan Membaca Doa Istiftah?
Al-Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat setelah takbiratul ihram dan sebelum takbir tambahan. (Al-Umm, 3/234 dan Al-Majmu’, 5/26. Lihat pula Tanwirul ‘Ainain hal. 149)

Khutbah Id
Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khutbah.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: شَهِدْتُ الْعِيْدَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّوْنَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

“Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Aku mengikuti Shalat Id bersama Rasulullah, Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman maka mereka semua shalat dahulu sebelum khutbah.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab ‘Idain Bab Al-Khutbah Ba’dal Id)
Dalam berkhutbah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menghadap manusia tanpa memakai mimbar, mengingatkan mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan juga beliau mengingatkan kaum wanita secara khusus untuk banyak melakukan shadaqah, karena ternyata kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita.
Jamaah Id dipersilahkan memilih duduk mendengarkan atau tidak, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ السَّائِبِ قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ: إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

Dari ‘Abdullah bin Saib ia berkata: Aku menyaksikan bersama Rasulullah Shalat Id, maka ketika beliau selesai shalat, beliau berkata: “Kami berkhutbah, barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan khutbah duduklah dan barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1155)
Namun alangkah baiknya untuk mendengarkannya bila itu berisi nasehat-nasehat untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berpegang teguh dengan agama dan Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya bila mimbar Id berubah menjadi ajang kampanye politik atau mencaci maki pemerintah muslim yang tiada menambah di masyarakat kecuali kekacauan. Wallahu a’lam.

Wanita yang Haid
Wanita yang sedang haid tetap mengikuti acara Shalat Id, walaupun tidak boleh melakukan shalat, bahkan haram dan tidak sah. Ia diperintahkan untuk menjauh dari tempat shalat sebagaimana hadits yang lalu dalam pembahasan hukum Shalat Id.

Sutrah Bagi Imam
Sutrah adalah benda, bisa berupa tembok, tiang, tongkat atau yang lain yang diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya, panjangnya kurang lebih 1 hasta. Telah terdapat larangan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melewati orang yang shalat. Dengan sutrah ini, seseorang boleh melewati orang yang shalat dari belakang sutrah dan tidak boleh antara seorang yang shalat dengan sutrah. Sutrah ini disyariatkan untuk imam dan orang yang shalat sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak perlu dan boleh lewat di depan makmum. Ini adalah Sunnah yang mayoritas orang meninggalkannya. Oleh karenanya, marilah kita menghidupkan sunnah ini, termasuk dalam Shalat Id.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ فَمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَهَا اْلأُمَرَاءُ

“Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu apabila keluar pada hari Id, beliau memerintahkan untuk membawa tombak kecil, lalu ditancapkan di depannya, lalu beliau shalat ke hadapannya, sedang orang-orang di belakangnya. Beliau melakukan hal itu di safarnya dan dari situlah para pimpinan melakukannya juga.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabush Shalat Bab Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah dan Kitabul ‘Idain Bab Ash-Shalat Ilal harbah Yaumul Id. Al-Fath, 2/463 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136)

Bila Masbuq (Tertinggal) Shalat Id, Apa yang Dilakukan?
Al-Imam Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya berjudul: “Bila tertinggal shalat Id maka shalat 2 rakaat, demikian pula wanita dan orang-orang yang di rumah dan desa-desa berdasarkan sabda Nabi: ‘Ini adalah Id kita pemeluk Islam’.”
Adalah ‘Atha` (tabi’in) bila ketinggalan Shalat Id beliau shalat dua rakaat.
Bagaimana dengan takbirnya? Menurut Al-Hasan, An-Nakha’i, Malik, Al-Laits, Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat, shalat dengan takbir seperti takbir imam. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/169)

Pulang dari Shalat Id Melalui Rute Lain saat Berangkat

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدٍ خَالَفَ الطَّرِيْقَ

Dari Jabir, ia berkata:” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila di hari Id, beliau mengambil jalan yang berbeda. (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Man Khalafa Thariq Idza Raja’a…, Fathul Bari karya Ibnu Hajar, 2/472986, karya Ibnu Rajab, 6/163 no. 986)
Ibnu Rajab berkata: “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya, bila pergi melalui suatu jalan menuju Shalat Id maka pulang dari jalan yang lainnya. Dan itu adalah pendapat Al-Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i dan Ahmad… Dan seandainya pulang dari jalan itu, maka tidak dimakruhkan.”
Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya, di antaranya agar lebih banyak bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa cinta. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/166-167. Lihat pula Zadul Ma’ad, 1/433)

Bila Id Bertepatan dengan Hari Jum’at

عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِي رَمْلَةَ الشَّامِيِّ قَالَ: شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ قَالَ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيْدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟ قَالَ: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ

Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami, ia berkata: Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dia sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Apakah kamu menyaksikan bersama Rasulullah, dua Id berkumpul dalam satu hari?” Ia menjawab: “Iya.” Mu’awiyah berkata: “Bagaimana yang beliau lakukan?” Ia menjawab: “Beliau Shalat Id lalu memberikan keringanan pada Shalat Jumat dan mengatakan: ‘Barangsiapa yang ingin mengerjakan Shalat Jumat maka shalatlah’.”

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُوْنَ

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau berkata: “Telah berkumpul pada hari kalian ini 2 Id, maka barangsiapa yang berkehendak, (Shalat Id) telah mencukupinya dari Jum’at dan sesungguhnya kami tetap melaksanakan Jum’at.” (Keduanya diriwayatkan Abu Dawud dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1070 dan 1073)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Pendapat yang ke-3 dan itulah yang benar, bahwa yang ikut Shalat Id maka gugur darinya kewajiban Shalat Jum’at. Akan tetapi bagi imam agar tetap melaksanakan Shalat Jum’at, supaya orang yang ingin mengikuti Shalat Jum’at dan orang yang tidak ikut Shalat Id bisa mengikutinya. Inilah yang diriwayatkan dari Nabi dan para shahabatnya.” (Majmu’ Fatawa, 23/211)
Lalu beliau mengatakan juga bahwa yang tidak Shalat Jum’at maka tetap Shalat Dzuhur.
Ada sebagian ulama yang berpendapat tidak Shalat Dzuhur pula, di antaranya ‘Atha`. Tapi ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para ulama. (Lihat At-Tamhid, 10/270-271)

Ucapan Selamat Saat Hari Raya
Ibnu Hajar mengatakan: “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhamiliyyat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata: ‘Para shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bila bertemu di hari Id, sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yang lain:

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ

“Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari kamu.” (Lihat pula masalah ini dalam Ahkamul ‘Idain karya Ali Hasan hal. 61, Majmu’ Fatawa, 24/253, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/167-168)
Wallahu a’lam.

1 'Id artinya kembali.
2 Karena Nabi tidak memberi contoh demikian dalam ibadah ini. Lain halnya –wallahu a’lam– bila kebersamaan itu tanpa disengaja. Selengkapnya...

Ucapan Selamat Pada Hari Raya

Ucapan Selamat Pada Hari Raya
Kamis, 25-Oktober-2007, Penulis: Asy Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi



بسم الله الرحمن الرحيم

التهنئة يوم العيد



لا أعرف في ذلك شيئا عن السلف إلا أن يكون مبادلة للتهنئة بالتهنئة. وكان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يتبادلون التهاني يأخذ بعضهم بيد بعض ويهني بعضهم بعضا. وقد ذكر ذلك ابن قدامة في المغني 3/294-295 :

"قال أحمد‏,‏ -رحمه الله-‏:‏ ولا بأس أن يقول الرجل للرجل ‏:‏ يوم العيد‏:‏ تقبل الله منا ومنك, وقال حرب‏:‏ سئل أحمد عن قول الناس في العيدين تقبل الله منا ومنكم قال‏:‏ لا بأس به, يرويه أهل الشام عن أبي أمامة قيل‏:‏ واثلة بن الأسقع‏؟‏ قال‏:‏ نعم, قيل‏:‏ فلا تكره أن يقال هذا يوم العيد قال‏:‏ لا, وذكر ابن عقيل في تهنئة العيد أحاديث منها‏,‏ أن محمد بن زياد قال‏:‏ كنت مع أبي أمامة الباهلى وغيره من أصحاب النبي - صلى الله عليه وسلم- فكانوا إذا رجعوا من العيد يقول بعضهم لبعض تقبل الله منا ومنك, وقال أحمد‏:‏ إسناد حديث أبي أمامة إسناد جيد وقال علي بن ثابت‏:‏ سألت مالك بن أنس منذ خمس وثلاثين سنة وقال‏:‏ لم نزل نعرف هذا بالمدينة, وروي عن أحمد أنه قال‏:‏ لا أبتدى به أحدا‏,‏ وإن قاله أحد رددته عليه"‏.‏

وبالله التوفيق.



أملى هذه الفتوى

فضيلة الشيخ أحمد بن يحيى النجمي



بسم الله الرحمن الرحيم

Ucapan Selamat Pada Hari Raya



Syaikh kami Mufti KSA bagian selatan Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhahullah berkata :





“Saya tidak mengetahui tentang hal tersebut dari salaf sedikit-pun selain dalam rangka saling mengucapkan selamat. Dahulu para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saling mengucapkan selamat. Sebagian mereka menggandeng tangan sebagian lainnya dan saling mengucapkan selamat. Ibnu Qudamah menyebutkan hal tersebut dalam Al Mughni 3/294-295 :

“Ahmad rahimahullah berkata : “Tidak mengapa seseorang mengucapkan taqabbalallahu minna waminkum terhadap saudaranya pada hari raya”.

Harb berkata : Ahmad pernah ditanya tentang ucapan manusia taqabbalallahu minna waminkum pada dua hari raya. Dia menjawab : “Tidak mengapa. Salah seorang penduduk Syam meriwayatkan dari Abu Umamah Al Bahili”.

Ditanyakan : (Apakah) Watsilah bin Al Asqa’ ? Ahmad menjawab : “Ya”. Ditanyakan : Apakah anda tidak memakhruhkan ucapan ini diucapkan pada hari raya ? Ahmad menjawab : “Tidak”.

Ibnu ‘Aqil menyebutkan beberapa hadits tentang ucapan selamat pada hari raya, diantaranya adalah bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : Saya pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasalla, dahulu apabila mereka kembali dari berhari raya, mereka saling mengucapkan taqabbalallahu minna waminka.

Ahmad berkata : “Isnad hadits Abu Umamah adalah isnad yang baik.

Ali bin Tsabit berkata : “Saya bertanya kepada Malik bin Anas sejak 35 tahun yang lalu dan dia menjawab : “Kami selalu mengetahui hal ini di Madinah”.

Dan diriwayatkan dari Ahmad bahwa dia berkata : “Saya tidak memulai untuk mengucapkan salam kepada seorang-pun, tetapi jika ada seseorang mengucapkannya, maka aku balas dengan balasan serupa”. Selesai.

Wabillahit-taufiq.









Yang mendikte fatwa ini

Yang mulia Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi

(ttd)

09 Syawal 1428 H



Alih bahasa oleh

Abu Abdillah Muhammad Yahya

09 Syawal 1428 H/20 Oktober 2007

Nijamiyah-Shamithah-Jazan

Sumber : salafi-indonesia@yahoogroups.com Selengkapnya...